Tanggal 3 Juni 1947 dibentuk TNI yang anggotanya dari

Tanggal 3 Juni 1947 dibentuk TNI yang anggotanya dari

Tanggal 3 Juni 1947 dibentuk TNI yang anggotanya dari
Lihat Foto

KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO

Defile pasukan saat peringatan HUT ke-72 Tentara Nasional Indonesia di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Kamis (5/10/2017). Peringatan HUT TNI ini TNI dimeriahkan latihan gabungan dengan menggunakan alutsista andalan dari masing-masing matra TNI, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

JAKARTA, KOMPAS.com - Tujuh puluh enam tahun lalu, 5 Oktober 1945, menjadi salah satu momen bersejarah bagi bangsa Indonesia, yakni tonggak lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Eksistensi institusi pertahanan negara tidak langsung berdiri dengan nama TNI. Mulanya, bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).

BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang yang didirikan di Jakarta pada Agustus 1945.

Selain itu, BKR bertugas untuk melakukan pemeliharaan keamanan bersama rakyat dan badan negara yang baru terbentuk setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: Deretan Alutsista Andalan TNI, Pesawat Tempur hingga Rudal Anti-kapal

Dalam buku Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional (1992) karya F Sugeng Istanto, BKR dibentuk pada 22 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan diumumkan secara resmi oleh Presiden Soekarno pada 23 Agustus 1945.

Setelah BKR diresmikan, para pemuda dan mantan anggota PETA, Kaprawi, Sutaklasana, Latief Hendraningrat, Arifin Abdurrachman, Machmud dan Zulkifli Lubis, berhasil merumuskan struktur BKR sesuai dengan teritorial pendudukan Jepang.

Kendati dibentuk kalangan pemuda, ternyata sebagian pemuda tidak setuju dengan BKR. Mereka membentuk badan perjuangan sendiri, misalnya, Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia di Bandung, Angkatan Muda Indonesia di Surabaya, Balai Penerangan Pemuda Indonesia di Padang, dan masih banyak lainnya.

Walhasil, BKR sendiri hanya berusia jagung sebelum diganti menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Pembentukan TKR

TKR sendiri merupakan angkatan perang pertama yang didirikan Pemerintah Indonesia pada 5 Oktober 1945.

Pembentukan TKR bertujuan untuk mengatasi situasi yang mulai tidak aman karena tentara Sekutu kembali datang ke Indonesia.

Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dihasilkan menempuh perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari ancaman Belanda yang berhasrat kembali berkuasa menjajah Indonesia menempuh kekerasan senjata. TNI pada awal mulanya yaitu organisasi yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan selanjutnya diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Pada masa mempertahankan kemerdekaan ini, banyak rakyat Indonesia membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan perjuangan rakyat. Usaha pemerintah Indonesia untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berlangsung, sambil bertempur dan berjuang untuk menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua daya bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi.

Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Desember 1949, Indonesia berubah menjadi negara federasi dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu maka dihasilkan pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang yaitu gabungan antara TNI dan KNIL. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dihentikan dan Indonesia kembali menjadi negera kesatuan, sehingga APRIS berproses dan berubah nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Pada tahun 1962, dilakukan upaya penyatuan antara angkatan perang dengan kepolisian negara menjadi sebuah organisasi yang bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penyatuan satu komando ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tingkat efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya dan menjauhkan pengaruh dari himpunan politik tertentu.

Pada tahun 1998 terjadi perubahan situasi politik di Indonesia. Perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap keberadaan ABRI. Pada tanggal 1 April 1999 TNI dan Polri secara resmi dipisah menjadi institusi yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI, sehingga Panglima ABRI menjadi Panglima TNI.

Periode pembentukan (1945-1947)

Badan Keamanan Rakyat

Pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[1]

BKR yaitu anggota dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada dalam 100 tahun Jepang dan bekerja memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.[1]

Pada tanggal 18 Agustus 1945 Jepang mencerai-beraikan PETA dan Heiho. Tugas untuk menampung bekas anggota PETA dan Heiho ditangani oleh BPKKP.[2] Pembentukan BKR yaitu perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan.

Pembentukan BKR diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.[1] Dalam pidatonya Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu melakukan pekerjaan dalam bentuk BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan jika telah datang saatnya.

Karena pada saat itu komunikasi sedang sulit, tidak semua kawasan di Indonesia mendengar Pidato Presiden Soekarno tersebut. Mayoritas kawasan yang mendengar itu yaitu Pulau Jawa. Sementara tidak semua Pulau Sumatera mendengar. Sumatera anggota timur dan Aceh tidak mendengarnya.

Walaupun tidak mendengar pemuda-pemuda di berbagai kawasan Sumatera membentuk organisasi-organisasi yang kelak menjadi inti dari pembentukan tentara. Pemuda Aceh membangun Angkatan Pemuda Indonesia (API), di Palembang terbentuk BKR, tetapi dengan nama yang lain yaitu Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) atau Badan Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR).[3]

Tentara Keamanan Rakyat

Menyerahnya Jepang kepada tentara sekutu menyebabkan kedatangan tentara Inggris ke Indonesia yang dimanfaatkan oleh tentara Belanda untuk kembali ke Indonesia. Situasi ini menjadi mulai tidak terlindung. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat.

