Usaha sungguh sungguh yang dilakukan seseorang harus diiringi dengan

Usaha sungguh sungguh yang dilakukan seseorang harus diiringi dengan

Keseimbangan Antara Doa Dan Usaha

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Tujuan utama manusia diciptakan adalah beribadah hanya kepada Allah ﷻ, meskipun ada tujuan lainnya yaitu duniawi. Allah ﷻ berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”(Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56).

Tujuan yang bersifat duniawi dapat terhitung sebagai ibadah jika diniatkan untuk ibadah. Contohnya adalah ketika seseorang rutin melakukan aktivitas olahraga dengan niat mendapatkan jasmani yang sehat sehingga dapat beribadah kepada Allah ﷻ dengan maksimal, maka olahraga yang dilakukan dapat dihitung sebagai amal ibadah.

Berusaha dan berdoa merupakan dua hal yang penting ketika seseorang menginginkan sesuatu. Akan tetapi selain dua hal tersebut, terdapat beberapa hal penting yang harus dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh apa yang ia inginkan, yaitu:

  1. Diiringi dengan niat yang baik

Ketika seseorang menginginkan sesuatu, harus diiringi dengan niat yang baik. Ketika seseorang ingin kuliah di jurusan kedokteran, maka harus diniatkan untuk kebaikan dimana ketika lulus dan menjadi dokter, akan membantu orang lain. Niat merupakan suatu hal yang sangat penting, Rasulullah ﷺ bersabda, “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa perbuatan yang baik dan bermanfaat, jika diiringi dengan niat yang baik, ikhlas dan mengharap keridhaan Allah ﷻ, maka perbuatan tersebut merupakan ibadah.[1] Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan keridhaan Allah ﷻ, sehingga Allah ﷻ memudahkan seseorang untuk memperoleh apa yang diinginkannya.

Untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, seseorang harus berusaha dengan semaksimal mungkin agar keinginannya tercapai. Jika seseorang berkeinginan untuk kuliah di jurusan kedokteran, maka ia harus belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa kuliah di jurusan kedokteran.

Berusaha untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan tidak boleh dengan cara yang haram, seperti suap-menyuap. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada zaman saat ini banyak orang yang menginginkan sesuatu tetapi tidak ingin berusaha atau dengan kata lain melalui jalan pintas yakni dengan cara suap. Rasulullah ﷺ bersabda, “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada penyuap dan yang disuap” (H.R Ahmad, Ibnu Majah, dll).[2]

Memperoleh sesuatu tidak bisa hanya dengan cara berusaha saja, tetapi harus melibatkan Allah ﷻ di dalamnya, salah satu caranya adalah dengan berdoa. Allah ﷻ berfirman, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 186).

Ibnu Qoyyim berkata, “Doa merupakan sebab terkuat bagi seseorang untuk selamat dari hal yang tidak disukai dan sebab utama meraih hal yang diinginan.[3] Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah selain doa” (H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Dalam berdoa, harus diikuti dengan keyakinan bahwasannya Allah ﷻ akan mendengar doa kita, memberikan pertolongan kepada kita dan mengabulkan doa kita. Rasulullah ﷺ bersabda, “Berdoalah kepada Allah dengan keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai” (H.R. Tirmidzi).

Ibnu Rojab  dalam Jami’ul Ulum wal Hikam mengatakan, “Tawakkal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah l untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah ﷻ semata”.[4]

Tawakkal bukan berarti hanya pasrah dengan keputusan Allah ﷻ, tetapi harus diikuti dengan usaha beribadah kepada Allah ﷻ dengan ikhlas, karena jika seseorang selalu beribadah untuk urusan akhiratnya dan menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka urusan dunianya akan mudah untuk didapatkan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” (H.R. Imam Ahmad, Ibnu Majah, Imam Ibnu Hibban, al-Baihaqi).[5]

Jika empat hal diatas dilakukan sebagai bentuk upaya seseorang dalam memperoleh sesuatu, maka keinginannya tersebut dapat terpenuhi tentunya dengan izin dan kehendak Allah ﷻ. Akan tetapi, sering ditemukan bahwasannya seseorang menginginkan sesuatu tetapi ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan walaupun sudah diiringi niat yang baik, berusaha dengan keras, berdoa kepada Allah ﷻ setiap saat hingga berserah diri kepada Allah ﷻ.

