Apa yang terjadi jika kita saling bermusuhan dan tidak bersatu

Sebab-sebab yang membuat hati tiap Muslim ini berselisih harus dihindari.

Antara

Berdoa Ilustrasi

Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ustaz Abdullah Taslim dalam kajiannya di Masjid Nurullah Kalibata City, Jakarta Selatan, mengingatkan akan pentingnya menjaga persatuan dan larangan melakukan perpecahan. Hal ini disebut juga perkara penting dalam Islam karena banyak ayat dan sunah yang membahas perihal persatuan ini. Ia menyebut, banyak hadis dan sunah yang menyebut larangan melakukan sebab-sebab yang menyebabkan perpecahan. Sebab-sebab yang membuat hati tiap Muslim ini berselisih harus dihindari.

Allah SWT dalam Ali Imran ayat 103 menyebut, "Dan berpegang teguhlahlah kamu semuanya pada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allâh mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allâh menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk."

"Dalam ayat lainnya, Allah SWT menyebut jika berpecah-belah merupakan kebiasaan orang-orang musyrik. Bermusuhan bukanlah kebiasaan orang-orang beriman yang disatukan dengan kalimat Allah," ujar Ustaz ini.

Allah SWT dalam QS ar-Rum ayat 31-32 menyebutkan, "Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orangorang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecahbelah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka."

Sementara itu, Rasulullah SAW dalam HR Muslim menyebut, "Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal. Dia meridhai kalian untuk menyembah- Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, serta berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan tidak berpecah belah, serta memberi nasihat kebaikan kepada orang-orang yang Allah jadikan pemimpinmu."

Ustaz Abdullah Taslim menyebut, ayat dan hadis di atas mempertegas bahwa Allah menginginkan orangorang beriman ini terus bersatu. Karena keinginginan inilah, Allah mengutus Nabi Muhammad SAW untuk menyatu kan umat. Allah juga menurunkan Alquran untuk menyatukan umat seba gai tempat kembali saat berbeda pendapat.

Alquran dan hadis diturunkan sebagai sarana untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Kedua tuntunan ini adalah petunjuk yang diberikan oleh Allah dan Nabi. Allah SWT dalam QS an-Nisa ayat 59 berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pe mimpin baik kekuasaan pemerintah atau agama) di antara kamu. Kemudi an, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

"Alquran dan hadis adalah wakil Allah. Sebagai Yang Maha Esa dan menciptakan makhluk hidup, Allah paling tahu tentang makhluknya, apa permasalahan yang dihadapi sudah disiapkan jawabannya. Kalau kita mengikuti apa yang sudah dituliskan dan disiapkan, maka hasilnya akan baik," lanjut Ustaz Abdullah.

Ia melanjutkan, ciri-ciri orang yang beriman adalah setiap menghadapi masalah untuk urusan agama, dia akan terus belajar dan meminta petunjuk Allah lewat Alquran dan hadis. Setelah mendapatkan jawaban, tidak ada keberatan dalam hatinya untuk menjalankan sesuai dengan petunjuk dan jawaban yang diberikan. Selain menjadi bukti keimanan seorang umat, usaha ini juga menjadi bagian dari keinginan dirinya untuk bersatu dan menghindari perpecahan.

Dalam QS al-Ahzab ayat 36 disebut, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi pe rempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sua tu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan me reka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata."

Dalam QS an-Nisa ayat 65, Allah juga berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang me reka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."

Ustaz Abdullah mengingatkan, persatuan yang hakiki bukan sekadar ucapan atau berada dalam tempat yang sama, tapi di dalam hatinya masih menyimpan kebencian kepada masing-masing. Tidak bisa disatukan sebuah bangsa atau umat kalau hanya membagikan harta atau urusan duniawi. Sebuah persatuan yang sejati harus dimulai dari hati, ada kecintaan pada Allah SWT dan mencintai sesama manusia karena Allah, serta tidak mempermasalahkan urusan duniawi.

