Apa yang harus dilakukan jika orang tua menyuruh kita untuk berbuat syirik

Assalamu’alaikum. Wr… Wb…saya mau bertanya mengenai masalah orang tua yang terkadang, pemahaman mengenai agama masih perlu dibenahi.

1. Seaindainya orang tua masih mempercayai hal – hal yang menurut saya sudah di luar batas syar’i, apakah kita termasuk durhaka ketika menentang keputusan kita. Contoh, ada teman (putra) ingin menikah tetapi dilarang menikah di bulan "Sura"? Bila sang anak tetap menikah di bulan ‘Sura’ dan orang tua tidak ridha, apakah anak durhaka?

2. Orang tua masih mempercayai aturan kejawen yang kadang menyimpang dari aturan Islam, dan sering kali ketika diingatkan malah membalas dengan alasan "sok keminter." Apakah yang harus dilakukan.

3. Orang tua kadang masih pergi ke ‘orang pinter’ untuk menyelesaikan masalah-masalah, seperti pergi ke pengobatan ALternatif yang menggunakan tenaga dalam, pergi ke ‘orang pinter’ untuk mencari barang yang hilang. Apakah kita terkena dosa bila kita tidak mengingatkan mereka, karena terkadang perkataan mereka membuat sakit hati saya ketika diingatkan.

4. Sebelum diterima pekerjaan, ayah membayar sejumlah uang agar diterima bekerja di pekerjaan tersebut. Apakah uang hasil dari beliau yang saya makan ketika saya kecil adalah uang haram?

5. Saya juga sudah berpenghasilan sendiri. Apakah pemberian dari orang tua seperti jamuan makan, pakaian yang beliau berikan juga haram digunakan/dimakan?

Terima kasih
wassalam wr… Wb…

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Seandainya orang tua anda masih mempercayai hal-hal yang menurut Andasudah di luar batas syar’i, Anda memang wajib mengingatkannya. Tetapi caranya tentu tidak sama dengan ketika anda mengingatkan teman anda. Biar bagaimana pun orang tua anda perlu dihormati. Bicaralah padanya dengan menggunakan ukuran-ukuran yang wajar, jangan menggurui apalagi mendikte.

Bilateman anda ingin menikah tetapi dilarang menikah di bulan "Sura", karena memang masih percaya hal-hal yang demikian, maka tidak berartisang anak harus tetap memaksakan diri untuk menikah di bulan ‘Sura’.

Mungkin tujuan kita baik, yaitu ingin agar orang tua kita tidak lagi mempercayai tahayul. Tetapi menghilangkan kepercayaan mereka bukan dengan jalan langsung membenturkannya dengan ajaran Islam. Toh Islam ini bukan untuk dibentur-benturkan begitu rupa.

Islam memang tidak melarang kita menikahkan anak di bulan Sura (Muharram), tetapi bukan berarti kita harus paksakan menikah di bulan itu, bila berbenturan dengan orang tua. Sengaja mencari benturan berarti kita sudah bikin masalah. Mengapa kita tidak cari jalan kompromi yang bisa menenangkan kedua belah pihak.

Okelah kalau orang tua tidak mau menikahkan anaknya di bulan Muharram, toh anak bisa mengalah untuk menikah di bulan lainnya. Sebab dalam Islam, semua bulan sama saja.

Tapi nanti di kala lain, secara perlahan dan pasti, kita bisa lebih banyak bicara tentang Islam kepada beliau. Kita menunggu momentum yang tepat untuk menyampaikannya. Itu saja intinya.

2. Memang sangat banyak orang tua kita yang masih mempercayai aturan kejawen yang kadang menyimpang dari aturan Islam.Kita memang wajib mengingatkannya, namun yang perlu diperhatikan adalah caranya.

Mengapa para orang tua sering kali ketika diingatkan malah membalas dengan alasan "sok keminter"?

Masalahnya karena mereka sejak kecil telah menerima ajaran-ajaran itu. Sangat mendalam hingga berurat dan berakar di lubuk hati paling dalam. Mengubahnya bukan perkara yang bisa dikerjakan dengan mudah.

Kecuali kita sebagai anak-anaknya melakukan hal-hal fantastis di mata mereka. Misalnya, sesuatu yang membanggakan mereka. Biasanya orang jawa sangat menghargai status sosial, baik dalam format formal maupun non formal.

Misalnya begini, seandainya Anda jadi bupati yang diseganidi suatu daerah, maka orang tua sebagai ayahanda pak bupati mungkin akan lebih mau mendengar masukan dari anaknya.

Atau bila anda jadi pengusaha kaya, lalu membangunkan rumah megah dan menghajikan kedua orang tua anda, maka sangat mungkin mereka akan lebih mau mendengar masukan dari Anda.

Atau bila anda bisa jadi seorang dai kondang yang punya pengikut ribuan orang, atau punya pesantren, madrasah, masjid atau apapun yang membuat mereka ‘bangga’ dan merasa sangat berjasa karena telah melahirkan anda, mungkin mereka mau mendengar masukan dari anda.

Tapi kalau anda di mata merekahanya jadi orang kecil yang tidak ada nilai apa-apanya di mata mereka, apalagi malah dianggap sebagai orang yang kurang bisa memenuhi harapan mereka, kurang mengangkat status sosial mereka dan seterusnya, sulit rasanya mengharapkan mereka mau lebih mendengar masukan dari anaknya. Alih-alih mendengarkan, bisa jadi malah bertahan dan balas menyerang dengan mengatakan anda sebagai anak yang ‘keminter’.

Mungkin mereka akan bilang, "Oalah le le, kowebocahwingi sore ngerti opo?, ojo sok keminter."

