Siapakah yang meriwayatkan hadits tentang ukhuwah

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Siapakah yang meriwayatkan hadits tentang ukhuwah
Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Jangan saling menghasud, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi, dan jangan membeli barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Karena itu, tidak mendhaliminya, tidak menelantarkannya, tidak membohonginya, dan tidak melecehkannya. Takwa itu di sini, [sambil menunjuk dadanya tiga kali]. Cukuplah seseorang dikategorikan jahat jika dia menghina saudaranya sesama muslim. Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim adalah suci terpelihara.” (HR Muslim)

URGENSI HADITS

Rasulullah tidak hanya menegaskan bahwa ketinggian ukhuwah Islamiyah hanya sebagai slogan. Namun diiringi dengan berbagai perintah dan laranga, hingga menjadi wujud kongrit di tengah-tengah masyarakat.

Hadits ini memuat berbagai hukum dan manfaat yang besar demi terealisasinya tujuan Islam yang tinggi tersebut. Di samping juga memelihara dari segala kekurangan dan kesalahan, sehingga ukhuwah Islamiyah tidak menjadi sekedar ucapan dan hayalan yang tidak menyentuh kehidupan riil.

Sehubungan dengan urgensi hadits ini, Imam Nawawi berkata, “Alangkah besar dan banyaknya manfaat hadits ini.”
Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Hadits ini adalah hadits yang banyak manfaatnya. Ia menjelaskan tentang dasar-dasar penting. Bahkan jika mengamati maknanya dengan seksama, akan tampak bahwa hadits ini memuat semua hukum dan adab dalam Islam.

KANDUNGAN HADITS

1. Larangan hasad.
a. Definisi hasad: hasad adalah menginginkan agar nikmat yang dimiliki orang lain berpindah ke tangannya, atau ke tangan orang lain lagi. Ini adalah akhlak tercela.
b. Hukumnya: para ulama sepakat bahwa hasad adalah haram. Dalil yang menunjukkan keharamannya sangat banyak, baik dari al-Qur’an maupun hadits. Di antaranya:

Firman Allah dalam rangka mencela orang-orang Yahudi:
“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri.” (al-Baqarah: 109)

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia Allah yang telah diberikan kepadanya.” (an-Nisaa’: 54)

Zubair bin Awam ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda.: “Kalian telah ditimpa penyakit yang menimpa kaum sebelum kalian, yaitu hasad dan kebencian. Kebencian adalah tukang pangkas yang memangkas ajaran agama, dan bukan memangkas rambut. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku beritahu tentang perkara yang jika kalian lakukan, kalian dapat saling berkasih sayang? Sebarkan salam di antara kalian.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hati-hati terhadap hasad, karena hasad dapat melenyapkan kebaikan, sebagaimana halnya api melenyapkan kayu bakar.” (HR Abu Dawud)

Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Umatku akan terkena penyakit yang menimpa umat-umat terdahulu.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, penyakit apakah itu?” Beliau menjawab, “Bersenang-senang yang melampaui batas, sombong, bermegah-megah, berlomba-lomba dalam urusan dunia, saling membenci, saling dengki, sehingga terjadi kesewenangan dan saling menjauhi.” (HR Hakim dan lainnya)

c. Hikmah diharamkannya hasad
Sifat hasad atau dengki diharamkannya karena merupakan pembantahan terhadap Allah swt. Allah telah memberikan nikmat kepada orang lain, namun ia berusaha menghalang-halangi apa yang telah dilakukan Allah tersebut.

