Sikap yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang multi komplek adalah

Oleh: Erlina Wiyanarti , Dra. M.Pd 

“ ALL COUNTRIES ARE MULTICULTURAL NOWDAYS”

“ Mari kita rayakan  perbedaan agar hidup lebih indah , damai dan hamonis ! “  

Pendahuluan .

Dewasa ini semakin sulit menemukan sebuah bangsa yang memiliki budaya tunggal atau homogen. Buktinya Bangsa Indonesia  sekarang adalah contoh yang sempurana dari fenomena tersebut , sehingga Indonesia bisa di sebut  lukisan  karikatur dari masyarakat multikultural yang sedang tumbuh. Kemajemukan  muncul karena berbagai sebab, antara lain  adalah  akibat penjajahan  atau pembentukan  sebuah negara bangsa  yang terdiri dari beragam  suku bangsa atau juga karena proses migrasi antar negara .

Gagasan multikulturalisme   belakangan ini marak diperbincangkan di tengah-tengah perkembangan kehidupan sosial – politik dan budaya di Indonesia  yang terus meluas memasuki ruang publik bahkan domestik . Perluasan gagasan  tersebut seiring  dengan meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap praktik demokrasi dan ide masyarakat  madani sejak sejak beberapa dekade terakhir . Wacana pluralisme , toleransi , inklusivisme dan gagasan multikulturalisme pun mulai menarik perhatian para intelektual  dan   perluasan ragam pemikiran kritis termasuk di kalangan  pakar pendidikan.

Perubahan   atau kondisi dan situasi yang belum biasa pada hakekatnya  merupakan suatu proses akhir dari suatu kondisi krisis atau chaos yang penuh dengan ketidak menentuan dan ketidak teraturan .  Namun menurut Hayles  ( 1990 :5)  dibalik kondisi yang serba tidak teratur  dan tidak bisa diperkirakan tersebut sesungguhnya ada hukum keberaturan , yakni bahwa krisis akan membawa kepada sesuatu yang baru . Krisis sebagai suatu  situasi yang mengandung nilai – nilai kebijakan dalam mensikapi kehidupan . Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam  krisis tumbuh sikap kreatif , kesadaran saling ketergantungan dan keterhubungan , sikap adaptif , kemampuan melihat makna dibalik fakta , kesadaran makna waktu dalam kehidupan , dan memiliki kesadaran akan keberadaan diri ditengah alam semesta sebagai satu kesatuan yang utuh..

Sejarah  perjalanan umat manusia  selalu mengandung kecenderungan  untuk menghancurkan perumahan kemanusiaannya . Kecenderungan semacam itu tampaknya sudah inheren dalam struktur kejadian manusia . Menurut Colombijn ( dalam Fortuna ,2005 ) praktik budaya kekerasan adalah fenomena yang tak terpisahkan dari historisitas umat manusia  . Sejarawan hanya bisa berspekulasi bahwa di belakang  gejala konflik tersebut tentu ada suatu hikmah  ( wisdom )  yang tersembunyi.  Sekalipun konflik antar suku , etnis , bangsa dan negara  merupakan bagian dari perjalanan sejarah , tetapi  hikmah di dalamnya  mengajarkan bahwa  perbedaan  suku dan lain – lain  itu bukan untuk berseteru , tetapi untuk saling mengenal , saling memberi dan menerima.

Fenomena kekerasan  dan keberingasan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat   dewasa ini tampaknya semakin berkembang dan ironisnya  semakin menampakkan dirinya sebagai  bagian dari kehidupan rutin  sehari – hari  . Bisa dikatakan  yang terjadi sekarang ini   tiada hari tanpa  berita tentang  kekerasan , keberangasan dan kebrutalan.  Pertikaian  etnis  yang bersimbah  darah  di Kalimantan  Tengah  ( Kompas , 20 Pebruari 2000) juga  telah melukai  wajah kemanusiaan , karena begitu  banyak korban jatuh baik etnis Dayak maupun  Madura  . Kerusuhan yang mengakibatkan korban manusia baik  yang meninggal maupun yang terluka di kedua belah fihak tidaklah sedikit. Peristiwa  tersebut dalam pandangan  Hidayat ( 2004) merupakan  indikator dari kegagalan pemerintah  melindungi hak – hak kultural  komunitas yang tertindas .

Fakta tersebut mendorong kita untuk menginsafi  bahwa  peristiwa tersebut bisa terjadi di manapun , dimana masalah  etnisitas  akan menjadi pemicu timbulnya  pertikaian  yang memakan  banyak korban manusia . Sudah waktunya  dunia pendidikan melakukan  hal – hal yang konstruktif agar peristiwa sejenis tidak terulang lagi . Pendidikan  sebagai wahana  transmisi kearifan nilai – nilai budaya local  , yang sekaligus menjadi  lembaga  yang memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk memperoleh pemahaman dan penyadaran  pentingnya  kehidupan bersama yang damai di dalam masyarakat yang  memiliki budaya yang beragam , tak diragukan lagi merupakan pilihan utama  di dalam  pemecahan  masalah  yang berkaitan dengan pembangunan  masyarakat  yang lebih baik di masa depan  yang  menghormati dan menghargai keragaman  budaya . Sementara  menurut  Banks ( 1994) sebagian besar sekolah tidak memberikan perhatian yang layak dalam kurikulumnya tentang hal – hal  yang berkaitan  dengan pentingnya menghargai perbedaan etnisitas dan sikap toleransi  di kalangan  peserta didik .

Penulis sependapat dengan Hidayat ( 2004) bahwa untuk menyelamatkan aset bangsa berupa keragaman budaya Indonesia  dn mengangkat  martabatnya di masa depan, tak ada pilihan  lain bagi pemerintah  kecuali memberikan prioritas pada perbaikan  dunia pendidikan , tanpa harus mengorbankan identitas budaya bangsa  baik secara  nasional maupun lokal .

Hakekat Multikulturalisme.

Multikulturalisme  pada hakekatnya  merupakan  pengakuan  bahwa manusia adalah makhluk ciptaan  Tuhan  yang  tumbuh dan berkembang dalam  konteks budayanya masing – masing  yang  beda dan unik . Hal yang paling hakiki dari manusia  adalah  potensi yang di milikinya . Potensi manusia yang bersifat  positif  , dalam  hubungan dengan manusia lainnya adalah relasi hubungan ketergantungan , artinya butuh orang lain diluar dirinya sendiri . Oleh karena itu manusia dianjurkan saling menolong  dan bersilaturkhim , seperti yang tertuang dalam  An-Nisaa ayat 1yang diterjemahkan sebagai berikut :

“ Hai sekalian manusia , bertakwalah kepada Tuhan-mu  yang telah menciptakan kamu dari seorang diri , dan dari padanya  Allah menciptakan  istrinya ; dan dari pada keduanya  Allah memperkembang biakan  laki – laki dan perempuan  yang banyak . Dan bertakwalah kepada Allah  yang dengan mempergunakan nama-Nya  kamu saling meminta  satu sama lain , dan peliharalah  hubungan silaturakhim . Sesungguhnya Allah selalu menjaga  dan mengawasi kamu.

Saling menolong dan tetap memelihara silaturakhim dalam kenyataan hidup  yang saling tergantung dan saling membutuhkan  , tentu sulit dilakukan jika tidak saling mengenal  . Untuk itu Tuhan berfirman dalam surah Al Hujurat ayat 13 yang diterjemahkan  sebagai berikut  ,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki – laki seorang perempuan dan menjadikan kamu  berbangsa – bangsa dan bersuku – suku supaya kamu saling mengenal . Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui  lagi Maha mengenal “ .

