Apa yang sedang dibicarakan oleh jonas dan teman temannya

Jump to ratings and reviews

Apa yang sedang dibicarakan oleh jonas dan teman temannya

After a long and eventful life, Allan Karlsson ends up in a nursing home, believing it to be his last stop. The only problem is that he’s still in good health. A big celebration is in the works for his 100th birthday, but Allan really isn’t interested (and he’d like a bit more control over his alcohol consumption), so he decides to escape. He climbs out the window in his slippers and embarks on a hilarious and entirely unexpected journey. It would be the adventure of a lifetime for anyone else, but Allan has a larger-than-life backstory: he has not only witnessed some of the most important events of the 20th century, but actually played a key role in them. Quirky and utterly unique, The 100-Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared has charmed readers across the world.

Kirana Riyantika Kamis, 6 Januari 2022 | 09:33 WIB

Apa yang sedang dibicarakan oleh jonas dan teman temannya

Unggahan Priyanka Chopra di atas kapal pesiar (Instagram@priyankachopra)

Nakita.id - Priyanka Chopra dan Nick Jonas jadi salah satu pasangan selebriti Hollywood yang romantis.

Baik Priyanka dan Nick sama-sama masih berkarir di Hollywood dan mendapat hasil cemerlang.

Baru-baru ini, pasangan suami istri tersebut mengunggah momen romantis.

Momen romantis tersebut terjadi di atas kapal pesiar.

Priyanka Chopra tampak berpelukan mesra dengan Nick.

Nick Jonas merangkul sambil mencium kening sang istri.

Keduanya menikmati langit senja di atas laut.

Pasangan ini kompak mengenakan pakaian berwarna merah.

Momen romantis tersebut diunggah Priyanka Chopra melalui instagram pribadinya pada Senin (3/1/2022).

Baca Juga: Kaleidoskop 2021: Selebriti Bollywood Paling Populer Mulai dari Priyanka Chopra yang Go International Hingga Ranbir Kapoor yang Dapat Banyak Penghargaan


Page 2


Page 3

Apa yang sedang dibicarakan oleh jonas dan teman temannya

Instagram@priyankachopra

Unggahan Priyanka Chopra di atas kapal pesiar

Nakita.id - Priyanka Chopra dan Nick Jonas jadi salah satu pasangan selebriti Hollywood yang romantis.

Baik Priyanka dan Nick sama-sama masih berkarir di Hollywood dan mendapat hasil cemerlang.

Baru-baru ini, pasangan suami istri tersebut mengunggah momen romantis.

Momen romantis tersebut terjadi di atas kapal pesiar.

Priyanka Chopra tampak berpelukan mesra dengan Nick.

Nick Jonas merangkul sambil mencium kening sang istri.

Keduanya menikmati langit senja di atas laut.

Pasangan ini kompak mengenakan pakaian berwarna merah.

Momen romantis tersebut diunggah Priyanka Chopra melalui instagram pribadinya pada Senin (3/1/2022).

Baca Juga: Kaleidoskop 2021: Selebriti Bollywood Paling Populer Mulai dari Priyanka Chopra yang Go International Hingga Ranbir Kapoor yang Dapat Banyak Penghargaan

POV Citra:

Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, mengingat kata-kata Raka kemarin. Tentang poligami.

Tak tahu apa yang ada dalam pikiran lelaki itu, mengapa tiba-tiba malah ingin poligami? Kenapa memaksakan diri memiliki dua istri, padahal jika dia mau tinggal ceraikan saja aku dan menikah dengan perempuan yang ia idamkan.

Sejak awal memang perjanjian perkawinan kontrak ini sangat aneh.

Aku saja yang terlalu bodoh dan gelap mata, sampai mau-mau saja jadi istri kontrak.

Seperti malam-malam sebelumnya, Raka dan aku tidak tidur bersama dalam satu kamar. Kami tidur di kamar masing-masing dalam mansion besar dengan nuansa warm white ini. Kamarku berseberangan dengan kamar Raka, yang bersebelahan dengan kamar Maureen.

Pagi ini aku keluar kamar, lalu berpegangan pada railing tangga yang mengelilingi area kosong di bagian tengah lantai dua. Jadi dari lantai ini aku bisa melihat ke lantai bawah, kurang lebih mirip dengan desain rumah ayah Atra, mertuaku. Cuma di rumahnya bagian ini dipasang candelier yang menjuntai dari langit-langit rumah, sampai ke lantai bawah.

Di sini lampu gantungnya juga cukup besar, tapi tidak sampai menjuntai. Terus terang aku lebih suka yang seperti ini. Tak takut tersenggol bocah yang lari-larian sampai lampu kristalnya jatuh berantakan atau apalah.

Kulihat pintu kamar Maureen terbuka, sosoknya yang mengenakan baju tidur berwarna navy keluar dengan rambut kusut. Ia menguap dan tak sengaja beradu pandang denganku, gadis itu lantas memalingkan muka saat aku tersenyum padanya.

“Judes sekali.” Gumamku sambil pura-pura tidak melihat dia lagi.

Maureen mendorong pintu kamar Raka, lalu masuk ke dalam tanpa menutupnya lagi. Aku tahu, sepertinya ia sengaja ingin membuatku merasa cemburu dengan kedekatan mereka berdua.

Andaikan dia tahu, apapun yang ia lakukan tidak akan membuatku merasa cemburu. Soalnya antara aku dan Raka tidak ada hubungan perasaan apapun.

Supaya Maureen tahu tindakannya memanasi aku sia-sia saja, kuputuskan melangkah ke balkon saja. Menikmati udara pagi di lantai dua mansion mewah rasanya semakin nikmat saja.

Apakah aku sudah terbiasa menjadi nyonya yang hidup enak?

Hahah, menggelikan sekali.

Tentu saja tidak. Hidup di sini seperti terpenjara di sangkar emas. Aku memiliki semuanya tapi entah kenapa rasanya tidak menyenangkan sama sekali.

Aku rindu teman-teman kerjaku di SPBU, juga rindu mengerjakan pesanan buket snack dan buket bunga yang kugeluti selama ini. Begitulah, untuk menyambung hidup dan membayar hutang ayah, aku mengerjakan banyak hal.

Jadi ayah tidak perlu terlalu lelah mencari uang ada aku yang membantu, sayang sekali adikku tak berpikiran sama. Dia malah ikut-ikutan menambah beban hidup saja.

“Haloo?! Ada orangnya gak nih di rumah?”

Terdengar suara lelaki muda di lantai bawah, aku tak tahu siapa yang datang. Tetapi mungkin dia temannya Raka sebab langsung masuk ke dalam rumah.

Sebelum turun ke bawah, aku merapikan rambutku dulu dan piyama yang kukenakan. Supaya tidak terlihat memalukan.

Saat kuhampiri, lelaki itu bertubuh tinggi kurus dengan bahu yang lebar. Aroma parfum pria yang maskulin tercium kuat, bahkan bisa kucium dari jarak yang cukup jauh.

“Mau ketemu siapa, mas? Raka?” tanyaku ramah, sambil tersenyum. Sebuah senyum yang selalu kulatih supaya terlihat ramah di depan pengunjung SPBU.

Lelaki itu menoleh, rambutnya yang hitam ikut bergerak lembut seiring dengan gerakan kepalanya. Lumayan juga, ia terlihat seperti Lee Dong Wook, mungkin karena matanya yang sayu dengan rahangnya yang tegas.

“Kamu? Kamu istrinya Raka?” ia malah balik bertanya.

Kuanggukkan kepala sambil tetap tersenyum, lelaki itu pun maklum.

“Ahh, maaf ya kemarin aku enggak datang ke pernikahan kalian. Habisnya mendadak banget kayak dikejar-kejar setan. Raka itu emang impulsif banget anaknya.”

Aku tak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan itu, jadinya aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala sedikit.

“Mau ketemu Raka?”

“Ahh enggak sih, sebenernya aku mau ketemu sama Maureen. Aku yakin dia pasti ke sini setelah kami berantem tempo hari.”

Ohh jadi ini orang yang dibicarakan Maureen dan Raka, orang yang membuat gadis cantik itu menangis tersedu-sedu dan kabur ke rumah orang lain. Bahkan sampai menginap di sini bermalam-malam.

“Dia di sini kan?” tanya lelaki itu sambil mendekatiku yang masih berdiri di ujung tangga,

“Aaah, iya sih...mau kupanggilkan?” kumundurkan tubuh, tak ingin terlalu dekat.

Tak tahu kenapa tatapannya terlihat mengintimidasi dan membuatku jadi tidak nyaman.

“Boleh,”

Bergegas kulangkahkan kaki menaiki tangga, langsung menuju ke kamar Raka karena kutahu gadis itu pasti masih ada di sana.

Memang benar dugaanku, Maureen di sana dan sedang tidur di atas ranjang bersama dengan Raka.