Abu Thayib berkata, “Penduduk bumi yang paling dhalim adalah pendengki. Ia gelisah atas nikmat ang tidak ia miliki. Di samping itu, hasad juga usaha dengan cara yang diharamkan dan hanya akan mendatangkan kesedihan.” Bahkan ia merupakan perilaku yang sangat rendah.

d. Macam-macam pendengki.
– Golongan yang berusaha agar nikmat yang dimiliki orang lain hilang. Usaha ini dilakukan melalui ucapan maupun tindakan konkrit. Di antara mereka ada yang berusaha agar nikmat tersebut berpindah kepadanya, ada juga yang tidak berusaha ke arah tersebut.
– Golongan yang tidak merefleksikan sikap hasadnya, baik dengan ucapan maupun tindakan nyata. Menurut Hasan al-Bashri, golongan ini tidak berdosa. Golongan ini ada dua macam: yang pertama adalah yang tidak mampu menghilangkan hasad yang ada pada dirinya. Orang seperti ini tidak berdosa. Yang kedua adalah sikap hasad yang timbul dari kesadaran penuh, artinya kehadirannya dalam hati memang sengaja ditimbulkan. Meskipun demikian tidak terefleksikan dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, tetapi ia justru berusaha untuk mendapatkan kenikmatan seperti yang telah didapatkan orang yang ia dengki. Ini sebagaimana yang disinyalir dalam ayat, “Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Andaikata kita mempunyai seperti yang telah diberikan kepada Qarun.’” (al-Qashash: 79)

Jika sikap hasad ditujukan terhadap berbagai hal yang baik, maka dibolehkan bahkan merupakan kebaikan. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada hasad kecuali dalam dua hal: Terhadap seseorang yang diberikan harta dan mampu menginfakkan untuk kebaikan, siang dan malam, dan terhadap seseorang yang diberikan al-Qur’an, lalu ia merefleksikannya sepanjang siang dan malam.” (HR Bukhari dan Muslim)

– Golongan yang berusaha menghilangkan hasad yang ada di dalam hatinya. Ia berusaha berbuat baik kepada orang yang ia dengki. Ia juga mendoakan agar orang tersebut senantiasa dikaruniai nikmat. Inilah derajat keimanan yang paling mulia.

2. Larangan Najsy

a. Definisi Najsy. Yaitu mempropagandakan naiknya harga sesuatu, tanpa maksud membelinya, namun untuk merugikan orang lain.

b. Hukum Najsy. Adalah haram, baik dengan persetujuan pedagang maupun tidak. Karena najsy termasuk penipuan.

Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menipu kami, maka bukan termasuk golongan kami.” Riwayat lain menyebutkan, “Barangsiapa yang menipu.” Ibnu Umar ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang najsy. (HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abi Aufa berkata, “Pelaku najsy seperti orang yang memakan harta riba.”
Ibnu Abdul Bar berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang yang mengetahui bahwa najsy dilarang, tetapi ia melakukannya, berarti telah melakukan maksiat terhadap Allah swt.”

c. Hukum akad jual-beli jika terdapat unsur najsy.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Ahmad dan sebagian ulama berpendapat bahwa jual beli dengan unsur najsy tidak sah. Imam Syafi’i berpendapat, jika yang melakukan najsy adalah penjual sendiri atau atas seizin penjual maka akad yang dilakukan tidak sah. Namun jika najsy tersebut dilakukan pihak ketiga tanpa sepengetahuan penjual, maka akad tersebut sah.

Sedangkan kebanyakan ulama, termasuk Abu Hanifah, Malik, Syafi’i (dalam satu pendapatnya yang lain), Ahmad (dalam satu pendapatnya yang lain) menyatakan bahwa akad tersebut sah. Hanya saja Malik dan Ahmad memberikan peluang bagi pembeli untuk membatalkan akad manakala saat itu tidak tahu dan merasa sangat dirugikan.

d. Penafsiran najsy secara lebih luas.
Najsy dalam hadits di atas bisa juga dipahami dalam bentuk yang lebih luas. Karena secara bahasa sendiri najsy artinya “melakukan tipu muslihat terhadap sesuatu.” Dengan demikian, dalam bentuk yang lebih umum hadits tersebut bisa dipahami, “Janganlah saling menipu dan menyakiti.” Allah berfirman yang artinya, “Rencana yang jahat tidak tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri…” (Faathir: 43)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabdda: “Orang yang melakukan tipu muslihat dan melakukan penipuan adalah di neraka.”

