Apa saja penyimpangan pada masa Demokrasi Terpimpin?

1. Kekuasaan Presiden Tak Terbatas

Pada masa demokrasi terpimpin, Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) melalui, Sidang Umum MPRS tahun 1963 MPRS menetapkan bahwa Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup dengan Tap MPRS No. III/MPRS/p. Hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 Bab III Pasal 7.

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang semestinya dibentuk berdasarkan UU, namun diberi bentuk hukum Peraturan Presiden.

Penetapan Pidato Presiden Menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno berpidato. Pidatonya diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 dan merupakan kebijakan Presiden Soekarno pada umumnya dalam mencanangkan sistem demokrasi terpimpin. Pidato ini kemudian dikenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia” (Manipol). DPAS dalam sidangnya pada bulan September 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara dan dinamakan “Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)”.Presiden Soekarno menerima baik usulan tersebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Manifesto Politik menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketetapan tersebut juga memutuskan bahwa pidato Presiden Soekarno pada tanggal 7 Agustus 1960, yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” dan pidato di depan sidang Umum PBB yang berjudul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World a New) merupakan Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik. Dalam pidato pembukaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan Februari 1960, Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima. Lima intisari itu adalah UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).

2. Pembentukan MPRS

Ada yang janggal saat pembentukan MPRS. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang seharusnya dipilih melalui Pemilu (Pemilihan Umum) malah dibentuk oleh presiden sendiri melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959. Hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945.

3. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR GR(Gotong Royong) oleh Presiden Soekarno

Pada 5 maret 1960 Soekarno membubarkan DPR ,karena berselisih pendapat mengenai penyusunan RAPBN dengan DPR ,melalui Penpres No.3 1960. Setelah itu Soekarno mengatur kembali membentuk dan menyusun kembali susunan DPR-GR melalui Keppres No.156 1960 dan Penpres No.4 1960, adapun salah satu tugas DPR- GR adalah bahwa pimpinan DPR-GR memberikan laporan pada waktu-waktu tertentu pada Presiden dan hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 5 ,20 ,dan 21 UUD 1945.

4. Pembentukan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara)

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah. Padahal, pemerintah dipegang sepenuhnya oleh Presiden.

5. Pembentukan Front Nasional

Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945.

6. Keterlibatan PKI dalam Nasakom (Nasio, Agama dan Komunis)

Konsep Nasakom yang diusung Presiden Soekarno dimanfaatkan oleh PKI untuk menyebar luaskan pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan politik bangsa Indonesia. Keterlibatan PKI tersebut menyebarkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Konsep Nasakom yang digunakan untuk mencapai persatuan Nasional nyata-nyata bertentangan dengan Sistem konstitusi Indonesia terutama Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945

Selain itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap Angkatan Darat yang saat itu tumbuh menjadi salah satu kekuatan sosial politik disamping Soekarno dan PKI melalui konsep Dwi Fungsi ABRI-nya.

7. Pembentukan Kabinet Kerja

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Ketua Dewan Perwakilan rakyat Gotong Royong diangkat sebagai menteri. Tindakan ini bertentangan dengan UUD 45, sebab kedudukan DPR selaku lembaga legislatif sejajar dengan kedudukan Presiden selaku eksekutif. Dengan diangkatnya Ketua MPRS dan DPRGR sebagai menteri, di mana dalam UUD 45 dinyatakan bahwa kedudukan menteri adalah sebagai pembantu Presiden, maka tindakan tersebut secara terang-terangan telah merendahkan martabat lembaga legislatif.

8. Adanya ajaran Resopim

Adanya ajaran RESOPIM. Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional) adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.

9. Peran ABRI

ABRI yang harusnya menjaga keamanan dan pertahanan negara, malah menjadi kekuatan politik yang sangat kuat. Apalagi saat 1/3 menteri di kabinet kerja diisi oleh anggota ABRI.

10. Kehidupan Partai Politik

Penyederhanaan yang dimaksud adalah pembubaran partai-partai politik yang tidak sesuai dengan Penpres no.7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal 11 partai. Kedudukan presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan 2 partai politik yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan karena kedua partai tersebut terlibat dlm pemberontakan PRRI & Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960.

Sumber

Apa saja penyimpangan pada masa Demokrasi Terpimpin?

Apa saja penyimpangan pada masa Demokrasi Terpimpin?
Lihat Foto

kemdikbud.go.id

Demokrasi Terpimpin

KOMPAS.com - Pada tahun 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno menerapkan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin di Indonesia.

Demokrasi Terpimpin dijalankan berdasarkan Dekret Presiden Soekarno 5 Juli 1959 dan Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965.

Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sesuai dengan UUD 1945.

Namun, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan. Maksudnya adalah demokrasi yang berlandaskan musyawarah mufakat.

Meski begitu, Soekarno pernah melakukan beberapa penyelewengan, termasuk penyimpangan politik luar negeri.

Berikut ini penyimpangan kebijakan politik luar negeri yang pernah terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin.

Baca juga: Kegagalan Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin

Proyek Mercusuar

Awal dimulainya Proyek Mercusuar yaitu saat Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games tahun 1962.

Mengetahui hal itu, Presiden Soekarno ingin mengagung-agungkan kemegahan Indonesia di mata dunia luar.