Suami di atas kontrakku itu memeluk tubuh Maureen dari belakang, keduanya tidur dengan nyenyak di bawah hangatnya sinar matahari pagi. Keduanya terlihat serasi dan mesra, malah Raka lebih terlihat seperti suami Maureen ketimbang suamiku sendiri.

Dengan ragu kubangunkan Raka,

“Raka, ada yang cari Maureen di bawah...Raka!”

“Hah?!” Raka tersentak kaget, ia langsung bangun dengan mata yang masih setengah terpejam

“Apa? Kenapa? Siapa yang datang?”

“Ihh berisik banget sih Raka!” Maureen menguap, lalu memeluk guling dan kembali tidur.

“Ada siapa?”

“Aku enggak tau siapa, tapi dia cari Maureen. Orangnya tinggi dan kurus...”

“Jonas.”

Wajah ngantuk Raka langsung berubah, ia terlihat kesal setengah mati dan segera turun dari ranjang. Sebelum pergi ia membetulkan letak selimut Maureen, memastikan gadis itu tidur dengan nyaman dan barulah dia turun ke lantai bawah.

Aku tidak berminat untuk mengikuti Raka, biarkan saja dia yang bicara dengan orang bernama Jonas itu.

Kualihkan pandangan pada sosok yang masih tidur di atas ranjang, gadis yang cantik dan mungil. Memiliki visual yang luar biasa, wajar sekali jika ia menjadi idola banyak lelaki termasuk Raka dan Jonas tentu saja.

Bagaimana rasanya jadi orang secantik dia, ya?

Apakah rasanya menyenangkan diperhatikan dan disayangi oleh banyak lelaki? Dikejar-kejar lelaki dan bisa terbang kesana-kesini sesuai kemauan dia.

Eww, tapi kenapa terdengar seperti sedikit...murahan? entahlah, aku tak paham gaya hidup orang cantik. Sebaiknya aku segera kembali ke kamarku sendiri sebelum Maureen bangun, dan mendapati aku yang sedang memandangi dia seolah aku ingin menelannya bulat-bulat.

*********

POV Raka:

Jonas, si brengsek itu berani-beraninya datang ke rumahku.

Dia mau cari Maureen? Masih punya muka untuk melakukan itu setelah memukulnya tempo hari?

“Wow, pengantin baru nih!”

Aku muak melihat senyum bodohnya itu menyapaku, ia merentangkan tangan seolah ingin menyongsong dan memelukku yang turun dari tangga.

“Gimana rasanya jadi pengantin?”

“Enggak usah basa-basi. Kamu ngapain ke sini?”

“Haha, santa bro. Kenapa sensi begitu? Apa karena aku udah ganggu pagi romantis kamu sama istri? Siapa namanya?”

“Citra.” Sahutku ketus.

“Ahh Citra, kalian kenal di mana sih? Udah pacaran berapa lama? Aku enggak tau kalo seleramu kayak begitu.”

“Begitu gimana?”

“Gimana ya...terlalu sederhana. Haha.”

Bisa kulihat seringai di bibirnya begitu culas, entah sejak kapan aku jadi sebenci ini padanya. Apakah saat kutahu Maureen berpacaran dengan dia? Atau setelah aku tahu ia berani memukul perempuan?

“Itu semua bukan urusanmu, lagipula aku punya pandangan sendiri tentang perkawinanku dengan Citra.”

“Lah memangnya pandanganmu sama orang lain tentang perkawinan itu beda? Kamu enggak seidealis itu Raka.”

Cih, dia menyeringai lagi. Mengesalkan.

“Menikah itu kan buat mengikat orang ya..memaksa setia sama satu orang dan punya anak. Udah. So boring. Itulah kenapa aku enggak akan pernah menikah. Aku hidup bukan untuk hal-hal membosankan kayak begitu.”

“Aku enggak peduli dengan pendapatmu, Nas. Kalo misal udah enggak ada yang perlu kita omongin, kamu bisa pergi. Pintu keluarnya tau kan?”

“Wah-wah, santai dong. Sensi banget nih pagi-pagi. Lagian kedatanganku bukan buat ketemu sama kamu. Urusanku sama Maureen, aku tau dia di sini.”

“Enggak ada, pergilah!”

“Mobilnya di garasimu, bodoh!”

Kukatupkan rahangku, menahan emosi. Semakin lama bersama Jonas, makin besar pula rasa benci yang kurasakan. Bahkan rasanya aku juga rugi sekali berbagi oksigen dengan orang brengsek seperti dia.

“Maureen!”

“Sial, jangan berteriak di rumahku!”

“Maureen!”

“Kurang ajar!” kucengkram kerah baju yang Jonas pakai, dia sama sekali tidak mengindahkan kata-kataku.

Bukannya menyadari kesalahan, Jonas malah lagi-lagi memamerkan seringai jahat di bibirnya. Begitu culas, licik, perutku rasanya mual disuguhi evil smirk seperti itu terus menerus.

“Kenapa kamu mau kasih cewek lain tidur di rumahmu? Padahal kamu baru nikah dan harusnya lagi mesra-mesranya ya sama istrimu itu..”

“..agak aneh enggak sih? Apa jangan-jangan...kawin kontrak?”

“Jangan asal ngomong! Orang macam kamu enggak bakal paham!”

“Hahah, bener kan kataku? Aku sudah curiga sih. Kalian berdua itu terlalu jauh berbeda, kasta kalian enggak sama dan perkawinan kalian juga mendadak. Siapa sih yang enggak curiga?”

Jonas menepis tanganku yang mengendur, lalu merapikan bajunya sambil tetap menghujamkan pandangannya yang tajam. Aku sendiri berusaha untuk terlihat tenang, memikirkan kalimat yang tepat untuk membantah kata-kata si brengsek di hadapanku ini.

“Baiklah, terserah kalian berdua mau kawin kontrak kek, beneran kek, bukan urusanku. Tapi yang jelas...jangan bawa-bawa Maureen. Dia pacarku, dan enggak pantas dia tinggal di sini sama suami orang yang dulunya pernah naksir sama dia.”

Aku tercekat, bagaimana dia tahu? Perasaan aku tak pernah terang-terangan menunjukkan rasa sukaku padanya.

“Aaah, aku paham sekarang. Kamu menikahi Citra untuk bikin Maureen cemburu? Iya kan?!”

Checkmate!

Aku hanya bisa mematung sambil menelan ludah getir, tak menyangka bisa secepat itu seseorang menerka tujuan pernikahanku dengan Citra. Kedua orangtuaku sama sekali tak mengira seperti itu, Maureen pun tidak. Hanya Jonas.

“Langkah yang kamu pilih terlalu gegabah, bro. Harusnya kamu hadapi semua sendiri, nyatakan langsung pada Maureen dan bukannya malah membawa gadis lain ke dalam masalahmu itu. Dewasalah, bro!”

“Jangan pengecut.”

Sekali lagi, ia menyeringai padaku dan rasanya makin tajam ke ulu hati. Tak tahu karena kata-katanya yang memuakkan, atau karena apa yang dia katakan itu benar adanya.

Aku cuma terlalu pengecut untuk langsung mengutarakannya secara langsung, dan pikiran liarku malah menyeret Citra ke dalam masalah hatiku sendiri.

Jonas akhirnya pergi tanpa memaksa untuk bertemu dengan Maureen, ada sedikit rasa lega menyelusup ke dalam hatiku. Setidaknya mereka tak dulu bertemu saat ini. Saat kubalikkan tubuh untuk kembali ke lantai dua, Citra berdiri di ujung tangga dengan wajah yang sedih.

“Sejak kapan kamu di situ?”

“Ah...aku..aku enggak bermaksud nguping...aku...maaf.”

Ia berlari ke kamar tanpa menoleh lagi padaku. Rasa tak enak membuatku merasa bersalah, tapi untuk apa rasa bersalah itu? Toh dia pun sudah menyetujui pernikahan ini, untuk tujuan apapun yang tak perlu ia ketahui.

*********


Page 2

Citra

“Aaah, aku paham sekarang. Kamu menikahi Citra untuk bikin Maureen cemburu? Iya kan?!”

Ucapan lelaki yang mirip dengan Lee Dong Wook itu kembali terngiang di telingaku, meninggalkan rasa kesal dan marah yang menyala di dalam dadaku. Tapi dipikir-pikir lagi, kenapa aku harus marah?

Lagipula memang sejak awal pernikahan pun sudah dijelaskan, Raka menikahi Citra untuk satu alasan. Dia tak perlu tahu, dan tak berhak untuk protes. Dia sudah dapat uang muka, yaitu pelunasan hutang ayahnya.

Kalau ternyata memang perkawinan ini untuk membuat Maureen cemburu, lantas memangnya kenapa? Ya sudah, terima saja.

Pantas jika Raka begitu peduli dengan gadis bule itu, bahkan sekarang juga ia sedang mencoba untuk menghibur Maureen. Sejak kemarin ia memang merajuk, ketika tahu Jonas datang kemari untuk mencarinya, namun tidak ada yang memberitahu dia.