Diriwayatkan bahwa Beliau juga bersabda: “Terlaknat orang-orang yang menyakiti atau melakukan muslihat terhadap seseorang.” (HR Turmudzi)

Dengan demikian, semua bentuk muamalah maliyah yang mengandung unsur penipuan, masuk dalam kategori najsy. Misalnya: menutupi barang yang cacat, mencampur barang yang jelek dengan barang yang baik.
Namun perlu diketahui, bahwa tipu daya dibolehkan terhadap orang-orang yang boleh diperangi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perang adalah tipu daya.”

3. Larangan Saling Membenci

a. Definisi benci.
Benci adalah sikap tidak suka. Sikap seperti ini telah dilarang oleh Rasulullah saw. karena umat Islam adalah bersaudara, yang saling menyayangi dan mencintai. Karenanya mereka dilarang saling benci, kecuali kebencian karena Allah. Allah swt berfirman yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (al-Hujurat 10)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidak akan beriman kecuali saling mencintai…”

b. Hukum membenci.
Saling benci biasanya dilakukan antara dua kubu. Adakalanya kebencian tersebut bermuara dari kedua belah pihak, ada kalanya hanya dari salah satu pihak. Kebencian sifatnya karena Allah swt, hukumnya bisa wajib dan bisa sunnah. Namun jika didasari karena selain Allah maka hukumnya haram.

Allah swt. berfirman: “Hai orang-orang yhang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuh-Ku menjadi teman-teman setia.” (al-Mumtahanah: 1)

Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan memberi karena Allah, maka imannya telah sempurna.”

Karena itu seorang muslim diwajibkan untuk senantiasa mengingatkan dirinya sendiri dan menghindari kebencian yang disebabkan karena dorongan hawa nafsu semata, karena kebencian tersebut tidak diperbolehkan.

c. Diharamkannya perkara-perkara yang mendatangkan permusuhan dan kebencian. Itulah hikmah diharamkannya minuman keras dan judi. Allah berfiman yang artinya: “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maaidah: 91)

Allah juga mengharamkan naminmah (menyebarkan keburukan orang lain) karena namimah dapat menyebabkan permusuhan dan saling benci. Itu semua mengindikasikan betapa Allah swt. benar-benar menghendaki persatuan antar umat Islam. Indikasi tersebut terkesan kuat manakala Allah membolehkan berbohong untuk kepentingan Ishlah (perdamaian).

Firman Allah: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shadaqah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (an-Nisaa’: 114)

d. Pentingnya penyatuan hati.
Menyatukan hati dan saling kasih sayang adalah pemberian Allah swt yang sangat berharga. Allah swt. berfirman, “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara.” (Ali ‘Imraan: 103)

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang mukmin. Dia-lah (pula) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (al-Anfaal: 62-63)

4. Larangan untuk memutuskan hubungan.

Memutuskan hubungan, bergantung pada sebabnya. Jika dilakukan karena tendensi duniawi, maka tidak diperbolehkan. Inilah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi, “Tidaklah halal seorang muslim memutuskan hubungan terhadap saudaranya sesama muslim lebih dari tiga hari, jika bertemu ia saling berpaling. Yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai salam.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Ayub ra.)

Beliau juga bersabda: “Barangsiapa yang memutuskan hubungan terhadap saudaranya sesama muslim, lebih dari enam hari, maka sama seperti membunuhnya.” (HR Abu Dawud)

Adapun jika dilakukan karena Allah maka boleh dilakukan lebih dari tiga hari. Hal ini berdasarkan pada hukuman yang dijatuhkan Rasulullah kepada tiga sahahat yang tidak mengikuti peperangan Tabuk. Beliau memerintahkan kepada semua umat Islam, untuk tidak berbicara dengan tiga shahabat tersebut selama 50 hari.