Pemerintah memanggil bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo ke Jakarta. Wakil Presiden Dr.(H.C.) Drs Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal dan ditugasi untuk membentuk tentara.[4] Pada waktu itu Markas Tertinggi TKR ada di Yogyakarta.

Presiden Soekarno pada tanggal 6 Oktober 1945, mengangkat Suprijadi, seorang tokoh pemberontakan PETA di Blitar untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat dan Pemimpin Tertinggi TKR. Akan tetapi dia tidak pernah muncul sampai awal November 1945, sehingga TKR tidak ada pimpinan tertinggi. Untuk mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 November 1945 dipersiapkan Konferensi TKR di Yogyakarta dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Hasil konferensi itu yaitu terpilihnya Kolonel Soedirman sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 1945 mengangkat resmi Kolonel Soedirman menjadi Panglima Agung TKR, dengan pangkat Jenderal.[5]

Menjadi Tentara Keselamatan Rakyat

Untuk meluaskan fungsi ketentaraan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keamanan rakyat Indonesia, maka pada tanggal 7 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD 1946 yang menukar nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian nama Kementerian Keamanan Rakyat diubah namanya menjadi Kementerian Pertahanan.

Markas Tertinggi TKR mengeluarkan pengumuman bahwa mulai tanggal 8 Januari 1946, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat.[6]

Tentara Republik Indonesia

Untuk menyempurnakan organisasi tentara menurut standar militer internasional, maka pada tanggal 26 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang penggantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia. Maklumat ini dikeluarkan menempuh Penetapan Pemerintah No.4/SD Tahun 1946.[7]

Untuk mewujudkan tentara yang sempurna, pemerintah membentuk suatu panita yang disebut dengan Panitia Agung Penyelenggaraan Organisasi Tentara. Sebagian panitia tersebut yaitu Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Komodor Suryadarma.[8]

Pada tanggal 17 Mei 1946 panitia mengumumkan hasil kerjanya, berupa rancangan dan bentuk Kementerian Pertahanan dan Ketentaraan, daya dan organisasi, peralihan dari TKR ke TRI dan letak laskar-laskar dan barisan-barisan serta badan perjuangan rakyat.

Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1946 kemudian suatu peristiwanya melantik para pejabat Markas Agung Umum dan Kementerian Pertahanan. Pada upacara pelantikan tersebut Panglima Agung Jenderal Soedirman mengucapkan sumpah anggota pimpinan tentara mewakili semua yang dilantik.

Tentara Nasional Indonesia

Usaha untuk menyempurnakan tentara terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada waktu itu. Banyaknya laskar-laskar dan badan perjuangan rakyat, kurang menguntungkan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sering terjadi kesalahpahaman antara TRI dengan badan perjuangan rakyat yang lain.[9]

Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman tersebut pemerintah berupaya untuk menyatukan TRI dengan badan perjuangan yang lain. Pada tanggal 15 Mei 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan penetapan tentang penyatuan TRI dengan badan dan laskar perjuangan menjadi satu organisasi tentara.

Pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno meresmikan penyatuan TRI dengan laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama Tentara Nasional Indonesia. Presiden juga menetapkan bentuk tertinggi TNI. Panglima Agung Angkatan Perang Jenderal Soerdiman ditinggikan sebagai Kepala Pucuk Pimpinan TNI dengan anggotanya yaitu Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo, Admiral Muda Nazir, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor Sutomo, Jenderal Mayor Ir. Sakirman, dan Jenderal Mayor Jokosuyono.[10]

Dalam ketentuan itu juga mencetuskan bahwa semua satuan Angkatan Perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI, diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada segala perintah dari instruksi yang dikeluarkan oleh Pucuk Pimpinan TNI.[11]

Penataan organisasi (1947-1948)

Kondisi ekonomi negara yang sedang baru, belum cukup untuk membiayai angkatan perang yang agung pada waktu itu. Salah seorang anggota KNIP bernama Z. Baharuddin mengeluarkan gagasan untuk melaksanakan pengurangan anggota (rasionalisasi) di kalangan angkatan perang.

Selain itu, hasil dari Janji Renville yaitu semakin sempitnya wilayah Republik Indonesia. Kawasan yang direbut hanyalah sebagian karesidenan di Jawa dan Sumatera yang ada dalam demikianlah keadaanya konomi yang cukup parah dampak blokade oleh Belanda.

Pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah Pucuk Pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Agung Pertempuran. Staf Umum dibawa masuk kedalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu Markas Agung Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Agung Angkatan Perang Mobil. Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang dihapus.

Presiden mengangkat Komodor Suryadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Agung Angkatan Perang Mobil ditinggikan Jenderal Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bekerja sebagai perencanaan taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Sementara Staf Markas Agung Angkatan Perang Mobil, yaitu pelaksana taktis operasional.[12]

Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan Perang. Maka pada tanggal 27 Februari 1948, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru. Dalam penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor Suryadarma, sementara itu Markas Agung Pertempuran tetap di bawah Panglima Agung Jenderal Soedirman, ditambah Wakil Panglima yaitu Jenderal Mayor A.H. Nasution. Angkatan Perang ada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU).