Orang yang shalat berjamaah me ru pakan contoh nyata dalam bersatu. Tujuannya sama dan hatinya pun ter tuju pada hal yang sama, beribadah dan mencari ridha Allah SWT. Mak mum akan mengikuti imam, imam pun mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tidak ada makmun yang menye li sihi imam karena imam ada untuk di ja dikan sebagai pemimpin untuk diikuti.

Dalam shalat berjamaah, mak mum diminta untuk merapatkan shaf. Ini men jadi perhatian sebelum menja lan kan shalat dan bagian dari kesempurnaan shalat di mana tidak ada perse li sihan di dalamnya. Rasulullah SAW ber sabda, "Luruskanlah shaf-shaf ka lian! Karena, Demi Allah! Kalian benarbenar meluruskan shaf-shaf kalian, atau (kalau tidak) Allah akan membuat perselisihan di antara hati kalian."

Syariat Islam, yakni memerintah kepada kebaikan dan menjauhi keburukan. Tujuan yang baik ini hendaknya dilakukan dengan cara yang baik, bukan memaki atau mencela di muka umum. Dalam agama Islam, dikenalkan yang namanya nasihat dalam memberitahukan kebaikan. Nasihat ini maknanya luas, tapi dalam bahasa Arab, nasihat identik dengan ikhlas dan memurnikan.

Nasihat menghendaki kebaikan pada orang yang dinasihati dengan harapan yang diberi nasihat mau berhenti dari keburukannya. Ustaz Abdullah pun mengingatkan, bukan berarti menyampaikan kebaikan dan menghindari keburukan dilakukan dengan cara yang menyebabkan munkar yang lebih besar.

"Makna persatuan itu berpegang teguh dengan kalimat Allah di bawah kepemimpinan seorang Muslim de ngan segala kekurangannya. Tidak ada di zaman ini seseorang yang sosoknya sangat sempurna. Maka, dalam mengajak pada persatuan atau hal baik, lakukanlah dengan cara yang baik," ujar dia.

  • persatuan umat
  • ciri-ciri orang beriman

Apa yang terjadi jika kita saling bermusuhan dan tidak bersatu

            Islam datang pada saat manusia berselisih dan saling bermusuhan, bahkan sampai terjadi peperangan diantara kabilah bangsa arab. Hadirnya sosok Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjadi penyambung ikatan yang terputus, menjadi katalisator[1] di antara dua kutub yang sebelumnya saling berlawanan. Oleh karenanya, tidak ada nikmat terbesar melainkan nikmat hadirnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa islam sebagai sumbu utama  kemuliaan, dan menjadi penyelamat dari kehinaan dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman.

… وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ…

            “ … dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana…” (Q.S. al-Imran : 103)

            Oleh karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bergembira dengan hadirnya islam sebagai ad-Dinul Haq dan al-Qur’an sebagai al-Huda.

قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

            “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.(Q.S. Yunus : 58)

Al-Imam Ibnu Kasir rahimahullah berkata :

بهذا الذي جاءهم من الله من الهدى ودين الحق , فليفرحوا, فإنه أولى ما يفرحون به

            “ Dengan ini yang telah dibawa kepada mereka dari petunjuk (al huda0 dari Allah dan ad-Dinul Haq (agama yang benar yaitu islam), maka hendaklah mereka bergembira karena sesungguhnya kegembiraan ini adalah yang lebih utama untuk mereka bergembira dengannya.”[2]

Maka bergembira dengan hadirnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah wajib, dengan kegembiraan yang melebihi dari kegembiraan lainnya. Banyak cara yang dapat dilakukan sebagai wujud kegembiraan, selama hal itu tidak mengandung dosa dan maksiat.  Perhatikanlah !! kisah arab badui yang begitu senang dan gembira setelah ia mengenal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dia bertanya perihal kapan terjadi hari kiamat, sebagaimana yang diceritakan oleh Anas bin Malik radhyallahu ‘anhu

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن أعربيا قال لرسول الله صلي الله عليه وسلم : متي الساعة ؟ قال رسول الله صلي الله عليه وسلم ما أعددت لها ؟ قال : ما أعددت لها من كثير صلاة ولا صوم ولا صدقة ولكنى أحب الله ورسوله, قال : أنت مع من أحببت .