Demikian pula dibolehkan memutuskan hubungan dengan orang-orang yang senantiasa melakukan perbuatan bid’ah, atau menganut paham-paham sesat.
Al-Khathabi juga menyebutkan bolehnya memutuskan hubungan bagi orang tua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya jika hal itu memberi manfaat. Boleh juga hal itu dilakukan lebih dari tiga hari, karena Rasulullah saw. pernah menjauhi istrinya selama sebulan.

5. Larangan menjual atas jualan orang lain.

Misalnya, seseorang pedagang berkata kepada pembeli yang sedang melakukan transaksi jual beli, “Batalkanlah transaksi anda dan saya akan memberimu barang yang sama dengan harga yang lebih murah, atau dengan barang yang lebih bagus dengan harta yang sama.”
Atau seorang pembeli berkata kepada pedangan yang sedang melakukan transaksi dengan pembeli lain, “Batalkanlah transaksi anda, karena saya akan membelinya dengan harga yang lebih mahal.”

Para ulama sepakat bahwa jual beli seperti itu haram, sebagaimana sabda Nabi, “Seorang mukmin tidak menjual atas jualan saudaranya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)

Imam Nawawi berkata, “Jual beli seperti itu dilarang oleh agama. Namun, jika transaksi sudah berlangsung, maka Abu Hanifah, madzab Syafi’i, dan ahli fiqih lain menyatakan bahwa transaksi ini sah. Sementara Dawud dan Malik menyatakan bahwa transaksi ini tidak sah.

Adapun hikmah diharamkannya jual beli seperti ini, karena akan menyakiti perasaan orang lain bahkan bisa menimbulkan hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Adapun jual beli muzayadah (lelang) diperbolehkan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah menawarkan suatu barang, lalu bersabda: “Siapa yang berani dengan harga lebih tinggi?”

6. Perintah untuk menyebarluaskan ruh persaudaraan

Rasulullah saw. memerintahkan untuk menggalakkan persaudaraan di antara umat Islam, hal ini diisyaratkan oleh sabdanya, “Jadilah hamba Allah yang bersaudara.”

Jika dihubungkan dengan ucapan sebelumnya, maka bisa dipahami, “Berusahalah untuk menciptakan berbagai hal yang bisa memicu terjadinya persaudaraan, di antara pemicu tersebut adalah meninggalkan: dengki, najsy, benci, memutuskan hubungan, membeli atas pembelian orang lain, dan hal-hal yang senada lainnya. Sebagai gantinya lakukanlah kasih sayang di antara kalian dengan muamalah yang penuh persaudaraan, kasih sayang dan tolong menolong dalam kebaikan, dengan penuh ketulusan hati. Dan jangan lupa bahwa kalian adalah hamba Allah, sedangkan ciri dari seorang hamba adalah menaati semua perintah tuannya, termasuk perintah yang menyuruhnya untuk bersaudara dan saling membantu dalam rangka menegakkan agama dan menampakkan berbagai syiarnya. Ini semua tidak akan terealisasi tanpa adanya pertautan hati dan barisan yang rapat.”

Firman Allah: “Dia-lah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).” (al-Anfaal: 62-63)

Dalam upaya untuk menciptakan persaudaraan maka yang perlu diperhatikan adalah menunaikan berbagai hak seorang muslim terhadap muslim lainnnya, misalnya salam, menjenguk jika sakit, memenuhi undangannya, memberi nasehat, dan lain sebagainya.

Satu hal lagi yang bisa menambah persaudaraan menjadi semakin erat adalah memberikan hadiah dan berjabatan tangan. Rasulullah saw. bersabda, “Berilah hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan penyakit hati.” (HR Tirmidzi)

Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Berjabat tanganlah, karena berjabat tangan dapat menghilangkan kebencian. Dan saling memberi hadiahlah.”