Dalam penataan organisasi ini dibagi menjadi 2 anggota yaitu penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Agung Angkatan Perang.

Untuk menyilakan duduk penataan organisasi ini, Panglima Agung Jenderal Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya dituding oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Jenderal Mayor Susaliy (mantan PETA dan laskar), Jenderal Mayor Suwardi (mantan KNIL) dan Jenderal Mayor A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI habis pada belakang tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat menyilakan duduk penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera.[13]

Referensi

  1. ^ a b c Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 1. 
  2. ^ Tentara Nasional Indonesia Jilid I,cet II. hlm. 106. 
  3. ^ Perjuangan ABRI dan rakyat di Sumatera 1945-1950. hlm. bab II.2. 
  4. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 17. 
  5. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 24. 
  6. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 25. 
  7. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 32. 
  8. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 34. 
  9. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 46. 
  10. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 48. 
  11. ^ Kusnodiprodjo (1951). Himpunan Undang-undang, Peraturan-peraturan, Penetapan-penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1947. Jakarta. hlm. 336. 
  12. ^ Djenderal A.H. Nasution (1968). Tentara Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta: Seruling Masa. hlm. 130-132. 
  13. ^ Drs.Amrin Imran; Drs.Hayun Ugaya, Drs Tanu Suherly, Sri Suko BA (1971). Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat. Seri Text-Book Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sedjarah ABRI. hlm. 17. 

Bibliografi

  • Markas Agung TNI (2000). Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). Jakarta: Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI. ISBN 979-9421-01-2. 
  • A.H. Nasution (1963). Tentara Nasional Indonesia, Jilid I Cet.II. Bandung: Ganeco N.V. hlm. 106-110. 
  • Nas Sebayang. Perjuangan ABRI dan Rakyat di Sumatera 1945-1950. Manuskrip bab II.2. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 2

Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dihasilkan menempuh perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari ancaman Belanda yang berhasrat kembali berkuasa menjajah Indonesia menempuh kekerasan senjata. TNI pada awal mulanya yaitu organisasi yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan selanjutnya diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Pada masa mempertahankan kemerdekaan ini, banyak rakyat Indonesia membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan perjuangan rakyat. Usaha pemerintah Indonesia untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berlangsung, sambil bertempur dan berjuang untuk menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua daya bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi.

Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Desember 1949, Indonesia berubah menjadi negara federasi dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu maka dihasilkan pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang yaitu gabungan antara TNI dan KNIL. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dihentikan dan Indonesia kembali menjadi negera kesatuan, sehingga APRIS berproses dan berubah nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Pada tahun 1962, dilakukan upaya penyatuan antara angkatan perang dengan kepolisian negara menjadi sebuah organisasi yang bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penyatuan satu komando ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tingkat efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya dan menjauhkan pengaruh dari himpunan politik tertentu.

Pada tahun 1998 terjadi perubahan situasi politik di Indonesia. Perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap keberadaan ABRI. Pada tanggal 1 April 1999 TNI dan Polri secara resmi dipisah menjadi institusi yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI, sehingga Panglima ABRI menjadi Panglima TNI.

Periode pembentukan (1945-1947)

Badan Keamanan Rakyat

Pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[1]

BKR yaitu anggota dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada dalam 100 tahun Jepang dan bekerja memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.[1]

Pada tanggal 18 Agustus 1945 Jepang mencerai-beraikan PETA dan Heiho. Tugas untuk menampung bekas anggota PETA dan Heiho ditangani oleh BPKKP.[2] Pembentukan BKR yaitu perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan.

Pembentukan BKR diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.[1] Dalam pidatonya Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu melakukan pekerjaan dalam bentuk BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan jika telah datang saatnya.

Karena pada saat itu komunikasi sedang sulit, tidak semua kawasan di Indonesia mendengar Pidato Presiden Soekarno tersebut. Mayoritas kawasan yang mendengar itu yaitu Pulau Jawa. Sementara tidak semua Pulau Sumatera mendengar. Sumatera anggota timur dan Aceh tidak mendengarnya.

Walaupun tidak mendengar pemuda-pemuda di berbagai kawasan Sumatera membentuk organisasi-organisasi yang kelak menjadi inti dari pembentukan tentara. Pemuda Aceh membangun Angkatan Pemuda Indonesia (API), di Palembang terbentuk BKR, tetapi dengan nama yang lain yaitu Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) atau Badan Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR).[3]

Tentara Keamanan Rakyat

Menyerahnya Jepang kepada tentara sekutu menyebabkan kedatangan tentara Inggris ke Indonesia yang dimanfaatkan oleh tentara Belanda untuk kembali ke Indonesia. Situasi ini menjadi mulai tidak terlindung. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat.

Pemerintah memanggil bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo ke Jakarta. Wakil Presiden Dr.(H.C.) Drs Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal dan ditugasi untuk membentuk tentara.[4] Pada waktu itu Markas Tertinggi TKR ada di Yogyakarta.

