Oleh: Erlina Wiyanarti , Dra. M.Pd “ ALL COUNTRIES ARE MULTICULTURAL NOWDAYS” “ Mari kita rayakan perbedaan agar hidup lebih indah , damai dan hamonis ! “ Pendahuluan . Dewasa ini semakin sulit menemukan sebuah bangsa yang memiliki budaya tunggal atau homogen. Buktinya Bangsa Indonesia sekarang adalah contoh yang sempurana dari fenomena tersebut , sehingga Indonesia bisa di sebut lukisan karikatur dari masyarakat multikultural yang sedang tumbuh. Kemajemukan muncul karena berbagai sebab, antara lain adalah akibat penjajahan atau pembentukan sebuah negara bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa atau juga karena proses migrasi antar negara . Gagasan multikulturalisme belakangan ini marak diperbincangkan di tengah-tengah perkembangan kehidupan sosial – politik dan budaya di Indonesia yang terus meluas memasuki ruang publik bahkan domestik . Perluasan gagasan tersebut seiring dengan meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap praktik demokrasi dan ide masyarakat madani sejak sejak beberapa dekade terakhir . Wacana pluralisme , toleransi , inklusivisme dan gagasan multikulturalisme pun mulai menarik perhatian para intelektual dan perluasan ragam pemikiran kritis termasuk di kalangan pakar pendidikan. Perubahan atau kondisi dan situasi yang belum biasa pada hakekatnya merupakan suatu proses akhir dari suatu kondisi krisis atau chaos yang penuh dengan ketidak menentuan dan ketidak teraturan . Namun menurut Hayles ( 1990 :5) dibalik kondisi yang serba tidak teratur dan tidak bisa diperkirakan tersebut sesungguhnya ada hukum keberaturan , yakni bahwa krisis akan membawa kepada sesuatu yang baru . Krisis sebagai suatu situasi yang mengandung nilai – nilai kebijakan dalam mensikapi kehidupan . Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam krisis tumbuh sikap kreatif , kesadaran saling ketergantungan dan keterhubungan , sikap adaptif , kemampuan melihat makna dibalik fakta , kesadaran makna waktu dalam kehidupan , dan memiliki kesadaran akan keberadaan diri ditengah alam semesta sebagai satu kesatuan yang utuh.. Sejarah perjalanan umat manusia selalu mengandung kecenderungan untuk menghancurkan perumahan kemanusiaannya . Kecenderungan semacam itu tampaknya sudah inheren dalam struktur kejadian manusia . Menurut Colombijn ( dalam Fortuna ,2005 ) praktik budaya kekerasan adalah fenomena yang tak terpisahkan dari historisitas umat manusia . Sejarawan hanya bisa berspekulasi bahwa di belakang gejala konflik tersebut tentu ada suatu hikmah ( wisdom ) yang tersembunyi. Sekalipun konflik antar suku , etnis , bangsa dan negara merupakan bagian dari perjalanan sejarah , tetapi hikmah di dalamnya mengajarkan bahwa perbedaan suku dan lain – lain itu bukan untuk berseteru , tetapi untuk saling mengenal , saling memberi dan menerima. Fenomena kekerasan dan keberingasan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dewasa ini tampaknya semakin berkembang dan ironisnya semakin menampakkan dirinya sebagai bagian dari kehidupan rutin sehari – hari . Bisa dikatakan yang terjadi sekarang ini tiada hari tanpa berita tentang kekerasan , keberangasan dan kebrutalan. Pertikaian etnis yang bersimbah darah di Kalimantan Tengah ( Kompas , 20 Pebruari 2000) juga telah melukai wajah kemanusiaan , karena begitu banyak korban jatuh baik etnis Dayak maupun Madura . Kerusuhan yang mengakibatkan korban manusia baik yang meninggal maupun yang terluka di kedua belah fihak tidaklah sedikit. Peristiwa tersebut dalam pandangan Hidayat ( 2004) merupakan indikator dari kegagalan pemerintah melindungi hak – hak kultural komunitas yang tertindas . Fakta tersebut mendorong kita untuk menginsafi bahwa peristiwa tersebut bisa terjadi di manapun , dimana masalah etnisitas akan menjadi pemicu timbulnya pertikaian yang memakan banyak korban manusia . Sudah waktunya dunia pendidikan melakukan hal – hal yang konstruktif agar peristiwa sejenis tidak terulang lagi . Pendidikan sebagai wahana transmisi kearifan nilai – nilai budaya local , yang sekaligus menjadi lembaga yang memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk memperoleh pemahaman dan penyadaran pentingnya kehidupan bersama yang damai di dalam masyarakat yang memiliki budaya yang beragam , tak diragukan lagi merupakan pilihan utama di dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat yang lebih baik di masa depan yang menghormati dan menghargai keragaman budaya . Sementara menurut Banks ( 1994) sebagian besar sekolah tidak memberikan perhatian yang layak dalam kurikulumnya tentang hal – hal yang berkaitan dengan pentingnya menghargai perbedaan etnisitas dan sikap toleransi di kalangan peserta didik . Penulis sependapat dengan Hidayat ( 2004) bahwa untuk menyelamatkan aset bangsa berupa keragaman budaya Indonesia dn mengangkat martabatnya di masa depan, tak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali memberikan prioritas pada perbaikan dunia pendidikan , tanpa harus mengorbankan identitas budaya bangsa baik secara nasional maupun lokal . Hakekat Multikulturalisme. Multikulturalisme pada hakekatnya merupakan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tumbuh dan berkembang dalam konteks budayanya masing – masing yang beda dan unik . Hal yang paling hakiki dari manusia adalah potensi yang di milikinya . Potensi manusia yang bersifat positif , dalam hubungan dengan manusia lainnya adalah relasi hubungan ketergantungan , artinya butuh orang lain diluar dirinya sendiri . Oleh karena itu manusia dianjurkan saling menolong dan bersilaturkhim , seperti yang tertuang dalam An-Nisaa ayat 1yang diterjemahkan sebagai berikut : “ Hai sekalian manusia , bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri , dan dari padanya Allah menciptakan istrinya ; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakan laki – laki dan perempuan yang banyak . Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan peliharalah hubungan silaturakhim . Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Saling menolong dan tetap memelihara silaturakhim dalam kenyataan hidup yang saling tergantung dan saling membutuhkan , tentu sulit dilakukan jika tidak saling mengenal . Untuk itu Tuhan berfirman dalam surah Al Hujurat ayat 13 yang diterjemahkan sebagai berikut , “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki – laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku – suku supaya kamu saling mengenal . Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal “ . Semakin kuat pengenalan satu fihak kepada lainnya , semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat . Karena itu , ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal . Menurut Shihab perkenalan tersebut dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain , guna meningkatkan ketakwaan kepada Allaw swt , yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Lebih lanjut dikatakan oleh beliau bahwa manusia tidak akan menarik pelajaran , tidak juga dapat saling melengkapi , bahkan tidak dapat bekerjasama tanpa saling mengenal ( Shihab, 2004,155) . Potensi lain yang di anugrahkan kepada manusia adalah sifat rukun , harmonis dan selalu berusaha berbuat baik kepada sesama serta menghindarkan perpecahan , pertikaian apalagi peperangan . Dalam hal tersebut Tuhan berfirman dalam al- Qur`an surah asy-Syuura ayat 13 yang diterjemahkan sebagai berikut : “ Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim , Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya … “ Dan Al-Qashash ayat 17 yang diterjemahkan sebagai berikut : “Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu ( kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahgiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah telah berbuat baik kepadamu , dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka ) bumi . sesungguhnya Allah tidak menyukai orang –orang yang berbuat kerusakan “ Berdasarkan keterangan – keterangan tersebut jelaslah bahwa manusia sesungguhnya makhluk yang tidak bisa lepas dari manusia lainnya dan untuk itu dianjurkan membangun relasi – relasi positif dalam bentuk tidak memutuskan tali silaturakhim , tolong menolong , rukun , harmonis dan tidak berbuat kerusakan dengan sesamanya. Dan menurut Mahmud dan Priatna ( 2005: 64) konsep al insan telah meletakan dasar yang kuat pada pandangan yang menyatakan bahwa manusia bukan diposisikan sebagai makhluk yang individualistik ( abdullah ) saja dengan kewajiban utama beribadah kepada Allah , tetapi juga sebagai makhluk sosial (khalifah ).Tentu saja makhluk sosial yang dimaksudkan adalah manusia sebagai makhluk dua dimensi yang utuh yang mampu mampu menjalankan perannya baik sebagai khalifah juga sebagai abdullah . Hikmah lain yang bisa di petik dari firman Allah tersebut adalah hal keragaman , keunikan dan keberbedaan . Dari perspektif Al –Quran pluralitas kelompok etnis , agama, dan budaya adalah sebuah keniscayaan yang merupakan desain atau kehendak Tuhan .Semua hal tersebut memang sudah menjadi rencana Tuhan , dan itu di adakan bukan semata – mata untuk membedakan satu dengan lainnya , kecuali untuk saling memberi manfaat. Kewajiban kita adalah menerima dan hendaknya bersikap positif terhadap kenyataan tersebut. Dengan kata lain multikultural adalah suatu fenomena yang memang di ciptakan Tuhan , dan bukan ada karena manusia memikirkannya. Hanya saja sekarang ini menjadi pusat perhatian para cendikia , manakala tidak sedikit para futurolog mengatakan bahwa tiga masalah besar yang akan di hadapi umat manusia di abad 21 adalah ledakan penduduk , kesenjangan dan redistribusi kesejahteraan dan konflik etnis ! Dan untuk Indonesia prediksi tersebut menjadi kenyataan manakala tragedi di Kalimantan Tengah menyeruak ke ruang publik baik lokal , nasional bahkan internasional. Manusia memang pada dasarnya memiliki identitas keunikannnya yang tak pernah tergantikan dalam personalitasnya, walaupun selalu berusaha menserasikan seluruh pengetahuan, persepsi tentang realitas dalam kehidupan sosialnya . Berdasarkan pandangan falasafiah tersebut maka manusia secara universal memang di ciptakan berbeda , tetapi sekaligus membutuhkasn kebersamaan , karena setinggi dan sebanyak apapun perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh setiap individu , yang namanya manusia tetap membutuhkan manusia lainnya , oleh karena itu mengapa manusia di samping makhluk individu , diapun sekaligus menjadi makhluk sosial . Manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial , merunut istilah Mulkhan (2005) , memiliki potensi kesalehan multikultural. Artinya suatu tindakan yang berdimensi terbuka melampaui batas – batas etnis , kebangsaan , paham keagamaan, dan kepemelukan suatu agama , yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain yang dilakukan karena ketundukan kepada Sang Maha Pencipta Allah SWT dengan penuh kesadaran . Perjumpaan manusia berlatar belakang budaya ataupun etnis berbeda, semakin hari semakin meluas melintasi batas – batas teritori bangsa dan negara hingga batasan benua , dan seiring dengan itu tumbuhlah kesadaran atas fakta otherness yang di sandang setiap bangsa . Sebagian dari perbedaan tersebut antara lain berupa warna kulit , postur tubuh, bahasa , tradisi, pandangan hidup dan agama. Dan dalam proses perjumpaan global itulah -di sebuah kawasan teritori kesatuan bangsa atau negara- hidup beragam suku bangsa , etnis , tradisi , cara hidup maupun kepemelukan dan paham keagamaan . Bangsa dengan sistem kemasyarakatan yang di bangun di atas keanekaragaman tersebut di kenal bangsa yang pluralis ( Kammeyer , Ritzer and Yetman, 1992) . Tendensi spesifik yang sering muncul baik dalam wacana maupun realita masyarakat plural adalah hal dimana seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas yang di dasarkan pada akar ras, etnis, teritorial, bahasa , atau kombinasi semuanya ( Sanderson , 1993) . Sikap dan perilaku yang di landasi oleh keterikatan dan ketertanaman sosio – kultural tersebut di kenal dengan sikap primordial . Keterikatan tersebut jika masih dalam kadar normal atau wajar maka akan melahirkan sikap primordial dan itu adalah sesuatu yang positif , akan tetapi segera hal itu menjadi sesuatu yang kontra produktif terhadap kehidupan sosial masyarakat apabila sudah pada kadar yang tidak wajar , eksklusif – fanatik sempit , dan menjadi sikap primordialistik . Dan primordialisme dalam bentuk terakhir itulah yang menurut Kivimaki dalam Fortuna dkk ( 2005) mudah untuk di mobilisir ke arah tindakan kekerasan , dan seringkali hingga membahayakan menjadi bencana bagi kehidupan bersama bahkan bagi kesatuan bangsa . Dan fenomena tersebut tidak jarang memicu konflik internal di teritori kesatuan negara bangsa , di sertai kekerasan akibat arogansi yang cenderung memandang dirinya lebih baik , lebih benar dan berhak tumbuh berkembang menguasai yang lainnya. Gejala sosial – politik tersebut mendorong munculnya ide multikulturalisme . Gagasan multikulturalisme mencerminkan suatu kesadaran dalam perkembangan kehidupan negara bangsa berbasis multi etnis , bangsa pribumi dan pendatang . Multikulturalisme berakar pada konsep keberagaman atau keberbedaan yang kadangkala bisa memicu konflik , tetapi juga mendorong terciptanya komunikasi antar banyak fihak bersama peneguhan kepercayaan dan tradisi asal. Multikulturalisme dalam pengertian yang terakhir digagas sebagai jalan bagi penemuan hubungan yang lebih harmonis antar beragan etnis dan antara penduduk asli dan pendatang . Menururut Sumartana dalam Sularso dkk ( 1998) pada umumnya para warga masyarakat belum dapat memikirkan secara sungguh – sungguh konsekuensi kemajemukan dalam masyarakat . Sehingga tidak heran pasca keruntuhan Orde Baru bangsa Indonesia di Dan untuk itu di perlukan sebuah pijakan baru yang lebih mengarah kepada solidaritas kultural di mana perdamaian harus dilakukan melalui dialog pendamaian. Dan untuk menumbuhkan sikap – sikap yang mengarah kepada pembentukan solidaritas kultural di kalangan generasi muda perlu di upayakan melalui berbagai cara dan wahana. Pendidikan multikultural adalah salah satu upaya yang bisa di lakukan sekarang ini. Bangsa Indonesia terdiri ratusan etnis, agama, budaya, dan adat istiadat, yang tersebar di sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah (Koentjaraningrat, 1970, Thohari, 2000), sehingga dengan karakter seperti demikian tidak di ragukan lagi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis . Pluralisme memiliki dua muka , di satu muka merupakan kekayaan , potensi yang kalau di gambarkan bagaikan suatu lukisan yang kaya akan setuta warna , tetapi di sisi muka yang lainnya juga sekaligus merupakan potensi konflik jika tidak mampu mengelolanya dengan baik dan bijaksanha . Ketidakmampuan mengelola pluralisme inilah yang akan bisa mendorong terjadinya gejolak sosial politik yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) . Dan Sebagai bangsa yang pluralis, sudah selayaknya memiliki pemahaman yang cukup tentang pluralisme dengan multikuturalisnya dengan segala atribut – atributnya. Secara antropologis, bangsa Indonesia sebagai masyarakat plural menurut Sumardjo ( 2002) di perkaya oleh apa yang disebut dengan local genius . Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak hanya di perkaya , bahkan keragaman etnis, budaya, agama, bahasa, adat-istiadat yang hidup di tengah masyarakat , semuanya tergantung dari local genius yang bersifat primordial. Dan lokal genius yang primordial itu sesungguhnya ditentukan oleh genesis infra struktur penghidupan masyarakatnya. Sementara secara historis Indonesia pun memiliki perjalanan yang sangat panjang dalam hakekatnya sebagai bangsa yang pluralis . Simak saja bagaimana semboyan atau motto kenegaraan Bhinneka Tunggal Ika muncul dan menjadi salah satu soko guru atau nilai luhur kehidupan politik , sosial maupun budaya sejak jaman Majapahit Merujuk pada pemikiran Supriadi (2001) Indonesia secara teori terutama zaman Orde Lama dan Orde Baru, cenderung termasuk pada kategori negara dengan realitas etnik dan budayanya yang heterogen, tetapi kebijakan pemerintahannya cenderung mengarah ke monokulturalisme dan kebijakan tersebut pada akhirnya mempengaruhi integritas bangsa secara keseluruhan . Kebijakan yang terlalu menekankan kesamaan atau kesatuan menurut Wiriaatmadja (2002) juga telah mengikis kualitas dan kuantitas beberapa unsur budaya lokal di beberapa daerah bahkan hingga kehilangan nilai guna dan fungsinya Selain adanya indikator menurunnya kekuatan nilai – nilai budaya lokal dalam membangun kehidupan bersama , bangsa Indonesia disinyalir sedang berada pada kondisi krisis kolektif dimana muncul indikator semakin meningkatnya stereotipe dan prejudice seiring dengan rendahnya tingkat interaksi antar etnik “pribumi” dengan “pendatang”. Sebagai contoh nilai – nilai budaya lokal seperti Budaya Betang tidak mampu lagi menjadi wadah bersama bagi penduduk Dayak dan penduduk etnis Madura sebagai pendatang di Kalimantan Tengah dalam membangun harmonisasi . Menkaji berbagai pemikiran dan realita yang dimunculkan tersebut di atas memperkuat dan memperjelas bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki potensi bagi pengembangan pendidikan multikultural . Model Pendidikan Multikultural. Pendidikan multikultural adalah pemikiran fundamental dengan pendekatan progresif dalam