Imam Hasan berkata, “Berjabat tangan dapat menambah kasih sayang.”

7. Kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim.

Seorang muslim dituntut untuk bermuamalah dengan saudaranya sesama muslim dengan cara yang dapat melahirkan pertautan hati. Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (al-Hujuraat: 10)

Dengan demikian ia dilarang untuk melakukan hal-hal yang bisa memicu perpecahan hati dan di antara pemicu keretakan hati yang paling utama ada empat perkara: Kedhaliman, rasa tidak peduli, dusta, dan memandang rendah orang lain.

Ini semua menunjukkan bahwa persaudaraan adalah sesuatu yang sangat urgendi dalam Islam. Bahkan lantaran urgensinya pula seorang muslim tidak dianggap sempurna keimanannya, jika belum mencintai sudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Dengan demikian ia akan berusaha untuk tidak menyakiti hati saudaranya dan menjaganya dari berbagai bentuk kemudlarataan.

Yang juga perlu diketahui bahwa ketinggian akhlak di dalam Islam, tidaklah terbatas kepasa sesama Muslim. Namun manfaat dari akhlak tersebut juga akan dirasakan oleh semua umat manusia. Karenanya, semua perkara di atas juga diharamkan bagi setiap manusia. Jika ada orang kafir diperlakukan dengan salah satu perkara di antas, maka hal itu semata-mata karena kekafirannya.

a. Dilarang mendhaliminya.
Tidak boleh melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi diri, agama, kehormatan dan agamanya, tanpa alasan yang dibenarkan agama. Karena hal itu adalah kedhaliman yang akan menghancurkan persaudaraan Islam. Tentang kedhaliman, telah dikupas pada pembahasan hadits, “Wahai hamba-Ku, Aku telah haramkan kedhaliman atas diri-Ku, dan Aku haramkan atas kalian. Makan janganlah saling mendhalimi.”

b. Dilarang membiarkannya dengan kesulitannya.
Tidak memberikan pertolongan kepada sesama muslim adalah haram. Terutama saat ia benar-benar membutuhkan pertolongan. Allah swt. berfirman, “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (al-Anfaal: 72)

Rasulullah saw. bersabda: “Tiada seorang muslim yang membiarkan muslim lainnya (tanpa mendapatkan pertolongan) saat kehormatannya dirampas dan harga dirinya dirusak, kecuali Allah akan membiarkannya saat ia membutuhkan pertolongan-Nya (HR Abu Dawud)

Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang dihadapannya ada seorang muslim yang dihinakan, akan tetapi ia tidak menolongnya, padahal ia mampu menolongnya, maka Allah akan menghinakannya di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat.” (HR Ahmad)

“Barangsiapa yang menolong saudaranya ketika ia tidak berada di hadapannya, maka Allah akan menolongnya di dunia dan di akhirat. (HR Bazzar)

Tidak memberikan pertolongan, bisa dalam masalah diniawi, seperti sebetulnya ia mampu menolong orang yang didhalimi tetapi tidak melakukannya. Bisa jgua dalam urusan ukhrawi, seperti sebetulnya ia mampu memberikan nasehat kepada orang lain tapi ia tidak melakukannya.

c. Dilarang berdusta dan mendustakan.
Di antara hak seorang muslim lainnya adalah berkata jujur dan mempercayai perkataan saudaranya. Termasuk menodai amanat apabila memberitakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya, atau pembicaraannya bertentangan dengan hakekat sebenarnya, terutama jika tampak pada orang yang diajak bicara bahwa ia mempercayai pembicaraan itu.

