Apa dasar hukum penetapan harga

PP 25/1977, STANDAR PENETAPAN HARGA INDONESIA........

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 25 TAHUN 1977

TENTANG

STANDAR PENETAPAN HARGA INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang �� :���� a.�� bahwa pengaturan standar penetapan harga guna perhitungan bea masuk atas barang impor diperlukan untuk dapat menjamin peningkatan penerimaan Negara di satu pihak dan memberikan kepastian hukum bagi para wajib pajak di lain pihak ;

b.�� bahwa ketentuan mengenai penetapan harga guna perhitungan bea masuk atas barang impor yang selama ini berlaku adalah tidak lengkap, sehingga dipandang perlu untuk menentukan standar penetapan harga Indonesia yang sesuai dengan perkembangan perdagangan internasional

Mengingat ���� :���� 1.�� Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

2.�� Indische Tariefwet (Stbl. 1873 No. 35) sebagaimana telah diubah dan ditambah

3.�� Rechten Ordonnantie (Stbl. 1931 No. 471) sebagaimana telah diubah dan ditambah����

MEMUTUSKAN:

Menetapkan �� :���� PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR PENETAPAN HARGA INDONESIA.

Pasal 1

Harga barang untuk pemungutan bea masuk, disebut harga normal, adalah harga yang dapat dicapai pada saat bea masuk tersebut wajib dibayar berdasarkan penjualan di pasaran bebas antara penjual dan pembeli yang tidak terikat oleh sesuatu ikatan khusus sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6.

Pasal 2

Harga normal setiap barang impor ditentukan berdasarkan anggapan

a.�� bahwa barang tersebut diserahkan kepada pembeli ditempat kedatangan pertama di Indonesia;

b.�� bahwa penjual menanggung semua biaya yang menyangkut penjualan barang dan penyerahannya di tempat kedatangan pertama di Indonesia, yakni biaya-biaya yang diperhitungkan dalam harga normal;

c.�� bahwa pembeli menanggung semua bea dan pungutan lainnya yang berlaku di Indonesia, yakni bea dan pungutan yang tidak diperhitungkan dalam harga normal ;

d.�� bahwa penjualan merupakan penjualan jumlah barang yang akan ditetapkan harganya.

Pasal 3

Saat penetapan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ialah saat pemberitahuan pemasukan barang untuk dipakai.

Pasal 4

Tempat kedatangan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bagi barang-barang yang diangkut, baik melalui laut maupun melalui udara, ialah pelabuhan laut atau pelabuhan udara di Indonesia tempat barang itu pertama kali dibongkar dan dalam hal-hal lainnya ialah tempat barang itu diselesaikan oleh Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 5

Biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b terdiri dari

1.�� ongkos pengangkutan ,

2.�� biaya asuransi

3.�� biaya komisi.;

4.�� biaya perantara;

5.�� biaya-biaya yang dikeluarkan di luar negeri guna penyelesaian dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pemasukan.barang ke Indonesia, termasuk biaya konsuler

6.�� bea-bea dan pajak-pajak yang dikenakan di luar negeri, terkecuali apabila dibebaskan ataupun akan dikembalikan sebagai restitusi;

7.�� biaya-biaya peti kemas, terkecuali yang untuk pemungutan bea masuknya dikenakan pembebanan tersendiri, biaya pengepakan berupa tenaga kerja, bahan-bahan, dan lain sebagainya ;

8.�� biaya-biaya pemuatan.

Pasal 6

Penjualan di pasaran bebas antara penjual dan pembeli yang tidak terikat oleh sesuatu ikatan khusus ialah :

a.�� apabila pembayaran harga barang merupakan satu-satunya ikatan

b.�� apabila harga tidak dipengaruhi oleh sesuatu hubungan dagang, hubungan keuangan, atau hubungan lainnya antara penjual atau siapapun yang mempunyai hubungan usaha dengannya di satu pihak dan pembeli atau siapapun yang mempunyai hubungan usaha dengannya di lain pihak, kecuali hubungan penjualan tersebut ;

c.�� apabila tidak ada sesuatu bagianpun dari hasil penjualan kembali, atau pemindah tanganan secara lain, ataupun pemakaian barang tersebut, akan diterima oleh penjual atau rekan usahanya, baik langsung maupun tidak langsung.

