Abu al-Hasan al-Asy'ari (bahasa Arab:
أبو الحسن الأشعري, lahir di Bashrah 260 H/873 M — wafat di Baghdad 323 H/935 M[1]) atau lebih dikenal imam Asy'ari adalah seorang mutakalim yang berperan penting dalam perkembangan teologi Asy'ariyah.
Minat utama
Dipengaruhi Abu Ali al-Jubba'i · Abdullah bin Sa’id bin Kullab · Harits al-Muhasibi · Zakaria As-Saji · Ibnu Suraij As-Syafi’i · Ahmad bin Hanbal
Memengaruhi
Namanya Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. adalah salah seorang keturunan dari sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Abu Musa Al-Asy'ari. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M.[1] Sebagian besar hidupnya berada di Baghdad. Masa KecilAyah beliau, Ismail adalah seorang ulama ahli hadis yang menganut paham Ahlus-Sunnah wal Jama'ah. Hal ini terbukti bahwa ketika Ismail menjelang wafat berwasiat agar al-Asy'ari diasuh oleh Zakaria As-Saji, pakar hadis dan fikih mazhab Syafi'i yang sangat populer di kota Bashrah.[2] Pada masa kecilnya, al-Asy'ari selain berguru kepada al-Saji, beliau juga menimba ilmu dari ulama-ulama ahli hadis yang lain, seperti Abdurrhaman bin Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bashri, Muhammad bin Ya'qub al-Maqburi, dan lain-lain. Hal tersebut mengantarkan al-Asy'ari menjadi ulama yang menguasai hadis, tafsir, fikih, ushul fikih, dan lain-lain. Hanya saja, setelah beliau berusia 10 tahun, ada unsur asing yang sangat berpengaruh dan bahkan mengubah jalan hidupnya, yaitu kehadiran Abu Ali al-Jubba'i, tokoh Muktazilah terkemuka di kota Bashrah. Dalam keluarganya, ia yang menjadi ayah tirinya dengan menikahi ibunya, dan kemudian mengarahkan al-Asy'ari menjadi penganut Muktazilah hingga berusia 40 tahun.[3] Keluar dari MuktazilahAbu al-Hasan al-Asy'ari mengikuti aliran Muktazilah hingga berusia 40 tahun. Namun kemudian setelah sekian lama akhirnya al-Asy'ari keluar dari aliran Muktazilah. Menurut data sejarah yang disampaikan oleh para ulama, seperti Ibnu Asakir, Syamsuddin ibn Khallikan, dan Tajuddin as-Subuki, setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi keluarnya al-Asy'ari dari Muktazilah.[4] Ketidakpuasan al-Asy'ari terhadap paham MuktazilahAbu al-Hasan al-Asy'ari tidak puas dengan paham Muktazilah yang selalu mendahulukan akal tetapi tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah dipatahkan dengan argumentasi akal yang sama. Ketidakpuasan al-Asy'ari tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain riwayat yang menyatakan bahwa sebelum al-Asy'ari keluar dari aliran Muktazilah beliau tidak keluar rumah selama lima belas hari. Kemudian pada hari Jumat setelahnya beliau keluar ke Masjid Jami' dan menaiki mimbar dengan berpidato:
Kemudian al-Asy'ari menyerahkan beberapa kitab yang ditulisnya kepada orang-orang di sana. Di antaranya adalah kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida', kitab yang memaparkan kerancuan Muktazilah yang berjudul Kasyf al-Astar wa Hatk al-Asrar, dan kitab-kitab lain.[4] Ketidakpuasan al-Asy'ari dengan paham Muktazilah tersebut dapat pula dilihat dengan memperhatikan riwayat lain yang mengisahkan perdebatannya dengan Abu Ali al-Jubba'i, guru yang sekaligus juga ayah tirinya.[5] Abu al-Hasan al-Asy'ari: "Bagaimana pendapatmu tentang nasib tiga orang yang meninggal dunia, satunya orang mukmin, satunya orang kecil, dan satunya lagi anak kecil?" Abu Ali Al-Jubba’i: "Orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi, orang kafir akan celaka, dan anak kecil akan selamat." Abu al-Hasan al-Asy'ari: "Mungkinkan anak kecil tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah?" Abu Ali Al-Jubba’i: "Oh, tidak mungkin, karena Allah akan berkata kepada anak itu, "Orang mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi karena amalnya, sedangkan kamu