Nawas bin Sam’an ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pengkhianatan yang besar adalah ketika saudaramu berbicara jujur kepadamu tetapi kamu berdusta kepadanya.” (HR Ahmad)

Berdusta bukan untuk tujuan kemashlahatan, persahabatan, menjaga nyawa dan harta adalah penipuan dan pengkhianatan. Rasulullah saw. bersabda: “Jika seorang hamba berbohong dengan suatu kebohongan, maka malaikat akan menjauh satu mil darinya karena busuknya apa yang keluar dari kebohongan itu.”

d. Dilarang menghinanya.
Seorang muslim dilarang menganggap remeh saudaranya. Hendaklah memposisikan saudaranya pada posisi semestinya. Karena ketika Allah menciptakannya, Dia tidak menghinakannya, tetapi memuliakannya, meninggikannya, mengajaknya berbicara, dan memeliharanya. Maka menghina kepadanya merupakan tindakan yang melampaui batas terhadap Allah , karena dia telah bersikap sombong yang merupakan dosa besar.

Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda, “Cukuplah seorang hamba berbuat jahat bila ia menghina saudaranya sesama muslim.” Penghinaan muncul dari kesombongan, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan menghina manusia.” Imam Ahmad meriwayatkan, “Sombong adalah tidak mengetahui kebenaran dan menghina manusia.”

Dalam riwayat lain, “Tidak menghargai manusia. Dia melihat manusia bukan apa-apa.” Hal itu karena orang yang sombong melihat dirinya sempurna, sementara orang lain banyak kekurangannya, maka ia mengecilkan dan menghinakan mereka. sombong adalah keburukan yang paling besar, karena ia akan memasukkan pemiliknya ke dalam neraka dan menjauhkannya dari surga.

Dari shahih Muslim disebutkan, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji saawi kesombongan.” Haritsah bin Wahhab ra. berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Tidaklah ingin aku beritahukan kepada kalian tentang ahli surga? Yaitu setiap orang lemah yang dianggap lemah, yang jika berjanji kepada Allah ia memenuhinya. Tidakkah kalian ingin aku beritahukan tentang penghuni neraka? yaitu semua orang yang kasar, tidak sabaran, dan sombong.” (HR Bukhari dan Muslim)

8. Takwa adalah sebuah barometer.

Takwa adalah menjauhi adzab Allah swt. dengan cara melakukan setiap perintah dan meninggalkan semua larangan. Sesungguhnya Allah swt. hanya akan menghormati manusia dengan ketakwaannya, bukan karena diri atau kekayaannya. Karenanya bisa saja seseorang di mata orang lain hina karena kurang beruntung dalam kenikmatan dunia, akan tetapi di sisi Allah ia mempunyai kedudukan dan nilai tinggi dibanding orang yang terpandang di mata masyarakat, karena kedudukan, kekuasaan, dan harta yang sebenarnya diperoleh secara tidak halal.

Kedudukan manusia di sisi Allah berfariasi, sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing dan sebanding dengan ketakwaan yang dimiliki. Bukan karena kedudukan atau pun keturunannya. Bukan juga karena bentuk raut muka dan warna kulit. Juga bukan karena banyaknya harta yang dimiliki. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (al-Hujuraat: 13)

Suatu ketika Rasulullah saw. ditanya: “Siapakah orang yang paling mulia.” Beliau menjawab, “Orang yang paling mulia adalah yang paling bertakwa di antara kalian.”

Adapun tempat ketakwaan adalah hati, Allah berfirman, “Demikianlah [perintah Allah]. Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)

Rasulullah saw. bersabda. “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan bentuk tubuh kalian, akan tetapi melihat hati kalian.”
Dengan demikian, tidak seorang pun mengetahui hakekat takwa kecuali Allah swt. berbagai amalan yang tampak juga belum tentu membuahkan ketakwaan. Namun yang akan melahirkan ketakwaan adalah ketakutan kepada Allah dan senantiasa melakukan muraqabah (selalu merasa diawasi Allah).

Jika demikian maka betapa banyak orang yang berwajah tampan ataupun cantik, memiliki harta melimpah, kedudukan yang tinggi, namun hatinya kosong dari ketakwaan. Betapa banyak orang yang kurang beruntung dalam tiga hal di atas, namun hatinya penuh dengan ketakwaan, mereka ini lah yang paling mulia di sisi Allah swt. Bermuara dari realita ini, maka menghina adalah kejahatan yang besar, karena telah menjungkirbalikkan barometer yang ada, dengan bertumpu pada sisi luar dan mencampakkan sisi dalam yang menjadi barometer yang sebenarnya.

9. Terperliharanya seorang muslim.
Nyawa, harta dan kehormatan seorang muslim terpelihara. Hal ini dinyatakan Rasulullah saw. saat khutbah yang sangat monumental, yaitu khutbah Wada’, di padang Arafah. Dalam khutbah tersebut beliau bersabda: “Sesungguhnya harta, darah, dan kehormatan kalian adalah terpelihara, seperti terpeliharanya, hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini…”
Inilah hak-hak manusia secara umum, yang menjadi landasan tertegaknya masyarakat muslim yang aman sentosa. Dalam masyarakat tersebut, seorang muslim akan merasa tenang terhadap hartanya, karena tak ada seorang pun yang akan mencuri ataupun merampasnya. Merasa tenang terhadap kehormatannya, karena tidak ada siapa pun yang menginjak-injaknya.

Untuk menciptakan kondisi ini, Allah telah menetapkan hukuman qishash bagi siapa saja yang membunuh atau menghilangkan salah satu anggota tubuh, menetapkan potong tangan sebagai hukuman orang yang mencuri, menetapkan rajam bagi pezina.

Kemudian terpeliharanya seorang muslim ini benar-benar mencapai puncaknya, tatkala sekedar menakut-nakuti atau menyebabkanny rasa tidak aman pun dilarang di dalam Islam.

Abu Dawun meriwayatkan bahwa seorang sahahbat mengambil tambang kepunyaan temannya, hingga ia terkejut takut, maka Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah halal seorang muslim menakuti muslim yang lain.” (HR Abu Dawud)

“Janganlah salah seorang di antara kalian menyembunyikan tongkat saudaranya, bermain-main maupun bersungguh-sungguh.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

“Janganlah antara dua orang saling berbisik dan meninggalkan orang yang ketiga, karena hal itu dapat membuatnya sedih.” (HR Bukhari dan Muslim) dan dalam riwayat lain terdapat tambahan, “Kerena hal itu dapat menyakiti seorang mukmin. Sedangkan Allah membenci orang yang menyakiti seorang mukmin.”

10. Selain hal-hal di atas, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari hadits-hadits di atas:
– Islam bukan hanya aqidah dan ibadah, akan tetapi juga mencakup akhlak dan muamalah.
– Dalam Islam akhlak tercela merupakan kejahatan yang sangat dibenci
– Niat dan amalan adalah barometer yang digunakan Allah untuk menimbang hamba-Nya
– Hati adalah sumber ketakutan kepada Allah.

&

Tag:35, agama, al-wafi, arbain, bahasa indonesia, hadist arbain, hadits, hak, hujjah, Imam Nawawi, islam, muslim, reliqion, riwayat, tafsir hadits, Ukhuwah

Siapa yang meriwayatkan hadits tentang ukhuwah?

Ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan Aqidah. Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: 'Ada seseorang berada di samping Rasulullah lalu salah seorang sahabat berlalu didepannya.

Apa Itu Hadits ukhuwah?

Ukhuwah Islamiah Rasulullah SAW bersabda: Artinya: "Dari Abu Musa Al-'Asy'ari berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Antara seorang mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya." (HR. At-Tirmidzi).

Bagaimana isi hadits tentang persaudaraan?

Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki dan janganlah kalian saling membelakangi dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam." (HR.

Dalil tentang ukhuwah terdapat dalam QS apa *?

Allah SWT berfirman dalam Surat Al Hujurat ayat 10.