Analisislah struktur teks novel Ronggeng Dukuh Paruk yang terlampir

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resensi Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Ronggeng Dukuh Paruk adalah bagian dari trilogi novel Ahmad Tohari, yaitu Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala. Masing-masing novel diterbitkan secara berurutan, tahun 1982, 1984, 1985.

Ronggeng Dukuh Paruk yang merupakan novel pertama dari trilogi tersebut membuka ceritanya dengan mendeskipsikan suatu keadaan sebuah perkampungan di daerah Jawa. Kampung tersebut memiliki suatu kebiasaan yang menjadi ciri khasnya, yaitu ronggeng. Cerita dimulai ketika Dukuh Paruk dengan segala kecabulan dan keterbelakangannya sudah selama hampir belasan tahun kehilangan seorang ronggeng. Ronggeng adalah suatu kebanggaan di Dukuh Paruk. Perempuan yang meronggeng tidak akan dianggap sebagai perempuan jalang. Justru mereka akan sangat bangga apabila ada salah satu dari keluarga mereka menjadi seorang ronggeng. Maka selama hampir belasan tahun tanpa ronggeng, Dukuh Paruk serasa mati. Dukuh Paruk tidak pernah menyalahkan keberadaan ronggeng karena leluhur mereka, Ki Secamenggala tidak pernah juga menyalahkannya. Ki Secamenggala dianggap sebagai orang yang pertama kali menduduki Dukuh Paruk. Menurut kepercayaan warga Dukuh Paruk, Ki Secamenggala adalah orang yang terasingkan dari lingkungan masyarakat sekitar karena kecabulannya, entah itu dalam berkata atau dalam berpikir. Namun, tidak seorang pun dari warga Dukuh Paruk yang menyalahkan sikap Ki Secamenggala tersebut. Mereka justru sangat menghormati keberadaan Ki Secamenggala. Itulah yang menjadi alasan mengapa hingga bertahun-tahun lamanya Dukuh Paruk tetap berada dalam kecabulannya. Mereka senantiasa merindukan tarian ronggeng dan irama musik yang acapkali mereka dengar dulu, sebelum ronggeng dukuh paruk kehilangan keberadaannya. Sekitar sebelas tahun lalu, Dukuh Paruk digemparkan dengan racun tempe bongkrek yang dibuat oleh sepasang suami istri, Santayib dan istrinya. Tempe bongkrek yang sering dibuatnya untuk kali itu menyebabkan kematian pada banyak penduduk yang memakannya termasuk Santayib dan istrinya. Hanya beberapa yang masih bertahan hidup sementara sisanya tidak tertolong lagi. Siapa yang tahu, bahwa kemudian anak dari pembuat tempe bongkrek yang menggemparkan warga sekampung itu adalah calon ronggeng. Ia lah Srintil, gadis kecil berusia sebelas tahun. Dengan kepercayaan bahwa Srintil telah dirasuki indang ronggeng, Srintil menjadi ronggeng dalam usianya yang baru sebelas tahun. Tidak ada yang dianggap sebagai pertentangan dengan norma apapun ketika seorang anak yang sepantasnya bersekolah, bermain, dan dilindungi orang tua berlenggak-lenggok menari erotis dengan tatapan menggoda sebagai seorang ronggeng. Mungkin hanya Rasus yang merasa tidak rela ketika Srintil disahkan menjadi ronggeng dan dimiliki oleh semua warga Dukuh Paruk. Rasus merasa ada yang diambil dari dirinya ketika Srintil dimiliki semua orang. Terlebih ketika Srintil harus menjalani malam buka kelambu, suatu persyaratan yang harus dipenuhi Srintil sebelum akhirnya dinyatakan sebagai seorang ronggeng dukuh paruk. Rasus kehilangan sosok yang dihormati pada diri Srintil. Rasus memutuskan pergi dan menjadi seorang tentara. Pada saat ia kembali ke Dukuh Paruk setelah berusia dua puluh tahun, Rasus mencoba melihat kewajaran pada pemahaman yang dimiliki Dukuh Paruk terhadap ronggeng, termasuk kewajaran pada kebanggaan Srintil sebagai seorang ronggeng. Rasus memutuskan pergi kembali untuk bergabung bersama tentara lainnya dengan pemahaman yang dibawanya bahwa Dukuh Paruk dengan segala keasliannya tidak akan pernah bisa diubah sampai kapan pun. Maka Dukuh Paruk akan tetap dengan ronggeng dan kecabulannya.