transformasi pendidikan secara menyeluruh yang berkaitan dengan perbaikan atas kegagalan dan diskriminasi praksis- praksis dalam pendidikan yang di bangun di atas pemahaman tentang kebebasan , keadilan sosial , persamaan , kesetaraan pendidikan , serta harkat dan derajat manusia. Oleh karenanya pendidikan multikultural dapat dimaknai sebagai suatu proses yang komprehensif dalam pembaharuan sekolah dan pendidikan bagi semua . Dengan demikian pendidikan Multikultural merupakan proses yang meliputi berbagai aspek praksis di sekolah , kebijakan dan organisasi yang dimaknai untuk menjamin pencapaian pengalaman dan kemampuan akademik peserta didik tingkat tinggi ,memiliki kesadaran sosial dan memeiliki pengalaman aktif baik sebagai warga lokal , nasional , dan global . Pendidikan multikultural seringkali diidentikan dengan pendidikan multietnis, padahal menurut Banks (1984) ada perbedaan di antara keduanya , terutama dalam fokus , tujuan dan strategi yang digunakan. Jika Pendidikan multikultural fokusnya adalah kelompok budaya , khususnya yang berkaitan dengan konsep prasangka dan diskriminasi dalam masyarakat , sedangkan dalam pendidikan multietnis fokusnya adalah kelompok etnis . Tujuan pokok pendidikan multikultural adalah membantu mengurangi diskriminasi dan menentang stigma kelompok budaya dan menciptakan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama bagi semua kelompok budaya , sedangan pendidikan multietnis bertujuan membantu mengurangi diskriminasi dalam rangka meraih korban kelompok etnis dan membentuk siswa dari berbagai kelompok etnis ( suku ) memperoleh kesempatan pendidikan yang sama , dan mengurangi isolasi , keterasingan dan polarisasi etnis . Dan strategi pendidikan multikultural adalah menciptakan atmosper sekolah berlandaskan norma institusi yang positif untuk mencapai tingkatan kelompok budaya dalam masyarakat , sedangkann pendidikan multi etnis taktiknya di arahkan untuk memodifikasi seluruh lingkungan sekolah agar lebih reflektif dari keragaman etnis dalam masyarakat . Jadi pendidikan multikultural sifatnya lebih umum dan lebih di arahkan untuk mengubah lingkungan pendidikan secara keseluruhan sebagai upaya menghormati keragaman budaya yang eksis dalam masyarakat , sedangkan pendidikan multietnis diarakan untuk memodifikasi lingkungan sekolah sebagai refleksi dari keberadaan berbagai etnis yang ada dalam masyarakat . Sekalipun demikian di Indonesia pada umumnya pendidikan multikultural dianggap sudah mewadahi karakter –karakter yang dikembangkan dan dikehendaki dalam pendidikan multi etnis. Pendidikan multikultural memposisikan sekolah pada tempat yang penting dan strategis . Sekolah dianggap mampu berfungsi sebagai institusi dasar atau wahana bagi transformasi masyarakat dan mengeliminasi tekanan dan ketidak adilan yang sringkali muncul . Oleh Karena itu pendidikan multikultural menentang keras rasisme dan berbagai bentuk diskriminasi di sekolah dan masyarakat, dan menerima dan memahami kenyataan yang di sebut pluralisme ( etnik, ras, bahasa, agama , ekonomi dan gender ) yang ada dalam kehidupan peserta didik , guru dan masyarakat . Oleh karena itu Nieto (1996) dalam bukunya mengemukakan bahwa mengingat pentingnya pendidikan multikultural di dalam pembangunan pola komunikasi yang partisipatif dari semua anggota masyarakat , maka hal itu harus tercerminkan di dalam kurikulum dan strategi yang di gunakan di sekolah, dalam interaksi antara guru –guru , para siswa dan orang tua , dan dimaknai secara jelas dalam konseptualisasi dan aktualisasi proses belajar dan mengajar. Lebih lanjut dikatakan bahwa oleh karena dalam pengembangan pendidikan multikultural digunakan ilmu pendidikan yang kritis , dan dilandasi oleh pemikiran yang sangat mendasar ( filsafat ) serta fokus pada pengembangan pengetahuan , refleksi , dan aksi ( praksis) sebagai dasar dari perubahan sosial , maka pendidikan multikultural di arahkan juga sebagai wahana bagi pengembangan prinsip – prinsip demokrasi dari keadilan sosial. Merujuk kepada berbagai pemikiran , esensi tujuan pendidikan multikultural antara lain adalah seperti yang di kemukakan oleh (Nieto,1996 . Dapat di akses di . ) :
Dan untuk mencapai tujuan – tujuan tersebut yang paling di butuhkan adalah guru – guru yang kompeten dan memiliki kepedulian dan komitmen terhadap hal yang terkait dengan pembelajaran multikultural. Para guru yang dipayungi oleh kebijakan sekolah yang reformis dan di dukung orang tua siswa , di tuntut untuk kreatif dan inovatif menciptakan lingkungan belajar yang kondusif , dalam arti lingkungan yang demokratis dan bermakna bagi peserta didik untuk memperoleh pengalaman tentang kebersamaan dalam keberbedaan dengan sukses. Dalam hal tersebut sekolah di tuntut memainkan perannya lebih nyata dalam pengembangan sikap , perilaku dan nilai – nilai masyarakat yang demokratis . Jadi pendidikan multikultural pada dasarnya dapat mempengaruhi perubahan masyarakat . Betapa tidak , dari ungkapan tersebut di atas jelas sekali bahwa untuk mencapai tujuan melibatkan transformasi atau perubahan dalam tiga dimensi , yakni perubahan diri pribadi (the transformation of self) , perubahan sekolah dan lingkungan keluarga ( the transformation of schools and schooling) , dan terakhir perubahan masyarakat ( the transformation of society) . Pendidikan multikultural mulai berkembang di Amerika Serikat , sekitar dekade tahun 1960-an ketika mulai tumbuhnya gerakan kesadaran akan hak – hak kelompok minoritas di dalam apa yang dikenal dengan pendekatan budaya “ melting pot “ . Sekalipun perdebatan diantara kelompok yang mendukung dan menentang terus berlanjut , namun akhirnya ditengah – tengah kontroversi itulah muncul suatu kesepakatan bahwa pendidikan multi kultural bisa dikembangkan di sekolah – sekolah terutama dalam bentuk memperkenalkan budaya – budaya yang ada dalam kehidupan para peserta didik sehari – hari , yang mana tujuan pokoknya adalah membentuk warga negara yang mampu menyadari adanya keberagaman budaya di dalam masyarakat ( Sobol , 1990) . Sekolah di negara – negara maju telah memperkenalkan sejumlah program dan kegiatan untuk mencapai kemampuan pemahaman yang tinggi terhadap kelompok berbagai etnis dengan keyakinan bahwa pendidikan multicultural membantu mempersiapkan peserta didik untuk hidup dalam masyarakat yang memiliki perbedaan etnis, dan bisa memberi manfaat bagi perkembangan kognitif maupun afektif peserta didik . Pada umumnya pengenalan terhadap kegiatan yang bersifat multicultural di motivasi oleh sekurang kurang empat hal : (1) memperbaiki etnisentrisme dalam kurikulum tradisional ( Banks, 1984) ; (2) membangun pengertian atau komunikasi antar ras dan kelompok budaya , serta penghargaan terhadap perbedaan budaya ( Jandt, 1998) ; (3) mengurangi kepekatan tekanan antar kelompok dan konflik , dan (4) membuat kurikulum relevan terhadap pengalaman , tradisi budaya , dan kontribusi kesejarahan dari pembentukan bangsa yang memiliki beberagaman budaya ( Partington and Mc Cudden , 1993). Berbagai model pembelajaran multicultural dikembangkan , namun pada dasarnya dari hasil penelitian ditemukan ada tiga pola pokok model pembelajaran , pertama , model yang berorientasi pada materi (content – oriented program ); kedua, model yang beroreintasi pada peserta didik ( student – oriented program ) ; dan ketiga , model yang berorientasi pada proses kehidupan masyarakat ( socially –oriented program ) . Content – oriented program ( COP) adalah pembelajaran dimana materi pokoknya adalah tentang kebudayaan dari kelompok – kelompok yang ada dalam masyarakat dimana para peserta didik tinggal . Tujuannya adalah mengembangkan pengetahuan peserta didik tentang budaya yang ada di sekitar kehidupan mereka . Materi tersebut secara eksplisit dicantumkan sebagai tema atau pokok bahasan dari standard isi kurikulum . Bank ( 1994) dalam bukunya menjelaskan lebih detail bahwa model COP pada dasarnya memiliki tujuan utama yakni (1) mengembangkan materi keragaman budaya melalui kajian keilmuan ,(2) mengkaji secara terpadu berbagai pandangan dan perspektif yang berbeda terhadap budaya – budaya yang ada , dan (3) mentransformasikan pemikiran – pemikiran yang bernuansa keragaman budaya , sekaligus menjadi landasan bagi lahirnya kurikulum dengan paradigma baru . Memahami bahwa pendidikan multicultural merupakan upaya dalam merefleksikan keragaman budaya di dalam kelas , maka student – orinted program ( SOP) adalah model yang tepat . Merujuk pada pendapat Banks ( 1994) , jika model COP berusaha mengembangkan “ the body of knowledge “ dari perbedaan etnik dan kelompok gender , maka SOP memberikan perhatian utama pada pencapaian kemampuan akademik ( the academic achievement ) para peserta didik . Sehingga muara dari model ini adalah tumbuhnya kesadaran peserta didik akan pentingnya menghormati dan bertoleransi di dalam kehidupan masyarakat dengan keragaman budaya . bahkan Sletter dan Grant ( 1993) lebih menegaskan lagi bahwa beberapa model SOP di rancang memang tidak untuk mentransformasikan materi pembelajaran , melainkan lebih kepada memberikan bimbingan atau tuntunan kepada peserta didik untuk mampu melewati masa transisi dalam mengembangkan sikap positif terhadap perbedaan budaya yang mereka miliki . Misalnya baik mulai dari perbedaan bahasa , tradisi , kesenian bahkan jika ada perbedaan yang bersifat fisik . Sehingga dengan model tersebut peserta didik akhirnya di ajak untuk merasakan bahwa mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda , akan tetapi merekapun merasakan manfaat dari perbedaan tersebut di dalam memperkaya kehidupannya. Sedangkan model ketiga , socially – oriented program ( ScOP) merupakan program yang bertujuan tidak hanya mengubah kurikulum dalam arti membangun pengetahuan baru , maupun pencapaian kemampuan akademik peserta didik saja , melainkan lebih kepada menciptakan iklim budaya dan kebijakan sekolah yang mendukung penyadaran dan peraihan nilai – nilai dari kehidupan bersama di sekolah yang multikultural . Program tersebut dikembangkan baik pada tatanan pembelajaran di dalam kelas hingga kepada kehidupan sosial di sekolah, yang melibatkan seluruh unsur dalam sekolah yang bersangkutan . Sehingga dampaknya tidak hanya dirasakan oleh para peserta didik , tetapi seluruh fihak yang terkait dengan lingkungan di dalam sekolah .Tujuan utama model ScOP adalah tumbuh dan berkembangnya toleransi antar budaya dan mengurangi bias – bias negatif dari kehidupan multibudaya . Merujuk pada pemikiran Banks ( 1994) model ScOP tidak hanya dirancang untuk merestruktur dan merubah kurikulum sekolah , melainkan juga di rancang untuk meningkatkan aspek – aspek berikut ini : (a) berbagai hubungan antar suku, etnis dan bahasa di sekolah , (b) mendorong keberanian para guru yang berasal dari kaum minoritas , tidak lagi merasa tertekan , (c) program anti bias , dan (d) program belajar bekerjasama . Sleeter dan Grant ( 1993) dalam pengematannya menemukan bahwa model ScOP memiliki karakter yang lebih kuat dan holistic di dalam kerangka “human relations “ . Lebih lanjut dikatakan bahwa jika model ScOP dipadukan dengan COP dan SOP dengan tepat , maka hal etnisitas dan keragaman budaya dalam revisi kurikulum sekolah, akan memberikan peranan sosial yang positif , juga sekaligus melakukan penelitian tentang gaya belajar peserta didik dalam meraih kemampuan akademiknya , serta dapat mengurangi tekanan rasialisme dan atau kesukuan di dalam kelas . Potensi lain yang dimiliki oleh model ScOP , jika diperluas spektrumnya melalui berbagai pendekatan