Pasal 7

Seseorang dianggap mempunyai ikatan-ikatan khusus apabila ia dengan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, saling mempunyai kepentingan terhadap pihak ketiga, baik di bidang usaha maupun di bidang kekayaan.

Pasal 8

(1)Dalam hal suatu barang yang akan ditetapkan harganya,

����� a.�� dibuat menurut suatu penemuan yang dilindungi hak patent atau merupakan barang yang hak ciptanya (copyright) dilindungi hukum, atau

����� b.�� diimpor dengan mempergunakan merek dagang asing, atau

����� c.�� diimpor untuk dijual, untuk dipindah-tangankan dengan cara lain, atau untuk dipakai dengan mempergunakan merek dagang asing, maka harga normal ditetapkan berdasarkan anggapan, bahwa harga tersebut mencakup nilai hak untuk mempergunakan patent, desain, atau merek dagang atas barang tersebut.

(2)Ketentuan tersebut dalam ayat (1) berlaku juga terhadap hak cipta dan setiap hak lainnya sehubungan dengan karya. intelektuil atau penemuan perindustrian lainnya.

Pasal 9

Pengecualian terhadap ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dapat ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang hak-hak tersebut adalah milik seseorang atau sesuatu badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.

Pasal 10

Apabila suatu barang diimpor untuk dijual, untuk dipindahtangankan dengan cara lain, atau untuk dipakai setelah diolah lebih lanjut dengan mempergunakan merek dagang asing, maka harga normal mencakup nilai hak penggunaan merek dagang barang tersebut.

Pasal 11

Suatu merek dagang dipergunakan sebagai merek dagang asing apabila memenuhi salah satu ketentuan berikut :

a.�� merek dagang tersebut ialah milik seseorang yang menanam, memproduksi, menghasilkan, menawarkan untuk dijual, atau mengerjakan dengan cara lain di luar negeri;

b.�� merek dagang tersebut ialah milik seseorang yang mempunyai hubungan dagang dengan orang dimaksud dalam huruf a ;

c.�� merek dagang tersebut ialah milik seseorang yang haknya atas merek dimaksud dibatasi oleh suatu perjanjian dengan orang tersebut dalam huruf a atau huruf b.

Pasal 12

(1)Harga yang telah dibayar atau akan dibayar dapat diterima sebagai harga guna perhitungan bea masuk, jika pada saat penetapan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harga tersebut sesuai dengan harga normal, dan apabila dipandang perlu, disesuaikan dengan memperhatikan kondisi penjualan yang berbeda karena tidak merupakan harga normal yang terbentuk dalam penjualan dipasaran bebas.

(2)Penyesuaian dimaksud dalam ayat (1) khususnya diperlukan bagi :

����� a.�� penentuan biaya-biaya-sebagaimana dimaksud dalamPasal 2 huruf b jo. Pasal 5 ;

����� b.�� pengurangan-pengurangan harga lainnya yang diberikan kepada agen tunggal atau pemegang lisensi tunggal dan setiap orang yang bergerak dalam usaha sejenis ;

����� c.�� penentuan rabit luar biasa dan pengurangan-pengurangan lain dari harga bebas yang lazim.

Pasal 13

Menteri Keuangan dapat menetapkn jangka waktu berlakunya suatu faktur yang mencantumkan harga sesuatu barang.