Untuk itu, melalui Proyek Mercusuar, Presiden Soekarno menjalankan enam proyek pembangunan, yakni:

  1. Stadion Gelora Bung Karno
  2. Hotel Indonesia
  3. Jembatan Semanggi
  4. Monumen Selamat Datang
  5. Monas
  6. Gedung DPR/MPR

Semua proyek ini membuat beban anggaran melonjak tajam hingga terjadi krisis ekonomi di Indonesia.

Baca juga: Proyek Mercusuar Soekarno

MUHAMMAD FARIZAN
XII MIPA 6

Penyimpangan Demokrasi Terpimpin terhadap UUD 1945: 1. Pembentukan MPRS:

Presiden Soekarno membentuk sendiri MPRS melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959. Padahal, seharusnya MPRS dipilih melalui pemilihan umum (pemilu) yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pengangkatan presiden seumur hidup:
karena tidak ada aturan tentang jabatan presiden seumur hidup. Menurut pasal 7 UUD 1945 (sebelum diamandemen), presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya boleh dipilih kembali.

3. Konfrontasi dengan Malaysia:
Presiden Soekarno menganggap bahwa Federasi Malaysia merupakan proyek Neo Kolonialisme Imperialisme (Nekolim) Inggris yang sangat membahayakan revolusi Indonesia. Oleh sebab itu, Soekarno ingin Indonesia harus mencegah berdirinya Malaysia. Untuk mewujudkan cita-citanya, Presiden Soekarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Setelah dikeluarkannya Dwikora, dibentuklah suatu komando penyerangan yang diberi nama Komando Mandala Siaga (Kolaga) di bawah pimpinan Marsekal Madya Oemar Dhani.

4. Indonesia melaksanakan Politik Mercusuar: Politik mercusuar adalah politik yang mengagungkan kemegahan Indonesia di mata dunia luar, seperti: a) Pembangunan Stadion Senayan Jakarta.

b) Penyelenggaraan pesta olahraga negara-negara Nefo di Jakarta yang disebut Ganefo.

5. Indonesia membagi kekuatan politik dunia menjadi dua: a) Nefo (New Emerging Forces), yaitu negara-negara baru penentang imperialisme dan kapitalisme.

b) Oldefo (Old Established Forces), yaitu negara-negara Barat yang menganut imperialisme dan kapitalisme.

6. Lembaga-lembaga negara mempunya inti Nasionalisme Agama Komunis (Nasakom):
Gagasan Nasakom sudah dicetuskan Soekarno sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1927, ia menulis rangkaian artikel berjudul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” dalam Indonesia Moeda, sebuah publikasi terbitan “Klub Studi Umum”, klub yang didirikan Soekarno dan rekan-rekannya di Bandung. Ia mengusulkan campuran antara tiga unsur yakni; nasionalisme, agama, dan komunisme menjadi pemerintahan kooperatif yang disingkat ‘Nas-A-Kom’. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan tiga faksi utama dalam politik Indonesia ketika itu, yakni – tentara, kelompok-kelompok Islam, dan komunis. Dengan dukungan dari militer, pada bulan Februari 1956, ia menyatakan ‘Demokrasi Terpimpin’, dan mengusulkan kabinet yang akan mewakili semua partai politik penting (termasuk PKI).

7. Prosedur pembentukan DPAS:
DPAS dibentuk dengan berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959. Tugas DPAS adalah member jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah; DPAS dipimpin oleh presiden sebagai ketua; Sebelum memangku jabatan, Wakil Ketua dan anggota DPAS mengangkat sumpah/janji di hadapan presiden; DPAS dilantik pada pada tanggal 15 Agustus 1945. Pembentukan DPAS ini menyalahi prosedur karena dibentuk oleh presiden sendiri dan dikepalai oleh presiden.

8. Prosedur pembentukan MPRS: Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) adalah cikal bakal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tertinggi negara Republik Indonesia. MPRS dibentuk berdasarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden RI Soekarno. Tugas MPRS adalah mengesahkan GBHN. Dalam sidangnya MPRS sudah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain, Penetapan manifesto politik sebagai GBHN, Pentapan garis garis besar pembangunan nasional berencana tahap 1 (1961-1969),

Menetapkan presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup.

9. Kedudukan MPR di bawah presiden:
Pada masa demokrasi terpimpin, MPR tunduk pada presiden. Presiden memiliki kekuasaan yang besar terhadap MPR, keputusan yang dibuat MPR merupakan keputusan dari presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR dan Presiden berkedudukan sejajar, memiliki tugas masing-masing dan saling koordinasi.

10. Prosedur pembentukan DPAS:
DPAS dibentuk dengan berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959. Tugas DPAS adalah member jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah; DPAS dipimpin oleh presiden sebagai ketua; Sebelum memangku jabatan, Wakil Ketua dan anggota DPAS mengangkat sumpah/janji di hadapan presiden; DPAS dilantik pada pada tanggal 15 Agustus 1945. Pembentukan DPAS ini menyalahi prosedur karena dibentuk oleh presiden sendiri dan dikepalai oleh presiden.

11. Prosedur pembentukan DPRGR:
Pada tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno, karena menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Tidak lama kemudian Presiden berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden mewakili golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara pelantikan tersebut, Presiden Soekarno menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin.