Apa permasalahan utama dalam pembangunan pertanian saat ini?

Laporan oleh Arif Maulana

Apa permasalahan utama dalam pembangunan pertanian saat ini?
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Dr. Tomy Perdana, M.M., saat menjadi pembicara dalam acara Sosialisasi Tanihub Group Project Challenge “Agrifuture for Everyone: Membangun Ekosistem Pertanian Indonesia” yang digelar secara daring, Senin (5/10).*

[unpad.ac.id, 5/10/2020] Sebagai negara dengan potensi keanekaragaman hayati terbesar di dunia ditambah dengan kekayaan energi matahari dan curah hujan baik, kemajuan pertanian Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Dibutuhkan berbagai inovasi agar pertanian Indonesia mampu memiliki daya saing.

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Dr. Tomy Perdana, M.M., mengatakan, tantangan di sektor pertanian saat ini menjadi semakin menarik. Apalagi bila dihadapkan dengan situasi pandemi Covid-19. Situasi ini melahirkan permasalahan yang kompleks dan semakin tidak pasti.

“Sehingga mendorong kita semua dalam menyelesaikan persoalan di pertanian ini harus lebih cerdas,” ungkap Tomy saat menjadi pembicara dalam acara Sosialisasi Tanihub Group Project Challenge “Agrifuture for Everyone: Membangun Ekosistem Pertanian Indonesia” yang digelar secara daring, Senin (5/10).

[irp]

Sosialisasi ini digelar atas kerja sama Unpad melalui Pusat Pengembangan Karier (PPK) Direktorat Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni dengan Tanihub Group. Acara dibuka secara resmi oleh Direktur Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni Unpad Dr. Boy Yoseph Cahya Sunan Sakti Syah Alam, M.T., dan dimoderatori Kepala Kantor PPK Unpad Dr. Rosaria Mita Amalia, M.Hum.

Penyelesaian permasalahan tersebut ternyata tidak lagi menjadi tanggung jawab bidang ilmu pertanian. Seluruh bidang keilmuan berperan penting dalam menyelesaikan permasalahan di pertanian.

Peneliti rantai pasok pangan ini memaparkan sejumlah isu dan tantangan pertanian Indonesia saat ini. Beberapa di antaranya adalah daya saing produk pertanian yang rendah; ketersediaan bibit, pupuk, dan pestisida; rendahnya pengetahuan petani akan teknologi; masih rendahnya wawasan food losses dan waste management; manajemen logistik, hingga regenerasi petani.

[irp]

Tomy juga menjelaskan, walaupun Indonesia dikaruniai bidoversitas dan energi yang besar, sebagian besar sistem pertaniannya masih berskala kecil dan belum berkelanjutan. “Di satu sisi kita punya sifat alami yang luar biasa, tetapi di satu sisi di kita yang banyak berkembang petani berskala kecil sehingga sistem pertaniannya harus kita kembangkan secara inklusif,” terangnya.

Head of Partnership & Social Impact Tanihub Group Deeng Sanyoto memetakan sejumlah permasalahan riil yang terjadi di sektor pertanian Indonesia. Masalah tersebut mulai dari pra-panen, masa panen, pasca-panen, distribusi, hingga proses pengemasan.

Apa permasalahan utama dalam pembangunan pertanian saat ini?

Kondisi ini mendorong sejumlah pihak berupaya untuk mencarikan inovasi untuk mendukung kemajuan ekosistem pertanian. Salah satunya adalah Tanihub. Hal ini diwujudkan melalui program “Tanihub Group Project Challenge”.

[irp]

Program yang digelar atas kerja sama Tanihub dengan Unpad ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa, alumni, dan dosen untuk menciptakan konsep dan gagasan mengenai inovasi yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan di lapangan. Mulai dari petani, pelaku pasar, hingga bidang lain yang berpengaruh langsung pada bidang pertanian.

Melalui program ini, generasi muda diharapkan menjadi solusi atas beragam tantangan yang terjadi di dunia pertanian Indonesia.

Selain itu, program ini juga menjadi salah satu implementasi  kebijakan Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di Unpad. Dengan demikian, peserta program tidak hanya berasal dari rumpun keilmuan agrokompleks, tetapi juga terbuka untuk bidang keilmuan lainnya.

Informasi lebih lanjut mengenai program “Tanihub Group Project Challenge” bisa dilihat pada tautan: blog.tanihub.com.*

Nadifa Maya Reswari

G021201094

Sebelum membahas lebih dalam mengenai permasalahan sosial ekonomi pertanian di Indonesia, ada baiknya jika memahami atau mengetahui apa pengertian dari sosial ekonomi pertanian itu sendiri. Sosial Ekonomi Pertanian adalah Ilmu tentang seluk beluk usaha atau bisnis yang memanfaatkan pertanian sebagai komoditas. Di mulai dari usaha untuk menghasilkan produksi pertanian, sampai dengan pengelolaan hasil pertanian pula.

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengidentifikasi lima persoalan yang masih akan menimpa sektor pertanian dalam negeri selama lima tahun ke depan. Sekretaris Jenderal HKTI Bambang Budi Waluyo mengatakan bahwa persoalan pertanian itu tidak hanya terjadi pada lahan persawahan, melainkan pada lahan kehutanan dan rempah-rempah.

Masalah pertama adalah permodalan, kedua lahan makin sulit, ketiga teknologi pertanian modern, keempat persoalan pupuk, dan kelima soal pemasarannya.

Salah satu masalah yang telah disebutkan oleh Sekretaris Jendral HKTI yaitu lahan di Indonesia makin sempit. Permasalahan ini diakibatkan oleh alih fungsi lahan yang setiap tahunnya terus bertambah. Berdasarkan hasil rilis BPS 2018, melaui data yang diambil citra satelit melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA), luas lahan baku sawah di Indonesia mengalami penurunan menjadi 7,1 juta hektare. Padahal luas lahan sebelumnya mencapai 7,75 juta hektare.

Hasil ini mengidentifikasikan bahwa ada kecenderungan alihfungsi lahan meningkat dari lahan pertanian ke non - pertanian yang telah menyebabkan susutnya lahan pertanian secara progresif. Sejatinya, pemerintah telah memiliki UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Sebagaimana diketahui dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 dimana setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin

pengalihfungsian lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka bisa dikenakan pidana sanksi penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 5 miliar.

Alih fungsi lahan sudah menjadi permasalahan yang sering terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan yaitu pertama, kurangnya sosialisasi mengenai Undang-Undang alih fungsi lahan. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya jika terdapat aparat pemerintahan yang menerbitkan izin pengalihfungsihan lahan yang tidak semestinya maka akan dikenakan sanksi penjara atau denda.

Kedua, faktor ekonomi dimana pemilik lahan ditawarkan harga beli yang tinggi oleh investor. Para pemilik lahan yang tidak tahu mengenai alih fungsi lahan akan terpengaruh atau tergiur dengan harga yang ditawarkan oleh investor yang biasanya lebih mahal 2 kali lipat dari harga biasanya, sehingga para pemilik lahan berpikir akan lebih baik jika lahannya dijual ke investor karena bisa membeli lahan yang lebih murah di tempat lain.

Ketiga, lahan yang di alih fungsikan dipergunakan untuk kepentingan bersama seperti SPBU, dan Bandara. Hal ini juga mendapatkan syarat jika ingin diwujudkan, jika terdapat kelebihan lahan maka lahan tersebut harus di uji tingkat kesuburan tanah serta masih layak untuk dipergunakan sebagai tempat pertanian atau tidak.

Kementerian Pertanian dalam menghadapi permasalahan ini telah secara aktif melakukan upaya pencegahan alih fungsi lahan secara masif melalui pemberian insentif bagi pemilik lahan, diantaranya dengan memberikan berbagai bantuan saprodi seperti alat mesin pertanian, pupuk, dan benih bersubsidi. Selain itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo saat ini tengah mengupayakan pencegahan alih fungsi lahan dengan single data lahan pertanian dalam jangka pendek, dimana Bapak Syahrul Yasin Limpo (Menpan) mengatakan bahwa data pertanian harus seragam, sehingga data yang dipegang oleh Presiden, Gubernur, Bupati, Camat sampai kepala desa semuanya sama sehingga tidak ada kesalahan data termasuk dalam masalah lahan dan produksi. Dengan data yang akurat dapat menciptakan banyak program tepat guna serta tepat sasaran untuk para petani di seluruh Indonesia.