“Kamu sengaja kan enggak bangunin aku? Kamu sengaja bikin aku enggak ketemu sama Jonas!” lengking Maureen. Ia sedang berdiri di balkon dengan gaun tidur yang tipis, bahkan aku yakin jika ia tidak mengenakan bra sama sekali.

Aku jadi risih sendiri, bagaimana bisa seorang wanita lajang berpakaian seperti itu di depan seorang lelaki yang bukan siapa-siapanya. Hanya teman, bahkan sudah berstatus suami orang (walau suami pura-pura).

Memangnya dia tak takut jika lelaki itu bernafsu dan tiba-tiba menyerangnya secara seksual? Atau mungkin memang itu yang dia mau?

Ahhh, masih pagi aku sudah dibuat pening kepala.

Sudah cukup dengan kenyataan yang tak sengaja kutemukan kemarin siang, sekarang bertambah pula dengan melihat perempuan tanpa bra berkeliaran di dalam rumah.

Sejak pagi sekali aku sudah mandi, berpakaian rapi dan bersiap untuk memasak sarapan. Walaupun hampir tak pernah Raka menyentuh makanan yang kubuat, tetapi setidaknya aku sudah menjalankan peranku dengan baik, lagipula aku suka memasak.

Aku suka sekali berada di dapur yang ada dalam rumah besar ini, sebab di sini semua bahan makanannya begitu lengkap. Mereka bahkan punya ruangan pendingin khusus yang berisi aneka makanan beku, daging-dagingan dan entahlah apa lagi. Sesuatu yang hanya kulihat pada acara televisi luar, juga saat Kim Kardashian menunjukkan lemari penyimpanan makanannya, setelah dihujat netizen saat memperlihatkan kulkasnya yang hanya berisi susu saja.

Aku senang memasak di sini, aku bisa memasak apapun yang kumau, menu apapun yang kulihat bisa kucoba masak di sini. Andai saja ada orang yang bisa memakannya, pasti jauh lebih menyenangkan.

“Selamat pagi bu Citra..” sapa asisten rumah tangga yang ditempatkan khusus di dapur, ia tersenyum lebar dengan wajah yang segar.

“Selamat pagi, Risa.” Sapaku.

“Mau masak apa bu hari ini?”

“Enggak tau nih, enaknya masak apa? Semalam liat tumis brokoli pakai daging cincang, kayaknya enak...tapi buat pendampingnya apa ya yang cocok?”

“Hmm, mungkin bisa bikin kentang bungkus kembang tahu, disiram saus asam manis...”

“Ahh aku belum pernah cobain sih, tapi boleh...aku pengen tau cara masaknya.” Jawabku seraya mendekati meja dapur yang sudah dipenuhi aneka sayuran.

Risa yang usianya tak seberapa jauh denganku ikut membantu, kami segera menyiapkan bahan masakan supaya bisa cepat memasak. Yaa, walaupun Raka tak peduli aku masak apa, Maureen juga enggan memakan apapun yang kubuat, setidaknya menu yang telah kumasak bisa kubagikan untuk para asisten di rumah ini.

Toh Raka tak pernah mengoceh soal hal itu, dia memang tidak pelit, sih.

“Wah-wah, sibuk masak nih?”

Suara lelaki terdengar di belakangku, dan itu membuatku kaget setengah mati. Nyaris saja pisau yang kugunakan untuk membelah kentang tergelincir, jika aku tidak hati-hati mungkin jariku sudah teriris sekarang.

Dia, Jonas.

“Ke-kenapa tiba-tiba ada di sini?” tanyaku refleks, lelaki itu tersenyum dan meraih sebutir apel.

“Yaa untuk main ke rumah sahabat lah. Memangnya enggak boleh?” ia balik bertanya sambil menggigit apel.

Saat melakukan hal itu, ia menjaga kontak mata denganku dan itu membuat aku merasa tak nyaman. Maksudnya apa coba.

“Ta-tapi seenggaknya jangan muncul tiba-tiba seperti itu. Mau ketemu Raka? Biar kupanggilkan. Atau Maureen? Biar kupanggilkan juga...”

“Enggak! Aku mau ketemu kamu Citra.”

“Apa?”

“Ketemu kamu,”

Jonas menyandarkan punggungnya pada lemari es yang ada di dekatnya, sambil tetap memakan apel dan mengunyahnya perlahan. Daging apel yang ia gigit terdengar sangat renyah, sekaligus juicy.

“...aku harus membahas banyak hal dengan kamu.”

Kulirik Risa, ia tengah berusaha fokus pada bahan masakan dan bekerja seolah tidak ada siapa-siapa di dalam ruangan ini bersamanya.

Aku pun paham, segera kuajak Jonas untuk bicara di teras belakang dekat kolam renang. Walau aku tidak yakin apakah yang kulakukan ini boleh atau tidak, bicara dengan lelaki lain secara diam-diam tanpa sepengetahuan Raka.

Tapi setidaknya aku masih di dalam area rumah. Semoga tak apa-apa. Mungkin Jonas hanya ingin bicara tentang Raka saja.

“Memangnya mau bicara tentang apa?” tanyaku segera setelah kami berada di teras belakang.

Jonas mendaratkan pantatnya di kursi belakang, dengan santai meregangkan kaki dan tangannya lalu menatapku sambil tersenyum nakal.

Dia tampan, tapi tak tahu kenapa auranya membuatku merasa tidak nyaman.

“Kamu tau kan kenapa kamu dinikahi sama Raka?”

“Yaa anggap saja begitu...”

“Kemarin kamu dengar kan? bahwa dia menikahi kamu cuma pengen bikin...”

“Maureen cemburu.” Selaku cepat.

Jonas mengangguk-angguk, lalu membetulkan duduknya tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali dariku.

“Kamu mau ngikutin kemauan dia begitu aja? Padahal kamu tau kalo Maureen itu kekasihku?”

“Ahh, entah. Lagipula aku kan dengan Raka masih terikat...” ahh hampir saja aku keceplosan tentang kontrak.

“Terikat apa?”

“Terikat pernikahan.”

Jonas tertawa sinis, aku jadi tak enak hati.

“Pernikahan yang aneh, kamu enggak merasa dihina? Kamu cinta dia, tapi dia cinta sama cewek lain.”

“Aku enggak cinta sama Raka kok, kami kan...yaa gimana ya..dijodohin...” nada suaraku melemah di akhir kalimat. Aku terlalu banyak bicara sepertinya, jadi melantur.

Kulirik Jonas, ia juga sedang menatap ke arahku dengan tatapan yang seolah tidak percaya.

Tentu saja, hanya orang gila yang bisa percaya jika aku dan Raka dijodohkan.

Kasta kami terlalu jauh berbeda.

“Kamu enggak dihamili di luar nikah sama dia kan?”

“Hah?! Enggak! Kok dihamili?”

“Yaa..pernikahan kalian dadakan. Aku bahkan belum pernah dikenalin sama kamu sebelumnya, tiba-tiba sudah jadi istri Raka. Siapa tau kan? one night stand yang berujung musti dinikahin selamanya?”

Kugigit bibir, tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapinya. Poin utama dari pembicaraan ini apa sih?

“Baiklah...kayaknya aku udah terlalu bertele-tele dan jauh dari tujuan utama kuajak kamu ngobrol berdua kayak begini.”

“Aku ingin Maureen kembali, tapi dia menikahi kamu, sebagai alat untuk mendapatkan Maureen dan itu makes no sense. Itu enggak bener.”

Kupalingkan muka, memang tidak benar. Tak akan ada yang membenarkannya, tetapi mau bagaimana lagi? Aku sudah dapatkan uang muka, masa harus memaksa untuk berpisah sebelum kontrak berakhir? Raka sudah bilang jika itu tidak mungkin.

“Jangan bodoh Citra, daripada hidup sebagai istri boneka, cuma diperalat doang. Lebih baik bikin Raka jatuh cinta padamu sekalian!”

“Jatuh cinta?”

“Iya! Kamu pun bisa jadi istri yang sesungguhnya. Hidup kamu pasti lebih menyenangkan, ketimbang dinikahi tapi cuma buat bikin cewek lain cemburu. Lawak banget emang si Raka.” Jonas terkekeh.

Kuhela napas, belum tahu apakah harus menyetujui saran Jonas atau ikuti kontrak awal dengan Raka.

“Pikirin aja dulu. Kalo kamu mau ikutin apa yang kubilang, kamu bakalan kubantu supaya bisa dapetin hati Raka. Gampang lah itu.” Sambung Jonas yakin.

“Hubungi aku aja, ini kartu namaku dan ada nomorku juga. Kuletakkan di sini ya?”

“Iya...”

Jonas menyimpan sebuah kartu nama di atas meja, lalu meninggalkan aku sendirian di teras belakang.

***


Page 3

Raka

Sial, aku lupa!

