Sebutkan lima macam gerakan yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah

Alkhairaat – Organisasi masyarakat (Ormas) yang terafiliasi di dalam aliran atau paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Sunni) tidak terbatas pada dua organisasi Islam: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Sebagai negara kepulauan dengan 88 persen dari total jumlah penduduk 270 juta jiwa merupakan Muslim, ormas Islam Sunni di Indonesia sangat banyak. Nyaris setiap pulau di Indonesia memiliki ormas tersendiri yang mewakili aspirasi lokal penduduk Muslim setempat. Di antaranya:

1. al-Jam’iyah al-Khairiyyah atau Jamiat Khair


Jamiat Khair adalah ormas Islam pertama yang didirikan di Indonesia pada tahun 1901, akan tetapi baru mendapatkan izin resmi dari Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juli 1905 di Jakarta. Pada tahun tahun 1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di Batavia.

Jamiat Khair sejatinya merupakan organisasi yang terbuka bagi siapapun, meski mayoritas anggotanya merupakan orang-orang Arab keturunan yang telah lahir di Indonesia. Beberapa tokoh non Arab yang tercatat pernah menjadi anggota organisasi ini adalah K.H. Ahmad Dahlan dan Raden Hassan Djajadiningrat.

Jamiat Khair didirikan oleh Habib Abubakar bin Muhammad Alhabsyi, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad Al-Fakir bin Abn Al Rahman Al Mansyur, Sayid Idrus bin Ahmad Shahab, Sayid Ali bin Ahmad Shahab, Habib Abubakar bin Abdullah Alatas, Sayid Muhammad bin Abdurrahman Shahab dan Sayid Syechan bin Ahmad Shahab.

Kongres pertama Jamiatul Khair dilaksanakan pada tahun 1911 M. Salah satu keputusan penting hasil kongres ini adalah mendatangkan guru-guru agama dari Timur Tengah ke Indonesia. Selain mendirikan madrasah, pada tahun 1913 M, Jamiatul Khair mendirikan Panti Asuhan Darul Aitam. Habib Abu Bakar Alhabsyi bersama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (awlad) di Jl. Karet dan untuk putri (banat) di Jl. Kebon Melati dan di cabang Jamiatul Khair di Tanah Tinggi, Senen, Jakarta. Bersamaan dengan itu, sekolah-sekolah untuk anak-anak yatim turut dibuka.

Selain dua tokoh nasional yang telah disebutkan di atas, organisasi Jamiatul Khair dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, antara lain Kyai HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islam), H. Agus Salim, dan Habib Idrus bin Salim Aljufri (pendiri Alkhairaat).

2. Muhammadiyah


Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 18 Novermber 1912 atau bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330. Organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman, Kota Yogyakarta. Pada masa kepemimpinannya (1912-1923), Muhammadiyah telah memiliki cabang di sejumlah kota di Pulau Jawa, seperti Surakarta dan Pekalongan. Tahun 1925, cabang Muhammadiyah berkembang ke Sumatera Barat berkat peran ayah Hamka, yaitu Haji Abdul Karim Amrullah. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, hingga tahun 1938, Muhammadiyah telah memiliki cabang hampir di seluruh kota besar di Indonesia.

Fokus utama Muhammadiyah adalah meluruskan kesalahpahaman ajaran Islam di tengah masyarakat melalui dakwah dan pembukaan lembaga pendidikan serta usaha-usaha amal, seperti rumah sakit dalam bidang kesehatan dan lembaga wakaf untuk pengembangan ekonomi umat.

3. Mathla’ul Anwar


Mathla’ul Anwar (MA) adalah lembaga pendidikan yang didirkan oleh Abdurahman bin Jamal, TB Sholeh Kananga, Kiai Yasin kemudian Kiai Arsyad, dan Kiai Rusdi pada tahun 1916 M. Lembaga pendidikan Mathla’ul Anwar berpusat di Banten dan berumur 10 tahun lebih tua dari NU.

Salah satu kader Mathla’ul Anwar adalah Menteri Agama Fachrul Razi Batubara.

4. Nahdlatul Ulama

Sebelum berdirinya NU, K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Mas Mansur mendirikan Nahdlatul Wathan berbeda dengan lembaga bernama serupa yang didirikan Tuan Guru Kiai Haji (TGKJ) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Lombok, Nusa Tenggara Timur.

Ahmad Zahro dalam buku “Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 (2004), Kiyai Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan tanah air) pada tahun 1914.

Martin van Brulnessen dalam buku berjudul NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menyebut bahwa, boleh dibilang, Nahdlatul Wathan merupakan sebuah lembaga pendidikan agama bercorak nasionalis moderat pertama di Nusantara.