Pasal 14

Apabila harga yang telah dibayar atau akan dibayar dinyatakan dalam mata uang selain rupiah, maka mata uang asing tersebut harus dijabarkan dalam mata uang rupiah menurut kurs resmi yang berlaku pada saat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 15

Importir atau orangyang mempunyai hubungan dengan pemasukan barang, atas permintaan dan dengan cara yang akan ditetapkan wajib menyerahkan kepada Menteri Keuangan atau pejabat lain yang ditunjuknya segala keterangan yang perlu untuk penetapan harga yang tepat dan menyerahkan segala buku, perhitungan, atau dokumen lain yang bagaimanapun sifatnya sehubungan dengan pembelian, pemasukan, atau penyerahan barang yang dilakukannya.

Pasal 16

Ketentuan-ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan setelah mendengar Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian.

Pasal 17

Peraturan Pemerintah tentang Standar Penetapan Harga Indonesia ini dapat disebut Peraturan Pemerintah tentang S.P.H.I.

Pasal 18

Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 26 April 1977

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

������ Ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 26 April 1977

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

����������� �� ttd

SUDHARMONO, SH.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN1977 NOMOR 35

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 25 TAHUN 1977

TENTANG

STANDAR PENETAPAN HARGA INDONESIA

UMUM

Penetapan harga barang impor guna perhitungan bea masuk merupakan salah satu faktor yang penting dalam rangka peningkatan penerimaan Negara dalam bidang impor. Oleh karena itu dipandang perlu untuk mengadakan ketentuan-ketentuan terperinci tentang cara-cara penetapan harga tersebut dengan tujuan agar sejauh mungkin dapat dihindarkan perselisihan-perselisihan pendapat antara importir/Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL)/Ekspedisi Muatan Kapal Udara (EMKU) dengan Pejabat Bea dan, Cukai dan dengan demikian akan membantu kelancaran penyaluran barang-barang impor.

Menurut Pasal 19 Rechten Ordonnantie (Stbl. 1931 Nomor 471) maka Menteri Keuangan setelah berunding dengan Dewan Niaga menetapkan daftar harga untuk perhitungan bea masuk dan bea keluar bagi barang-barang yang menurut pendapatnya dapat ditetapkan harganya menurut ukuran,timbangan, atau satuan penjualan menurut kebiasaan perdagangan. Dengan perkataan lain dapatlah kiranya dikemukakan, bahwa identitas sesuatu jenis barang dalam daftar harga harus diuraikan sejelas mungkin untuk memudahkan penetapan harganya. Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut banyak dijumpai kesulitan untuk menerbitkan daftar harga bersangkutan, antara lain karena jumlah dan jenis barang-barang impor selalu berubah sesuai dengan perkembangan mode dan teknologi, sedangkan informasi harga yang dapat diperoleh sangat sedikit dan sering terlambat. Demikian pula selalu terdapat kelambatan dalam penyusunan rancangan, pencetakan, pengiriman daftar harga dimaksud ke kantor-kantor Bea dan Cukai di daerah sehingga daftar harga yang baru dikeluarkan mungkin sebahagian sudah tidak sesuai lagi dengan harga-harga ��terakhir ��di pasaran ��luar ��negeri.

Sehubungan dengan kesulitan-kesulitan tersebut diatas, tidak dapat dihindarkan, bahwa tidak banyak jenis barang-barang impor yang dapat dimasukkan dalam daftar harga. Bagi barang-barang impor yang tidak tercantum dalam daftar harga itu berlaku catatan harga yang ada pada masing-masing kantor Bea dan Cukai,yang dengan sendirinya mungkin dapat berbeda satu dengan yang lain. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1969 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1973 antara lain disebutkan,bahwa bagi barang-barang yang dikenakan bea masuk menurut harga, harus diberitahukan harga Cost, Insurance dan Freight.

Pada hakekatnya penetapan harga dimaksud adalah merupakan pelaksanaan ayat (2) Pasal 31 Reglemen A Rechten Ordonnantie (Stbl. 1931 Nomor 471)yang antara lain menyebutkan, bahwa bagi barang-barang yang termasuk dalam daftar harga harus diberitahukan harga menurut daftar harga bersangkutan, sedangkan untuk barang-barang lainnya harus diberitahukan harga entrepot.