Malam ini harusnya aku mengajak Citra untuk pergi ke perjamuan kantor, dan memang acara ini sudah rutin kuikuti sejak aku resmi menjadi pimpinan di perusahaan anak cabang milik ayahku. Hanya makan malam bersama, semi formal, namun biasa dilakukan di restoran fine dining karena yang menghadirinya adalah jajaran pemimpin perusahaan.

Gara-gara Jonas si brengsek itu datang ke rumah, pikiranku jadi berantakan dan melupakan hal penting.

Padahal jika aku ingat, rencananya aku ingin memberikan sedikit pelajaran basic manner untuk Citra. Supaya dia tidak mempermalukan aku di depan para elit perusahaan.

“Malam ini kamu mau makan malam sama para petinggi perusahaan kayak biasa?” tanya Maureen, ia memang tahu hal ini. Ia juga sempat beberapa kali kuajak pergi menghadiri jamuan tersebut.

Dia selalu pandai menempatkan diri, mengenakan gaun yang indah dan bersolek dengan cantik. Semua orang mengira jika ia adalah istriku, paling tidak pacar deh.

Aku bangga sekali membawanya kemana-mana, sayang sekali sekarang aku harus pergi dengan Citra. Jika aku memaksa pergi dengan Maureen, apa kata orang? Lagipula semua orang di kantor sudah tahu bahwa aku sudah menikah.

“Cit, Citra!” panggilku, saat melihat gadis itu menaiki tangga sambil menimang-nimang sesuatu di tangannya.

Mendengar panggilanku, ia langsung memasukkan benda tersebut ke dalam saku celananya.

“Ada apa, Ka?” tanyanya sedikit kaget, ia memastikan supaya benda yang tadi ia pegang tidak kulihat.

“Nanti malam bersiaplah, aku ada jamuan rutin dengan para petinggi perusahaan.”

Bisa kulihat sorot mata Citra menjadi panik, wajar saja jika ia panik begitu. Pasti dia bingung jamuan seperti apa yang akan ia hadapi nanti.

“Enggak usah takut, kita cuma sebentar aja...enggak akan di sana sampai acara jamuannya selesai.”

“Ba-baik..”

Gadis itu meninggalkan aku di dekat tangga, bergegas masuk ke dalam kamarnya sambil tetap memegangi saku di mana ia memasukkan benda yang tengah dilihatnya tadi. Dia itu kenapa, sih?

**********

Jamuan makan malam perusahaan diadakan sebulan sekali, aku biasanya antusias menyambut acara rutin bulanan ini karena Maureen sering menemaniku. Tapi sekarang aku sudah ingin acara ini selesai, bahkan sebelum aku datang ke tempat acara berlangsung.

“Ra-Raka...apa aku enggak apa-apa bajunya pakai yang ini?”

Citra menunjukkan penampilannya padaku, mengenakan gaun malam dengan warna navy dengan potongan kerah tinggi, dihias dengan bros mutiara di salah satu sisinya. Ia mengenakan sepatu hak rendah, sedikit menata rambutnya dan mengenakan riasan tipis. Kuakui, tidak terlalu buruk walaupun tidak semempesona Maureen.

“Oke enggak apa-apa. Ayo berangkat.” Ajakku sambil melangkah mendahuluinya menuju mobil yang diparkirkan di depan.

Sekitar 15 menit berkendara dengan mobil, kami sampai di restoran western yang dibooking untuk acara bulanan ini. Beberapa petinggi perusahaan menyapaku dengan ramah, namun mereka terlihat kaget ketika melihat Citra.

“Perkenalkan, ini istriku Citraloka.”

“Selamat malam bu Citra, senang bertemu anda. Saya Bambang kepala divisi personalia dan ini Rita, kepala divisi umum.”

Citra menerima uluran tangan dari pak Bambang dan bu Rita, aku bisa melihat jika pergelangan tangan dan jemari Citra begitu polos tanpa perhiasan sama sekali. Aduh, kenapa dia tak pakai perhiasan yang sudah kusiapkan di meja riasnya?

“Baiklah, kami permisi dulu ya pak, bu. Sepertinya istri saya kehausan,” kugenggam tangan Citra dan sedikit menariknya supaya ia mengikuti langkahku.

“Kenapa kamu enggak pake perhiasan apapun sih?”

“Ahhh maaf aku lupa...”

“Ini tuh perjamuan yang penting, mereka ini orang yang bekerja di perusahaanku dan aku ini pemimpin mereka. Coba kamu pikir gimana pendapat mereka saat lihat istri CEO seperti kamu penampilannya?”

Citra terlihat kaget, namun ia menguasai perasaannya dan meraba tubuhnya, seolah mencari sesuatu yang salah.

“Tapi kamu bilang tadi pakaianku sudah bagus, kukira enggak ada lagi yang kurang...”

“Iyaa tadi aku enggak sadar kamu enggak pakai perhiasan! Lalu apa ini? Anting apaan masih dipakai begini?” kusentil anting-anting emas kecil yang terpasang di telinganya.

Sepasang anting bulat yang sudah mulai kusam, ukurannya juga kecil.

“Padahal aku sudah siapkan anting berlian, satu set di kotak perhiasan.”

“Aku enggak tau,”

“Makanya cari tau dong! Kamu harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kamu sekarang. Jangan mentang-mentang kita cuma kontrak terus kamu seenaknya dengan gaya hidup kampungan kamu itu.” Protesku sambil berbisik, dan pura-pura mengambil minuman di meja buffet yang tersedia.

Citra tidak menjawab, ia menunduk dan menggigit bibir.

“Jangan nunduk begitu! Nanti orang-orang pikir aku lagi marahin kamu!” yaa walau memang aku sedang mengomeli Citra, tapi jangan sampai orang tahu.

“Nih, pegang aja ini, duduk di meja itu yang ada tandanya warna merah. Udah diem aja jangan ngomong sama siapapun!” perintahku sembari menunjuk ke meja reservasi. Citra menurut tanpa menolak, tak lupa ia membawa segelas coctail yang kuberikan.

Ia lalu duduk di sana seperti tak terjadi apa-apa, mencoba terlihat santai walau mungkin ia ingin menangis karena sudah kuomeli barusan. Salah sendiri, kenapa logikanya tidak berjalan? Sudah tahu mau menghadiri acara penting, pakai perhiasan pun tidak.

Memang terlihat sepele, tapi penting sekali untuk kehidupan sosialku.

Bayangkan, istri seorang CEO terlihat begitu kusam dan tidak berkilau di tengah semua kemegahan yang ditunjukkan para bawahanku.

Restoran ini biasanya ramai oleh para pengunjung kelas atas, mengenakan setelan terbaik dan musik klask yang menenangkan. Kali ini restoran diisi oleh orang-orang dari perusahaanku, mengobrol, saling membahas kemajuan dari divisi masing-masing. Ini adalah malam ramah tamah, sebuah tradisi.

Biasanya aku semangat untuk membahas semua hal yang berhubungan dengan perusahaan, bahkan aku juga beberapa kali membuat keputusan besar untuk perusahaan saat makan malam bulanan kami. Tetapi kali ini berbeda, konsentrasiku terpecah karena khawatir Citra bisa merusak segalanya.

Ah wakil ketua divisi personalia mau apa mendekati Citra? Dia wanita yang gigih dan pesolek. Beberapa kali dia mencoba untuk menggodaku, namun karena aku sudah terlanjur menyukai Maureen, dan terlebih dia juga bukan tipeku, akhirnya aku pura-pura tak tahu dan membiarkan dia.

“Hallo bu Citra, perkenalkan saya Cindy, wakil ketua divisi personalia. Bu Citra ini...kulitnya ehm, eksotis yaa?”

Citra terlihat tidak nyaman, ia menunjukkan gestur yang kurang percaya diri dengan mengusap-usap lengannya sendiri.

“Suka tanning di mana? Pantai? Atau di rumah aja? Pasti di rumah aja kan? secara rumah bos Raka itu kolam renangnya bagus sekali dan areanya cocok banget untuk tanning sepanjang siang. I was there once...” Cindy melirikku dengan nakal, lalu menggigit bibir dengan gaya menggoda.

Huh aku tak suka perempuan terlalu agresif seperti itu.

Dia pasti berniat untuk memanas-manasi Citra, ia memang pernah datang ke rumahku namun bersama dengan beberapa petinggi perusahaan lain untuk malam ramah tamah seperti sekarang. Namun caranya bicara seolah kami sudah melakukan cinta satu malam.

“Jadi...bu Citra rahasianya apa nih bisa sampai menggaet bos Raka? Apa orangtua bu Citra kaya raya banget yaa?”

“Cindy, sepertinya pertanyaan kamu sudah terlalu pribadi. Istriku berhak untuk tidak menjawabnya karena itu bukan urusan yang harus dibagi ke semua orang. Karena kamu, moodku jadi kurang bagus dan sepertinya aku akan pulang sekarang juga.”