Presiden Soekarno pada tanggal 6 Oktober 1945, mengangkat Suprijadi, seorang tokoh pemberontakan PETA di Blitar untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat dan Pemimpin Tertinggi TKR. Akan tetapi dia tidak pernah muncul sampai awal November 1945, sehingga TKR tidak ada pimpinan tertinggi. Untuk mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 November 1945 dipersiapkan Konferensi TKR di Yogyakarta dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Hasil konferensi itu yaitu terpilihnya Kolonel Soedirman sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 1945 mengangkat resmi Kolonel Soedirman menjadi Panglima Agung TKR, dengan pangkat Jenderal.[5]

Menjadi Tentara Keselamatan Rakyat

Untuk meluaskan fungsi ketentaraan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keamanan rakyat Indonesia, maka pada tanggal 7 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD 1946 yang menukar nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian nama Kementerian Keamanan Rakyat diubah namanya menjadi Kementerian Pertahanan.

Markas Tertinggi TKR mengeluarkan pengumuman bahwa mulai tanggal 8 Januari 1946, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat.[6]

Tentara Republik Indonesia

Untuk menyempurnakan organisasi tentara menurut standar militer internasional, maka pada tanggal 26 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang penggantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia. Maklumat ini dikeluarkan menempuh Penetapan Pemerintah No.4/SD Tahun 1946.[7]

Untuk mewujudkan tentara yang sempurna, pemerintah membentuk suatu panita yang disebut dengan Panitia Agung Penyelenggaraan Organisasi Tentara. Sebagian panitia tersebut yaitu Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Komodor Suryadarma.[8]

Pada tanggal 17 Mei 1946 panitia mengumumkan hasil kerjanya, berupa rancangan dan bentuk Kementerian Pertahanan dan Ketentaraan, daya dan organisasi, peralihan dari TKR ke TRI dan letak laskar-laskar dan barisan-barisan serta badan perjuangan rakyat.

Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1946 kemudian suatu peristiwanya melantik para pejabat Markas Agung Umum dan Kementerian Pertahanan. Pada upacara pelantikan tersebut Panglima Agung Jenderal Soedirman mengucapkan sumpah anggota pimpinan tentara mengganti semua yang dilantik.

Tentara Nasional Indonesia

Usaha untuk menyempurnakan tentara terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada waktu itu. Banyaknya laskar-laskar dan badan perjuangan rakyat, kurang menguntungkan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sering terjadi kesalahpahaman antara TRI dengan badan perjuangan rakyat yang lain.[9]

Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman tersebut pemerintah berupaya untuk menyatukan TRI dengan badan perjuangan yang lain. Pada tanggal 15 Mei 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan penetapan tentang penyatuan TRI dengan badan dan laskar perjuangan menjadi satu organisasi tentara.

Pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno meresmikan penyatuan TRI dengan laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama Tentara Nasional Indonesia. Presiden juga menetapkan bentuk tertinggi TNI. Panglima Agung Angkatan Perang Jenderal Soerdiman ditinggikan sebagai Kepala Pucuk Pimpinan TNI dengan anggotanya yaitu Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo, Admiral Muda Nazir, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor Sutomo, Jenderal Mayor Ir. Sakirman, dan Jenderal Mayor Jokosuyono.[10]

Dalam ketentuan itu juga mencetuskan bahwa semua satuan Angkatan Perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI, diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada segala perintah dari instruksi yang dikeluarkan oleh Pucuk Pimpinan TNI.[11]

Penataan organisasi (1947-1948)

Kondisi ekonomi negara yang sedang baru, belum cukup untuk membiayai angkatan perang yang agung pada waktu itu. Salah seorang anggota KNIP bernama Z. Baharuddin mengeluarkan gagasan untuk melaksanakan pengurangan anggota (rasionalisasi) di kalangan angkatan perang.

Selain itu, hasil dari Janji Renville yaitu semakin sempitnya wilayah Republik Indonesia. Kawasan yang direbut hanyalah sebagian karesidenan di Jawa dan Sumatera yang ada dalam demikianlah keadaanya konomi yang cukup parah dampak blokade oleh Belanda.

Pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah Pucuk Pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Agung Pertempuran. Staf Umum dibawa masuk kedalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu Markas Agung Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Agung Angkatan Perang Mobil. Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang dihapus.

Presiden mengangkat Komodor Suryadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Agung Angkatan Perang Mobil ditinggikan Jenderal Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bekerja sebagai perencanaan taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Sementara Staf Markas Agung Angkatan Perang Mobil, yaitu pelaksana taktis operasional.[12]

Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan Perang. Maka pada tanggal 27 Februari 1948, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru. Dalam penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor Suryadarma, sementara itu Markas Agung Pertempuran tetap di bawah Panglima Agung Jenderal Soedirman, ditambah Wakil Panglima yaitu Jenderal Mayor A.H. Nasution. Angkatan Perang ada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU).

Dalam penataan organisasi ini dibagi menjadi 2 anggota yaitu penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Agung Angkatan Perang.