Meskipun Pasal 31 Reglemen A Rechten Ordonnantie (Stbl. 1931 Nomor 471) maupun perundang-undangan pabean yang berlaku tidak memberikan penjelasan resmi tentang pengertian harga entrepot, namun yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah harga barang-barang impor yang paling akhir dapat ditawarkan oleh tangan pertama di luar negeri sampai barang-barang tersebut berada di gudang pelabuhan pada saat bea masuk wajib dibayar, dan merupakan alat suatu persetujuan jual-beli yang normal. Karena itu harga entrepot terdiri dari harga barang (cost) assuransi (insurance), ongkos pengangkutan (freight), komisi, dan ongkos bongkar.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

����� Dalam penetapan harga guna perhitungan bea masuk kita kenal dua macam konsep, yaitu konsep positip (positive concept) dan konsep hipotetis (national concept).

����� Menurut konsep positip harga untuk perhitungan bea masuk adalah harga sebenarnya sebagai akibat suatu persetujuan jual-beli, sedangkan menurut konsep hipotetis harga pembelian sebenarnya belum tentu dapat diterima sebagai harga untuk perhitungan bea masuk. Harga tersebut masih harus diteliti apakah pada saat pembayaran bea masuk telah sesuai dengan harga barang-barang yang sama ataupun yang serupa dari transaksi jual-beli yang lain, baik dari negara yang sama maupun dari negara asal lainnya. Apabila pada penelitian ternyata, bahwa harga pembelian sebenarnya lebih rendah daripada catatan harga yang ada harus diadakan penyesuaian seperlunya.

����� Standar penetapan Harga Indonesia (S.P.H.I.) menganut konsep hipotetis sebagaimana tercantum dalam pasal ini. Harga barang untuk pemungutan bea masuk adalah harga normal, yaitu harga yang dapat dicapai pada saat bea masuk wajib dibayar berdasarkan penjualan di pasaran bebas antara penjual dan pembeli tanpa sesuatu ikatan khusus.

����� Jelaslah kiranya, bahwa harga normal sebagai dasar perhitungan bea masuk belum tentu sama besar dengan harga pembelian sebenarnya di luar negeri. Harga terakhir ini hanya dapat dijadikan dasar perhitungan bea masuk apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1 dan Pasal 2

Pasal 2

����� a, b, dan c. Cukup jelas.

����� d.�� Adalah suatu kelaziman dalam bidang perdagangan, bahwa harga jual sesuatu jenis barang ditentukan dengan mengingat jumlah barang bersangkutan. Oleh karena itu menurut S.P.H.I. terdapat kemungkinan, bahwa harga untuk perhitungan bea masuk sesuatu partai barang impor yang sama jenis dan mutunya, berbeda karena berbeda jumlahnya.

Pasal 3

����� Pada umumnya pemberitahuan pemasukan untuk dipakai harus dilakukan secara tertulis. Dalam hal-hal tertentu pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan.

����� Misalnya untuk barang-barang penumpang dan barang-barang awak kapal selama tidak merupakan barang dagangan.

Pasal 4

����� Tempat barang-barang impor dipindah-kapalkan ataupun dibongkar yang pertama kali dianggap sebagai tempat pemasukan barang. Jelaslah kiranya, bahwa tempat tersebut belum tentu merupakan tempat pemasukan barang impor bersangkutan. Apabila barang-barang impor dibongkar pada tempat-tempat yang tidak ditunjuk untuk keperluan dimaksud, maka tempat tersebut dianggap sebagai tempat pemasukan barang, yaitu bilamana pembongkaran sedemikian diketahui dan kemudian ditindak oleh petugas pabean.

Pasal 5

����� Dalam pasal ini dengan jelas diperincikan semua biaya yang telah dikeluarkan di luar negeri sehubungan dengan penyerahan barang impor hingga di gudang pelabuhan di Indonesia. Apabila kita teliti satu demi satu akan dapat kita ketahui, bahwa pada waktu yang lalu tidak semua biaya yang tercantum dalam pasal ini telah termasuk dalam penetapan harga guna perhitungan bea masuk.