belum sempat beramal. Jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu."" Abu Al-Hasan Al-Asy’ari: "Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, demikian itu bukan salahku. Andaikan Engkau memberiku umur panjang, tentu aku akan beramal seperti orang mukmin itu."" Abu Ali Al-Jubba’i: "Oh tidak bisa, Allah akan menjawab, "Oh bukan begitu, justru Aku telah mengetahui bahwa apabila kamu diberikan umur panjang maka kamu akan durhaka sehingga nantinya kamu akan disiksa. Oleh karena itu demi menjaga masa depanmu Aku matikan kamu sewaktu masih kecil, sebelum kamu menginjak usia taklif."" Abu Al-Hasan Al-Asy’ari: "Bagaimana seandainya orang kafir itu menggugat kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, Engkau telah mengetahui masa depan anak kecil itu dan juga masa depanku. Tetapi mengapa Engkau tidak memperhatikan masa depanku, dengan mematikan aku sewaktu masih kecil dulu, sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu, dan mengapa Engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi orang kafir dan akhirnya aku disiksa seperti sekarang ini?"" Mendengar pertanyaan al-Asyari ini, al-Jubba'i menghadapi jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban. Abu Ali Al-Jubba’i: "Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah ada." Abu Al-Hasan Al-Asy’ari: "Aku tidak bermaksud merusak keyakinan yang selama ini Anda yakini. Akan tetapi, guru tidak mampu menjawab pertanyaanku." Pada permulaan bulan Ramadhan, al-Asyari tidur dan bermimpi bertemu Rasulullahﷺ. Rasulullahﷺ berkata: "Wahai Ali, tolonglah pendapat, pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar." Setelah terbangun al-Asy'ari merasakan mimpi itu sangat berat dalam pikirannya. Beliau terus memikirkan apa yang dialaminya dalam mimpi. Pada pertengahan bulan Ramadhan, beliau bermimpi lagi bertemu Rasulullahﷺ. Rasulullahﷺ berkata: "Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?" Abu Al-Hasan Al-Asy'ari menjawab: "Aku telah memberikan pengertian yang benar terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan darimu." Rasulullahﷺ berkata: "Tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar." Setelah terbangun dari tidurnya, al-Asy'ari merasa sangat terbebani dengan mimpi itu sehingga beliau bermaksud meninggalkan ilmu kalam. Beliau akan mengikuti hadis dan terus membaca Al-Qur'an. Tetapi pada malam 27 Ramadhan, tidak seperti biasanya, rasa kantuk yang begitu hebat menyerangnya sehingga beliau pun tertidur. Dalam tidur itu beliau bermimpi betemu Rasulullahﷺ untuk ketiga kalinya. Rasulullahﷺ berkata: "Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?" Abu Al-Hasan Al-Asy'ari menjawab: "Aku telah meninggalkan ilmu kalam dan aku konsentrasi menekuni Al-Qur'an dan hadis." Rasulullahﷺ berkata: "Aku tidak menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam tetapi aku hanya memerintahmu menolong pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku karena itu yang benar." Abu Al-Hasan Al-Asy'ari menjawab: "Wahai Rasulullah, bagaimana aku mampu meninggalkan mazhab yang telah aku ketahui masalah-masalah dan dalil-dalilnya sejak tiga puluh tahun yang lalu hanya karena mimpi?" Rasulullahﷺ berkata: "Andaikan aku tidak tahu bahwa Allah akan menolongmu dengan pertolongannya, tentu aku menjelaskan kepadamu semua jawaban masalah-masalah (ajaran Muktazilah) itu. Bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini, Allah akan menolongmu dengan pertolongannya." Setelah bangun dari tidurnya, al-Asy'ari berkata: "Selain kebenaran pasti hanya kesesatan." Lalu beliau mulai membela hadis-hadis yang berkaitan dengan ru'yah (melihat Allah di akhirat), syafaat, dan lan-lain. Ternyata setelah itu, al-Asy'ari mampu memaparkan kajian-kajian dan dalil-dalil yang belum pernah dipelajarinya dari seorang guru, tidak dapat dibantah oleh lawan, dan belum pernah dibacanya dalam suatu kitab.