“A-apa bos? Jangan..saya cuma mau kenal dengan bu Citra...”

“Tapi caramu bicara tidak mencerminkan itu. Mari Citra, kita pulang saja.”

Citra mengangguk pasrah, ia berdiri dan menyambut tanganku. Kami berdua lalu bergegas pergi keluar dari restoran. Beberapa petinggi mencegah kami supaya tidak pulang, ada juga yang mengomeli CIndy namun tekadku sudah bulat. Aku mau pulang saja.

Sesungguhnya aku tak masalah dengan kata-kata Cindy, toh tak ada satu pun kalimatnya yang menyinggungku. Yaa mungkin bisa saja Citra tersinggung, tetapi aku tidak begitu memperdulikannya juga.

Aku sebenarnya bersyukur juga, karena Cindy berulah aku bisa mendapatkan alasan supaya bisa pulang cepat dan tidak mendapatkan lebih banyak malu. Sepertinya Citra memang membutuhkan lebih banyak pelajaran mengenai gaya hidup papan atas, terlalu lama hidup sulit membuatnya sedikit bingung setelah menikah denganku.

Jika ia begini terus, bagaimana mau membuat Maureen cemburu?

***


Page 4

Citra

Menjadi orang kaya mendadak ternyata tidak menyenangkan, walau aku diperbolehkan membeli apapun yang kumau, bisa memasak menu apapun dengan bahan-bahan mahal sepuas hati, bermalas-malasan tanpa harus bekerja keras untuk membayar hutang, tetap saja rasanya tidak sehebat itu.

Maksudku, yaa...memang menyenangkan bisa melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan dulu. Tetapi saat ini aku merasa sangat kelelahan untuk menyesuaikan gaya hidupku dengan gaya hidup Raka. Seperti makan malam mewah semalam, aku tidak menyangka tak pakai perhiasan pun menjadi satu masalah yang besar.

Terus terang aku tersinggung dengan ucapannya, rasa sedihku bertambah saat wanita bernama Cindy itu datang dan mengajakku bicara. Aku tahu dia ingin membuatku merasa makin down dan makin minder, ia berhasil melakukan itu padaku.

“Jadi semalam bagaimana? Kulihat muka Raka asem, pasti kamu mengacau, kan?” Maureen mencegat langkahku di tangga, ia mengenakan piyama satin dengan rambut dicepol, segelas cokelat panas di tangannya. Sepertinya ia baru dari dapur.

“Biasa saja, kami memang pulang cepat semalam.”

“Raka malu dengan penampilanmu, kan?”

Kugigit bibir, menolak untuk menjawab dan memilih untuk menggeser langkahku supaya bisa turun ke dapur tanpa dihalangi Maureen. Namun gadis itu tetap mengejarku,

“Iya kan? Sudah kubilang dari awal, kamu enggak cocok jadi istrinya tetapi Raka tetap memaksa. Bodoh banget dia.”

Kuremas tanganku gusar, ingin meladeni omongan Maureen namun aku tahu tak akan memberikanku keuntungan apapun. Rasanya ingin mengatakan jika pernikahan ini untuk membuat dia cemburu, namun bisa-bisa Raka marah padaku dan ia lebih murka dari semalam.

“Kenapa sih kamu enggak sadar diri? Kamu ngincar hartanya Raka kan? Kamu pake pelet apaan, hah?!” Maureen menarik bahuku, membuatku meringis kesakitan. Kutatap dia dengan tajam, ucapannya terlalu berlebihan.

“Dunia sudah modern dan kamu masih berpikir terbelakang seperti di zaman purba. Siapa yang masih pakai pelet zaman sekarang? Mungkin aku memang bukan dari keluarga kaya, tapi aku tidak sebodoh itu sampai harus pakai pelet untuk menikah. Apa jangan-jangan kamu sendiri yang pakai pelet?”

Byur!

Sial!

Maureen menyiramkan cokelat panasnya kepadaku dan membuat bagian dada dan perutku rasanya terbakar. Cepat-cepat kukibaskan pakaianku supaya tidak menempel ke kulit yang membuatnya melepuh. Maureen sendiri melihatku kepanasan malah tersenyum sinis, menyebalkan!

“Jangan asal tuduh ya! Aku bukan orang jelek kayak kamu, yang harus pakai pelet segala. Semua lelaki itu suka padaku. Jadi jangan samakan aku dengan kamu.”

“Tapi Raka akhirnya menikah denganku, bukan denganmu yang katanya disukai semua lelaki.”

Aha, savage.

Tak tahu kenapa aku malah mengatakan hal seperti itu, padahal aku tahu jika Raka yang notabene suamiku itu menyukai Maureen.

Gadis bule itu memelototkan mata, ingin menyiramku lagi tapi dia ingat jika cangkirnya sudah kosong.

“Jangan merasa jadi ratu kamu! Suatu saat akan kupastikan jika Raka bakal buang kamu ke luar sana. Kembali ke kubangan lumpur di mana kamu seharusnya tinggal!” ancamnya tanpa ragu.

Kepalang tanggung, aku meladeni ucapan Maureen dan membalasnya dengan seringai di bibir. Semoga terlihat cukup badass dan bisa membuatnya sedikit gentar.

“Coba saja kalau kamu bisa.”

Gila, gila! Aku malah menantang Maureen. Apakah ini tak apa?

Aku bukannya kepedean atau apa, hanya saja tekanan dan rasa marah dalam dadaku membuat instingku aktif untuk membela diri. Akhirnya aku malah menantangnya untuk mencoba menghasut Raka untuk menceraikan diriku.

Entahlah benar atau tidak, tapi yang kulakukan ini bisa saja berujung buruk padaku karena aku akan didepak keluar. Tetapi setidaknya Raka mungkin akan senang karena Maureen terlihat cemburu dan bisa jadi ia nantinya mau dinikahi oleh Raka.

Jika mereka menikah, aku tetap akan mendapatkan tambahan uang dari Raka seperti yang telah ia janjikan di awal pernikahan. Jadi intinya apapun yang terjadi sebenarnya aku ini diuntungkan, betulkah?

***

Setelah sedikit insiden di tangga, aku melanjutkan niat awalku untuk pergi ke dapur dan membuat sarapan. Moodku untuk memasak hilang, dan sebagai gantinya aku hanya menyantap semangkuk sereal di meja dapur, Risa memperhatikanku dari dekat lemari es.

“Kenapa?” tanyaku, pelayan yang masih muda itu menggeleng sambil tersenyum,

“Enggak, tumben bu cuma makan sereal aja? Ibu mau saya panggangin roti?”

“Enggak usah, makasih. Aku memang lagi enggak semangat makan...”

“Dan pakaian ibu kotor,”

“Iya, tadi Maureen enggak sengaja tumpahin cokelatnya di tangga...kena bajuku jadinya begini.”

Risa mengangkat alis, kurasa ia tahu apa yang terjadi karena tadi Maureen berteriak kencang sekali.

“Hai, selamat pagi!!” sapa sebuah suara, Lee Dong Wook kw itu kembali lagi.

“Mau bertemu Maureen? Biar aku panggilkan.” Aku beringsut dari kursi dapur, berniat untuk segera mencari Maureen, tetapi Jonas mencegahku.

“Aku mau bertemu kamu, ini soal perjamuan kemarin. Kamu pasti sedih banget kan?”

“Perjamuan? Dari mana kamu tahu?”

“Tau lah, aku ada di sana kok. Cuma sengaja enggak nemuin kamu berdua sama Raka. Dia juga ngomelin kamu kan? kenapa?”

“Bukan urusanmu.” Kuabaikan Jonas, kembali kusantap serealku sebelum semuanya jadi mengembang dan lembek. Tapi tetap saja rasanya jadi tak enak, mungkin karena perasaanku saja.

“Soal penampilanmu, kan? Ayolah, biar kuajarkan banyak hal sama kamu.”

“Maksudmu apa?”

“Ikut aja denganku. Kamu pengen buktiin kalo Maureen salah tentang kamu dan Raka, kan?”

“Da-darimana kamu tau itu semua?” aku sekarang merasa agak ngeri. Jonas malah tertawa dan menarik tanganku keluar dari dapur.

Aku ingin menolak, namun aku tidak bisa dan terus terang aku merasa penasaran. Apa yang mau dia ajarkan padaku?

***

Rupanya Jonas mengajakku ke sebuah butik, bangunannya mewah dan terdiri dari dua lantai. Lantai bawah untuk pengunjung biasa dan lantai dua untuk para pengunjung eksklusif saja. Jonas berada di lantai dua bersamaku.

Seorang wanita dengan sanggul tinggi memperhatikan aku dari ujung kaki ke ujung kepala, tampilannya sangat berkelas dan membuatku jadi benar-benar minder. Butik ini sama saja menegangkan seperti di restoran mewah kemarin.

“Jonas, aku mau pulang saja...:

“Jangan, tunggu sebentar. Kamu bakalan suka sama yang bakal kamu pelajari di sini.”