Pasal 6

����� Cukup jelas.

Pasal 7

����� Ikatan-ikatan khusus yang dimaksudkan disini ialah misalnya ikatan antara pusat perusahaan dan cabangnya; perusahaan yang menjual dan perusahaan yang membeli adalah milik seseorang yang sama; pemilik perusahaan yang menjual mempunyai hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan yang membeli; importir yang hanya bertindak sebagai agen penjualan maupun perwakilan dari eksportir di luar negeri dan sebagainya. Hubungan-hubungan demikian banyak terdapat dalam perdagangan antara Hongkong/Singapura dan Indonesia.

����� ����� Dalam hal demikian maka harga yang dicantumkan dalam faktur harus diteliti dengan lebih mendalam karena biasanya harga tersebut adalah lebih rendah dari pada harga yang terbentuk dalam penjualan di pasaran bebas.

Pasal 8

����� Ayat (1)

����� ����� Dalam bidang perdagangan internasional adalah lazim, bahwa kedalam harga jual sesuatu jenis barang yang penemuannya dilindungi hak patent atau yang hak ciptanya dilindungi hukum serta yang memakai merek dagang asing, termasuk juga nilai dari hak-hak tersebut; demikian pula termasuk nilai semua hak yang timbul dari karya intelektuil (intellectual property) dan penemuan perindustrian (industrial property) sehubungan dengan pembuatan barang bersangkutan.

����������� Meskipun begitu, pada waktu yang lalu nilai hak-hak sedemikian belum dimasukkan dalam penetapan harga guna perhitungan bea masuk.

����� Ayat (2)

����� ����� Cukup jelas.

Pasal 9

����������� Cukup jelas.

Pasal 10

����� Meskipun pada waktu pemasukannya sesuatu jenis barang impor tidak menggunakan merek dagang asing, akan tetapi apabila sesudah pemasukannya ke peredaran bebas kemudian barang bersangkutan dikerjakan lebih lanjut, diolah dan sebagainya dan kemudian dijual di dalam negeri dengan menggunakan merek dagang asing, maka nilai merek dagang asing tersebut harus dimasukkan ke dalam harga untuk perhitungan bea masuk.

����� Oleh karena pembayaran nilai hak-hak dimaksud pada umumnya dilakukan secara terpisah, maka sulit diketahui pada saat pembayaran bea masuk. Dengan dimungkinkannya pabean untuk memeriksa pembukuan importir maka nilai hak-hak diatas akan lebih mudah diketahui.

Pasal 11 sampai dengan 15

����� Cukup jelas.

Pasal 16

����� Dalam menetapkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini Menteri Keuangan perlu mendengar dan memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Untuk itu diperlukan adanya sebuah team yang terdiri dari wakil-wakil Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian yang bertugas menghitung besarnya harga patokan barang impor dan merumuskan hal-hal lain yang bersangkutan dengan ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 17 sampai dengan Pasal 18

����� Cukup jelas.

����� TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3104

PP 34/1974, PENYERTAAN MODAL NEGARA REPUBLIK........

Apa isi dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999?

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Bagaimana pengaturan larangan penetapan harga dalam UU Nomor 5 Tahun 1999?

Dalam ayat 1 pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada Page 16 13 pasar bersangkutan yang sama.

Mengapa perjanjian penetapan harga Dilarang?

Penetapan harga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hukum persaingan karena perilaku kesepakatan penetapan harga akan secara langsung menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara perusahaan-perusahaan yang ada di pasar.

Mengapa Pasal 7 UU No 5 Tahun 1999 melarang perjanjian penetapan harga dibawah harga pasar?

Perjanjian penetapan harga dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 disebabkan penetapan harga bersama-sama akan menyebabkan tidak dapat berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya tawaran dan permintaan. Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya.