Usaha pemerintah republik Indonesia dalam menasionalisasikan De Javasche Bank bertujuan

Oleh: Adisti

Kemerdekaan Indonesia yang dicapai melalui Proklamasi Kemerdekaan di tahun 1945 menjadikan Indonesia sebagai suatu negara yang utuh dan merdeka. Sebagai sebuah negara yang utuh dan merdeka, Indonesia menginginkan pemerintahan yang di kelola sendiri oleh negara dan meninggalkan jejak-jejak kolonialisme . Maka dari itu muncul gagasan untuk nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda sebagaimana dijelaskan pada Undang-Undang No. 86 tahun 1958. Nasionalisasi sendiri adalah gagasan yang lahir dari ide Indonesiasi  yang berkembang karena adanya keinginan membentuk suatu negara yang bebas penjajahan dan merdeka tanpa ada campur tangan orang luar Indonesia.

De Javasche Bank yang merupakan bank swasta masa Hindia-Belanda memiliki fungsi yang sangat penting dalam perekonomian negara, karena bank ini ditetapkan sebagai bank sirkulasi. Bank sirkulasi  pada masa Hindia-Belanda berfungsi sebagai pengatur sistem moneter, yang berarti bertugas menerbitkan mata uang bagi Hindia-Belanda. Keberadaan De Javasche Bank adalah hal yang penting dan berguna dalam pemerintahan Hindia-Belanda terutama untuk VOC yang menjadi kongsi dagang dan harus mempertahankan eksistensi di perdagangan Hindia-Belanda.

Usaha pemerintah republik Indonesia dalam menasionalisasikan De Javasche Bank bertujuan

Di tahun 1945, di keluarkan surat kuasa untuk R.M Margono Djojohadikoesoemo yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung untuk merencanakan pembentukan Bank Negara Indonesia. Turunnya surat kuasa ini mendasari terbentuknya suatu yayasan penyokong modal bagi Bank Negara Indonesia. Sokongan modal ini diambil dari kesanggupan masyarakat karena masih kurangnya persiapan dari pemerintah mengenai pembangunan bank sirkulasi Indonesia. Yayasan bank ini diberi nama Jajasan Poesat Bank Indonesia.

Pada tahun 1946 dibentuklah Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai pengganti Jajasan Poesat Bank Indonesia  yang selama kurang lebih satu tahun menjadi badan yang mengatur sistem keuangan di Indonesia untuk sementara. Kegiatan yang dilakukan oleh BNI meneruskan apa yang dilakukan oleh Jajasan Poesat Bank Indonesia sebelumnya sebagai bank sirkulasi Indonesia. Mengatur segala hal yang berhubungan dengan sistem keuangan negara, seperti peredaran mata uang dan pemberian kredit, sebagaimana telah disebutkan dalam telegram yang dikirim ke kantor De Javashe Bank di Jakarta.

Berdirinya BNI sebagai bank sentral di Indonesia membuat adanya dua bank sentral yang berdiri di Indonesia, BNI dan De Javasche Bank (DJB). BNI sebagai bank setral milik Indonesia sendiri sedangkan DJB sebagai bank sentral peninggalan Hindia-Belanda yang diaktifkan lagi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) setelah kedatangannya di Indonesia. Hal ini mengakibatkan kebingungan mengenai mana bank sentral resmi milik Indonesia, karena bank sentral merupakan bank yang penting dilihat dari fungsinya sebagai pengatur kebijakan moneter negara.

Perkembangan DJB ini juga menimbulkan kekhawatiran di pihak Indonesia, karena BNI menjadi kurang berkontribusi dalam pergerakan uang di Indonesia. Karena ketika DJB dinonaktifkan, BNI mengeluarkan Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai mata uang yang sah di Indonesia. Hal ini juga berpengaruh kepada tidak berlakunya uang NICA di Indonesia. Namun ketika NICA berhasil mengaktifkan kembali DJB dan uang NICA kembali beredar di daerah – daerah kependudukannya, nilai tukar ORI selisihnya tinggi terhadap uang NICA. Perbandingan kedua mata uang ini bisa mencapai 1 : 7 dan jika terjadi penurunan hanya 1 : 3 (Tim Penulis LP3ES, 1995 :45).

Salah satu keputusan hasil Konferensi Meja Bunda tahun 1949   memutuskan bahwa jika RIS ingin membentuk bank sirkulasi baru sebagai pengganti DJB maka harus dengan musyawarah serta persetujuan dari pemerintah Belanda. Keputusan tersebut membuat BNI tak lagi berfungsi sebagai bank sirkulasi Indonesia digantikan oleh DJB yang mengambil alih seluruh wilayah Republik Indonesia. BNI sendiri ditetapkan sebagai bank pembangunan.