[6][7][8] KewafatanAbu al-Hasan al-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M. Ada perbedaan pendapat tentang fase pemikiran Abul Hasan Al-Asy'ari sebagian pihak mengklaim Abul Hasan Al-Asy'ari hanya melewati dua fase, pihak lainnya mengklaim Abul Hasan Al-Asy'ari melewati tiga fase pemikiran. Dua faseAbu Bakar bin Furak, Ibnu Khaldun dan ulama-ulama lainnya berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy'ari hanya melewati dua fase pemikiran saja yaitu dari Muktazilah ke Ahlussunah.[9][10] Ibnu Khaldun berkata:
Dari pernyataan Ibnu Khaldun tersebut ia menyimpulkan bahwa setelah al-Asy'ari keluar dari paham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa'id bin Kullab, al-Qalanisi, dan al-Muhasibi yang menurutnya dia merupakan pengikut Ahlussunnah. Tiga faseUlama-ulama seperti Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyah, syekh Utsaimin dan ulama-ulama kontemporer lainnya berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy'ari melewati tiga fase pemikiran dalam hidupnya. Yaitu dari Muktazilah ke Kullabiyah ke Ahlussunah.[11][12][13][14][15] Sebagian ulama tidak menganggap Kullabiyah sebagai Ahlussunah karena ada beberapa masalah akidah yang bertentangan dengan Suni seperti hanya menetapkan tujuh sifat saja bagi Allah dan menetapkan sifat Dzatiyah tetapi menafikan sifat Ikhtiariyah bagi Allah.[14] Ibnu Taimiyah berkata: “Dialah yang mengarang kitab–kitab yang isinya membantah Jahmiyah, Muktazilah dan firkah lainnya. Dia termasuk ahli kalam dalam masalah sifat-sifat Allah. Metode yang dia tempuh mendekati metode ahlul hadits dan sunah, namun masih termuat cara-cara bidah. Karena dia menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah, Tetapi ketika membantah Jahmiyah dikarenakan mereka menolak sifat dan sifat Uluw (Allah berada di tempat yang tinggi). Sarat dengan hujah dan dalil dan menerangkan keutamaan hujah dan dalil tersebut. Maka apa yang dikemukakan itu menyapu bersih syubhat Muktazilah. Dan ini membantu bagi kalangan cendekia. Jadilah dia seorang imam dan panutan bagi orang yang muncul setelahnya dalam masalah penetapan sifat dan membantah orang yang menafikannya.[15][16][14] Walaupun antara mereka (Ibnu Kullab dan pengikutnya dengan golongan yang dibantahnya masih ada persamaan dalam kaidah-kaidah pokok. Hal inilah yang menyebabkan sebagian kaidah yang mereka munculkan. Menjadi batil dilihat dari kacamata akal dan karena menyelisihi sunah Rasulullah “. [17] Dari pernyataan Ibnu Taimiyah di atas ia beranggapan bahwa kaidah-kaidah yang dilakukan Kullabiyah untuk membantah Muktazilah masih memiliki kesamaan terutama dalam kaidah pokok, ditambah karena Kullabiyah hanya menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah. Abul Hasan Al-Asy'ari pada masa menjadi Muktazilah ia meniadakan semua sifat-sifat Allah dengan dalih menyucikan keesaan Tuhan, karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa siapa pun yang menetapkan adanya sifat kadim bagi Allah, maka dia telah menetapkan adanya dua Tuhan. Muktazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, sebab apabila Tuhan memiliki sifat, maka sifat tersebut harus kekal seperti halnya dzat Tuhan.[18] Kemudian Abul Hasan Al-Asy'ari hanya menetapkan tujuh saja sifat Allah yaitu hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, [11] Adapun sifat khabariyah tentang Allah dia pun menakwilnya. Apa yang dicetuskan oleh Abul Hasan al-Asy'ari ketika itu tersebar ditengah masyarakat dan menjadi titik awal berkembangnya teologi Asy'ariyah.[19] Kemudian Abul Hasan Al-Asy'ari menetapkan semua sifat Allah tanpa tasybih, tahrif, takwil, dan tanpa menafikannya sesuai dengan metodologi salaf.