Pada tahun 1916, Nahdlatul Wathan semakin berkembang dengan memiliki beberapa madrasah dan gedung di Surabaya, serta cabang-cabang di daerah Malang, Semarang, Gresik, dan Jombang.

Dikutip dari buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) karya Choirul Anam, pada tahun 1918, K.H. Wahab Chasbullah menggagas satu organisasi yang diberi nama Nahdlatul Tujjar atau “kebangkitan para pedagang”.

Pada tanggal 31 Januari 1926, dikutip dari K.H. Abdul Wahab Hasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972) karya Saifuddin Zuhri, para kiai berkumpul di kediaman Kiai Wahab dan memutuskan membentuk suatu organisasi kemasyarakatan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dinamakan Nahdlatul Ulama atau “kebangkitan para ulama”. Tanggal 31 Januari 1926 ditetapkan sebagai hari lahir NU.

5. Rabithah Alawiyah

Rabitah Alawiyah adalah suatu organisasi massa Islam yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Pada umumnya organisasi ini menghimpun WNI keturunan Arab, khususnya yang memiliki keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Organisasi ini berdiri pada tanggal 27 Desember 1928 tidak lama setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

6. Alkhairaat


Habib Idrus bin Salim Aljufri atau yang dikenal dengan panggilan Guru Tua pernah mengajar di Jamiatul Khair dan Pondok Pesantren Jombang, Tebu Ireng.

Kedatangan Guru Tua di Wani, Kabupaten Donggala pada tahun 1929, atas usulan saudara beliau, dan permintaan saudara beliau, Sayyid Alwi bin Salim Al-Jufri dan masyarakat Wani yang ingin belajar ilmu agama.

Madrasah pertama yang didirikan di Wani bernama Al-Hidayah. Nama ini merujuk kepada madrasah Al-Hidayah milik Al-Habib Abu bakar bin Shofi Alhabsyi yang ada di Makassar dan telah mempunyai cabang di Kabupaten Touna, Ampana, Kabupaten Banggai, Luwuk, Provinsi gorontalo, dan Provinsi Ternate.

Guru Tua akhirnya pindah ke Lembah Palu (Kota Palu) pada tahun 1930. Beliau menetap di Ujuna, dan mengajar di Kampung Baru, dirumah H. Daeng Marocca, sepupu dari istri beliau, Hj. Ince Ami binti Daeng Sute hingga menetap di Kampung Baru.

Pada akhir tahun 1930, Guru Tua kemudian mendirikan madrasah yang diberi nama Alkhairaat.

Hj. Ince Ami yang merupakan keluarga raja dan bangsawan mempunyai kekerabatan dengan raja di Parigi dan Sigi. Dengan bantuan kakaknya yang merupakan Ketua Sarekat Islam pertama di Sulawesi Tengah, Alkhairaat pun semakin berkembang dan menjadi organisasi yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah.

Beberapa kader Alkhairaat:Dr. H. Salim Segaf Al-Jufri, Lc., M.A., Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan SejahteraProf. Dr. Ir. Fadel Muhammad Al-Haddar, Pimpinan Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) periode 2019-2024.Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, MA, Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah.Sakinah Aljufri, S.Ag., Anggota DPR-RI periode 2019-2024

7. Jamiyatul Wasliyah


Jamiyatul Washliyah atau kerap disingkat Al Washliyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah kerap disingkat PERTI merupakan dua Ormas Aswaja yang berdiri pada 30 November 1930 M. Pendiri Jamiyatul Wasliyah adalah Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Ismail Banda, dan Abdurrahman Syihab.

Jamiyatul Wasliyah dan PERTI berbasis di Sumatera. Di antara kader Al Washliyah saat ini adalah Tengku Zulkarnaen dan Ustad Abdul Somad Batubara.

8. Nahdlatul Wathan


Nahdlatul Wathan (NW) adalah Ormas yang didirikan pada tanggal 1 Maret tahun 1953 Masehi atau tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 Hijriyah oleh Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang dijuluki Tuan Guru Pancor.

Julukan Tuan Guru Pancor berasal dari nama daerah organisasi ini pertama kali didrikan yaitu, Pancor, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

9. Front Pembela Islam


Front Pembela Islam (FPI) adalah Ormas yang didirikan dan dipimpin oleh Habib Muhammad Rizieq Shihab di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1998 M.

Sejak pertama kali didirikan hingga saat ini FPI telah banyak berkembang dan mempunyai massa hampir 10 juta orang.