Unsur-unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk:

Tema

Tema yang terdapat dalam novel ini adalah kebudayaan. Sebuah budaya ronggeng yang dimiliki sebuah kampung bernama Dukuh Paruk.

Tokoh dan Penokohan

Tokoh-tokoh yang saya anggap menonjol dalam menggulirkan alur cerita dalam novel ini adalah sang ronggeng Srintil, sang tentara Rasus, Sakarya, Kartareja dan Istrinya.

Srintil adalah seorang anak yatim piatu yang bercita-cita menjadi ronggeng. Dia pandai memikat, pandai menari, senang dipuji, cantik.

Rasus adalah seorang anak laki-laki yatim piatu yang menyukai bahkan mengagumi Srintil karena sebuah alasan ia melihat sosok ibunya pada sosok Srintil. Rasus adalah anak yang rajin, terbukti semasa kecilnya ia kerap membantu neneknya menggembalakan kambing. Kemudian ketika dewasa ia tumbuh menjadi laki-laki yang patuh terhadap keharusan bahwa ia harus meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi seorang tentara. Ketika menjadi seorang tentara, Rasus tidak lagi ragu-ragu untuk memilih jalan yang seharusnya ia tempuh.

Sakarya, kakek Srintil yang amat patuh pada adat. Sakarya sangat memercayai keberadaan Ki Secamenggala. Sakarya bahkan membuat Srintil menjadi seorang ronggeng di usia muda.

Kartareja, seorang dukun ronggeng yang licik. Ketika malam buka kelambu, ia melakukan kelicikan pada dua orang pemuda yang mampu memenuhi persyaratan untuk bisa mewisuda keperawanan seorang ronggeng, Srintil.

Istri Kartareja juga sama halnya dengan suaminya, licik. Nyai Kartareja juga pandai memikat dan menaklukkan orang yang sedang emosi. Terbukti ketika Nyai Kartareja menaklukkan emosi dua orang pemuda yang hendak mewisuda keperawanan Srintil.

Ada pun tokoh-tokoh lainnya seperti Darsun, Warta, Sakum, Santayib, Istri Santayib, Nenek Rasus, Nyai Sakarya, Siti, Ibu Siti, dan warga Dukuh Paruk lainnya, juga sang leluhur yang sosoknya selalu disebut-sebut warga Dukuh Paruk; Ki Secamenggala.

Alur

Alur yang digunakan adalah alur campuran. Ceritanya terkadang melaju ke masa depan, namun juga terkadang mengulas masa lalu. Menurut saya, alur yang digunakan dalam penceritaan ini sangat meloncat-loncat. Untuk pertama kali, Rasus menceritakan kehidupannya di usia empat belas tahun, lalu tiba-tiba ia menjadi tentara dan usianya dua puluh tahun. Jalan cerita tidak sedikit pun menjabarkan tentang bagaimana Rasus menjadi seorang tentara dan Srintil mulai beranjak menjadi wanita dewasa. Ada pun kilas balik ke masa yang lebih dulu, ketika Srintil masih bayi dan keracunan akibat tempe bongkrek itu terjadi, setidaknya itu lebih jelas penjabaran alur ceritanya. Namun, seperti ada sesuatu yang hilang atau mungkin memang disengaja ketika penggunaan alur penceritaan dari usia Rasus yang ke-14 tahun menuju penceritaan pada saat usia Rasus yang ke-20 tahun. Di akhir cerita pun seperti ada sesuatu yang menggantung, sesuatu yang belum selesai. Hal ini dapat dipahami karena novel ini adalah novel pertama dari trilogi novel yang ada. Kesimpulannya, alur dalam novel ini terkesan meloncat-loncat bagi saya.