pembelajaran , serta dilengkapi juga kegiatan – kegiatan yang bersifat sosial , adalah bisa dikembangkan sebagai wahana pengembengan berbagai ketrampilan. Melalui pendekatan ketrampilan berfikir kritis , maka peserta didik bisa mengkritisi hal – hal yang berkaitan dengan rasisme , kesukuan dan berbagai aspek budaya represif dalam masyarakat; beberapa menekankan pada pendekatan muti bahasa ; sedang yang lainnya berusaha mengkaji isu- isu dari sejumlah pandangan yang berbeda , dan dari itu dibangun keinsyafan keberadaan budaya predominan ; sedangkan yang lainnya menggunakan pendekatan terpadu dimana ketrampilan belajar bekerjasama ( cooperative learning ) dan ketrampilan mengambil; keputusan ( decicion –making skill) yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang aktif secara social . Pendidikan Multikultural Dalam Pengembangan Pendidikan di Propinsi Kalimantan Tengah . Hasil berbagai penelitian tentang latar belakang dan dampak dari konflik antar etnis di Kalimantan Tengah sudah banyak dilakukan, dan beberapa di publikasikan baik dalam bentuk karya tunggal maupun bagian dari bunga rampai . Penafsiran terhadap fakta – fakta akan peristiwa tersebut pada umumnya sepakat bahwa teridentifikasi bahwa penyebab dari peristiwa bukanlah bersifat tunggal melainkan komplek, yang melibatakan aspek sosial – budaya, sosial – ekonomi dan sosial –politik .Misalnya Thung Ju Lan dalam Fortuna dkk( 2005) lebih cenderung menyetujui temuan bahwa penyebab dari konflik di Kalimantan Tengah di latarbelakangi oleh perbedaan budaya dan iri hati di bidang ekonomi antara orang Dayak dan Madura. Pernyataan tersebut di pertegas oleh Klinken dalam buku yang sama , bahwa perbedaan budaya di wujudkan slogan pinjaman dari orang Melayu yakni ” dimana bumi di pijak , di situ langit di junjung ” yang dipahami dari perspektif militansi , sehingga mengandung pengertian bahwa Dayak adalah tuan di tanahnya sendiri dan bahwa pihak – pihak lain , Madura dalam hal ini , harus mengakui itu dengan asimilasi budaya. Hanya Klinken menambahkan ada temuan bahwa dalam konflik tersebut terkandung apa yang di sebut bangkitnya amarah ” primitif ” di dada orang Dayak yang di pancing oleh kesombongan orang luar , padahal orang Dayak sendiri sebenarnya cinta damai . Kivimaki memiliki pandangan yang tidak percis sama . Dalam buku yang sama dia mengemukakan bahwa konflik tersebut lebih di sebabkan oleh lemah dan tidak kondusifnya hubungan pemerintah daerah dan pusat. Rasa takut dan frustasi dari orang Dayak terhadap peranan orang Madura sebagai utusan negara yang lemah dari pelaksanaan praktik – praktik pemerintah pusat dalam klasifikasi, pengelolaan, sertifikasi dan pemilikan tanah, muncul bersamaan dengan semakin menguatnya keyakinan bahwa orang Dayak sebagai ” putra daerah ” berhak memegang kendali ekonomi dan politik . Dua kondisi tersebut memuncak dan meletus menjadi pertikaian berdarah yang berbau konflik etnis . Di tengah berbagai temuan yang berbeda tersebut , sebenarnya ada satu kesepakatan , sekalipun masih kabur , yakni peristiwa tersebut lebih dikategorikan sebagai pertikaian antar etnis dan bukan agama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso, atau menurut istilah Fortuna dkk ( 2005) merupakan konflik kekerasan internal berbasis kesukuan atau etnisitas. Apapun hasil penelitian yang temukan , konflik berdarah itu memakan korban manusia dari kedua belah fihak . Peristiwa tragis tersebut , kita sepakat , jangan terulang lagi di masa depan . Kita harus belajar , kita harus lebih arif dan bijaksana untuk menjaga agar tragedi tersebut tidak terulang di tanah Kalimantan Tengah maupun di tanah – tanah di seantero persada Nusantara ini . Kita harus mencari solusi mendasar untuk itu , dan pendidikan adalah salah satu wahana strategis untuk menumbuhkan kesadaran multi etnis , multikultural dan menerimanya sebagai suatu kekayaan bangsa , dan bukan sebagai sumber konflik . Hakekat multikultural di Kalimantan Tengah adalah keragaman budaya yang di perkaya oleh primordial etnis – etnis yang ada dalam masyarakat . Karena karakter yang demikian itu maka multikultural harus di artikan juga sebagai proses pengurangan atau pengenceran eksklusifisme dan fanatisme etnis yang sempit , tanpa menghilangkan upaya penguatan identitas “primordial” dari masing – masing suku ( ingat bukan promordialistik ! ) , dan perbedaan yang muncul dari penguatan itu di pandang sebagai sumber kekayaan dalam membangun komunikasi antarbudaya . Multikulturalime juga harus di maknai sebagai upaya menghindari eksklusifisme dan fanatisme etnis yang sempit yang akan menyulut konflik yang secara potensial akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia . Oleh karenanya pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah harus di landasi oleh Pancasila sebagai falsafah dan pandanangan hidup bangsa , yang sekaligus sebagai pemersatu bangsa dalam kerangka NKRI. Memahami berbagai pemikiran tentang pendidikan multikultural pada bagian sebelumnya , maka yang tepat dikembangkan pada pendidikan di Kalimantan Tengah adalah pola pendidikan multikultural yang syarat dengan pertimbangan – pertimbangan multietnis. Artinya pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah di kembangkan dalam bentuk upaya – upaya yang dilandasi oleh pertimbangan etnisitas yang berkembang di masyarakat . Dengan demikian tujuan pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah di arahkan untuk ( 1) membuka isolasi keterasingan antar etnis dalam masyarakat , (2) meningkatkan toleransi , penghargaan dan penghormatan atas perbedaan karakter masing – masing etnis yang ada, (3) membangun komunikasi antarbudaya yang di landasi oleh pengakuan yang jelas terhadap nilai – nilai Budaya Betang , dimana Budaya Betang bukan