Oleh: Muslimin Abdilla 

Secara tradisi orang Islam penganut paham Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) di Indonesia mewarisi ajaran Islam yang dibawa oleh para wali. Ajaran tersebut dibawa dan disebarkan oleh para wali melalui berbagai media. Kebanyakan dari mereka menggunakan media yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya media tersebut menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dengan Islam yang berkembang di Indonesia.<>

Media yang digunakan oleh para wali dalam memperkenalkan ajaran tauhid dalam Islam adalah media kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Mereka para wali tidak membuat hal yang baru di dalam masyarakat, kecuali mengubah nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai Islam. Salah satu contoh adalah media pertunjukan wayang kulit, yang diubah nilainya menjadi nilai yang mengajarkan syariat dan tauhid Islam. 

Bahkan sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem yang diwarisi dari tradisi pra-Islam juga digunakan sebagai sistem untuk mengajarkan nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan model asrama ini menjadi sistem untuk menggembleng calon ahli agama jauh sebelum para wali datang ke Indonesia, terutama di tanah Jawa. Kemudian, pada masa selanjutnya sistem ini diubah isinya dengan tetap mempertahankan sistemnya.

Disamping mewarisi tradisi Islam yang dikembangkan oleh para wali, Islam Aswaja di Indonesia, pada masa selanjutnya juga dikembangkan oleh para kiai pesantren yang mengenyam pendidikan di tanah suci. Mereka belajar langsung kepada para guru yang memegang genealogi (sanad) keilmuan yang sampai kepada pendiri mazhab dan Rasulullah SAW. Misalnya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang belajar di tanah suci kepada para guru (masyayikh) yang memiliki sanad kepada para Imam pendiri mazhab baik dalam bidang tauhid, tasawuf, maupun dalam bidang fikih.

Islam tradisi yang diajarkan oleh para kiai ini berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sampai suatu saat, di awal abad ke-20, ketika beberapa tokoh agama yang pernah menjadi santri di tanah suci mulai kenal dengan gerakan pembaharuan Islam, dan selanjutnya membawa dan mendakwahkan ajaran-ajaran pembaharuan tersebut di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak saat itulah Islam tradisi yang mengajarkan paham Aswaja mulai mendapat gugatan. Berbagai ritual dan ajaran yang selama ini dijalankan oleh masyarakat Islam digugat. 

Muncul istilah pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah dan churafat), dimana banyak sekali ritual yang selama ini dijalankan oleh orang Islam dianggap sebagai bid’ah atau tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali pertentangan di masyarakat, baik berupa debat pendapat bahkan sampai pertentangan fisik, misalnya yang terjadi di Minangkabau. Puncaknya ketika dilaksanakannya Kongres Islam di Yogyakarta sebagai persiapan pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Arab. Kalangan Kiai dan Ulama yang berpegang teguh kepada ajaran Islam tradisi ditinggalkan oleh kongres yang akan mengirim delegasi ke Kongres Internasional, karena memiliki pendapat yang berbeda. Hal ini terjadi ketika usulan mereka agar Kerajaan Saudi tidak memberangus mazhab dan menghancurkan peninggalan Islam maupun pra-Islam, yang dianggap bisa memicu kemusyrikan, tidak mendapatkan tempat.

Dari sinilah kemudian para kiai dan ulama yang memegang teguh ajaran Islam Aswaja bersepakat membangun gerakan mempertahankan ajaran Islam Aswaja. Agar gerakan tersebut bisa berjalan efektif, maka para kiai mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini merupakan hasil akhir dari proses pembangunan organisasi yang didahului dengan pembentukan Taswirul Afkar (gerakan pemikiran), kemudian dilanjutkan pendirian Nahdlatut Tujjar (gerakan para saudagar).

Disamping sebagai respon dari mulai digugatnya ajaran Islam tradisi, pendirian organisasi ini juga sebagai respon gerakan kebangkitan nasional yang saat itu mulai marak terjadi. Hampir semua kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi mendirikan organisasi. Dalam konteks kebangkitan nasional, pendirian organisasi ini adalah sebagai alat untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.

Karena itu dapat dikatakan jika pendirian organisasi Nahdlatul Ulama, satu sisi adalah sebagai wadah gerakan penganut Islam ala Ahlusunnah wal Jamaah dalam merespon gerakan kaum puritan yang mulai menggugat keberadaan Islam tradisi yang dijalankan oleh penganut Aswaja. Sedangkan di sisi lain sebagai wadah gerakan dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.

Sayap Gerakan Aswaja

Sebagai sebuah gerakan, sebagaimana yang disampaikan di atas, gerakan Aswaja membutuhkan organisasi untuk membangun solidaritas dan persatuan. Organisasi tersebut adalah Nahdlatul Ulama. Dalam konstitusi dasarnya, organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, dengan mengupayakan pendidikan dan pengembangan ekonomi.