Dalam keadaan seperti itu, yang perlu diperhatikan adalah bahwasannya hanya Allah ﷻ yang mengetahui apa saja yang baik dan tidak baik bagi manusia. Sering terlintas di pikiran kita kalau apa yang ingin kita peroleh adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan. Akan tetapi hanya Allah ﷻ yang mengetahui baik tidaknya sesuatu, Allah ﷻ berfirman, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui” (Q.S. al-Baqarah [2]: 216).

Selain itu, ketika kita sudah melakukan empat hal diatas tetapi tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, hal lain yang harus dilakukan adalah introspeksi diri, bisa jadi dalam usaha kita memperoleh sesuatu, ada sebab-sebab yang menjadi penghalang sehingga apa yang kita inginkan tidak kita dapatkan, contohnya adalah dalam berdoa. Ada beberapa sebab yang menjadi penghalang terkabulnya doa, diantaranya penghalang doa adalah selalu menggunakan barang yang haram, baik makanan, minuman dan pakaian yang kita pakai. Minuman, makanan dan pakaian yang kita pakai yang pada awalnya adalah halal, dapat menjadi haram apabia diperoleh dengan cara yang haram pula, seperti mendapatkannya dengan mencuri, berasal dari harta riba dan lainnya yang dilarang oleh syari’at. Semoga Allah ﷻ memberikan kemudahan kepada kita semua dalam melaksanakan urusan-rurusan yang ada.[]

Muhammad Romzi Wicaksono

Prodi Ahwal Syakhshiyyah, FIAI UII

Marâji’

[1] Musthafa Dieb al-Bugha Muhyiddin Mistu. Al-Wafi Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah. Jakarta: Al-I’tishom. 1998 M. Cet.k-10. hal. 5

[2] https://muslim.or.id/19963-budaya-sogok-menyogok.html

[3] https://rumaysho.com/1734-allah-begitu-ekat-pada-orang-yang-berdoa.html

[4] https://rumaysho.com/68-tawakkal-yang-sebenarnya.html

[5]  https://almanhaj.or.id/12638-jadikanlah-akhirat-sebagai-niatmu-2.html

Mutiara Hikmah

Doa Agar Bisa Mencintai Orang yang Mencintai Allah ﷻ

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ

“Saya memohon agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai amal yang dapat mendekatkan diriku kepada cinta-Mu.”

(H.R. Tirmidzi no. 3235 dan Ahmad 5: 243).

Download Buletin klik disini

Usaha sungguh sungguh yang dilakukan seseorang harus diiringi dengan

Rasulullah SAW bersabda: “Menuntut ilmu itu hukumnya wajib, bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan”.

Hadis di atas tentunya sudah tidak asing di benak kita, bahwa kewajiban menuntut ilmu itu diperuntukkan bagi setiap orang Islam. Syaikh Az Zarnuji pun menjelaskan, bahwa diwajibkan pula atas seorang Muslim, mempelajari ilmu yang dibutuhkan dirinya sekarang ini, dan juga ilmu yang dapat diamalkan kapan saja dan dimana saja.

Mengapa wajib bagi setiap Muslim untuk menuntut ilmu? Karena ada banyak keutamaan ilmu. Beberapa keutamaan ilmu diantaranya adalah:

  1. Ilmu adalah kekhususan, ilmu adalah keistimewaan yang Allah subhanahu wa ta’ala khususkan hanya untuk manusia semata. Selain ilmu, manusia dan hewan memiliki kesamaan.
  2. Ilmu dapat mengantarkan seseorang menuju kepada kebajikan dan ketaqwaan. Dan sebab ketaqwaan itu, seseorang dapat memperoleh kemuliaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, dan kebahagiaan abadi.

Keutamaan akan ilmu ini seyogyanya dapat menjadikan setiap Muslim senantiasa bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.