Latar

Latar tempat

Latar tempat yang secara umum adalah di sebuah perkampungan yang bisa dikatakan sebagai perkampungan primitif.

Latar tempat lainnya yang lebih detail adalah:

·di bawah pohon nangka: “Di bawah pohon nangka itu mereka melihat Srintil sedang asyik bermain seorang diri.”

·di rumah Kartareja: “Kebekuan di beranda rumah Kartareja berakhir”

·di pekuburan Dukuh Paruk: “Di kaki bukit kecil di pekuburan Dukuh Paruk, Sakarya berdiri bersilang tangan.”

·di rumah nenek Rasus: “aku sengaja tidak keluar dari rumah Nenek.”

·di pasar: “Di sini memang pasar,...”

Dan beberapa latar tempat lainnya lagi.

Latar waktu

Latar waktu yang terdapat dalam novel ini adalah latar waktu tahun 1946 dan 1965.

Detailnya, latar waktu yang terdapat dalam novel adalah latar waktu pada saat:

·sore hari: “Demikian, sore itu Srintil menari dengan mata setengah tertutup”

·malam hari: “pada malam yang bening itu, tak ada anak Dukuh Paruk keluar halaman.”

Dan juga latar waktu di pagi dan siang hari yang tidak diperinci dalam tulisan ini.

Sudut Pandang

Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sebagai sudut pandang orang pertama serba tahu. Ahmad Tohari memasukkan sudut pandang keakuannya pada tokoh Rasus yang dibuat seolah tahu semua hal yang terjadi pada semua tokoh lainnya yang terdapat dalam novel ini.

Amanat

Sulit rasanya ketika saya harus memandang kebenaran berdasar pada kebenaran yang dipatuhi oleh cerita. Sementara kebenaran yang saya yakini sungguh jauh berbeda dengan yang terdapat dalam cerita. Namun, menilai karya sastra memanglah tidak dibenarkan jika memakai penilaian dari sudut pandang kesubjektifan.

Dengan segala keterbatasan penangkapan nilai-nilai dalam novel ini, mungkin amanat yang hendak disampaikan dari novel ini adalah keterbatasan hanya pada satu pemahaman tidak akan membuat kemajuan yang lebih pada kehidupan. Warga Dukuh Paruk boleh saja bahkan memang seharusnya menghargai adat yang berlaku sudah sekian lamanya, namun kebanggaan dan penghargaan tersebut jangan sampai menutup mata mereka terhadap kehidupan di luar Dukuh Paruk sehingga mereka buta sama sekali tentang kenyataan kehidupan di luar kampung mereka sendiri.

Tanggapan Saya Dalam Beberapa Hal Lainnya

Keadaan Batin Rasus

Rasus yang diam-diam sedari kecil menyukai Srintil didasari oleh alasan ia melihat sosok ibunya yang tidak pernah ia jumpai sama sekali ada dalam sosok Srintil. Namun, suatu ketika ia kecewa karena Srintil telah disahkan menjadi ronggeng yang pantas dimiliki bersama. Ada hal yang hilang dalam diri Rasus, yang seolah terenggut sebagai miliknya. Berulang-ulang penceritaan dalam novel ini menyinggung keadaan batin Rasus yang merindukan ibu dan ia menemukannya dalam sosok Srintil. Keadaan batin Rasus di satu ketika agaknya menjadi sebuah kritikan bagi para ahli yang bekerja dalam bidang kesehatan, seperti penggalan kalimat yang terdapat dalam cerita, yaitu:

“Entah di mana, entah di mana. Orang-orang pandai itu, siapa

pun dia, merasa berhak menyembunyikan kubur Emak. Aku yang pernah sembilan bulan

bersemayam dalam rahim Emak tidak perlu mengetahuinya.”