Semakin kuat pengenalan satu fihak  kepada lainnya , semakin  terbuka peluang untuk saling memberi manfaat .  Karena itu , ayat di atas  menekankan  perlunya saling mengenal . Menurut Shihab  perkenalan tersebut dibutuhkan  untuk saling  menarik pelajaran  dan pengalaman  pihak lain , guna meningkatkan ketakwaan kepada Allaw swt , yang dampaknya  tercermin pada kedamaian  dan kesejahteraan  hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Lebih lanjut dikatakan oleh beliau bahwa  manusia  tidak akan menarik  pelajaran , tidak juga dapat saling melengkapi , bahkan tidak dapat bekerjasama tanpa saling mengenal ( Shihab, 2004,155) .

Potensi  lain yang di anugrahkan kepada manusia adalah sifat   rukun  , harmonis  dan selalu berusaha berbuat baik kepada sesama serta  menghindarkan  perpecahan , pertikaian  apalagi  peperangan . Dalam hal tersebut  Tuhan berfirman  dalam al- Qur`an surah asy-Syuura   ayat 13 yang diterjemahkan sebagai berikut  :

“ Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim , Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya … “

Dan  Al-Qashash ayat 17 yang diterjemahkan sebagai berikut :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu ( kebahagiaan)  negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahgiaanmu dari (kenikmatan)  duniawi dan berbuat baiklah  (kepada orang lain)  sebagaimana Allah telah telah berbuat baik kepadamu , dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka ) bumi . sesungguhnya Allah tidak menyukai orang –orang yang berbuat kerusakan “ 

Berdasarkan  keterangan – keterangan  tersebut  jelaslah bahwa manusia sesungguhnya makhluk yang tidak bisa lepas dari manusia lainnya dan untuk itu dianjurkan membangun relasi – relasi positif dalam  bentuk tidak memutuskan tali silaturakhim , tolong menolong , rukun , harmonis dan tidak berbuat kerusakan   dengan sesamanya.  Dan menurut  Mahmud dan Priatna ( 2005: 64) konsep  al insan  telah meletakan dasar yang kuat  pada pandangan  yang menyatakan  bahwa manusia   bukan diposisikan  sebagai makhluk yang individualistik ( abdullah ) saja dengan kewajiban utama beribadah kepada Allah , tetapi juga sebagai makhluk sosial (khalifah ).Tentu saja makhluk sosial yang dimaksudkan adalah manusia sebagai  makhluk dua dimensi  yang utuh yang mampu  mampu menjalankan perannya  baik sebagai khalifah  juga sebagai abdullah .

Hikmah lain yang bisa di petik dari firman Allah tersebut adalah hal keragaman  , keunikan dan keberbedaan . Dari perspektif Al –Quran pluralitas kelompok  etnis , agama, dan budaya  adalah sebuah keniscayaan yang merupakan desain atau kehendak Tuhan .Semua hal tersebut memang sudah menjadi rencana Tuhan , dan itu di adakan bukan semata – mata untuk membedakan satu dengan lainnya , kecuali untuk saling memberi manfaat. Kewajiban kita adalah menerima dan  hendaknya bersikap positif terhadap kenyataan tersebut. Dengan kata lain multikultural adalah suatu fenomena yang memang  di ciptakan Tuhan , dan bukan  ada karena manusia memikirkannya. Hanya saja  sekarang ini menjadi  pusat perhatian para cendikia , manakala  tidak sedikit para futurolog  mengatakan  bahwa tiga masalah besar yang akan di hadapi umat manusia di abad 21 adalah  ledakan penduduk , kesenjangan  dan redistribusi kesejahteraan  dan  konflik etnis !  Dan untuk Indonesia  prediksi tersebut menjadi kenyataan manakala  tragedi  di Kalimantan Tengah menyeruak  ke ruang  publik  baik lokal , nasional bahkan internasional.

Manusia  memang pada dasarnya  memiliki identitas keunikannnya yang tak pernah tergantikan dalam personalitasnya, walaupun selalu berusaha menserasikan seluruh pengetahuan, persepsi tentang realitas dalam kehidupan sosialnya . Berdasarkan pandangan falasafiah  tersebut  maka  manusia  secara universal memang  di ciptakan  berbeda  , tetapi  sekaligus  membutuhkasn kebersamaan , karena  setinggi dan sebanyak apapun perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh setiap individu  , yang namanya manusia tetap membutuhkan manusia lainnya  , oleh karena itu  mengapa manusia  di samping makhluk individu , diapun sekaligus menjadi makhluk sosial . Manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial , merunut istilah Mulkhan (2005) , memiliki potensi kesalehan multikultural. Artinya  suatu tindakan yang berdimensi terbuka melampaui batas – batas etnis , kebangsaan , paham keagamaan, dan kepemelukan suatu agama , yang  berguna bagi diri sendiri dan orang lain yang dilakukan karena ketundukan kepada Sang Maha Pencipta  Allah  SWT  dengan penuh kesadaran .

Perjumpaan manusia berlatar belakang budaya ataupun etnis berbeda, semakin hari semakin meluas melintasi batas – batas teritori bangsa  dan negara hingga batasan  benua , dan seiring dengan itu tumbuhlah kesadaran  atas fakta  otherness yang di sandang setiap bangsa . Sebagian dari perbedaan tersebut antara lain berupa warna kulit , postur tubuh,  bahasa , tradisi, pandangan hidup dan agama. Dan dalam proses perjumpaan  global itulah -di sebuah kawasan teritori kesatuan bangsa  atau negara- hidup beragam suku bangsa , etnis , tradisi , cara hidup maupun  kepemelukan  dan paham keagamaan .  Bangsa dengan sistem  kemasyarakatan  yang di bangun di atas keanekaragaman  tersebut  di kenal  bangsa yang  pluralis ( Kammeyer , Ritzer and Yetman, 1992) .

Tendensi spesifik yang sering muncul baik dalam wacana maupun realita  masyarakat plural adalah  hal dimana  seseorang  berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya  dengan komunitas  yang di dasarkan pada akar  ras, etnis, teritorial, bahasa , atau kombinasi semuanya ( Sanderson , 1993) . Sikap dan perilaku yang di landasi oleh keterikatan  dan ketertanaman  sosio – kultural tersebut di kenal dengan  sikap primordial . Keterikatan tersebut jika masih dalam kadar normal  atau wajar  maka akan melahirkan sikap primordial  dan itu adalah sesuatu yang positif , akan tetapi segera hal itu menjadi sesuatu yang kontra produktif terhadap kehidupan sosial  masyarakat apabila sudah pada kadar  yang tidak wajar , eksklusif – fanatik sempit , dan  menjadi  sikap  primordialistik . Dan  primordialisme dalam bentuk terakhir itulah yang menurut Kivimaki  dalam Fortuna dkk ( 2005) mudah untuk di mobilisir ke arah tindakan kekerasan , dan    seringkali hingga  membahayakan menjadi bencana bagi kehidupan bersama bahkan bagi kesatuan bangsa . Dan fenomena  tersebut tidak jarang memicu  konflik internal di teritori kesatuan negara bangsa  , di sertai kekerasan  akibat arogansi  yang cenderung memandang dirinya lebih baik , lebih benar dan berhak tumbuh berkembang menguasai yang lainnya.

Gejala sosial – politik  tersebut mendorong munculnya ide multikulturalisme . Gagasan multikulturalisme  mencerminkan  suatu kesadaran dalam perkembangan kehidupan negara bangsa berbasis multi etnis , bangsa pribumi dan pendatang . Multikulturalisme berakar pada konsep keberagaman  atau keberbedaan yang kadangkala  bisa memicu konflik , tetapi juga mendorong terciptanya komunikasi antar banyak fihak bersama  peneguhan kepercayaan dan tradisi asal. Multikulturalisme dalam pengertian yang terakhir digagas sebagai jalan bagi penemuan hubungan  yang lebih harmonis  antar beragan etnis dan  antara penduduk asli dan pendatang .