Untuk menyilakan duduk penataan organisasi ini, Panglima Agung Jenderal Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya dituding oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Jenderal Mayor Susaliy (mantan PETA dan laskar), Jenderal Mayor Suwardi (mantan KNIL) dan Jenderal Mayor A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI habis pada belakang tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat menyilakan duduk penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera.[13]

Referensi

  1. ^ a b c Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 1. 
  2. ^ Tentara Nasional Indonesia Jilid I,cet II. hlm. 106. 
  3. ^ Perjuangan ABRI dan rakyat di Sumatera 1945-1950. hlm. bab II.2. 
  4. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 17. 
  5. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 24. 
  6. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 25. 
  7. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 32. 
  8. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 34. 
  9. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 46. 
  10. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 48. 
  11. ^ Kusnodiprodjo (1951). Himpunan Undang-undang, Peraturan-peraturan, Penetapan-penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1947. Jakarta. hlm. 336. 
  12. ^ Djenderal A.H. Nasution (1968). Tentara Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta: Seruling Masa. hlm. 130-132. 
  13. ^ Drs.Amrin Imran; Drs.Hayun Ugaya, Drs Tanu Suherly, Sri Suko BA (1971). Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat. Seri Text-Book Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sedjarah ABRI. hlm. 17. 

Bibliografi

  • Markas Agung TNI (2000). Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). Jakarta: Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI. ISBN 979-9421-01-2. 
  • A.H. Nasution (1963). Tentara Nasional Indonesia, Jilid I Cet.II. Bandung: Ganeco N.V. hlm. 106-110. 
  • Nas Sebayang. Perjuangan ABRI dan Rakyat di Sumatera 1945-1950. Manuskrip bab II.2. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 3

Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dihasilkan menempuh perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari ancaman Belanda yang berhasrat kembali berkuasa menjajah Indonesia menempuh kekerasan senjata. TNI pada awal mulanya yaitu organisasi yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan selanjutnya diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Pada masa mempertahankan kemerdekaan ini, banyak rakyat Indonesia membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan perjuangan rakyat. Usaha pemerintah Indonesia untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berlangsung, sambil bertempur dan berjuang untuk menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua daya bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi.

Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Desember 1949, Indonesia berubah menjadi negara federasi dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu maka dihasilkan pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang yaitu gabungan antara TNI dan KNIL. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dihentikan dan Indonesia kembali menjadi negera kesatuan, sehingga APRIS berproses dan berubah nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Pada tahun 1962, dilakukan upaya penyatuan antara angkatan perang dengan kepolisian negara menjadi sebuah organisasi yang bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penyatuan satu komando ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tingkat efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya dan menjauhkan pengaruh dari himpunan politik tertentu.

Pada tahun 1998 terjadi perubahan situasi politik di Indonesia. Perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap keberadaan ABRI. Pada tanggal 1 April 1999 TNI dan Polri secara resmi dipisah menjadi institusi yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI, sehingga Panglima ABRI menjadi Panglima TNI.

Periode pembentukan (1945-1947)

Badan Keamanan Rakyat

Pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[1]

BKR yaitu anggota dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada dalam 100 tahun Jepang dan bekerja memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.[1]

Pada tanggal 18 Agustus 1945 Jepang mencerai-beraikan PETA dan Heiho. Tugas untuk menampung bekas anggota PETA dan Heiho ditangani oleh BPKKP.[2] Pembentukan BKR yaitu perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan.

Pembentukan BKR diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.[1] Dalam pidatonya Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu melakukan pekerjaan dalam bentuk BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan jika telah datang saatnya.

Karena pada saat itu komunikasi sedang sulit, tidak semua kawasan di Indonesia mendengar Pidato Presiden Soekarno tersebut. Mayoritas kawasan yang mendengar itu yaitu Pulau Jawa. Sementara tidak semua Pulau Sumatera mendengar. Sumatera anggota timur dan Aceh tidak mendengarnya.

Walaupun tidak mendengar pemuda-pemuda di berbagai kawasan Sumatera membentuk organisasi-organisasi yang kelak menjadi inti dari pembentukan tentara. Pemuda Aceh membangun Angkatan Pemuda Indonesia (API), di Palembang terbentuk BKR, tetapi dengan nama yang lain yaitu Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) atau Badan Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR).[3]

Tentara Keamanan Rakyat

Menyerahnya Jepang kepada tentara sekutu menyebabkan kedatangan tentara Inggris ke Indonesia yang dimanfaatkan oleh tentara Belanda untuk kembali ke Indonesia. Situasi ini menjadi mulai tidak terlindung. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat.

Pemerintah memanggil bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo ke Jakarta. Wakil Presiden Dr.(H.C.) Drs Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal dan ditugasi untuk membentuk tentara.[4] Pada waktu itu Markas Tertinggi TKR ada di Yogyakarta.

Presiden Soekarno pada tanggal 6 Oktober 1945, mengangkat Suprijadi, seorang tokoh pemberontakan PETA di Blitar untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat dan Pemimpin Tertinggi TKR. Akan tetapi dia tidak pernah muncul sampai awal November 1945, sehingga TKR tidak ada pimpinan tertinggi. Untuk mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 November 1945 dipersiapkan Konferensi TKR di Yogyakarta dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Hasil konferensi itu yaitu terpilihnya Kolonel Soedirman sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 1945 mengangkat resmi Kolonel Soedirman menjadi Panglima Agung TKR, dengan pangkat Jenderal.[5]

Menjadi Tentara Keselamatan Rakyat

Untuk meluaskan fungsi ketentaraan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keamanan rakyat Indonesia, maka pada tanggal 7 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD 1946 yang menukar nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian nama Kementerian Keamanan Rakyat diubah namanya menjadi Kementerian Pertahanan.

Markas Tertinggi TKR mengeluarkan pengumuman bahwa mulai tanggal 8 Januari 1946, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat.[6]

Tentara Republik Indonesia

Untuk menyempurnakan organisasi tentara menurut standar militer internasional, maka pada tanggal 26 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang penggantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia. Maklumat ini dikeluarkan menempuh Penetapan Pemerintah No.4/SD Tahun 1946.[7]

Untuk mewujudkan tentara yang sempurna, pemerintah membentuk suatu panita yang disebut dengan Panitia Agung Penyelenggaraan Organisasi Tentara. Sebagian panitia tersebut yaitu Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Komodor Suryadarma.[8]

Pada tanggal 17 Mei 1946 panitia mengumumkan hasil kerjanya, berupa rancangan dan bentuk Kementerian Pertahanan dan Ketentaraan, daya dan organisasi, peralihan dari TKR ke TRI dan letak laskar-laskar dan barisan-barisan serta badan perjuangan rakyat.

Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1946 kemudian suatu peristiwanya melantik para pejabat Markas Agung Umum dan Kementerian Pertahanan. Pada upacara pelantikan tersebut Panglima Agung Jenderal Soedirman mengucapkan sumpah anggota pimpinan tentara mengganti semua yang dilantik.

Tentara Nasional Indonesia

Usaha untuk menyempurnakan tentara terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada waktu itu. Banyaknya laskar-laskar dan badan perjuangan rakyat, kurang menguntungkan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sering terjadi kesalahpahaman antara TRI dengan badan perjuangan rakyat yang lain.[9]

Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman tersebut pemerintah berupaya untuk menyatukan TRI dengan badan perjuangan yang lain. Pada tanggal 15 Mei 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan penetapan tentang penyatuan TRI dengan badan dan laskar perjuangan menjadi satu organisasi tentara.

Pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno meresmikan penyatuan TRI dengan laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama Tentara Nasional Indonesia. Presiden juga menetapkan bentuk tertinggi TNI. Panglima Agung Angkatan Perang Jenderal Soerdiman ditinggikan sebagai Kepala Pucuk Pimpinan TNI dengan anggotanya yaitu Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo, Admiral Muda Nazir, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor Sutomo, Jenderal Mayor Ir. Sakirman, dan Jenderal Mayor Jokosuyono.[10]

Dalam ketentuan itu juga mencetuskan bahwa semua satuan Angkatan Perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI, diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada segala perintah dari instruksi yang dikeluarkan oleh Pucuk Pimpinan TNI.[11]

Penataan organisasi (1947-1948)

Kondisi ekonomi negara yang sedang baru, belum cukup untuk membiayai angkatan perang yang agung pada waktu itu. Salah seorang anggota KNIP bernama Z. Baharuddin mengeluarkan gagasan untuk melaksanakan pengurangan anggota (rasionalisasi) di kalangan angkatan perang.

Selain itu, hasil dari Janji Renville yaitu semakin sempitnya wilayah Republik Indonesia. Kawasan yang direbut hanyalah sebagian karesidenan di Jawa dan Sumatera yang ada dalam demikianlah keadaanya konomi yang cukup parah dampak blokade oleh Belanda.

Pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah Pucuk Pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Agung Pertempuran. Staf Umum dibawa masuk kedalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu Markas Agung Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Agung Angkatan Perang Mobil. Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang dihapus.

Presiden mengangkat Komodor Suryadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Agung Angkatan Perang Mobil ditinggikan Jenderal Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bekerja sebagai perencanaan taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Sementara Staf Markas Agung Angkatan Perang Mobil, yaitu pelaksana taktis operasional.[12]

Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan Perang. Maka pada tanggal 27 Februari 1948, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru. Dalam penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor Suryadarma, sementara itu Markas Agung Pertempuran tetap di bawah Panglima Agung Jenderal Soedirman, ditambah Wakil Panglima yaitu Jenderal Mayor A.H. Nasution. Angkatan Perang ada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU).

Dalam penataan organisasi ini dibagi menjadi 2 anggota yaitu penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Agung Angkatan Perang.

Untuk menyilakan duduk penataan organisasi ini, Panglima Agung Jenderal Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya dituding oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Jenderal Mayor Susaliy (mantan PETA dan laskar), Jenderal Mayor Suwardi (mantan KNIL) dan Jenderal Mayor A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI habis pada belakang tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat menyilakan duduk penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera.[13]

Referensi

  1. ^ a b c Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 1. 
  2. ^ Tentara Nasional Indonesia Jilid I,cet II. hlm. 106. 
  3. ^ Perjuangan ABRI dan rakyat di Sumatera 1945-1950. hlm. bab II.2. 
  4. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 17. 
  5. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 24. 
  6. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 25. 
  7. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 32. 
  8. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 34. 
  9. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 46. 
  10. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 48. 
  11. ^ Kusnodiprodjo (1951). Himpunan Undang-undang, Peraturan-peraturan, Penetapan-penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1947. Jakarta. hlm. 336. 
  12. ^ Djenderal A.H. Nasution (1968). Tentara Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta: Seruling Masa. hlm. 130-132. 
  13. ^ Drs.Amrin Imran; Drs.Hayun Ugaya, Drs Tanu Suherly, Sri Suko BA (1971). Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat. Seri Text-Book Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sedjarah ABRI. hlm. 17. 