3. Membayar sejumlah uang agar diterima bekerja di pekerjaan tersebut memang bisa termasuk sogok. Tetapi tidak semua jenis sogok hukumnya haram.

Sogok yang terpaksa dilakukan untuk mendapatkan hak-hak kita yang terampas, termasuk sogok yang dihalalkan bahkan diwajibkan. Misalnya, di jalan kita dihadang penjahat yang akan mengambil hak-hak kita begitu saja, kecuali bila kita mau bayar ‘pajak’ preman. Maka kalau kita tidak mampu melawannya dengan kekuatan, kita boleh melawannya dengan uang.

Tapi sogok yang memutar-balik keadilan, menghilangkan hak-hak orang lain serta merugikan mereka, hukumnya adalah sogok yang diharamkan.

Bagaimana dengan penghasilan dari sebuah pekerjaan yang dimulai dengan cara sogok?

Tidak semua haram. Sebab begitu seseorang telah diterima bekerja di suatu tempat, lalu setelah itu dia bekerja dengan rajin, memeras keringat membanting tulang, maka uang yang didapatnya halal. Yang haram adalah sogoknya bila memang masuk kategori yang haram. Tapi gaji dari hasil bekerja, tidak mungkin ditularkan keharamannya.

5.Pemberian dari orang tua seperti jamuan makan, pakaian yang beliau berikan tidak bisa berubah hukumnya menjadiharam, hanya karena kia berasumsi bahwa sebagian dari harta itu didapat dengan cara yang kurang jelas hukumnya.

Hal itu menyebabkan bahwaapa yang didapatnya belum tentu haram semua. Mungkin kita boleh berhati-hari dari memakan hal yang diharamkan, tetapi bukan berarti kita boleh main vonis bahwa harta beliau semuanya haram.

Apalagi posisi kita hanyalah sebatas orangyang menerima pemberian darimereka. Kalau pun bisa ada indikasi harta mereka haram, kita sebagai penerima pemberian mereka, tidak bisa langsung ikut disalahkan.

Prinsipnya, bila suatu perbuatan hukumnya haram, maka yang haramterbatas hanya pada yang haram saja. Sedangkan harta yang didapat dengan cara yang halal, maka hukumnya halal.

Wallahu ‘alam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

wajibnya berbakti pada orang tua, berbuat baik pada mereka, dan tidak membuat kesal mereka. Namun apakah berbakti di sini secara mutlak? Jawabannya, tidak. Selama itu dalam ketaatan pada Allah atau masih dalam kebaikan, maka perintah mereka dituruti. Jika mereka memerintahkan dalam syirik, maksiat dan bid’ah, maka tidaklah ada ketaatan. Jika mereka adalah musyrik atau non muslim –sebagaimana teladan dari kisah Sa’ad dalam tulisan ini-, tetap ada kewajiban berbaik pada mereka selamat tidak menuruti ajaran agama mereka atau turut serta dalam perayaan dan ritual ibadah mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Lukman: 15).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika kedua orang tua memaksamu agar mengikuti keyakinan keduanya, maka janganlah engkau terima. Namun hal ini tidaklah menghalangi engkau untuk berbuat baik kepada keduanya di dunia secara ma’ruf (dengan baik)” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 54).

Lihatlah kisah teladan berikut ini sebagaimana dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shohihnya dari Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya (yaitu Sa’ad) bahwa beberapa ayat Al Qur’an turun padanya. Dia berkata,

حَلَفَتْ أُمُّ سَعْدٍ أَنْ لاَ تُكَلِّمَهُ أَبَدًا حَتَّى يَكْفُرَ بِدِينِهِ وَلاَ تَأْكُلَ وَلاَ تَشْرَبَ. قَالَتْ زَعَمْتَ أَنَّ اللَّهَ وَصَّاكَ بِوَالِدَيْكَ وَأَنَا أُمُّكَ وَأَنَا آمُرُكَ بِهَذَا. قَالَ مَكَثَتْ ثَلاَثًا حَتَّى غُشِىَ عَلَيْهَا مِنَ الْجَهْدِ فَقَامَ ابْنٌ لَهَا يُقَالُ لَهُ عُمَارَةُ فَسَقَاهَا فَجَعَلَتْ تَدْعُو عَلَى سَعْدٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى الْقُرْآنِ هَذِهِ الآيَةَ (وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا) (وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِى) وَفِيهَا (وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا)

Ummu Sa’ad (Ibunya Sa’ad) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selamanya sampai dia kafir (murtad) dari agamanya, dan dia juga tidak akan makan dan minum. Ibunya mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu untuk berbakti pada kedua orang tuamu, dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan padamu untuk berbuat itu (memerintahkan untuk murtad, pen)’.

Sa’ad mengatakan, “Lalu Ummu Sa’ad diam selama tiga hari kemudian jatuh pingsan karena kecapekan. Kemudian datanglah anaknya yang bernama ‘Amaroh, lantas memberi minum padanya, namun ibunya lantas mendoakan (kejelekan) pada Sa’ad. Lalu Allah menurunkan ayat,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya” (QS. Al ‘Ankabut: 8). Dan juga ayat,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku” (QS. Lukman: 15), yang di dalamnya terdapat firman Allah,

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Lukman: 15). Lalu beliau menyebutkan lanjutan hadits.

Karenanya, tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua dan selainnya dalam melakukan kesyirikan, kemungkaran, bid’ah, kesesatan, dan maksiat. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُطِيعُوا أَمْرَ الْمُسْرِفِينَ , الَّذِينَ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan” (QS. Asy Syu’ara: 151-152).

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS. Al Kahfi: 28).

Juga dalam hadits disebutkan,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat)” (HR. Bukhari no. 7257).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat” (HR. Bukhari no. 7144)