            Dari Anas bin Malik radhyallahu ‘anhu sesungguhnya seorang arab badui telah datang dan bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : kapan hari kiamat ? Rasululllah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : apa yang sudah kamu persiapkan untuk menghadapinya ?. lalu ia menjawab : aku tidak mempersiapkan apa2 dengan banyak shalat, puasa dan shadaqah kan tetapi aku mencintai Allah dan rasulNya. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Engkau akan bersama orang yang kamu cintai “ (HR. al-Bukhari no. 6171)

            Hadis ini tidak hanya berlaku bagi arab badui ini saja, melainkan berlaku bagi siapa saja yang telah beriman kepada Allah ta’ala dan rasulNya. Bukankah ini adalah bisyarah (kabar gembira), tidakkah kita seharusnya bergembira dengan kedatangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ?, karena dengan mencintainya akan  memasukkan kita kedalam syurga, bahkan akan dapat membersamainya didalamnya syurga. Allahhu Akbar..!

            Apabila para sahabat saja mampu bersatu dengan ikatan cinta yang sama kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka  sudah sepantasnya pula, kaum muslimin hari ini untuk bersatu apabila mereka mengaku mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Iftiraq (perpecahan) dan ikhtilaf (perselisihan) secara perlahan dan pasti hanya akan mengaburkan kecintaan dan keimanan kepada Allah dan rasulNya. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku mencintai rasulNya dan beriman kepada Allah Ta’ala yang telah mengutusnya dengan haq, dapat membenci dan memusuhi saudara seiman yang juga mencintai Allah dan Rasul.

  Tidak diragukan lagi, sikap ta’asub (fanatisme buta) telah mengaburkan dan menenggalamkan rasa cinta kepada sesama. Saling hujat dan menuduh dengan tuduhan sesat, ahli bid’ah, wahabi, dan hujatan lainnya, hanya  akan semakin memperkeruh dan mempertajam  permusuhan diantara kaum muslimin. Rasululllah shalallahu alaihi wasallam menyebutkan sikap fanatisme ini dengan sesuatu yang berbau busuk yang harus dijauhi.  Masing-masing kelompok akan merasa lebih baik dari yang lainnya.  Ibarat penyakit kronis yang   sulit untuk dicari obat penawarnya, kecuali bila keduanya mampu untuk berlapang dada dan saling memaafkan.

Sikap seperti ini pernah menimpa para sahabat dari kalangan anshar dan muhajirin, pada saat terjadi perselisihan diantara mereka. Sebagaimana dicceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhyallahu ‘anhu

غَزَوْنَا مع النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وقدْ ثَابَ معهُ نَاسٌ مِنَ المُهَاجِرِينَ حتَّى كَثُرُوا، وكانَ مِنَ المُهَاجِرِينَ رَجُلٌ لَعَّابٌ، فَكَسَعَ أنْصَارِيًّا، فَغَضِبَ الأنْصَارِيُّ غَضَبًا شَدِيدًا حتَّى تَدَاعَوْا، وقالَ الأنْصَارِيُّ: يا لَلْأَنْصَارِ، وقالَ المُهَاجِرِيُّ: يا لَلْمُهَاجِرِينَ، فَخَرَجَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: ما بَالُ دَعْوَى أهْلِ الجَاهِلِيَّةِ؟! ثُمَّ قالَ: ما شَأْنُهُمْ؟ فَأُخْبِرَ بكَسْعَةِ المُهَاجِرِيِّ الأنْصَارِيَّ، قالَ: فَقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: دَعُوهَا؛ فإنَّهَا خَبِيثَةٌ. وقالَ عبدُ اللَّهِ بنُ أُبَيٍّ ابنُ سَلُولَ: أقَدْ تَدَاعَوْا عَلَيْنَا؟ لَئِنْ رَجَعْنَا إلى المَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأعَزُّ منها الأذَلَّ، فَقالَ عُمَرُ: ألَا نَقْتُلُ يا رَسولَ اللَّهِ هذا الخَبِيثَ؟ لِعَبْدِ اللَّهِ، فَقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أنَّه كانَ يَقْتُلُ أصْحَابَهُ.