Selain permasalahan mengenai alih fungsi lahan, terdapat pula masalah yang biasa terjadi di Indonesia yaitu menurunnya keinginan generasi muda untuk menjadi petani. Rendahnya minat generasi muda pada pertanian tidak hanya disebabkan karena penghasilannya rendah. Tetapi dapat juga diakibatkan oleh terbatasnya akses terhadap lahan, membuat anak muda memilih pekerjaan lain ketimbang menjadi petani. Terdapat satu lembaga yang melakukan penelitian tentang bagaimana generasi muda terus berusaha untuk tetap bertani. Hasil dari lembaga tersebut mengatakan bahwa generasi muda tidak tertarik bertani karena ketinggalan jaman, kotor, dan sebagainya. Sebenarnya yang terjadi pada kondisi sekarang yaitu terdapat tantangan yang harus dihadapi anak muda untuk bertani.

Tantangan yang dihadapi oleh generasi muda ini adalah terhambat mendapatkan akses lahan. Akses terhadap lahan pertanian biasanya didapatkan setelah menikah atau setelah orangtua meninggal dunia. Sebelum mendapat akses lahan, anak-anak muda biasanya bekerja di bidang lain dahulu, atau bagi yang berada di pedesaan mereka memilih pindah ke kota untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hal ini selaras dengan data yang telah dianalisis mengenai usia petani di Indonesia yang semakin tua. Dalam 30 tahun terakhir, kelompok usia petani di bawah 35 tahun menurun dari 25% menjadi 13%. Sementara, petani yang berusia di atas 55 tahun meningkat dari 18% menjadi 33%. Di lain sisi, data BPS tahun 2017 menunjukkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) kelompok usia muda di Indonesia mencapai 14,02%, atau naik 0,58 persen dari tahun sebelumnya. Angka tersebut berarti, dari 100 angkatan kerja pemuda, terdapat sekitar 14 pemuda yang tidak bekerja.

Pemerintah dalam menanggapi permasalahan yang terjadi ini memunculkan konsep pertanian modern. Pertanian modern adalah praktik pertanian yang menggunakan ilmu dan teknologi terkini untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas proses sekaligus mengurangi input sumber daya alam seperti lahan, air, dan energi.

Pertanian modern juga melibatkan penggunaan berbagai mesin, rekayasa genetik, sistem informasi, dan lainnya. Di Indonesia, program ini belum diterapkan secara merata. Tetapi hal yang paling menonjol adalah bantuan pemerintah dalam memberikan mesin-mesin pertanian dalam skala besar untuk modernisasi pertanian yang penyaluran bantuan tersebut disalurkan melalui kelompok tani yang telah terdaftar pada dinas pertanian di daerah masing – masing.

Konsep yang dihadirkan oleh pemerintah ini bertujuan untuk mensejahterakan petani, tetapi hal tersebut dapat sukses terlaksana jika sikap petani selaras dengan kebiasaan baru atau program yang ditawarkan oleh pemerintah. Jika petani memiliki keinginan untuk melakukan atau mempelajari sesuatu hal yang baru maka permasalahan – permasalahan yang hadir pada sektor pertanian di Indonesia akan teratasi sedikit demi sedikit. Tentunya dengan peran pemerintah juga, yang terus mendampingi dan tidak bosan untuk melakukan sosialisasi kepada petani serta terus melakukan penyuluhan secara bertahap mengenai bagaimana cara penggunaan dan pelaksanaannya sampai semua kalangan petani baik yang berusia 35 tahun ke bawah dan yang berusia 55 tahun ke atas juga dapat menerapkan pertanian modern ini. Jika semua petani sudah mulai beradaptasi dengan pertanian modern ini maka permasalahan yang di sebutkan oleh Sekretaris Jenderal HKTI Bambang Budi Waluyo tadi pasti dapat teratasi.

Dwi Aditya Putra. 2020. Daftar Permasalahan Sektor Pertanian Sepanjang 2020. Dikutip dari (https://m.merdeka.com/uang/daftar-permasalahan-sektor- pertanian-sepanjang-2020.html/ , diakses pada 31 Desember 2020).

Ginting, M. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian padi sawah terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus di desa Munte Kabupaten Karo). Tesis , Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Suprianto, Cahrial E., Nuryaman H. 2019. Faktor-Faktor Pendorong Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Tasikmalaya. Jurnal Agristan. Volume 1, Nomor 1, Mei 2019.

Lia Elita. 2020. Mampukah Pertanian Modern jadi Solusi Bagi Petani Indonesia?. Dikutip dari (https://ketik.unpad.ac.id/posts/104/mampukah-pertanian- modern -jadi-solusi-bagi-petani-indonesia-2/ , diakses pada 28 September 2020).