“Jadi kamu si bebek buruk rupa yang ingin berubah jadi angsa jelita?” celetuk wanita bersanggul itu, membuatku jadi bertambah minder.

Aku memang tidak secantik dan seelegan Maureen, tapi disebut bebek buruk rupa agaknya sedikit berlebihan sih. Wanita itu lantas mendekatiku dan mengamati wajahku dari jarak yang benar-benar dekat, bahkan dia seolah akan menciumku.

“Kamu itu sebenarnya ada bakat cantik, sudah cantik tapi kucel banget mukanya, kurang perawatan!”

“Kamu enggak suka perawatan? Kamu suka panas-panasan tanpa pake sunblock? Ckk ckk sudah kuduga. Sunblock itu penting sayangku, supaya mukamu enggak rusak kayak begini!” ia meraih sebotol sunblock dan melemparkannya padaku.

“Ambillah itu, pakai tiap mau keluar rumah. Anggap saja itu hadiah untuk pelanggan spesial hari ini. Ahh Jonas sayangku, dia harus aku apakan?”

“Tolong ajari dia berbusana yang elegan dan berkelas, aku cuma merasa sayang jika ada potensi yang tidak bisa terpancar karena kurangnya perhatian.”

Aku cuma diam saja mendengarkan percakapan mereka, siapa yang potensinya belum terpancar? Aku? Karena mukaku yang kusam dan tak tahu cara berpakaian kelas atas?

Jonas menghampiriku dan berbisik pelan,

“Jangan marah ya Citra, aku ingin membuat kamu jadi sosok yang baru...seorang wanita kelas atas yang bisa bikin siapapun bertekuk lutut kepadamu. Kamu itu cantik seperti mutiara yang langka, hanya saja kamu membutuhkan sedikit bantuan untuk memolesnya, sehingga kecantikanmu itu bisa terpancar dengan nyata.”

Aku, mutiara yang langka katanya..ha-ha.

Sudahlah, mau pulang dan menyerah pun sudah tak berguna. Lebih baik kunikmati saja semua sekalian, apalagi semua ini gratis kudapatkan. Kapan lagi bisa belajar berbusana dan tata krama orang kaya jika tidak sekarang?

***


Page 5

Raka

Maureen berdiri di balkon, menatap lurus ke arah gerbang masuk dengan ekspresi yang masam. Perasaanku jadi tak enak, kukira setelah aku bisa tinggal bersamanya dalam satu rumah maka aku bisa membuatnya jadi lebih ceria dan bahagia. Tetapi rupanya semua yang kulakukan tak cukup membuat Maureen lebih bahagia.

Salahku di mana?

Perlahan kudekati dia, kusentuh bahunya dan ia terlonjak kaget,

“Raka!”

“Ngelamunin apa sih? Sampai kaget begitu...”

Maureen melenguh, seolah pikirannya benar-benar dibebani oleh sesuatu yang begitu berat dan tak bisa diselesaikan dengan mudah.

“Liat aja itu, istrimu kayaknya sedikit terlalu percaya diri sampai kegatelan. Memangnya pantas mereka pergi berdua?” ia menoleh lagi ke arah gerbang masuk.

Kuikuti tatapannya, dan bisa kulihat jika mobil Jonas terparkir di sana. Yang membuatku kaget adalah Citra keluar dari pintu de

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 6

Citra

Bayangan wanita muda yang terpantul di cermin memandangku dengan sorot mata menyedihkan, ia terlihat mengasihani aku dan seolah ingin keluar dari sana lalu memelukku dengan erat. Huh, aku terus menerus diombang-ambing dengan yang terjadi padaku saat ini.

Menerima tawaran menikahi seseorang yang tak kukenal dengan imbalan hutang ayah lunas, terasa terlalu mudah. Tidak mungkin hidupku akan berjalan semulus itu bagai dalam cerita dongeng, happily ever after.

Benar saja, sekarang saja aku sudah mendapatkan banyak sekali rasa sakit hati. Perlakuan Raka yang egois dan tidak melihatku sebagai sosok manusia yang punya perasaan, Maureen yang merasa jika dirinya lebih tinggi derajatnya dariku, ditambah lagi dengan Jonas yang seenaknya saja menarikku kesana-kemari dengan alasan membantu.

Untuk apa aku pergi ke butik mewah itu? Mengganti potongan rambutku, mengajarkan cara berpakaian seperti wanita-wanita sosialita, diajarkan car

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 7

Raka

Aku yakin sekali jika Maureen sedang membenci Jonas, karena cemburu melihat kekasihnya pergi dengan istriku tanpa bicara pada siapapun. Tetapi bukannya merajuk, atau marah besar dan meminta putus, Maureen malah mau-mau saja diajak keluar oleh Jonas. Sekitar setengah jam yang lalu, mereka pergi dengan mobil Jonas dan aku yang bodoh ini langsung bergegas mengikuti mobil mereka dari belakang.

Keduanya tidak mampir kemana-mana, melainkan langsung pergi ke apartemen milik Jonas. Di balik kemudi aku mengawasi mereka berdua yang cukup lama di parkiran, mungkin membicarakan soal Citra atau entalah aku tidak yakin. Tetapi samar-samar bisa kulihat jika hubungan mereka sedang diperbaiki, Jonas merengkuh kepala Maureen dan mengecup dahinya, lalu mereka berciuman.

“Sialan.” Gerutuku sambil membuang muka.

Kupukul setir dengan sekuat tenaga, memaki dan bersumpah serapah untuk menahan rasa cemburu yang benar-benar membakar dada.

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 8

Citra

Iya aku tahu, jika penampilanku ini jauh sekali dari selera wanita yang disukai oleh Raka, dan semua lelaki yang ada di kalangannya. Tetapi Raka tak perlu mengatakan hal sejahat itu hanya untuk berkata tidak. Cukup katakan saja tak mau pergi konsultasi, sudah.

Kenapa malah membawa-bawa tak sudi menghamiliku segala? Memangnya aku juga mau dia hamili?

Hidupku memang susah, aku ingin memiliki uang yang cukup untuk hidup dan bebas dari hutang serta tak perlu capek kerja keras. Tetapi jika harus mengorbankan harga diri dan memasang muka tembok demi mengandung anak orang kaya, lalu hidup enak dari biaya bulanan untuk anak.

Aduh, itu bukan gayaku!

Setelah berdebat panjang lebar dengan Raka, aku masuk ke kamar dan mengemas beberapa pakaianku. Tak tahan lagi jika lebih lama tinggal di sini, aku mau pulang dulu ke rumah ayah selama dua atau tiga hari. Siapa tahu bisa membuat kepalaku sedikit dingin dan bisa waras untuk kemba

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 9

Raka

Sudah dua hari Citra menginap di rumah ayahnya, sudah dua hari pula Maureen tak ada kabar. Aku ingin menyusul Maureen tapi sadar diri tak punya hak apapun untuk melarangnya melakukan ini itu sesuai kemauan dia. Urusan Citra, mau sebulan pun tinggal di sana aku tak peduli.

“Pak, ada telepon dari kantor. Katanya ada rapat penting tapi bapak enggak bisa dihubungi.”

“Oh iya, makasih.” Jawabku tak acuh.

Walau begitu aku tetap berdiri untuk mengambil ponsel yang kubuat mode senyap, sehingga tak tahu ada telepon, chat atau notifikasi apapun yang kudengar. Ternyata sudah banyak panggilan tak terjawab, chat dari sekretaris dan aku langsung malas mengingat posisiku sebagai CEO. Karena hal itu aku jadi tak bisa duduk diam di rumah tanpa direpotkan dengan urusan kantor.

Padahal di saat seperti ini, aku sangat ingin bersantai tanpa memikirkan apapun lagi. Sebab otakku sudah cukup ngebul memikirkan Maureen

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 10

Citra

Tak tahu hari keberapa aku menginap di rumah ayah, kulakukan beberapa hal untuk membuat rumah lebih nyaman baginya. Kubelikan kasur baru untuknya, juga untuk Angga sementara kasurku sendiri ditumpuk menggunakan kasur tipis bekas mereka. Tak apa, dibungkus seprai baru juga sudah terlihat bagus, lagipula aku tidak akan terus menerus tidur di rumah karena harus pulang ke rumah Raka.

Juga kupanggil tukang untuk memperbaiki atap rumah yang bocor, juga menambal lantai yang keramiknya sudah pecah-pecah, mengganti daun pintu dan membeli lemari plastik yang ukurannya cukup besar untuk menyimpan pakaian mereka berdua, menggantikan lemari kayu yang sudah jelek dan dimakan rayap.

Rumah sekarang terlihat lebih segar, dan juga lebih nyaman dibanding sebelumnya.

“Jangan ke jalan lagi, Angga. Di sini aja temenin ayah.” Nasehatku saat kami sedang duduk di depan rumah, menikmati bakso di tengah hari.

“Gimana nanti

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 11

Citra

Sebenarnya aku belum mau pulang, tapi saat mendengar mama Laksmi memintaku menginap maka aku langsung mengiyakan ajakan Raka. Tak perlu berpikir dua kali, sebab aku menyukai wanita dengan tubuh subur itu. Orangnya tulus, dan tidak dibuat-buat.

Aku merasa seperti diterima sebagai menantu, dianggap sebagai istri dari anaknya. Aku pun ingin melakukan semua yang bisa membuat mama Laksmi merasa senang, salah satunya mengiyakan ajakannya menginap.

Saat kami akan berangkat, Maureen ngambek ingin ikut juga. Ia bahkan sampai merajuk seperti anak kecil, Raka kerepotan menghadapinya. Ia membujuk gadis bule itu supaya tidak marah-marah, dan berjanji akan membelikannya makanan yang ia inginkan.

“Aku bukan anak kecil! Aku enggak mau disogok makanan! Aku maunya ikut!” tolaknya sambil menepis tangan Raka, ia lantas melipat tangannya di depan dada, bibirnya mengerucut manyun.

“Ya udah..udah. Yuk

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 12

Raka

Ini adalah pengalaman menginap yang paling memuakkan sepanjang hidupku, padahal biasanya aku sangat tenang saat tidur di rumah mama. Tetapi malam ini, rasanya kupingku panas dan hatiku terbakar setiap kali melihat mama bersama Citra, atau terus memujinya di hadapanku.

Kenapa mama seleranya rendah sekali?

Citra itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Maureen, kelas mereka jelas berbeda jauh. Jika dibandingkan, langit dan bumi pun sepertinya terlalu dekat untuk membandingkan mereka berdua. Apa istimewanya gadis berwajah kusam itu? Apa jangan-jangan dia pakai jampi-jampi untuk menaklukkan hati mamaku?

Halah, zaman digital begini memangnya masih mempan pakai jampi-jampi zaman batu? Lagipula siapa yang masih percaya pada dukun untuk mempermudah urusan mereka? Hanya orang primitif saja.

“Raka, mama nyuruh aku untuk panggil kamu dan nyicipin roti. Itu udah pada mateng...”

Citra menghampiriku yang se

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 13

Raka

“Raka, beli mangga itu dong! Kok kayaknya enak banget asem-asem seger!”

Aku terpaksa memberhentikan mobilku di pinggir jalan, karena Maureen melihat penjual mangga muda di trotoar. Penjual yang terlihat masih muda itu sedang melayani pembeli lain, Maureen dengan antusias mengantri menunggu gilirannya dilayani. Dengan cekatan penjualnya mengambil buah mangga yang sudah setengah matang, dikupas lalu ditusuk dengan sumpit bambu.

Setelah itu ia mengiris setiap sisinya dan membuat buah mangga itu seperti bunga yang merekah. Dulu aku melihat penjual buah mangga yang dibentuk seperti dan disiram gula pedas itu di Thailand, tetapi sekarang di Indonesia pun sudah banyak yang menjual.

“Aku pesen tiga!”

“Lho, banyak banget. Emangnya bakalan habis?”

“Habis lah! Aku ngiler banget tau!” Maureen ngotot dan aku hanya bisa mengiyakan saja.

Namanya juga sedang ngidam, dia pasti ingin ma

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 14

Raka

Kudapati Maureen berjongkok di dekat mobilku, menangis tersedu-sedu dan sesekali mengacak-acak rambutnya hingga kusut. Aku melangkah mendekatinya dan mengusap kepalanya lembut, berusaha memberikan kenyamanan juga rasa tenang yang ia butuhkan saat ini.

“Raka...sekarang aku harus gimana? Jonas enggak mau menikah denganku!” keluhnya di sela isak tangis, kupeluk ia dan tak ada penolakan. Maureen menjatuhkan kepalanya ke dadaku, melanjutkan tangisnya,

“Aku enggak mau hamil..aku mau aborsi aja!”

“Jangan Maureen, kamu tau kan kalo aborsi itu banyak risikonya?”

“Tapi aku enggak mau hamil di luar nikah begini, nanti papaku marah dan aku dihapus dari daftar warisannya!”

Aku terdiam, bisa kupahami jika Maureen sedang merasa putus asa dan membutuhkan solusi nyata. Apalagi urusan dengan papanya, bagi seorang anak yang biasa diperlakukan dengan mewah seperti seorang putri raj

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 15

Citra

Baru kali ini aku melihat kondisi Maureen begitu buruk, memang beberapa waktu belakangan ia terlihat agak pucat dan kurang sehat. Tetapi kupikir itu karena ia memang sedang tak enak badan, namun dari yang kudengar saat ia meracau, dirinya tengah hamil.

Hamil.

Iya hamil!

Aku tak mau menghakimi seseorang, dia sudah dewasa dan bisa melakukan apapun yang ia inginkan tanpa perlu izin dari siapapun. Sebab ia tentu sudah paham apa konsekuensi yang bisa didapatkan dari semua tindakannya, termasuk berhubungan badan.

Memangnya dia pikir jika berhubungan badan konsekuensinya apa? Tentu saja hamil.

Lalu setelah hamil harus bagaimana? Ya hadapi, bertanggungjawab.

Tetapi melihat betapa histerisnya Maureen dengan kondisi yang ia alami saat ini, terlihat jelas jika ia tak mau hamil. jika memang tak mau hamil, mengapa tak pakai alat kontrasepsi? Kondom juga harganya murah sekali, tetapi sepertinya sudah benar-benar tak tertahankan

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 16

Raka

Ugh! Badanku rasanya pegal semua, seperti habis romusha seminggu berturut-turut. Lalu perutku, mual sekali!

Aku buru-buru turun dari ranjang dan berlari menuju wastafel di kamar mandi, kukeluarkan semua isi perutku sampai rasanya usus pun akan tertarik keluar. Mulutku jadi terasa sangat asam, gigiku seolah dilapisi cairan yang bukan rasanya saja yang kecut, namun baunya juga.

Setelah kumur-kumur beberapa kali, barulah mulutku terasa lebih baik. Aku pun baru menyadari jika hanya pakaian dalam yang sedang kukenakan. Aku tidak pernah tidur nyaris telanjang seperti ini, bahkan saat aku mabuk sekalipun.

Tetapi kenapa sekarang aku tak pakai apapun selain celana dalam? Apakah terjadi sesuatu?

“Apa-apaan ini?”

Kuraih handuk kimono dari gantungan yang ada di dekat wastafel, kukenakan dengan cepat lalu mengecek ranjang bekas tidurku semalam. Berantakan, spreinya terlepas dari kasur dan menggulung dengan bed cover yang su

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 17

Permintaan Maaf yang Tak Tahu untuk Apa

Citra

Sudah terhitung dua malam sejak kejadian itu, perasaanku masih sama seperti terakhir kusebutkan. Merasa jijik dengan diriku sendiri, karena sudah menaruh harapan. Padahal aku sudah berjanji tetap menjaga kesucianku sampai perkawinan ini berakhir, tapi akhirnya malah kuberikan begitu saja.

Sudah begitu, dia tak ingat apa yang terjadi pula!

Apa aku ini terlalu murahan?

“Ibu terlihat murung, ada masalah apa bu?” tanya Risa, pelayan muda itu memang selalu ada di dekatku. Bisa dibilang ia yang paling akrab denganku dibandingkan pelayan lain di rumah ini.

Kugelengkan kepala, sambil mencoba untuk tersenyum seperti tidak ada masalah apa-apa. Tak ada gunanya kuceritakan masalah ini, apalagi pada orang yang tak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang kualami.

“Saya buatkan minuman hangat, ya?” tawarnya ramah, sambil mengangkat bot

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 18

Citra

Semalam sebelum kami tidur di kamar masing-masing, Raka menghampiriku dan menyodorkan amplop coklat berukuran besar.

“Apa ini?” tanyaku, hanya melirik benda itu sekilas.

“Ambilah, beli apapun yang kamu mau...ini tanda permintaan maafku.”

“Permintaan maaf?”

“Ayolah, jangan bikin aku merasa makin bersalah. Terima saja! Terserah mau kamu apakan uangnya.”

Raka menjejalkan benda itu ke tanganku, sebuah permintaan maaf yang benar-benar tipikal orang kaya. Mereka merasa dengan uang yang banyak sudah cukup meredakan rasa bersalah, membuat orang yang mereka sakiti melupakan hal yang telah terjadi.

Kuremas amplop coklat di tanganku, tak ada niatan sedikit pun untuk kubuka dan kulihat isinya, apalagi untuk kugunakan. Ukurannya besar dan isinya juga tebal, pasti jumlah yang cukup besar. Aku mungkin bisa liburan sebulan penuh di hotel bintang tiga dekat pantai dengan

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 19

Raka

Lelaki berperut gemuk itu berjalan cepat menyusuri koridor di lantai dua, menjauh dari balkon tempatku dan Maureen duduk bersama. Aku tak suka dengan gayanya yang bertingkah seolah dia adalah ayah yang paling bijak.

Aku tak suka melhat dia bicara seolah dirinya adalah figur suami yang paling sempurna, apa dia lupa dengan jejak langkahnya di masa lalu hingga mama memutuskan untuk menggugat cerai? Gilanya lagi, ia masih bisa memutarbalik fakta seolah dia yang disakiti.

Sial! Kenapa juga ayahku harus datang sepagi ini tanpa pemberitahuan apapun? Tapi memangnya apa yang aneh dengan aku duduk bersama Maureen? Ini bukan kali pertama ia melihatku bersama gadis itu. Bahkan kami juga sempat dijodohkan—walau perjodohannya ditolak Maureen.

Tadi aku memang sedang memijiti kaki Maureen, membiarkan ia menumpangkan kedua kakinya di atas pahaku. Apa yang salah dengan itu semua? Reaksinya sangat berlebihan dan itu membuat aku merasa sangat muak.

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 20

Raka

10 tahun

Aku baru saja pulang sekolah, sambil membawa selembar kertas berisi gambar yang kubuat tadi di sekolah. Gambar tentang aku, ayah dan mama yang sedang berwisata di taman hiburan. Aku memakai topi dan memegang lolipop, ayah memegang tanganku dan tersenyum lebar. Lalu mama memegang tanganku yang lain, juga tersenyum lebar dengan lipstik merah.

Itu bukan gambar pengalamanku saat ke taman hiburan, melainkan cita-cita yang ingin kuwujudkan. Aku ingin pergi ke taman hiburan dengan mereka berdua, supaya aku pun bisa bercerita dengan bangga pada teman-temanku bahwa keluargaku baru saja jalan-jalan.

Karena seingatku, aku tak pernah pergi bersama untuk berjalan-jalan. Ayah saja nyaris tak pernah tinggal di rumah dan sehari-hari aku bersama mama. Aku pergi ke tempat-tempat wisata pun dengan mama.

Yaa itu memang menyenangkan, tetapi aku merasa ada yang kurang.

Semoga dengan melihat has

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 21

Citra

Aku tidak menyangka jika Raka serapuh itu. Kejadian kemarin membuatku sedikit banyak memahami, mengapa Raka tidak akrab dengan ayahnya dan cenderung ketus saat bicara dengan lelaki itu, walaupun ayahnya sudah berusaha mencairkan suasana. Karena kejadian kemarin pula, aku bisa memahami mengapa Raka bersikap buruk padaku.

Memang dia tak menceritakan apapun padaku, namun mendengar semua percakapan mereka, melihat reaksi Raka saat ayahnya mulai mendiskriminasinya, saat ia menangis di bahuku. Aku langsung paham, aku mengerti bahwa ia terluka sangat dalam.

“Raka, mau kuambilkan makanan? Dari semalam belum makan, bukan?” tanyaku, pada Raka yang sedang duduk di ruang kerja, menghadapi laptopnya yang menyala dan setumpuk map yang sepertinya belum disentuh sama sekali.

Ia melirikku sekilas, lalu menunduk menatap keyboard dan membiarkan jemarinya menggantung. Seperti tak tahu apa yang mau dia lakukan, seolah sedang menca

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 22

Citra

Gara-gara Risa yang mengira aku sedang ngidam, akhirnya jadi kepikiran. Bagaimana jika aku benar-benar hamil? aku takut sekali. Mengingat bahwa kemungkinanku untuk hamil sangat besar, tubuhku terasa sangat lunglai.

Kudekati cermin, lalu kuamati bagian perutku yang masih terlihat normal. Kutatap perutku dari depan, lalu menyamping, lalu kutarik bagian belakang bajuku supaya bisa melihat seperti apa perutku dengan lebih jelas.

Tidak ada perubahan apa-apa.

Perutku masih rata, dadaku juga masih sama ukurannya seperti semua. Aku juga tidak muntah-muntah di pagi hari, makanku masih normal dan entahlah, aku tidak merasakan semua gejala yang dirasakan oleh ibu yang sedang hamil muda. Hanya kemarin saja aku merasa mual, saat memegang buncis. Benda lain tak ada yang membuatku mual separah itu!

Sejak kejadian di malam itu, mungkin baru seminggu lamanya. Apa mungkin aku langsung hamil? kami hanya melakukannya sekali!

Ku

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 23

Citra

Aku tak mau tahu, calon bayi ini harus kusingkirkan sebelum semuanya terlambat.

Sejak pagi aku sudah mencari-cari klinik bersalin yang paling jauh yang bisa kutemukan, semakin jauh semakin baik. Tujuannya supaya tidak bertemu siapapun yang kukenal, supaya aku bisa dengan leluasa berkonsultasi dan menemukan solusi terbaik untuk masalahku ini.

Klinik bersalin Cahaya Hati, begitu namanya yang terpampang di depan bangunan tiga lantai dengan cat kuning pastel itu. Desainnya sederhana, bangunannya juga tidak terlalu besar sekalipun terdiri dari tiga lantai. Area parkirnya sempit, hanya cukup beberapa mobil dan motor saja.

Aku sendiri datang dengan menggunakan taksi online, berangkat sendirian setelah Kevin pergi ke kantor. Kudekap tas cangklong yang kubawa dari rumah, di dalamnya ada uang saku yang Kevin berikan dan jumlahnya lumayan. Siapa tahu sekarang aku bisa langsung ditindak, aku tak perlu memikirkan bagaimana membayar tagihan medisnya

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 24

Raka

Hingga saat ini aku belum berkomunikasi lagi dengan ayah, lelaki egois itu selalu saja bersikap tidak adil kepadaku. Ia memperlakukan aku seperti seseorang yang berhutang seluruh nyawa kepadanya, apa yang ia katakan harus kulakukan, apa yang ia mau aku harus mampu wujudkan.

Hanya karena ia memiliki sebutan sebagai ayah.

Dia pikir dengan memberikan aku luka dan rasa takut sejak kecil sudah cukup membuatnya jadi ayah yang baik?

Lalu karena aku bisa tumbuh dewasa dan tetap hidup, maka aku harus membalas budi padanya karena ia yang membuatku bertahan? Tidak. Aku bertahan karena Tuhan yang mau aku tetap hidup, aku tetap bertahan karena berharap hidupku akan lebih baik setelah pergi dari lelaki itu.

Iya, karena harapan kecil di dalam dadaku.

Setelah kuliah aku mulai bisa bebas, aku pun bertemu dengan mama dan syukurlah mama menikah dengan seseorang yang layak. Bisa kulihat papa tiriku menyayangi mama, sekalipun ia jarang bicara

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 25

Citra

Prak!

Kuseret semua benda yang ada di atas meja riasku, jatuh ke lantai dan berserakan. Ada botol parfum yang pecah dan botol serum yang juga terbelah menjadi dua. Agak sayang melihatnya, tetapi merasa lebih tenang karena sudah meluapkan rasa sesak dalam dadaku.

Apa-apaan itu tadi?

Raka diam saja melihatku diperlakukan seburuk itu oleh Maureen.

Aku tahu dia mencintai Maureen, tapi jangan biarkan sikapnya yang kolokan itu membuatnya bersikap sesuka hari dia. Masih bagus jika ia meluapkan semua kemarahannya pada benda mati, membanting pintu, melempar ponsel, memecahkan kaca atau apalah. Tapi yang ia lakukan malah menyakiti aku.

Memangnya apa salahku?!

Sekarang kubantingkan tubuh ke atas ranjang, pegasnya melemparkan tubuhku lagi ke atas dan membuatku sesaat merasa sedang melayang-layang. Seluruh sendi terasa kaku, ototku pun nyeri, sejak beberapa hari belakangan memang terasa begitu, mungkin karena aku sedang hamil m

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP


Page 26

Citra

“Neng, terminal akhir nih neng. Mau turun apa enggak?”

Sayup-sayup kudengar suara itu di telinga, suara seorang lelaki yang tidak kukenal. Kubuka mata, sekelilingku agak gelap.

“I-ini dimana?”

“Terminal akhir neng, mau turun di sini? Apa mau ikut balik ke kota?”

“Hah? Oh..enggak. Saya turun di sini kok.” Sahutku cepat, lalu berdiri dan berusaha meraih ransel di rak penyimpanan. Tetapi karena berat, lelaki yang ternyata kernet bus yang mengambilkannya untukku.

“Terima kasih pak.”

“Iya sama-sama.”

Kulangkahkan kakiku menuju pintu keluar, terminal akhir ini sudah sepi dan tinggal beberapa buah bus antar provinsi yang sedang istirahat. Kulirik jam yang menggantung di salah satu pilar, pukul setengah dua pagi.

“Ahh, sejauh ini aku pergi...ini di mana sih?”

Aku bingung sendiri, tadi aku bergegas pergi ke

Locked Chapter

Continue to read this book on the APP