“Kami pernah berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika itu orang-orang Kaum Muhajirin sudah bergabung dan jumlah mereka semakin banyak. Di antara Kaum Muhajirin itu ada seorang laki- laki yang pandai memainkan senjata lalu dia memukul pantat seorang shahabat Anshar sehingga menjadikan orang Anshar ini sangat marah, lalu dia berseru seraya berkata; “Wahai Kaum Anshar”. Laki-laki Muhajirin tadi menimpali dan berseru pula; “Wahai Kaum Muhajirin”. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan bersabda: “Mengapa seruan-seruan kaum jahiliyah masih saja terus dipertahankan? ‘. Kemudian beliau bertanya; “Apa yang terjadi dengan mereka?”. Lalu beliau diberitahu bahwa ada seorang shahabat Muhajirin yang memukul pantat seorang shahabat Anshar. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkanlah seruan itu karena hal semacam itu tercela (buruk) “. Setelah itu ‘Abdullah bin Ubbay bin Salul berkata; “Apakah mereka (Kaum Muhajirin) tengah mengumpulkan kekuatan untuk melawan kami?. Seandainya kita kembali ke Madinah maka orang yang kuat pasti akan mengusir orang yang hina” (Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabadikan perkataannya ini dalam QS al-Munafiqun ayat 8). Spontan’Umar berkata; “Tidak sebaiknyakah kita bunuh saja orang tercela ini, wahai Rasulullah!” Yang dimaksudnya adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak, agar orang-orang tidak berdalih bahwa dia (Muhammad) membunuh sahabatnya’.” (HR. al-Bukhari no. 3518)

Allah Ta’ala juga telah memperingatkan, boleh jadi pihak yang dituduh, dihina, dicela dianggap sesat dan menyimpang ternyata mereka lebih baik daripada pihak yang menuduh, lebih bertaqwa dan lebih dicintai Allah Ta’ala. Bukankah ketaqwaan itu ada didalam hati  sebagaimana disebutkan didalam hadits yang diterima dari  Abu Hurairah radhyallahu ‘anhu

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (لاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَتَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخوَانَاً، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلايَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا – وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ). رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Janganlah kalian saling dengki, melakukan najasy, saling membenci, saling membelakangi dan sebagian dari kalian menjual apa yang dijual saudaranya. Jadilah kalian semua hamba–hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, sehingga dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya, mendustakannya dan merendahkannya. Takwa itu letaknya di sini –sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali– cukuplah seseorang itu dalam kejelekan selama dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram dan terjaga darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 35)

Saudaraku…! bila kita dapat bersatu dalam ikatan cinta yang sama kepada Allah dan RasulNya mengapa harus berseteru. Cukuplah, perbedaan itu  menjadi khazanah ilmiah yang akan tertulis indah dalam literatur islam dan menjadi ilmu yang bermanfaat di masa yang akan datang. Bila ilmu dapat diwariskan, maka permusuhan juga akan dapat terwariskan. Semoga warisan berharga diantara kita adalah ilmu dan indahnya ikatan cinta.

Oleh Ustad Abu Muhammad

[1] Dalam kamus kbbi, katalisator adalah seseorang atau sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dan menimbulkan kejadian baru atau mempercepat suatu peristiwa.

               [2] Abul Fida Ismail bin Umar bin Kasir al- Qursy ad-Dimasyq (Ibnu Kasir), Tafsir al-Quranul al-‘Adzhim, Qatar : Wizarah al-Auqaf wa Syuunul islamiyah, 2008, jilid 2 hal. 1131.