Menururut Sumartana dalam Sularso dkk ( 1998)  pada umumnya  para warga masyarakat belum dapat memikirkan secara sungguh – sungguh  konsekuensi  kemajemukan dalam masyarakat . Sehingga tidak heran pasca keruntuhan Orde Baru  bangsa Indonesia di  Dan untuk itu  di perlukan  sebuah pijakan baru  yang lebih mengarah kepada solidaritas  kultural  di mana perdamaian harus dilakukan melalui dialog pendamaian. Dan untuk  menumbuhkan  sikap – sikap  yang mengarah kepada pembentukan  solidaritas kultural  di kalangan generasi muda perlu di upayakan melalui berbagai cara dan wahana. Pendidikan multikultural  adalah salah satu upaya  yang bisa di lakukan sekarang ini.

Bangsa Indonesia  terdiri ratusan etnis, agama, budaya, dan adat istiadat, yang tersebar di sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah (Koentjaraningrat, 1970,  Thohari, 2000), sehingga dengan karakter seperti demikian tidak di ragukan lagi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis . Pluralisme memiliki dua muka , di satu muka merupakan kekayaan , potensi yang kalau di gambarkan bagaikan suatu lukisan yang kaya akan setuta warna , tetapi di sisi muka yang lainnya  juga sekaligus merupakan potensi konflik jika tidak mampu mengelolanya dengan baik dan bijaksanha  .  Ketidakmampuan mengelola pluralisme inilah yang akan bisa mendorong terjadinya gejolak sosial politik yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) . Dan Sebagai bangsa yang pluralis, sudah selayaknya memiliki pemahaman yang cukup tentang pluralisme  dengan multikuturalisnya dengan segala atribut – atributnya.

Secara antropologis, bangsa Indonesia sebagai masyarakat plural menurut Sumardjo ( 2002) di perkaya  oleh apa yang disebut dengan  local genius . Lebih lanjut dikatakan bahwa  tidak hanya di  perkaya , bahkan keragaman etnis, budaya, agama, bahasa, adat-istiadat yang hidup di tengah masyarakat , semuanya tergantung dari local genius yang bersifat primordial. Dan lokal genius yang primordial itu sesungguhnya ditentukan oleh genesis infra struktur penghidupan masyarakatnya. Sementara  secara historis  Indonesia pun memiliki perjalanan yang sangat panjang dalam hakekatnya sebagai bangsa yang pluralis . Simak saja bagaimana  semboyan atau motto kenegaraan Bhinneka Tunggal Ika muncul dan menjadi salah satu soko guru atau nilai  luhur kehidupan politik , sosial maupun budaya sejak jaman Majapahit

Merujuk pada pemikiran  Supriadi (2001)  Indonesia  secara teori terutama zaman Orde Lama dan Orde Baru, cenderung termasuk pada kategori  negara dengan realitas etnik dan budayanya yang heterogen, tetapi kebijakan pemerintahannya cenderung mengarah ke monokulturalisme dan  kebijakan  tersebut pada akhirnya mempengaruhi  integritas bangsa secara keseluruhan .  Kebijakan yang terlalu menekankan kesamaan atau kesatuan  menurut Wiriaatmadja (2002) juga telah  mengikis kualitas dan kuantitas  beberapa unsur budaya lokal di beberapa daerah   bahkan hingga kehilangan nilai guna dan fungsinya Selain adanya indikator menurunnya kekuatan nilai – nilai budaya lokal dalam membangun kehidupan bersama , bangsa  Indonesia disinyalir sedang berada pada kondisi krisis kolektif  dimana  muncul indikator   semakin  meningkatnya stereotipe dan prejudice  seiring dengan  rendahnya tingkat interaksi antar etnik “pribumi” dengan “pendatang”. Sebagai  contoh  nilai – nilai budaya lokal  seperti Budaya Betang  tidak mampu lagi  menjadi wadah  bersama bagi penduduk Dayak dan penduduk etnis Madura sebagai pendatang di Kalimantan Tengah  dalam membangun harmonisasi .

Menkaji berbagai pemikiran dan realita yang dimunculkan tersebut di atas  memperkuat dan memperjelas bahwa  Indonesia  sesungguhnya memiliki  potensi bagi pengembangan pendidikan multikultural .

Model Pendidikan Multikultural.

Pendidikan multikultural  adalah pemikiran fundamental dengan pendekatan progresif dalam  transformasi pendidikan  secara menyeluruh yang berkaitan dengan perbaikan   atas kegagalan dan diskriminasi  praksis- praksis dalam pendidikan yang  di bangun di atas pemahaman tentang kebebasan , keadilan sosial  , persamaan , kesetaraan pendidikan  , serta harkat dan derajat manusia. Oleh karenanya pendidikan multikultural dapat dimaknai sebagai suatu proses yang komprehensif  dalam pembaharuan sekolah dan  pendidikan bagi semua . Dengan demikian  pendidikan Multikultural merupakan proses yang meliputi berbagai aspek praksis di sekolah , kebijakan dan organisasi  yang dimaknai  untuk menjamin  pencapaian pengalaman dan kemampuan akademik peserta didik  tingkat  tinggi ,memiliki kesadaran sosial  dan memeiliki pengalaman aktif baik sebagai warga  lokal , nasional , dan global .

Pendidikan multikultural  seringkali diidentikan dengan pendidikan multietnis, padahal menurut Banks (1984) ada perbedaan  di antara keduanya , terutama  dalam fokus , tujuan dan strategi yang digunakan. Jika  Pendidikan multikultural  fokusnya  adalah kelompok budaya , khususnya  yang berkaitan dengan  konsep prasangka dan diskriminasi  dalam masyarakat , sedangkan  dalam pendidikan multietnis  fokusnya  adalah  kelompok etnis  . Tujuan  pokok pendidikan  multikultural  adalah membantu mengurangi  diskriminasi dan menentang  stigma kelompok budaya  dan  menciptakan  kesempatan memperoleh pendidikan yang sama bagi semua kelompok budaya , sedangan  pendidikan multietnis bertujuan membantu  mengurangi diskriminasi dalam rangka meraih korban  kelompok etnis  dan membentuk siswa  dari berbagai kelompok etnis ( suku ) memperoleh kesempatan pendidikan yang sama , dan mengurangi isolasi  , keterasingan  dan polarisasi etnis . Dan strategi pendidikan multikultural adalah menciptakan atmosper sekolah berlandaskan  norma institusi yang positif  untuk mencapai  tingkatan kelompok budaya  dalam masyarakat , sedangkann   pendidikan multi etnis taktiknya di arahkan untuk memodifikasi  seluruh  lingkungan sekolah agar lebih reflektif  dari keragaman etnis dalam masyarakat . Jadi pendidikan multikultural  sifatnya lebih umum dan lebih di arahkan untuk mengubah  lingkungan pendidikan secara keseluruhan sebagai upaya menghormati keragaman budaya yang eksis dalam masyarakat , sedangkan  pendidikan multietnis diarakan untuk memodifikasi lingkungan sekolah sebagai refleksi dari keberadaan berbagai etnis yang ada dalam masyarakat . Sekalipun demikian di Indonesia pada umumnya pendidikan multikultural  dianggap sudah  mewadahi karakter –karakter  yang dikembangkan dan dikehendaki dalam pendidikan multi etnis.

Pendidikan multikultural memposisikan   sekolah pada tempat yang penting dan strategis . Sekolah dianggap mampu berfungsi sebagai  institusi dasar atau wahana  bagi transformasi masyarakat  dan mengeliminasi  tekanan dan ketidak adilan yang sringkali muncul .   Oleh Karena itu pendidikan multikultural  menentang keras  rasisme dan  berbagai bentuk  diskriminasi di sekolah dan masyarakat,   dan menerima dan memahami kenyataan yang di sebut pluralisme  ( etnik, ras, bahasa, agama , ekonomi  dan gender ) yang ada dalam kehidupan peserta didik , guru dan masyarakat . Oleh karena itu Nieto (1996) dalam bukunya mengemukakan  bahwa mengingat pentingnya pendidikan multikultural di dalam pembangunan pola komunikasi yang partisipatif  dari semua anggota masyarakat , maka hal itu harus tercerminkan di dalam  kurikulum dan strategi yang di gunakan di sekolah, dalam interaksi antara guru –guru , para siswa dan orang tua , dan dimaknai secara jelas dalam konseptualisasi  dan aktualisasi proses belajar dan mengajar. Lebih lanjut dikatakan bahwa oleh karena dalam pengembangan  pendidikan multikultural  digunakan ilmu pendidikan yang kritis  , dan dilandasi oleh pemikiran yang sangat mendasar ( filsafat ) serta fokus pada pengembangan pengetahuan , refleksi , dan aksi ( praksis) sebagai dasar dari perubahan sosial , maka pendidikan multikultural  di arahkan juga sebagai wahana  bagi  pengembangan  prinsip – prinsip demokrasi dari keadilan sosial.

Merujuk kepada berbagai pemikiran , esensi tujuan  pendidikan multikultural antara lain adalah seperti yang di kemukakan oleh (Nieto,1996 . Dapat di akses di . )  :

  1. Membimbing peserta didik mengembangkan konsep diri yang positif , yakni meraih pemahaman yang luas tentang makna dirinya dalam perspektif  budaya lain  melalui  cara memberikan pemahaman tentang sejarah , budaya dan sumbangannya terhadap keragaman kelompok atau masyarakat
  2. Mempersiapkan para peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam meraih kesetaraan dalam organisasi dan institusi dengan memberikan pemahaman , disposisi, dan ketrampilan dalam mendistribusikan kembali kekuasaan dan pendapatan secara proporsional ditengah keragaman   kelompok atau masyarakat
  3. Membuka peluang dan kesempatan bagi semua peserta didik untuk mendapatkan kemudahan dalam pendidikan , sekaligus mendorong mereka memiliki sikap kritis  dalam memaknai  keadilan sosial  dan   meringankan  penderitaan  sesama  yang di akibatkan oleh dalam masyarakat .
  4. Menumbuhkan empati peserta didik terhadap penderitaan atau kesengsaraan yang di alami oleh sesama dari suku dan ras lain yang di akibatkan  oleh keunikan , ciri – ciri fisik  dan karakter budaya mereka .
  5. Memberikan tempat yang layak dan utama pada sejarah dan pengalaman hidup peserta didik dalam proses pembelajaran multikultural,dan
  6. Memotivasi peserta didik untuk belajar tuntas  dan meningkatkan  berbagai ketrampilan  berfikir yang relevan  dalam iklim pembelajaran  yang akrab dan kontekstual  .

Dan untuk mencapai tujuan – tujuan tersebut yang  paling di butuhkan adalah guru – guru yang kompeten dan memiliki kepedulian dan komitmen terhadap  hal yang terkait dengan  pembelajaran multikultural. Para guru  yang dipayungi  oleh kebijakan sekolah yang reformis dan di dukung orang tua siswa , di tuntut untuk  kreatif dan inovatif menciptakan lingkungan belajar  yang kondusif , dalam arti lingkungan yang demokratis  dan bermakna bagi peserta didik untuk memperoleh pengalaman tentang kebersamaan dalam keberbedaan dengan sukses. Dalam hal tersebut  sekolah  di tuntut  memainkan perannya lebih  nyata  dalam  pengembangan  sikap , perilaku dan nilai – nilai masyarakat  yang demokratis .

Jadi  pendidikan multikultural  pada dasarnya  dapat mempengaruhi perubahan masyarakat  . Betapa tidak  , dari  ungkapan tersebut di atas  jelas sekali bahwa  untuk mencapai tujuan  melibatkan  transformasi atau perubahan  dalam tiga  dimensi , yakni  perubahan  diri pribadi  (the transformation of self) , perubahan  sekolah dan lingkungan keluarga  (  the transformation of schools and schooling) , dan terakhir  perubahan masyarakat  ( the transformation of society) .

Pendidikan multikultural  mulai  berkembang  di Amerika Serikat , sekitar dekade tahun 1960-an ketika mulai tumbuhnya gerakan kesadaran akan hak – hak  kelompok minoritas  di dalam  apa yang  dikenal dengan pendekatan budaya  “ melting pot “ . Sekalipun  perdebatan diantara kelompok yang mendukung dan menentang  terus berlanjut , namun akhirnya ditengah – tengah kontroversi itulah muncul suatu kesepakatan  bahwa pendidikan multi kultural bisa  dikembangkan di sekolah – sekolah  terutama dalam bentuk memperkenalkan budaya – budaya yang ada dalam kehidupan para peserta didik sehari – hari , yang mana tujuan pokoknya adalah  membentuk warga negara yang mampu menyadari adanya keberagaman budaya di dalam masyarakat ( Sobol , 1990) .

Sekolah  di negara – negara maju  telah memperkenalkan sejumlah program  dan kegiatan untuk  mencapai kemampuan pemahaman yang tinggi terhadap  kelompok  berbagai  etnis dengan  keyakinan bahwa pendidikan multicultural  membantu mempersiapkan peserta didik untuk hidup  dalam  masyarakat  yang memiliki perbedaan etnis,  dan  bisa memberi manfaat  bagi perkembangan kognitif maupun  afektif  peserta didik . Pada  umumnya   pengenalan  terhadap kegiatan yang bersifat multicultural  di motivasi oleh sekurang kurang empat  hal : (1)  memperbaiki  etnisentrisme dalam kurikulum tradisional ( Banks, 1984)  ; (2) membangun pengertian  atau komunikasi antar  ras  dan kelompok budaya  ,  serta  penghargaan terhadap perbedaan budaya ( Jandt, 1998) ; (3)  mengurangi  kepekatan tekanan antar kelompok  dan konflik , dan (4)  membuat kurikulum  relevan terhadap pengalaman , tradisi budaya , dan kontribusi  kesejarahan dari  pembentukan bangsa  yang  memiliki beberagaman  budaya ( Partington and Mc Cudden , 1993).

Berbagai model pembelajaran multicultural  dikembangkan , namun pada dasarnya dari hasil penelitian  ditemukan ada tiga pola pokok  model pembelajaran , pertama ,  model  yang berorientasi  pada materi  (content – oriented program );  kedua, model yang beroreintasi  pada peserta didik  ( student – oriented program ) ; dan ketiga , model yang berorientasi pada proses kehidupan masyarakat  ( socially –oriented program ) .

Content – oriented program  ( COP) adalah  pembelajaran  dimana  materi pokoknya adalah tentang  kebudayaan dari kelompok – kelompok yang ada dalam masyarakat  dimana para peserta didik tinggal . Tujuannya  adalah  mengembangkan pengetahuan peserta didik tentang budaya yang ada di sekitar kehidupan mereka . Materi tersebut secara eksplisit dicantumkan sebagai tema atau pokok bahasan dari  standard isi kurikulum . Bank ( 1994) dalam bukunya menjelaskan lebih  detail  bahwa model COP pada dasarnya memiliki tujuan utama yakni (1)  mengembangkan  materi keragaman budaya  melalui kajian keilmuan ,(2)  mengkaji secara terpadu  berbagai pandangan  dan perspektif yang berbeda  terhadap budaya – budaya yang ada , dan (3)  mentransformasikan  pemikiran – pemikiran yang bernuansa keragaman budaya , sekaligus menjadi landasan bagi lahirnya kurikulum  dengan paradigma  baru .