pada posisi sebagai etnis dominan , melainkan sebagai perekat benang merah dalam hubungan antar etnis di Kalimantan Tengah , (4) meningkatkan upaya untuk mengurangi prasangka dan diskrimansi yang di latarbelakangi oleh etnisitas , (5) menumbuhkan empati terhadap penderitaan yang di akibatkan oleh prasangka dan diskriminasi karena perbedaan yang dimiliki oleh masing – masing etnis. Pendidikan multikultural sekarang ini sangat memungkinkan untuk berkembang terutama dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah. Hakekat dari otonomi daerah dilihat dari pembangunan sektor pendidikan berarti sangat banyak , karena dengan otonomi diharapkan penerapan kebijakan pembangunan pendidikan akan sesuai dengan karakteristik kebutuhan pendidikan di Kalimantan Tengah. Jika selama ini yang disebut muatan lokal hanya diberi porsi yang kurang memadai , maka muatan lokal sekarang ini justru yang harus memberikan ciri khas kebijakan pembangunan pendidikan di Kalimantan Tengah . Muatan lokal tidak lagi diartikan sebagai adanya muatan kebudayaan daerah , seperti kesenian , adat istiadat dan bahasa dan lain – lain belaka , tetapi juga harus memuat pembelajaran yang berperspektif multikultural . Artinya pendidikan multikultural (a) tidak identik dengan adanya mata pelajaran tentang multikultural secara terpisah , (b) melainkan terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran , tetapi di rumuskan secara eksplisit dalam rumusan –rumusan tujuan pembelajaran di kelas , (c) dukungan moral yang nyata dari guru yang memilki kualifikasi dan komitmen terhadap multikulturalisme ,(d) dukungan dari para orang tua siswa ,( e) dan semua itu harus dalam kerangka bentuk dukungan sekolah secara menyeluruh dalam menciptakan lingkungan sekolah sebagai wahana yang kondusif bagi para peserta didik memahami, menyadari , meyakini serta mengalami apa yang disebut multikulturalisme dalam kehidupan sehari – hari mereka . Kerjasama guru, orang tua dan sekolah, seperti di diungkapkan oleh Fred E. Jandt, (1998) menjadi syarat utama bagi pengembangan pendidikan berbasis komunikasi antar budaya . Singkatnya pengembangan pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah harus di maknai sebagai proses transformasi masyarakat kearah pembangunan mental multikulturalisme . Pertikaian antar etnis di Kalimatan Tengah beberapa tahun lalu merupakan salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia . Betapa tidak , sesama anak bangsa saling membunuh karena alasan social , ekonomi , dan yang paling menonjol bernuansa kesukuan . Peristiwa tersebut lebih menegaskan bahwasanya , hingga sekarang ini , masyarakat Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang heterogen – multikultur , dimana sederhananya ada penduduk asli , orang Dayak , dan penduduk pendatang , antara lain orang Banjar, Madura , Jawa , Sunda , Makasar, dan suku – suku bangsa lainnya. Tetapi tampaknya menyitir pemikiran Abdulah (2003) , peristiwa tersebut bisa jadi salah satu penyebabnya adalah merupakan pantulan yang keras dari masyarakat majemuk yang berada dalam “kesunyian” tanpa perlindungan sistem kepemimpinan lokal dan masyarakat madani yang sehat dan fungsional. Sewlain itu di temukan pula , berdasarkan hasil wawancara penulis dengan penduduk selang beberapa saat setelah peristiwa tersebut mereda – kebetulan penulis menjadi team yang di undang oleh pemerintah daerah untuk mengkaji peristiwa tersebut – bahwa penyebab utama dari peristiwa tersebut adalah menguatnya premanisme di dalam persaingan ekonomi antara penduduk asli dan pendatang . Kenyataan tersebut di perkuat oleh pendapat Suparlan ( 2001) dan Piliang ( 2002) bahwa konflik yang di latar belakangi pluralisme etnis bisa meletus , terutama di kawasan yang premanismenya begitu kuat sebagai basis ekonomi kelompok . Kita semua berharap konflik etnis tersebut tidak akan terulang , dan menjadi awan kelam bagi masa depan masyarakat Kalimantan Tengah Khususnya dan bangsa Indonesia umumnya . Dan peristiwa tersebut mudah – mudahan menjadi pelajaran berharga bagi seluruh bangsa Indonesia . Untuk menghindari terulangnya tragedi kemanusiaan tersebut , harus dilakukan berbagai upaya secara sadar , terencana , berkesinambungan, konstruktif dan dapat dipertanggungjawabkan . Pendidikan sebagai usaha sadar dalam membimbing dan memepersiapkan generasi muda untuk menjadi waga masyarakat yang baik di masa depan , merupakan institusi masyarakat yang paling strategis dalam pengembangan kesadaran akan pentingnya hidup damai berdampingan dalam keragaman budaya . Pendidikan multicultural adalah alternative terdepan di dalam upaya membangun kesadaran persatuan dalam keragaman budaya . Berdasarkan kajian terhadap pemikiran – pemikiran tersebut dan gambaran Sipet ( 2001 ) dan Wiyanarti (2001) tentang perkembangan pendidikan di Kalimantan Tengah pasca kerusuhan etnis, maka salah satu muatan local di Kalimantan Tengah , seyogyanya adalah Pendidikan Multikultural yang diberi tempat yang utama di dalam persekolahan dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi .Model yang tepat, dengan mempertimbangkan situasi dan karakter di lapangan , adalah perpaduan yang berorientasi pada kehidupan sosial masyarakat dan tingkat perkembangan peserta didik ( perpaduan antara Student Oriented Program dengan Socially Oriented Program ) tanpa mengabaikan pendekatan Content Oriented Program. Langkah – langkah pokok dalam pengembangan Pendidikan Multikultural di Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut :
Kesimpulan Berdasarkan pemaparan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa multikulturalisme adalah pengertian yang tidak hanya merujuk pada kenyataan sosial –antropologis adanya pluralitas kelompok etnis, bahasa , dan agama , tetapi juga mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima keragaman budaya . Paradoksnya, realita seringkali atas nama modernisasi dan pembangunan seringkali justru melahirkan penindasan atas hak- hak kultural dari sebagian warga suku bangsa. Dalam kondisi itulah pendidikan multikultural adalah sebuah keharusan . Kesimpulan kedua adalah bahwa pendidikan multikultural adalah tepat dan optimal jika di kembangkan di dalam masyarakat multi budaya . Pendidikan Multikultural dalam berbagai model pengembangan memiliki manfaat terutama bagi penumbuhan kesadaran dan keinsyafan akan pentingnya saling menghormati dan toleransi antar budaya dalam kehidupan bermasyarakat, serta memberi peluang bagi tumbuhnya ketrampilan berfikir kritis , bekerja sama dan ketrampilan mengambil keputusan , melalui upaya – upaya konstruktif , akademis, dan psikologis di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal maupun di perguruan tingggi . Kesimpulan ketiga propinsi Kalimantan Tengah dengan pengalaman sejarah dan realita masyarakatnya dewasa ini , berpotensi munculnya kembali di masa depan pertikaian antar etnis , dan oleh karenanya perlu dikembangkan upaya – upaya sistematis, logis dan paedagogis untuk mengembangkan pendidikan penyadaran multikulturalisme. Langkah teresbut seyogyanya dilaknakan dengan memberikan tempat yang layak dalam kurikulum dan lingkungan sekolah bagi pendidikan multikulural yang sarat dengan perspektif multietnis. Untuk mencapai tujuan utama dari pendidikan multikultural tersebut diperlukan transformasi dan kerjasama antara guru , orang tua , sekolah , masyarakat dan jika perlu melibatkan lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap pendidikan multikultural di Kalimantan tengah . Daftar Pustaka Abdullah, H.M. Amin, (2003) Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Mahammadyah University Press. Banks, James .A . ( 1984) . Teaching Strategies For Ethnic Studies ( 3 rd ed) . Massachusetts : : Allyn and Bacon . —————- . ( 1994) , An Introduction to Multicultural Education . Boston : Allyn and Bacon . Blum, A. Lawrence, (2001) Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai yang Bersifat Mendidk Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana. Fortuna , Dewi .Anwar dkk,. 2005. Konflik Kekerasan Internal : Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik , dan Kebijakan Di Asia Pasifik . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hayles , N.Katherine ( editor) . (1991). Chaos and Order : Complex Dynamic in Leterarure and Science . Chicago : The University of Chicago Press. Hidayat , Komarudin .2004. Merawat Keragaman Budaya . Dalam Pendidikan Manusia Indonesia . Editor Tonny D Widiastono . Jakarta : Yayasan Toyota Astra. Jandt , Fred. E. ( 1998) . Interculture Communication . London : SAGE Publications. Kammeyer, Kenneth.C.W.,Goerge Ritzer and Norman R. Yetman. 1992. Sociology: Experiencing a Changing Society . USA :Allyn and Bacon. Koentjaraningrat, (1986) “Peranan Local Genius dalam Akulturasi’, dalam Ayatrohaedi Ed. , Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya. Kymlicka, Will (2002) Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin, Jakarta: LP3ES. McLemore, S. Dale (1980) Racial and Ethnic Relations in America, Boston: Allyn and Bacon, Inc. Mc Whiter, J.J., Paluchch,R., & Ohm,R.M. ( 1988). Anytown : A human Relationship Experience . The Journal For Specialist In Group Work,13,117-123. Mulkhan, Abdul Munir,. 2005. Kesalehan Multikultural .Jakarta : PSAP Nieto, S. (1996). Affirming diversity: The sociopolitical context of multicultural education (2nd ed.). New York: Longman. Partington , Gary and Vince Mc Cudden .(1993). Etnicity and Education . New South Wales : Social Science Press . Sanderson , Stephen K. 1993. Sosiologi Makro . Penerjemah F.Wajidi Dan S Menno. Jakarta : Rajawali Pers. Saunders, M. (1982) Multicultural Teaching: Aguide for the classroom, London: McGraw-Hill Company. Sipet , Unel .(2001). Langkah – Langkah Persuasif Penyelesaian Pertikaian Antar Di Kalimantan Tengah . Makalah yang disajikan pada Kongres Besar Masyrakat Dayak . Palangkaraya . Sleeter, C.E.,& Grant ,C.A . (1993). Making Choice For Multicultural Education : Five Approaches To Race , Class and Gender ( 2nd ed ) . New York : Merrill Sobol, T. (1990) Understanding Diversity. Edicational Leadership . 48(3),27-30. Soedjatmoko (1995) “Sejarah Indonesia dan Zamannya” dalam Soedjatmoko (Ed), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia. Soelarso Sopater , Bambang Subandrio dan Sutarno . 1998. Pembelajaran Memasuki Kesejagatan . Jakarta : Pustaka Sinar Harapan . Supardan, Dadang (2005) Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, dan Global dalam Integrasi Bangsa, Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Tidak dipublikasikan. Suparlan, Parsudi, (2002) “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikutural”, Jurnal Antropogi Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia. Supriadi, Dedi, dan Mulyana, Rochmat, Compiled (1996) Multicultural Education: What Do the Theory and Research Say ?, Bandung: Institut of Teaching and Educational Science (IKIP). Suryadinata, Leo, (2003b) Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme ?” Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta: UI-Yayasan Obor Thohari, Harijanto Y. (2000) “Pluralisme Etnik Sebuah Potensi Konflik” dalam Yayah Kisbiyah Ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wiriaatmadja, Rochiati (2002) Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global, Bandung: Historia Utama Press. Usop . (2001) . Budaya Betang : Nilai – Nilai Lokal Masyarakat Dayak . Makalah Kongres Besar Masyarakat Dayak . Palangkaraya . Wiyanarti , Erlina . (2001) . Pembangunan Pendidikan Kalimantan Tengah Pasca |