Jiwa nasionalisme dari para elite Indonesia pun tidak menerima dengan baik penunjukan DJB sebagai bank sirkulasi Indonesia. Penolakan dilakukan Sumitro dalam forum KMB yang menyatakan bahwa BNI lah yang berhak dan pantas menjadi bank sirkulasi Indonesia karena bank ini merupakan bank milik Indonesia sendiri walau masih belum mencukupi standardnya sebagai bank sirkulasi (Erwin Kusuma, 2014 : 92). Pernyataan – pernyataan yang tak mendapat tempat di forum KMB pun akhirnya menghasilkan desakan untuk segera menasionalisasikan DJB.

Pengangkatan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden DJB menggantikan Dr. Houwink, yang mengundurkan diri merupakan titik awal nasionalisasi bank ini. Karena setelah diangkatnya Syafruddin, dibentuk pula panitia khusus untuk menangani masalah nasionalisasi ini. Panitia yang disebut Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank Ini terdiri dari orang-orang Indonesia yang bergerak di bidang perekonomian negara. Moh Sedino, Sekretaris Jendral Kementrian Keuangan , di tunjuk sebagai ketua dari panitia khusus ini. anggotanya terdiri dari Mr. Soetikno Slamet (Thesaurir Jendral Kemetrian Keuangan), Dr. R.M. Sumitro Djojohadikusumo (Kmisaris Pemerintah pada De Javasche Bank), T.R.B. Sabaruddin (Direktur Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri), Drs. A. Qudt dan Drs. Kouw Bian Tie (Penasehat Umum Kemetrian Keuangan dari De Javasche Bank) (Erwin Kusuma, 2014 : 92). Keenam orang inilah yang mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan hal – hal mengenai nasionalisasi De Javasche Bank.

Panitia khusus ini memiiki tugas mengidentifikasi isu – isu terkait dengan De Javasche Bank serta menyerahkan rancangan nasionalisasi DJB kepada pemerintah. Selain itu, mereka juga menyusun rancangan “Undang – Undang Pokok Bank Indonesia”. Undang – undang di tujukan sebagai undang – undang awal bank sirkulasi ini dan diharapkan mampu menanungi segala bentuk kebijakan dan tugas dari bank sirkulasi. Mengingat bahwa ini adalah pengalaman pertama bagi orang Indonesia mengatur bank sirkulasi mereka sendiri di luar campur tangan pihak lain.

Tugas – tugas dari panitia khusus ini terus berlanjut hingga muncul gagasan penggantian nama De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Bisa di lihat dari awal pembentukan negara Indonesia ketika UUD 1945 dirancang, terdapat pembahasan mengenai Bank Indonesia sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia. Penggantian nama ini bisa dibilang beban tersendiri yang harus dilaksanakan karena telah menyebutkan nama Bank Indonesia sebagai bank sirkulasi bahkan sebelum bank ini dibentuk. Selain itu juga, nama DJB yang diambil dari bahasa Belanda sangat tidak mencerminkan nasionalisme sedangkan ide – ide nasionalisme sendiri sedang gencar di kumandangkan di seluruh negeri.

Proses nasionalisme dari DJB mungkin menjadi satu hal yang ditunggu pada tahun ini, mengingat Indonesia harus segera mengatur sistem moneter negaranya, terutama peredaran uang yang bisa saja menyebabkan inflasi. Peran penting dari bank sirkulasi sangatlah vital untuk kelangsungan perekonomian negara. Pemerintah memiliki tanggungan menasionalisasikan DJB dan kemungkinan nasionalisasi ini terjadi pada April 1952.

15 Desember 1951 dikeluarkan Undang – Undang No. 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank. Ini adalah salah satu hal yang di tunggu karena keluarnya undang – undang ini merupakan titik yang pasti mengenai nasionalisasi De Javasche Bank. Namun, muncul juga himbauan-himbauan untuk melakukan nasionalisasi DJB secara hati – hati agar tidk menimbulkan pertentangan lagi dengan pihak Belanda.

Pembelian saham – saham DJB menjadi cara menasionalisasikan DJB dengan cara yang aman menurut Panitia Nasionalisasi DJB. Saham – saham DJB di jual pada Bursa Efek di Amsterdam dan saat itulah Pemerintah RI membeli beberapa saham DJB sebagai upaya menasionalisasikannya. Karena tidak mungkin Pemerintah RI langsung mengambil alih DJB secara paksa karena DJB sendiri merupakan aset Belanda berbadan hukum Persero yang merupakan milik swasta.

Awalnya pihak pemerintah Belanda tidak menyetujui pembelian saham DJB oleh pihak Pemerintah Indonesia. Namun kedua utusan negara, M Saubari selaku Sekretaris Jendral Kementrian Keuangan dan Khouw Bian Tie selaku anggota dari Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank, berusaha memaksa berdasarkan dari apa yang sudah diputuskan dalam forum KMB mengenai nasionalisasi DJB. Apalagi, pembelian saham merupakan cara yang mungkin terbaik dilakukan dalam menasionalisasikan aset Belanda ini.

Pembelian saham DJB dimuat dalam koran Pedoman dan Berita Indonesia sebagai pengumuman terhadap pemegang saham DJB lain untuk melepaskan saham mereka dan menjualnya ke Pemerintah Indonesia agar proses nasionalisasi lebih cepat dilaksanakan (Erwin Kusuma, 2014 : 107). Proses pembelian saham ini berlangsung cepat karena dalam waktu 2 bulan, Pemerintah Indonesia mampu membeli Rp. 8,95 juta saham DJB dari total Rp. 9 juta seluruh saham.

Selama proses jual – beli saham ini, Panitia Nasionalisasi DJB mengurusi perihal rancangan undang – undang yang akan di gunakan sebagai undang – undang pokok bank sirkulasi negara Indonesia. Rancangan ini harus segera dibuat agar cepat disetujui oleh DPR, dengan begitu proses nasionalisasi lebih cepat berlangsung bersamaan dengan terkumpulnya saham – saham DJB. Rancangan undang – undang yang diajukan kepada DPR bukan lagi rancangan menugenai bank sirkulasi namun berubah menjadi bank sentral.

Pada akhir tahun 1952, muncul penyataan nama De Javasche Bank akan berganti menjadi Bank Indonesia. Latar belakang munculnya pernyataan ini mungkin berdasarkan pada UUD 1945 yang disusun oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menyebutkan bahwa ada bank bernama Bank Indonesia yang akan menjadi badan pengatur peredaran uang di Indonesia. Dilihat dari fungsinya saja, DJB sebagai bank sirkulasi sama fungsinya dengan ‘Bank Indonesia’ yang disebutkan dalam UUD 1945.

Walaupun telah mengalami proses nasionalisasi jajaran staff yang ada dalam kepengurusan De Javasche Bank masih dipenuhi oleh orang – orang Belanda, walaupun Presiden utama sudah digantikan orang Indonesia yaitu Syafruddin Prawiranegara. Wakil – wakil Direktur masih dijabat oleh orang Belanda. Penasihat, Dewan Komisaris, dan Direktur Muda pun masih diwarnai nama – nama orang Belanda dalam jajarannya. Begitu pula kantor cabang di Indonesia yang semua direkturnya masih orang – orang Belanda. Hal ini mungkin disebabkan karena belum selesainya proses nasionalisasi yang masih dalam tahap penyusunan Rencana Undang – Undang. Kurangnya tenaga kerja yang berpengalaman dalam bidang perekonomian juga bisa menjadi faktor penyebab kurangnya tenaga kerja Indonesia dalam jajaran kepengurusan DJB.

Maret 1953, muncul artikel mengenai Rencana Undang – Undang Bank Indonesia. RUU ini menjadi penanda bahwa pergantian nama DJB menjadi Bank Indonesia akan segera terwujud. RUU ini sudah dipresentasikan di depan Parlemen dan mendapat persetujuan dan disahkan pada 29 Mei 1953.

30 Juni 1953, DJB melakukan Rapat Umum Biasa Pemegang Saham  yang membahas mengenai pengalihan hak dan keajiban DJB ke Bank Indonesia. Rapat ini membahas bahwa peran DJB sebagai pengedar uang sebagai alat sah pembayaran di Indonesia akan digantikan oleh Bank Indonesia. Kebijakan – kebijakan yang seharusnya dikeluarkan oleh DJB pun beralih ke Bank Indonesia. Pengatur sistem moneter pun beralih ke tangan Bank Indonesia.

Tanggal 1 Juli 1953 diperingati sebagai hari lahirnya Bank Indonesia karena mulai diberlakukannya Undang – Undang Pokok Bank Indonesia yang disahkan dalam Lembaran Negara No. 40 Tahun 1953 pada tanggal 2 Juni 1953. Dengan begini resmi sudah DJB digantikan perannya oleh Bank Indonesia. Proses Nasionalisasi dari De Javasche Bank pun berakhir seiring dengan pergantian nama menjadi Bank Indonesia.

Bank sirkulasi negara milik Indonesia sendiri akhirnya terbentuk melalui proses nasionalisme ini. Kepemilikan DJB sudah beralih tangan sepenuhnya ke Pemerintah Indonesia karena pembelian saham. Presiden DJB pun sudah berpindah tangan ke orang Indonesia. Syafruddin Prawiranegara. Dan nama DJB, yang sebelumnya masih dalam bahasa Belanda pun akhirnya di ganti menjadi Bank Indonesia.