Memahami bahwa pendidikan multicultural  merupakan upaya dalam merefleksikan  keragaman budaya  di dalam kelas , maka student – orinted program ( SOP)  adalah model  yang  tepat  . Merujuk pada pendapat Banks ( 1994) , jika model COP berusaha mengembangkan “ the body of knowledge “  dari perbedaan etnik dan  kelompok gender , maka SOP  memberikan perhatian utama pada pencapaian kemampuan akademik ( the academic achievement )  para peserta didik . Sehingga  muara dari model ini adalah tumbuhnya  kesadaran  peserta didik  akan pentingnya menghormati dan bertoleransi di dalam  kehidupan  masyarakat  dengan keragaman budaya . bahkan Sletter dan Grant ( 1993)  lebih menegaskan lagi  bahwa beberapa model SOP  di rancang memang  tidak untuk mentransformasikan  materi pembelajaran , melainkan  lebih kepada memberikan bimbingan  atau  tuntunan kepada peserta didik  untuk  mampu melewati masa transisi  dalam mengembangkan sikap positif terhadap perbedaan budaya yang mereka miliki . Misalnya  baik mulai dari perbedaan bahasa , tradisi , kesenian  bahkan jika ada perbedaan yang bersifat fisik . Sehingga  dengan model tersebut peserta didik akhirnya di ajak untuk merasakan bahwa mereka  memiliki latar belakang budaya yang berbeda , akan tetapi merekapun merasakan manfaat dari perbedaan tersebut di dalam memperkaya kehidupannya.

Sedangkan  model ketiga , socially – oriented program ( ScOP) merupakan program  yang  bertujuan tidak hanya mengubah kurikulum dalam arti membangun  pengetahuan baru ,   maupun pencapaian kemampuan akademik peserta didik saja , melainkan lebih kepada menciptakan  iklim budaya  dan kebijakan sekolah  yang mendukung penyadaran dan peraihan nilai – nilai dari kehidupan bersama di sekolah yang multikultural  . Program tersebut dikembangkan baik pada tatanan pembelajaran di dalam kelas hingga kepada kehidupan sosial di sekolah,  yang melibatkan seluruh unsur dalam sekolah yang bersangkutan .  Sehingga  dampaknya  tidak hanya dirasakan oleh para peserta didik , tetapi seluruh  fihak yang terkait dengan  lingkungan di dalam sekolah .Tujuan  utama model ScOP adalah tumbuh dan berkembangnya toleransi antar budaya  dan mengurangi bias – bias negatif dari  kehidupan multibudaya .

Merujuk pada  pemikiran Banks ( 1994) model  ScOP   tidak hanya  dirancang  untuk merestruktur dan merubah kurikulum sekolah , melainkan juga di rancang untuk meningkatkan aspek – aspek berikut ini : (a)  berbagai hubungan antar  suku, etnis dan  bahasa  di sekolah , (b)  mendorong  keberanian para guru yang berasal dari kaum minoritas , tidak lagi merasa tertekan  , (c) program anti bias  , dan (d)  program  belajar bekerjasama . Sleeter dan Grant ( 1993)  dalam pengematannya  menemukan bahwa  model ScOP    memiliki  karakter yang lebih kuat  dan holistic di dalam kerangka  “human relations “  . Lebih lanjut  dikatakan bahwa   jika model ScOP  dipadukan dengan  COP dan SOP  dengan  tepat ,  maka   hal etnisitas dan keragaman budaya dalam revisi kurikulum sekolah,  akan memberikan peranan sosial yang positif  ,  juga sekaligus  melakukan penelitian tentang gaya belajar  peserta didik dalam meraih kemampuan akademiknya ,  serta  dapat  mengurangi  tekanan   rasialisme  dan atau  kesukuan  di dalam  kelas .

Potensi lain yang dimiliki  oleh model ScOP  , jika diperluas spektrumnya melalui  berbagai pendekatan pembelajaran , serta  dilengkapi juga kegiatan – kegiatan yang bersifat sosial , adalah  bisa dikembangkan sebagai wahana  pengembengan berbagai ketrampilan. Melalui pendekatan ketrampilan berfikir kritis , maka  peserta didik  bisa mengkritisi  hal – hal  yang berkaitan dengan   rasisme , kesukuan  dan berbagai aspek  budaya represif dalam masyarakat;  beberapa  menekankan pada pendekatan  muti bahasa ; sedang yang lainnya  berusaha mengkaji isu- isu  dari sejumlah pandangan yang berbeda , dan dari  itu dibangun keinsyafan keberadaan  budaya predominan ; sedangkan yang lainnya  menggunakan pendekatan terpadu  dimana  ketrampilan  belajar bekerjasama ( cooperative learning )  dan ketrampilan mengambil; keputusan ( decicion –making skill)  yang diarahkan  untuk mempersiapkan peserta didik  menjadi warga negara yang aktif secara social .

Pendidikan Multikultural  Dalam  Pengembangan  Pendidikan   di Propinsi Kalimantan Tengah  .

Hasil berbagai penelitian  tentang latar belakang dan dampak dari konflik antar etnis di  Kalimantan Tengah sudah banyak dilakukan, dan beberapa di publikasikan  baik dalam bentuk  karya tunggal maupun  bagian dari bunga rampai . Penafsiran terhadap  fakta – fakta  akan peristiwa tersebut  pada umumnya  sepakat bahwa teridentifikasi  bahwa  penyebab  dari peristiwa  bukanlah bersifat tunggal melainkan komplek, yang melibatakan aspek sosial – budaya, sosial – ekonomi dan sosial –politik .Misalnya  Thung Ju Lan dalam Fortuna dkk( 2005) lebih cenderung menyetujui temuan bahwa penyebab dari konflik di Kalimantan Tengah di latarbelakangi oleh perbedaan budaya dan iri hati di bidang ekonomi  antara orang Dayak dan Madura. Pernyataan tersebut di pertegas oleh Klinken dalam buku yang sama , bahwa perbedaan budaya di wujudkan slogan pinjaman dari orang Melayu yakni ” dimana bumi di pijak , di situ langit di junjung ”  yang dipahami dari perspektif militansi , sehingga mengandung pengertian bahwa Dayak adalah tuan di tanahnya sendiri dan bahwa pihak – pihak lain , Madura dalam hal ini , harus mengakui itu dengan asimilasi budaya. Hanya Klinken menambahkan ada temuan  bahwa dalam konflik tersebut terkandung apa yang di sebut bangkitnya  amarah ” primitif ”   di dada orang Dayak yang di pancing oleh kesombongan orang luar , padahal orang Dayak sendiri  sebenarnya cinta damai . Kivimaki memiliki pandangan yang tidak percis sama . Dalam buku yang sama dia mengemukakan bahwa konflik tersebut lebih di sebabkan oleh lemah dan tidak kondusifnya hubungan pemerintah daerah dan pusat. Rasa takut dan frustasi dari orang Dayak terhadap peranan orang Madura sebagai utusan negara yang lemah dari pelaksanaan  praktik – praktik pemerintah pusat dalam    klasifikasi, pengelolaan, sertifikasi  dan pemilikan tanah, muncul bersamaan dengan semakin menguatnya keyakinan bahwa orang Dayak  sebagai ” putra daerah ” berhak memegang kendali ekonomi dan politik  . Dua kondisi tersebut memuncak dan meletus menjadi pertikaian berdarah yang berbau konflik etnis . Di tengah berbagai temuan yang berbeda tersebut , sebenarnya ada satu kesepakatan , sekalipun masih kabur , yakni peristiwa tersebut  lebih dikategorikan sebagai  pertikaian antar etnis dan bukan  agama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso,  atau  menurut istilah Fortuna dkk ( 2005)  merupakan konflik kekerasan internal  berbasis kesukuan atau etnisitas.