Tidak ada yang pernah berterus terang tentang kejadian yang terjadi pada ibu Rasus. Semua mengatakan dalam hal yang menggantung. Hingga hanya ada dua kemungkinan tentang ibunya dalam pikiran Rasus, yaitu antara ibunya mati dan mayatnya dicincang-cincang, dijadikan bahan penelitian tentang kasus racun tempe bongkrek oleh para ahli kesehatan atau kemungkinan kedua, ibu Rasus sembuh dari keracunan itu dan menjalani kehidupan di luar Dukuh Paruk bersama mantri yang merawatnya dan ia melupakan Rasus. Kemungkinan mana pun yang terjadi membuat Rasus menyimpan dendam pada mantri. Hingga di satu ketika ia berpikir telah menembak kepala sang mantri padahal yang ia tembak adalah batu. Batu itu hancur berkeping-keping dan dalam pandangan Rasus, kepingan batu-batu itu adalah kepingan kepala mantri yang ia tembak.

Ronggeng Bagi Warga Dukuh Paruk

Ronggeng bagi Dukuh Paruk seakan menjadi sesuatu yang amat berharga dan patut dimuliakan. Seorang istri bahkan tidak akan merasa dipermalukan bahkan merasa sangat bangga ketika suaminya mampu menjadi orang yang paling lama menari bersama sang ronggeng. Dua orang pemuda bahkan rela bertengkar demi dapat tidur bersama seorang ronggeng yang masih kanak-kanak. Esensi tentang kebenaran yang banyak disepakati seakan tidak berlaku bagi warga Dukuh Paruk. Ronggeng adalah suatu penghargaan terhadap leluhur, bukan pelanggaran terhadap norma. Tidak ada yang patut disalahkan dan dibenarkan karena adat yang mengakar telah menanamkan pemahaman yang jauh berbeda dengan kehidupan di luar Dukuh Paruk. Pernikahan bukan lagi sebagai sesuatu yang dianggap sakral karena setelah menikah pun seorang laki-laki masih dapat meniduri wanita bahkan istri orang lain. Dukuh Paruk tidak pernah mempermasalahkan jika ada sepasang manusia yang tidur bersama dan mereka bukan suami istri. Perkara yang mudah saja jika seorang suami menemukan istrinya tidur dengan suami orang lain, maka suami akan membalas meniduri istri orang yang meniduri istrinya. Tidak akan ada pertengkaran tentang kesusilaan di Dukuh Paruk karena mereka memiliki caranya sendiri dalam menyikapi hal tersebut.

Srintil Sebagai Perempuan Biasa

Srintil bangga menjadi seorang ronggeng karena banyak pujian dan pemanjaan akan didapatkannya. Tapi ketika akan dilaksanakan malam buka kelambu pun, ia sadar bahwa ia sedang diperjualbelikan. Bahkan ketika dewasa, ia banyak bercerita tentang harapannya menjadi seorang istri dan memiliki anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa seorang ronggeng sekalipun memiliki naluri sebagai perempuan normal, perempuan yang memiliki harapan untuk dapat menjadi seorang istri dan seorang ibu.

Menilai sosok Srintil dan Dukuh Paruk tidak akan terwakilkan dengan sempurna jika yang dinilai hanya dari satu novel karena novel ini adalah trilogi. Ada yang hilang, janggal, menggantung ketika novel ini selesai dibaca dan kemudian ditanggapi. Cukup kiranya jika saya hanya menuliskan hal-hal di atas sebagai pemandangan saya terhadap novel Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari.

17 Nopember 2012

Milenani Januari

Facebook: Nurasiyah Jamil

Twitter: @Nurasiyah8