Dari sini bisa dipahami jika Nahdlatul Ulama merupakan sayap gerakan Aswaja dalam bidang sosial-budaya. Sebagai sebuah sayap gerakan dalam sosial-budaya, Nahdlatul Ulama menjalankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan masyarakat terutama dalam menjalin relasi antar individu dan kelompok masyarakat yang lain. Dalam menjalankan kegiatannya, Nahdlatul Ulama mendirikan berbagai sub-sayap mulai dari pemuda, perempuan dan kelompok profesi.

Dalam perjalanannya, di awal masa pergerakan kemerdekaan, hampir semua gerakan masyarakat yang memiliki latar belakang ideologi yang beragam membangun sayap organisasi politik untuk menyuarakan aspirasi politik dan sebagai persiapan pemilihan umum pertama. Hal ini menekan gerakan Aswaja untuk turut membangun organisasi politik. Karena itu,  gerakan Aswaja juga turut membuat organisasi sayap politik, dan sayap politik yang digunakan adalah sama, yaitu Nahdlatul Ulama. Sehingga organisasi Nahdlatul Ulama menjadi sayap sosial-budaya, sekaligus sebagai sayap politik gerakan Aswaja yang terlibat dalam Pemilu tahun 1955.

Kondisi ini terjadi sampai pada Pemilu pertama di masa Orde Baru tahun 1971, karena pada pemilu selanjutnya di masa Orde Baru, partai Nahdlatul Ulama di-fusi-kan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah kebijakan fusi yang diterapkan Orde Baru tersebut, Gerakan Aswaja tidak secara khusus memiliki sayap politik tersendiri, karena PPP menjadi sayap politik bagi berbagai aliran dalam Islam. Kebijakan fusi tersebut mengakibatkan Nahdaltul Ulama masuk dalam korporatisme negara yang menerapkan azas tunggal.

Dalam kurun waktu pemerintahan Orde Baru, dan ketika menjadi bagian dari PPP, Nahdlatul Ulama selalu mendapatkan tekanan. Sampai pada tahun 1984, Nahdlatul Ulama secara tegas menyatakan kembali ke Khittah 1926, dengan konsekuensi harus keluar dari gerakan politik. Ini berarti Nahdlatul Ulama tidak lagi menjadi salah satu bagian dari partai politik manapun.

Setelah mengumandangkan gerakan kembali ke Khittah 1926, Nahdlatul Ulama menjadi bagian penting dari gerakan masyarakat sipil (civil society) yang sangat kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Masa dimana Nahdlatul Ulama dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjadi masa emas bagi Nahdlatul Ulama dalam memimpin bangsa Indonesia untuk bangkit melawan tirani Orde Baru.

Lima tahun setelah Nahdlatul Ulama menyatakan kembali ke Khittah, Gus Dur berupaya membangun sayap ekonomi gerakan Aswaja. Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama berhasil menggandeng grup bisnis besar milik William Soerjadjaja. Grup bisnis ini memiliki Bank Summa. Hasil dari kerjasama ini adalah didirikannya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma. Direncanakan BPR akan didirikan sampai 2000 buah di seluruh Indonesia. Namun sayap ekonomi ini tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini karena Bank Summa yang diajak kerjasama mengalami kalah kliring dan dilikuidasi oleh pemerintah.

Setelah Suharto tumbang dan Indonesia masuk dalam masa reformasi, euforia politik terjadi di mana-mana. Pada masa ini gerakan Aswaja kembali mendirikan organisasi sayap politik. Hal ini setelah banyaknya desakan yang kuat kepada PBNU dari daerah untuk mendirikan partai politik. Desakan tersebut disambut oleh PBNU dengan penuh kehati-hatian, karena dikhawatirkan melanggar Khittah 1926. Namun karena desakan yang cukup kuat, akhirnya PBNU membentuk panitia persiapan pendirian sayap politik, dan selanjutnya mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai sayap politik resmi gerakan Aswaja. Meskipun pada masa-masa selanjutnya ternyata sayap politik ini mengalami berbagai persoalan internal, yang berimplikasi salah satunya adalah pada pola hubungan diantar sayap gerakan Aswaja yang lain (NU). Disamping itu, juga mulai menguatnya kembali unsur-unsur politik lama yang pernah bersinggungan dengan orang-orang NU.   

Dari semua uraian di atas ada beberapa yang perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan positioning sayap-sayap gerakan Aswaja. Sayap gerakan tersebut harus menempati tempat yang telah ditentukan sesuai dengan dimensi yang menjadi ruang geraknya. Namun sayap-sayap gerakan tersebut akan bisa bertemu di wilayah gerak yang sama. Wilayah gerak tersebut adalah dalam proses pengorganisasian, dimana semua sayap akan melakukan jika ingin betul-betul melayani semua anggota atau warga yang menjadi bagian dari gerakan Aswaja.       

* Wakil Sekretaris PCNU Jombang