Apapun hasil penelitian yang temukan , konflik berdarah itu memakan korban manusia dari kedua belah fihak . Peristiwa tragis  tersebut , kita sepakat , jangan terulang lagi di masa depan . Kita harus belajar , kita harus lebih arif dan bijaksana  untuk menjaga agar tragedi tersebut tidak terulang di tanah Kalimantan Tengah  maupun di  tanah – tanah  di seantero persada Nusantara  ini . Kita harus mencari solusi mendasar untuk itu , dan  pendidikan  adalah salah satu wahana strategis untuk menumbuhkan kesadaran multi etnis , multikultural  dan menerimanya sebagai suatu  kekayaan  bangsa , dan bukan  sebagai sumber konflik .

Hakekat multikultural  di Kalimantan Tengah adalah  keragaman budaya yang di perkaya oleh  primordial  etnis – etnis yang ada dalam masyarakat . Karena karakter yang demikian itu maka multikultural harus di artikan juga sebagai proses  pengurangan atau pengenceran   eksklusifisme dan fanatisme etnis yang sempit ,  tanpa menghilangkan upaya penguatan  identitas “primordial”  dari masing – masing suku ( ingat bukan promordialistik ! ) , dan perbedaan yang muncul dari penguatan  itu  di pandang sebagai sumber  kekayaan dalam membangun  komunikasi antarbudaya . Multikulturalime juga harus di maknai sebagai  upaya menghindari eksklusifisme dan fanatisme etnis yang sempit  yang akan menyulut konflik yang secara potensial akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia . Oleh karenanya  pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah harus di landasi oleh Pancasila sebagai falsafah dan pandanangan hidup bangsa  , yang sekaligus  sebagai pemersatu bangsa dalam kerangka NKRI.

Memahami  berbagai  pemikiran tentang  pendidikan multikultural  pada  bagian sebelumnya , maka yang tepat dikembangkan pada pendidikan di Kalimantan Tengah adalah pola  pendidikan multikultural yang syarat dengan  pertimbangan – pertimbangan  multietnis. Artinya pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah  di kembangkan dalam bentuk  upaya – upaya  yang  dilandasi oleh pertimbangan etnisitas yang berkembang di masyarakat . Dengan demikian tujuan pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah di arahkan untuk ( 1) membuka isolasi keterasingan antar etnis dalam masyarakat , (2)  meningkatkan  toleransi , penghargaan dan penghormatan  atas perbedaan karakter masing – masing etnis yang ada, (3) membangun   komunikasi  antarbudaya yang di landasi oleh  pengakuan yang jelas terhadap nilai – nilai Budaya Betang ,  dimana Budaya Betang bukan pada posisi sebagai  etnis dominan , melainkan sebagai perekat benang merah dalam hubungan antar etnis di Kalimantan Tengah   , (4) meningkatkan upaya untuk   mengurangi prasangka dan diskrimansi  yang di latarbelakangi  oleh etnisitas ,  (5)  menumbuhkan empati  terhadap penderitaan  yang di akibatkan oleh  prasangka dan diskriminasi  karena perbedaan yang dimiliki oleh masing – masing etnis.

Pendidikan multikultural  sekarang ini sangat memungkinkan untuk berkembang terutama dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah. Hakekat dari otonomi daerah dilihat dari pembangunan sektor pendidikan  berarti sangat banyak , karena  dengan otonomi diharapkan penerapan kebijakan pembangunan pendidikan   akan sesuai dengan karakteristik kebutuhan pendidikan di Kalimantan Tengah.  Jika  selama ini yang disebut muatan lokal  hanya diberi  porsi yang kurang memadai , maka muatan lokal sekarang ini justru yang harus memberikan ciri khas kebijakan pembangunan pendidikan  di Kalimantan Tengah . Muatan  lokal  tidak lagi  diartikan sebagai  adanya muatan kebudayaan  daerah , seperti kesenian , adat istiadat dan bahasa dan lain – lain belaka , tetapi juga harus  memuat  pembelajaran  yang berperspektif multikultural . Artinya pendidikan multikultural (a) tidak identik dengan adanya mata pelajaran tentang multikultural secara terpisah , (b) melainkan terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran , tetapi di rumuskan secara eksplisit dalam rumusan –rumusan  tujuan pembelajaran di kelas , (c)   dukungan moral yang nyata dari guru yang memilki kualifikasi dan komitmen terhadap multikulturalisme ,(d)  dukungan dari para orang tua siswa ,( e)  dan semua itu  harus dalam kerangka  bentuk dukungan sekolah secara menyeluruh dalam menciptakan  lingkungan sekolah sebagai wahana yang kondusif bagi para peserta didik  memahami, menyadari , meyakini serta  mengalami apa yang disebut multikulturalisme  dalam kehidupan sehari – hari mereka . Kerjasama guru, orang tua dan sekolah, seperti di diungkapkan oleh  Fred E. Jandt, (1998) menjadi syarat utama bagi pengembangan pendidikan berbasis komunikasi antar budaya . Singkatnya pengembangan pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah harus di maknai sebagai  proses  transformasi masyarakat kearah pembangunan  mental  multikulturalisme .

Pertikaian antar etnis di Kalimatan Tengah  beberapa tahun lalu  merupakan salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia . Betapa tidak , sesama anak bangsa  saling membunuh karena alasan social , ekonomi , dan yang paling menonjol bernuansa kesukuan . Peristiwa tersebut lebih menegaskan bahwasanya , hingga sekarang ini , masyarakat  Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang heterogen  – multikultur , dimana sederhananya ada penduduk asli , orang Dayak , dan penduduk  pendatang , antara lain orang Banjar, Madura , Jawa , Sunda , Makasar,  dan suku – suku bangsa lainnya. Tetapi tampaknya menyitir pemikiran Abdulah  (2003)   , peristiwa tersebut bisa jadi salah satu penyebabnya adalah merupakan pantulan yang keras dari masyarakat majemuk yang berada dalam “kesunyian” tanpa perlindungan sistem kepemimpinan lokal dan masyarakat madani yang sehat dan fungsional. Sewlain itu di temukan pula , berdasarkan hasil wawancara  penulis dengan penduduk selang beberapa saat  setelah peristiwa tersebut mereda – kebetulan penulis  menjadi team  yang di undang oleh pemerintah daerah untuk mengkaji peristiwa tersebut  –  bahwa  penyebab utama dari  peristiwa tersebut adalah  menguatnya  premanisme  di dalam  persaingan ekonomi antara penduduk asli dan pendatang . Kenyataan tersebut di perkuat oleh  pendapat Suparlan ( 2001) dan Piliang ( 2002)  bahwa  konflik  yang di latar belakangi pluralisme etnis bisa meletus ,  terutama di kawasan yang premanismenya begitu kuat sebagai basis ekonomi kelompok .

Kita semua berharap  konflik etnis  tersebut tidak  akan  terulang , dan menjadi awan kelam bagi masa depan masyarakat Kalimantan Tengah Khususnya dan bangsa  Indonesia umumnya . Dan peristiwa tersebut  mudah – mudahan  menjadi pelajaran berharga  bagi seluruh bangsa Indonesia  . Untuk menghindari terulangnya tragedi kemanusiaan tersebut , harus dilakukan berbagai upaya  secara sadar , terencana , berkesinambungan,  konstruktif dan dapat dipertanggungjawabkan .  Pendidikan sebagai usaha sadar dalam  membimbing dan memepersiapkan generasi muda untuk  menjadi waga masyarakat yang baik  di masa depan , merupakan  institusi masyarakat  yang paling strategis  dalam pengembangan kesadaran  akan  pentingnya  hidup damai berdampingan dalam keragaman budaya .  Pendidikan multicultural adalah  alternative  terdepan  di dalam  upaya membangun  kesadaran  persatuan dalam keragaman budaya .