Bibliografi

  • Markas Agung TNI (2000). Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). Jakarta: Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI. ISBN 979-9421-01-2. 
  • A.H. Nasution (1963). Tentara Nasional Indonesia, Jilid I Cet.II. Bandung: Ganeco N.V. hlm. 106-110. 
  • Nas Sebayang. Perjuangan ABRI dan Rakyat di Sumatera 1945-1950. Manuskrip bab II.2. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 4

Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dihasilkan menempuh perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari ancaman Belanda yang berhasrat kembali berkuasa menjajah Indonesia menempuh kekerasan senjata. TNI pada awal mulanya yaitu organisasi yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan selanjutnya diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Pada masa mempertahankan kemerdekaan ini, banyak rakyat Indonesia membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan perjuangan rakyat. Usaha pemerintah Indonesia untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berlangsung, sambil bertempur dan berjuang untuk menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua daya bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi.

Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Desember 1949, Indonesia berubah menjadi negara federasi dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu maka dihasilkan pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang yaitu gabungan antara TNI dan KNIL. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dihentikan dan Indonesia kembali menjadi negera kesatuan, sehingga APRIS berproses dan berubah nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Pada tahun 1962, dilakukan upaya penyatuan antara angkatan perang dengan kepolisian negara menjadi sebuah organisasi yang bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penyatuan satu komando ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tingkat efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya dan menjauhkan pengaruh dari himpunan politik tertentu.

Pada tahun 1998 terjadi perubahan situasi politik di Indonesia. Perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap keberadaan ABRI. Pada tanggal 1 April 1999 TNI dan Polri secara resmi dipisah menjadi institusi yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI, sehingga Panglima ABRI menjadi Panglima TNI.

Periode pembentukan (1945-1947)

Badan Keamanan Rakyat

Pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[1]

BKR yaitu anggota dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada dalam 100 tahun Jepang dan bekerja memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.[1]

Pada tanggal 18 Agustus 1945 Jepang mencerai-beraikan PETA dan Heiho. Tugas untuk menampung bekas anggota PETA dan Heiho ditangani oleh BPKKP.[2] Pembentukan BKR yaitu perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan.

Pembentukan BKR diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.[1] Dalam pidatonya Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu melakukan pekerjaan dalam bentuk BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan jika telah datang saatnya.

Karena pada saat itu komunikasi sedang sulit, tidak semua kawasan di Indonesia mendengar Pidato Presiden Soekarno tersebut. Mayoritas kawasan yang mendengar itu yaitu Pulau Jawa. Sementara tidak semua Pulau Sumatera mendengar. Sumatera anggota timur dan Aceh tidak mendengarnya.

Walaupun tidak mendengar pemuda-pemuda di berbagai kawasan Sumatera membentuk organisasi-organisasi yang kelak menjadi inti dari pembentukan tentara. Pemuda Aceh membangun Angkatan Pemuda Indonesia (API), di Palembang terbentuk BKR, tetapi dengan nama yang lain yaitu Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) atau Badan Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR).[3]

Tentara Keamanan Rakyat

Menyerahnya Jepang kepada tentara sekutu menyebabkan kedatangan tentara Inggris ke Indonesia yang dimanfaatkan oleh tentara Belanda untuk kembali ke Indonesia. Situasi ini menjadi mulai tidak terlindung. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat.

Pemerintah memanggil bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo ke Jakarta. Wakil Presiden Dr.(H.C.) Drs Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal dan ditugasi untuk membentuk tentara.[4] Pada waktu itu Markas Tertinggi TKR ada di Yogyakarta.

Presiden Soekarno pada tanggal 6 Oktober 1945, mengangkat Suprijadi, seorang tokoh pemberontakan PETA di Blitar untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat dan Pemimpin Tertinggi TKR. Akan tetapi dia tidak pernah muncul sampai awal November 1945, sehingga TKR tidak ada pimpinan tertinggi. Untuk mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 November 1945 dipersiapkan Konferensi TKR di Yogyakarta dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Hasil konferensi itu yaitu terpilihnya Kolonel Soedirman sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 1945 mengangkat resmi Kolonel Soedirman menjadi Panglima Agung TKR, dengan pangkat Jenderal.[5]

Menjadi Tentara Keselamatan Rakyat

Untuk meluaskan fungsi ketentaraan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keamanan rakyat Indonesia, maka pada tanggal 7 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD 1946 yang menukar nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian nama Kementerian Keamanan Rakyat diubah namanya menjadi Kementerian Pertahanan.

Markas Tertinggi TKR mengeluarkan pengumuman bahwa mulai tanggal 8 Januari 1946, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat.[6]

Tentara Republik Indonesia

Untuk menyempurnakan organisasi tentara menurut standar militer internasional, maka pada tanggal 26 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang penggantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia. Maklumat ini dikeluarkan menempuh Penetapan Pemerintah No.4/SD Tahun 1946.[7]

Untuk mewujudkan tentara yang sempurna, pemerintah membentuk suatu panita yang disebut dengan Panitia Agung Penyelenggaraan Organisasi Tentara. Sebagian panitia tersebut yaitu Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Komodor Suryadarma.[8]

Pada tanggal 17 Mei 1946 panitia mengumumkan hasil kerjanya, berupa rancangan dan bentuk Kementerian Pertahanan dan Ketentaraan, daya dan organisasi, peralihan dari TKR ke TRI dan letak laskar-laskar dan barisan-barisan serta badan perjuangan rakyat.

Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1946 kemudian suatu peristiwanya melantik para pejabat Markas Agung Umum dan Kementerian Pertahanan. Pada upacara pelantikan tersebut Panglima Agung Jenderal Soedirman mengucapkan sumpah anggota pimpinan tentara mewakili semua yang dilantik.

Tentara Nasional Indonesia

Usaha untuk menyempurnakan tentara terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada waktu itu. Banyaknya laskar-laskar dan badan perjuangan rakyat, kurang menguntungkan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sering terjadi kesalahpahaman antara TRI dengan badan perjuangan rakyat yang lain.[9]

Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman tersebut pemerintah berupaya untuk menyatukan TRI dengan badan perjuangan yang lain. Pada tanggal 15 Mei 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan penetapan tentang penyatuan TRI dengan badan dan laskar perjuangan menjadi satu organisasi tentara.

Pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno meresmikan penyatuan TRI dengan laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama Tentara Nasional Indonesia. Presiden juga menetapkan bentuk tertinggi TNI. Panglima Agung Angkatan Perang Jenderal Soerdiman ditinggikan sebagai Kepala Pucuk Pimpinan TNI dengan anggotanya yaitu Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo, Admiral Muda Nazir, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor Sutomo, Jenderal Mayor Ir. Sakirman, dan Jenderal Mayor Jokosuyono.[10]

Dalam ketentuan itu juga mencetuskan bahwa semua satuan Angkatan Perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI, diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada segala perintah dari instruksi yang dikeluarkan oleh Pucuk Pimpinan TNI.[11]

Penataan organisasi (1947-1948)

Kondisi ekonomi negara yang sedang baru, belum cukup untuk membiayai angkatan perang yang agung pada waktu itu. Salah seorang anggota KNIP bernama Z. Baharuddin mengeluarkan gagasan untuk melaksanakan pengurangan anggota (rasionalisasi) di kalangan angkatan perang.

Selain itu, hasil dari Janji Renville yaitu semakin sempitnya wilayah Republik Indonesia. Kawasan yang direbut hanyalah sebagian karesidenan di Jawa dan Sumatera yang ada dalam demikianlah keadaanya konomi yang cukup parah dampak blokade oleh Belanda.

Pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah Pucuk Pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Agung Pertempuran. Staf Umum dibawa masuk kedalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu Markas Agung Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Agung Angkatan Perang Mobil. Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang dihapus.

Presiden mengangkat Komodor Suryadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Agung Angkatan Perang Mobil ditinggikan Jenderal Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bekerja sebagai perencanaan taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Sementara Staf Markas Agung Angkatan Perang Mobil, yaitu pelaksana taktis operasional.[12]

Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan Perang. Maka pada tanggal 27 Februari 1948, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru. Dalam penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor Suryadarma, sementara itu Markas Agung Pertempuran tetap di bawah Panglima Agung Jenderal Soedirman, ditambah Wakil Panglima yaitu Jenderal Mayor A.H. Nasution. Angkatan Perang ada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU).

Dalam penataan organisasi ini dibagi menjadi 2 anggota yaitu penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Agung Angkatan Perang.

Untuk menyilakan duduk penataan organisasi ini, Panglima Agung Jenderal Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya dituding oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Jenderal Mayor Susaliy (mantan PETA dan laskar), Jenderal Mayor Suwardi (mantan KNIL) dan Jenderal Mayor A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI habis pada belakang tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat menyilakan duduk penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera.[13]

Referensi

  1. ^ a b c Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 1. 
  2. ^ Tentara Nasional Indonesia Jilid I,cet II. hlm. 106. 
  3. ^ Perjuangan ABRI dan rakyat di Sumatera 1945-1950. hlm. bab II.2. 
  4. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 17. 
  5. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 24. 
  6. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 25. 
  7. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 32. 
  8. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 34. 
  9. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 46. 
  10. ^ Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). hlm. 48. 
  11. ^ Kusnodiprodjo (1951). Himpunan Undang-undang, Peraturan-peraturan, Penetapan-penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1947. Jakarta. hlm. 336. 
  12. ^ Djenderal A.H. Nasution (1968). Tentara Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta: Seruling Masa. hlm. 130-132. 
  13. ^ Drs.Amrin Imran; Drs.Hayun Ugaya, Drs Tanu Suherly, Sri Suko BA (1971). Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat. Seri Text-Book Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sedjarah ABRI. hlm. 17. 

Bibliografi

  • Markas Agung TNI (2000). Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). Jakarta: Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI. ISBN 979-9421-01-2. 
  • A.H. Nasution (1963). Tentara Nasional Indonesia, Jilid I Cet.II. Bandung: Ganeco N.V. hlm. 106-110. 
  • Nas Sebayang. Perjuangan ABRI dan Rakyat di Sumatera 1945-1950. Manuskrip bab II.2. 

Pranala luar


edunitas.com