Syaikh Az Zarnuji mengatakan, bahwa diantara hal yang penting dalam menuntut ilmu yang harus diperhatikan adalah fil jiddi (kesungguhan). Jika sesuatu dilakukan dengan kesungguhan, maka Allah subhanhu wa ta’ala akan memberikan keberhasilan di dalamnya. Selain kesungguhan (al jiddu), juga perlu diiringi dengan sikap kesungguhan yang terus menerus (al muwazobah) dan komitmen (al muzallimah) dalam menuntut ilmu. Tiga sikap ini harus ada dalam diri pelajar (orang yang belajar) dan berjalan beriringan, tidak dapat hanya salah satu saja.

Wajib bagi setiap pelajar, bersungguh-sungguh, terus menerus, dan komitmen, tidak berhenti hingga tujuan dalam menuntut ilmu tercapai. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Maryam: 12 yang artinya, “Wahai Yahya, ambillah kitab (itu) dengan kuat”, dan dalam QS Al Ankabut: 69 yang artinya, “Dan orang-orang berjuang, untuk mencari keridhaan Kami, niscaya Kami tunjukkan mereka jalan-jalan menuju Kami”.

Dikatakan oleh Az Zarnuji, barangsiapa yang mencari sesuatu dan dilakukannya dengan sungguh-sungguh, pasti dia akan mendapatkannya. Dan barangsiapa yang mengetuk pintu dengan terus menerus, pasti dapat masuk. Dikatakan pula, bahwa sesuai dengan kesungguhannya, seseorang akan mendapat apa yang menjadi harapannya.

Dalam konteks kesungguhan ini, Az Zanurji menjelaskan bahwa kesulitan yang dihadapi seseorang akan dapat selesai dengan kesungguhan, terutama kesulitan yang dihadapi dalam proses belajar. Allah akan memberikan pertolongan pada seseorang jika Allah menghendaki. Kesulitan dapat selesai dengan kesungguhan adalah menjadi anugerah Allah subhanahu wa ta’ala dan berada dalam kekuasaan-Nya.

Kesungguhan dalam belajar dan memperdalam ilmu bukan hanya dari pelajar semata namun kesungguhan ini juga dibutuhkan kesungguhan dari tiga (3) orang, yakni pelajar (murid), guru, dan orang tua. Jika murid, guru, dan orang tua sungguh-sungguh, insya Allah itu akan berhasil, kesulitan (dalam menuntut ilmu, dalam belajar) akan dapat terselesaikan, insya Allah. Manusia diperintahkan Allah untuk belajar dan belajar. Hanya saja memang kualitas akal manusia itu berbeda-beda. Nah, kesungguhan inilah yang menjadi kunci. Dengan kesungguhan ini, sesuatu yang sulit itu insya Allah akan dimudahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Bagaimana ilmu itu dapat diperoleh tanpa melalui kesulitan? Banyak diantara kita ini memiliki cita-cita, memiliki keinginan, namun jika tidak diiringi dengan kesungguhan, maka itu adalah kedustaan. Apapun cita-cita dan keinginan seseorang, jika diiringi dengan kesungguhan, maka insya Allah akan terwujud. Jika tidak diiringi dengan kesungguhan, maka itu adalah kegilaan. Kita harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Tanpa kesungguhan, maka kita adalah orang yang gila. Orang belum dapat dikatakan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, jika dia belum mendapatkan kepayahan yang sangat dalam menuntut ilmu. Allah akan memberikan jalan keluar untuk kesungguhan tersebut.

Masya Allah, merujuk pada materi di atas, maka pentinglah bagi setiap diri kita untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam belajar (menuntut ilmu). Semoga rangkuman materi ini dapat menjadi refleksi untuk diri kita, terlebih khusus bagi penulis pribadi. Insya Allah akan kita lanjutkan pembahasan mengenai kesungguhan dalam menuntut ilmu pada kesempatan berikutnya. Allahu’alam bish showab.

Referensi:

Materi kajian Kitab Ta’lim Muta’allim Syaikh Az Zanurji oleh Ustadz Muhammad Abdullah Sholihun yang dirangkum oleh penulis pada Ramadhan 1441 H.

Penulis:
Hazhira Qudsyi, S.Psi., M.A
– Dosen Jurusan Psikologi FPSB UII
– Kepala Divisi Pembinaan Kepribadian dan Kesejahteraan DPK UII