Berdasarkan  kajian terhadap pemikiran – pemikiran tersebut dan gambaran Sipet ( 2001 ) dan Wiyanarti (2001)  tentang perkembangan pendidikan di Kalimantan Tengah pasca kerusuhan etnis,  maka  salah satu muatan local di Kalimantan Tengah ,  seyogyanya  adalah  Pendidikan Multikultural  yang  diberi tempat yang  utama di dalam  persekolahan dari tingkat  TK hingga  Perguruan Tinggi .Model yang tepat, dengan mempertimbangkan situasi dan karakter di lapangan  , adalah  perpaduan yang berorientasi  pada kehidupan sosial masyarakat dan tingkat perkembangan peserta didik ( perpaduan  antara  Student Oriented Program dengan Socially Oriented Program )  tanpa mengabaikan  pendekatan Content Oriented Program.

Langkah  – langkah pokok  dalam pengembangan  Pendidikan Multikultural   di Kalimantan Tengah   adalah  sebagai berikut  :

  1. Memasukan materi pelajaran atau pokok bahasan yang berkaitan dengan  pengenalan  berbagai budaya  yang hidup dimasyarakat  . Langkah ini tidak juga berarti perlu adanya mata ajar yang baru , tetapi secara jelas bisa terintegrasi atau terpadu  dengan mata ajar yang lain , dan yang paling tepat adalah melalui pelajaran budi pekerti untuk  tingkat Taman Kanak – Kanak , pelajaran IPS untuk tingkat pendidikan dasar ( SD-SMP)  , mata pelajaran ilmu – ilmu sosial untuk  tingkat  sekolah menengah ( SMA/SMK)  , dan untuk  tingkat  perguruan tinggi  lebih tepat dalam mata kuliah  Pendidikan Multikultural . Penempatan  materi pendidikan multikultural secara eksplisit  dalam kurikulum akan mempertegas pentingnya  hal tersebut  untuk menjadi kepedulian bersama fihak – fihak yang terkait  , baik ditingkat  pengambil kebijakan pendidikan , hingga para guru di sekolah – sekolah .
  2. Mempertimbangkan pengalaman masa lalu dan karakter sebagian besar penduduk Kalteng yang adalah orang Dayak , maka “ Budaya Betang  “  (  Usop , 2001 ) sebagai  kearifan lokal mendapat perhatian yang khusus., disamping  budaya –budaya lainnya  secara  adil . Strategi model  tersebut tentu saja harus dikembangkan secara terpadu  dengan  mempertimbangkan tingkat perkembangan  kemampuan peserta didik  Model  tersebut  dikembangkan  dengan tujuan  memberi kesempatan kepada peserta didik untuk meraih  kemampuan akademik yang memadai  , baik  tingkat pemahaman maupun peraihan pengalaman  belajar  tentang  keragaman budaya .
  3. Menyediakan sarana , media dan sumber  pembelajaran yang  memadai  bagi  proses  pengembangan pemahaman  multikulturalisme  , baik  berupa  buku – buku  yang relevan , dokumen , gambar , foto ,  kurikulum  ,  rencana  pengajaran ,  guru – guru yang  memiliki perspektif positif terhadap multikultural , dan terakhir adalah berupa  seting iklim pembelajaran yang kondusif ,
  4. Mengembangan aspek  empati peserta didik , tidak hanya memberi kesempatan mereka menambah  pengetahuan , tetapi sekaligus  mampu merasakan  menjadi  teman yang berasal dari budaya yang berbeda . Sehingga  diharapkan  pengalaman tersebut  terinternalisasi dalam sikap dan perilaku sehari – hari mereka .  Misalnya  bagaimana  pengalaman mereka mengenakan  baju  adat dari  suku  lain , mencicipi makanan tradisional  suku lain , mencoba mengenal dan menggunakan bahasa suku lain , menyanyikan lagu – lagu daerah dari suku lain , bahkan  ikut serta  dalam  upacara adat suku lain yang diselenggarakan  oleh sekolah , secara bergantian . Disamping itu  merekapun diajak mengkritisi bersama , dengan bimbingan para guru , kerugian – kerugian yang akan dirasakan  jika mereka memiliki  sikap tidak menghargai  budaya  temannya yang lain . Dan jika perlu  tunjukan  pengalaman yang merugikan  jika mereka tidak menghormati budaya lain  di dalam membangun kehidupan bersama di Kalteng .
  5. Menciptakan kultur sekolah yang berorientasi multikultural . Jika perlu guru di kelas merancang  hari – hari khusus untuk  memperkenalkan budaya   seperti  “ Hari Dayak “ “ Hari Jawa “ , “ Hari Sunda “ ,“ Hari Madura “ , “ Hari Makasar “ , “ Hari Papua “ , dan lain – lain  untuk  tingkat TK dan SD . Model  perayaan hari khusus itupun bisa dikembangkan di tingkat  SMP dan SMA  dengan  desain yang berbeda sesuai dengan kematangan mental  mereka . Pada tingkat tersebut  bisa ditambahkan dengan  kegiatan  berdiskusi  di kelas tentang  tema – tema yang  berkaitan dengan   pentingnya sikap toleransi dalam  membangun kebersamaan ,  sekaligus  menunjukan dengan  parilaku  yang nyata.  Keakraban  terhadap  budaya suku – suku  bangsa  yang berbeda  yang ada dalam kehidupan mereka sehari – hari , menurut Mc Whiter , Paluch  dan Ohm ( 1988)  akan  membantu  peserta didik  memilki kesadaran bahwa  ras , suku bangsa , agama , gender , usia  dan perbedaan fisik lainnya  atau tampilan – tampilan entitas sosial ,  tidak cukup  menjadi dasar untuk  tumbuhnya sikap buruk sangka ( prejudice)  dan diskriminatif . Persahabatan  bisa  menembus perbedaan   semua itu .
  6. Sekolah merancang suatu aktivitas sosial  yang  melibatkan sebanyak mungkin  peserta didik , para guru , penjaga sekolah , para orang tua peserta didik, bahkan  jika perlu melibatkan   lembaga swadaya masyarakat  yang memiliki  kepedilian  terhadap  pendidikan multicultural .  Contoh kegiatan antara lain misalnya mengadakan  pameran , dimana dibentuk kelompok  yang mendapat  tugas untuk menyajikan  visualisasi  dan segala hal yang berkaitan dengan  budaya salah satu suku bangsa yang ada di Kalteng  dewasa ini . Penunjukan sebaiknya melalui kesepakatan , jika  dirasa sulit maka melalui undian  cara yang lainnya . Selain pameran bisa berupa “ Pekan Kreatif”  di sekolah , misalnya memainkan drama yang bernuansa  multikultural  atau aktivitas – aktivitas lainnya yang relevan . Bahkan  mengamati perkembangan terakhir di Kalimantan Tengah , dimana mulai tumbuh komunitas  yang berasal dari berbagai negara , maka mereka bisa juga di libatkan dalam  pekan kreatif dengan  bekerjasama untuk menampilkan budaya dari negara luar  sehingga  nuansanya tidak terbatas pada budaya yang ada di Indonesia , tetapi juga dari manca Negara .    Sehingga  melalui kegiatan – kegiatan tersebut  peserta didik  tidak hanya memperkaya pengetahuan dan pemahamanan tentang  budaya  suku bangsa tertentu tetapi juga  Negara lain  , sehingga sekaligus  juga merasakan  kehadiran  budaya tersebut di dalam perasannya . Dampak ikutan aktivitas  tersebut  ,  peserta didik  memiliki pengalaman mengkritisi  hal – hal esensial dari apa yang mereka kerjakan ,  merasakan manfaat bekerjasama  , dan merasakan  pentingnya  ketrampilan membuat keputusan yang tepat  demi kebersamaan  mencapai tujuan .
  7. Sementara untuk  tingkat PT , peranan  universitas atau fakultas sangat diharapkan , misalnya  dalam menyelenggarakan kajian – kajian  empiris dan teoritis  tentang  Jika perlu  , merujuk kepada model Lasenza dan Trout ( 1990)   dikembangkan  program  workshop atau pelatihan . Salah satu  model  yang dianjurkan ,  adalah  “  The Anonymous Model   “ . Focus dari model  tersebut adalah  untuk mengetahui  ekspresi  kelompok  secara rahasia terhadap kelompok lainnya , baik yang bersifat negatif maupun positif dengan disertai alasan