Tim riset asal Mesir menyoroti perkara pemikiran Abu al-Hasan al-Asy'ari yang pada periode belakangan semakin mengikuti pemikiran Salaf dan meninggalkan metode-metode Mu'tazilah ataupun ahlul Kalam yang mendahulukan dalil Aqli (akal) ketimbang dalil Naqli (wahyu), di mana di salah satu kitab terakhir Abu al-Hasan mengatakan:[20]
Komentar para UlamaIbnu Taimiyah berkata, “Barang siapa yang menyatakan Abul Hasan al-Asy’ari menafikan sifat dan beliau memiliki dua pendapat dalam menakwilkan sifat Allah, maka orang tersebut telah berdusta atas nama Abul Hasan. Yang melakukan takwil seperti ini adalah pengikutnya yang belakangan seperti Abul Ma’ali dan lainnya. Mereka memasukkan ushul (akidah/prinsip pokok) muktazilah ke dalam mazhabnya.”[21] pada abad ke-20, Syekh Musthafa Hamdu 'Ullayan Al-Hambali dan Syekh Hammad al-Ansyari juga mengutip catatan-catatan para Ulama yang dekat masa hidupnya dengan Abul Hasan al-Asy'ari bahwa sang Imam lebih dekat kepada mazhab Hambali dan menolak konsep takwil dalam menafsirkan ayat dan hadis.[13][15] Hal ini juga disepakati Syekh Abdul Aziz Marzuq Ath-Tharifi dalam kitab Khurasaniyyah yang menyoroti kitab Al-Ibanah tentang Istiwa dan ketinggian Allah dalam keyakinan Abul Hasan al-Asy'ari.[16] Da'i kontemporer yang menjadi pengajar di Masjid Nabawi dan juga murid dari Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, Dr. Firanda Andirja, Lc, bahkan mengeluarkan bantahan panjang mengenai klaim yang ia anggap sebagai distorsi sistematis dari beberapa tokoh Asy'ariyah modern, di mana mereka menolak Akidah Imam Asy'ari dalam dua kitab terakhir beliau sebelum wafat yang justru menegaskan kalau Asy'ari menolak takwil kaum Mutakalim dan mengutamakan hadis-hadis serta penafsiran para Sahabat tentang Istiwa Allah.[14] Secara spesifik, Dr Firanda merumuskan bahwa dalam salah satu kitabnya, Maqalatul Islamiyyin, Imam Asy'ari sendiri menyatakan bahwa mentakwil Istiwa-nya Allah adalah Akidah asli Muktazilah, bukan Akidah Ahlus Sunnah seperti yang diklaim Asy'ariyah atau Kullabiyah modern[14] Dr. Sa’id bin Musfir Al-Qahthani menambahkan bahwa klaim Asy'ariyah bahwa Imam Abul Hasan al Asy'ari mengikuti aqidah mereka adalah keliru berdasarkan kitab-kitab terakhir Imam Asy'ari yang justru menunjukkan sang Imam mengingkari keyakinan yang diklaim oleh kaum Asy'ariyah[22] Abu Yahya Zakariya bin Yahya al-Saji al-Syafi'i (220-307 H / 835-920 M), hafizh besar, muhaddits kota Bashrah pada masanya, murid Imam Ahmad bin Hanbal,[23] dan fakih bermazhab Syafi'i. Beliau telah menulis kitab 'Ilal al-Hadits yang membuktikan kepakarannya dalam bidang studi kritik hadis. Beliau juga menulis kitab Ikhtilaf al-Fuqaha' dan Ushul al-Fiqih yang membuktikan kepakarannya dalam bidang fikih. Menurut al-Dzahabi, al-Asy'ari belajar hadis dan ideologi ahli hadis kepada Zakariya al-Saji ketika masih kecil dan belum memasuki aliran Muktazilah.[24][25] Imam Abu Khalifah al-JumahiAbu Khalifah al-Fadhl bin al-Hubab al-Jumahi al-Bashri (206-305 H / 821-917 M), muhaddits kota Bashrah yang dianggap tsiqah (dipercaya). Beliau seorang ahli hadis yang jujur dan banyak meriwayatkan hadis. Usianya hampir mencapai seratus tahun. Al-Asy'ari banyak meriwayatkan hadis dan Abu Khalifah dalam kitab tafsirnya.[26][27] Abdurrahman bin Khalaf al-DhabbiAbu Muhammad Abdurrahman bin Khalaf bin al-Hushain al-Dhabbi al-Bashri, muhaddits yang tinggal di Bashrah dan hadisnya diterima oleh para ulama. Beliau belajar kepada Ubaidillah bin Abdul Majid al-Hanafi, Hajjaj bin Nushair al-Fasathithi, dan lain-lain. Beliau wafat pada tahun 279 H / 893 M.[28] Sahal bin Nuh al-BashriAbu al-Hasan Sahal bin Nuh bin Yahya al-Bazzaz al-Bashri, seorang muhaddits yang tinggal di Bashrah, guru al-Asy'ari dalam bidang hadits. Muhammad bin Ya'qub al-MaqburiMenurut Ibnu Asakir, al-Asy'ari banyak meriwayatkan hadis dalam tafsirnya melalui jalur Zakariya al-Saji, Abu Khalifah al-Jumahi, Abdurrahman bin Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bazzaz, dan Muhammad bin Ya'qub al-Maqburi, yang kesemuanya tinggal di Bashrah.[29][30] Imam Abu Ishaq al-Marwazi al-Syafi'iAbu Ishaq Ibrahim bin Ahmad al-Marwazi, ulama besar dan pemimpin mazhab Syafi'i di Baghdad dan Mesir. Beliau murid terbesar Imam Abu al-'Abbas bin Suraij al-Baghdadi (249-306 H / 863-918 M). Pada mulanya Abu Ishaq al-Marwazi ini menyebarkan mazhab Syafi'i di Baghdad, menggantikan posisi gurunya Ibnu Suraij. Namun pada akhir usianya, beliau pindah ke Mesir dan menyebarkan madzhab Syafi'i di Mesir hingga wafat di sana pada tahun 340 H / 951 M, dan jenazahnya dimakamkan bersebelahan dengan makam Imam al-Syafi'i. Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Baghdad bahwa Imam al-Asy'ari rutin menghadiri perkuliahan Abi Ishaq al-Marwazi dalam materi fiqih Syafi'i setiap hari Jumat di Masjid Jami' al-Manshur.[31] Informasi lainnya menyebutkan bahwa al-Asy'ari belajar ilmu fikih kepada Abu Ishaq al-Marwazi, sedangkan al-Marwazi belajar ilmu kalam kepada al-Asy'ari.[31][32][33] Abu Ali al-Jubba'iAbu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salam al-Jubba'i (235-3-3 H / 849-916 M), pakar teologi, tokoh Muktazilah terkemuka. Hubungan yang sangat dekat antara guru dan murid ini menjadikan al-Asy'ari menjadi kader Muktazilah yang populer. Abu Hasyim al-Jubba'iAbu Hasyim Abdussalam bin Muhammad bin Abdul Wahhab al-Jubba'i, putra Abu Ali al-Jubba'i, pakar teologi dan tokoh Muktazilah. Murid-murid Imam al-Asy'ari tidak hanya para pakar dalam bidang teologi saja tetapi mereka berangkat dari latar belakang keilmuan yang beragam, seperti ahli hadis, ahli tafsir, ahli fikih, ahli tasawuf, dan lain-lain, sehingga mazhab dan pelbagai pemikiran al-Asy'ari disebarkan melalui pintu berbagai studi keislaman seperti melalui ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan lain-lain.[34] Di antara murid-murid Imam al-Asy'ari tersebut adalah:
Dia meninggalkan karya-karya tulis, kurang lebih berjumlah 90 kitab dalam berbagai fase pemikirannya. Ada tiga kitabnya yang terkenal:
|