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan tersebut  diperoleh kesimpulan  bahwa            multikulturalisme adalah pengertian yang tidak hanya merujuk  pada kenyataan sosial –antropologis  adanya pluralitas kelompok etnis, bahasa , dan agama , tetapi juga mengasumsikan  sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima  keragaman budaya . Paradoksnya,   realita seringkali atas nama modernisasi dan pembangunan  seringkali  justru  melahirkan  penindasan atas hak- hak  kultural dari sebagian  warga suku bangsa. Dalam  kondisi itulah pendidikan multikultural  adalah sebuah  keharusan .

Kesimpulan  kedua  adalah bahwa  pendidikan multikultural  adalah tepat  dan optimal  jika di  kembangkan  di  dalam masyarakat  multi budaya . Pendidikan  Multikultural dalam berbagai model pengembangan memiliki  manfaat terutama  bagi  penumbuhan  kesadaran  dan keinsyafan akan pentingnya  saling menghormati dan toleransi  antar budaya  dalam kehidupan bermasyarakat, serta  memberi peluang bagi  tumbuhnya ketrampilan  berfikir kritis , bekerja sama dan ketrampilan mengambil keputusan   , melalui  upaya – upaya  konstruktif , akademis, dan psikologis  di  sekolah  sebagai  lembaga  pendidikan formal  maupun di perguruan tingggi .

Kesimpulan ketiga propinsi Kalimantan Tengah dengan  pengalaman sejarah dan realita  masyarakatnya dewasa ini , berpotensi munculnya kembali di masa depan pertikaian antar etnis , dan oleh karenanya perlu  dikembangkan upaya – upaya sistematis, logis  dan paedagogis  untuk mengembangkan pendidikan penyadaran  multikulturalisme. Langkah teresbut seyogyanya dilaknakan dengan memberikan tempat yang layak  dalam kurikulum dan lingkungan sekolah  bagi pendidikan multikulural yang sarat dengan perspektif multietnis. Untuk mencapai tujuan utama dari pendidikan multikultural tersebut  diperlukan transformasi  dan kerjasama antara  guru , orang tua , sekolah , masyarakat  dan jika perlu melibatkan lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap  pendidikan multikultural  di Kalimantan tengah .

Daftar Pustaka

Abdullah, H.M. Amin, (2003) Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Mahammadyah University Press.

Banks, James .A . ( 1984) .  Teaching  Strategies For Ethnic Studies  ( 3 rd ed) .

Massachusetts  : : Allyn and Bacon .

—————- . ( 1994) , An Introduction to Multicultural Education . Boston : Allyn

and Bacon .

Blum, A. Lawrence, (2001) Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai  yang Bersifat Mendidk Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Fortuna , Dewi .Anwar dkk,. 2005. Konflik Kekerasan Internal : Tinjauan Sejarah,

Ekonomi-Politik , dan Kebijakan Di Asia Pasifik . Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia.

Hayles , N.Katherine ( editor) .  (1991).   Chaos and Order : Complex Dynamic in

Leterarure and Science . Chicago : The University of Chicago Press.

Hidayat , Komarudin  .2004. Merawat Keragaman Budaya . Dalam Pendidikan

Manusia Indonesia . Editor Tonny D Widiastono . Jakarta : Yayasan Toyota

Astra.

Jandt , Fred. E. ( 1998) .  Interculture Communication .  London : SAGE

Publications.

Kammeyer, Kenneth.C.W.,Goerge Ritzer and Norman R. Yetman. 1992. Sociology:

Experiencing  a Changing Society . USA :Allyn and Bacon.

Koentjaraningrat, (1986) “Peranan Local Genius dalam Akulturasi’, dalam Ayatrohaedi Ed. , Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.

Kymlicka, Will (2002) Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin, Jakarta: LP3ES.

McLemore, S. Dale (1980) Racial and Ethnic Relations in America, Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Mc Whiter, J.J., Paluchch,R., & Ohm,R.M. ( 1988). Anytown : A human Relationship

Experience . The Journal For Specialist  In Group  Work,13,117-123.

Mulkhan, Abdul Munir,. 2005. Kesalehan Multikultural .Jakarta : PSAP

Nieto, S. (1996). Affirming diversity: The sociopolitical context of multicultural

education (2nd ed.). New York: Longman.

Partington , Gary and Vince Mc Cudden  .(1993). Etnicity and Education  . New

South Wales :   Social Science Press .

Sanderson , Stephen K. 1993. Sosiologi  Makro . Penerjemah F.Wajidi  Dan S Menno.

Jakarta : Rajawali Pers.

Saunders, M. (1982) Multicultural Teaching: Aguide for the classroom, London: McGraw-Hill Company.

Sipet , Unel .(2001).  Langkah – Langkah Persuasif Penyelesaian Pertikaian Antar Di

Kalimantan Tengah . Makalah yang disajikan pada Kongres Besar Masyrakat

Dayak . Palangkaraya .

Sleeter, C.E.,& Grant ,C.A . (1993). Making Choice For Multicultural Education :

Five Approaches  To Race , Class and Gender ( 2nd ed ) . New York : Merrill

Sobol, T. (1990) Understanding Diversity. Edicational Leadership . 48(3),27-30.

Soedjatmoko (1995) “Sejarah Indonesia dan Zamannya” dalam Soedjatmoko (Ed), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia.

Soelarso Sopater , Bambang Subandrio dan Sutarno . 1998. Pembelajaran Memasuki Kesejagatan .  Jakarta : Pustaka Sinar Harapan .

Supardan, Dadang (2005) Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, dan Global dalam Integrasi Bangsa, Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Tidak dipublikasikan.

Suparlan, Parsudi, (2002) “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikutural”, Jurnal Antropogi Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia.

Supriadi, Dedi, dan Mulyana, Rochmat, Compiled (1996) Multicultural Education: What Do the Theory and  Research Say ?, Bandung: Institut of Teaching and Educational Science (IKIP).

Suryadinata, Leo, (2003b)  Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme ?” Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta: UI-Yayasan Obor

Thohari, Harijanto Y. (2000) “Pluralisme Etnik Sebuah Potensi Konflik” dalam Yayah Kisbiyah Ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wiriaatmadja, Rochiati (2002) Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global, Bandung: Historia Utama Press.

Usop . (2001) . Budaya Betang : Nilai – Nilai Lokal Masyarakat Dayak . Makalah

Kongres Besar Masyarakat Dayak . Palangkaraya .

Wiyanarti , Erlina . (2001) .  Pembangunan Pendidikan  Kalimantan Tengah Pasca