Sebutkan 3 produk dengan teknik pembuatan Karawo ikat

Sebutkan 3 produk dengan teknik pembuatan Karawo ikat

Lihat Foto

KOMPAS.COM/ROSYID A AZHAR

Seorang wanita di desa menyulam selembar kain di sela kegiatan rumah tangganya. Berbekal kertas bergambar motif, jarum, dan midangan, proses sulam karawo dilakukan pada selembar kain.

KOMPAS.com – Kegiatan menyulam sudah sejak lama dikenal dalam kehidupan manusia dan terus berkembang hingga sekarang.

Masyarakat diberbagai negara sudah mengenal sulam dengan baik dan masing-masing memiliki ciri khas.

Dulu sulam banyak menggunakan bahan dasar benang katun. Namun, saat ini berkembang dengan menggunakan pita dan benang nylon yang tebal dan kaku.

Dalam kegiatan menyulam ada beberapa peralatan dan bahan yang digunakan dan harus dipersiapkan ketikan akan menyulam.

Berikut peralatan untuk menyulam:

Baca juga: Proses Produksi Kerajinan Bahan Serat

Dikutip dari buku Berkreasi Aneka Bentuk Sulaman Sederhana (2018) karya Derosya, ram atau pembidang memiliki fungsi untuk membantu menahan posisi kain pada bidang yang akan disulam.

Hal ini untuk memudahkan dalam pengerjaan menyulam, sehingga kain tidak bergerak atau bergeser-geser.

Ram terdiri dua buah cincin yang disatukan dengan baut. Di mana bagian cincin ram terbuat dari berbagai macam bahan, seperti kayu, logam, atau plastik.

Ukuran ram berbagai macam, ada yang kecil hingga besar. Baik ram kecil maupun ram besar memiliki kekurangan dan kelebihan.

Di mana ram kecil lebih kuat dalam menjepit kain, tapi harus sering berpindah-pindah.

Karawo adalah kain tradisional khas Gorontalo yang pembuatannya merupakan hasil kerajinan tangan. Tak ada kain karawo yang bukan hasil kerajinan tangan. Karawo merupakan Bahasa Gorontalo yang artinya sulaman dengan tangan[1] Orang-orang di luar Gorontalo mengenalnya dengan sebutan Kerawang.

Karawo lahir dari proses panjang yang merupakan buah dari ketekunan para perajin. Seni membuat Kerawang atau Karawo disebut “Makarawo”. Seni ini telah diturunkan dari generasi ke generasi sejak masa Kerajaan Gorontalo masih berjaya. Keindahan motif, keunikan cara pengerjaan, dan kualitas yang bagus membuat Kerawang atau Karawo bernilai sangat tinggi. Maka tak mengherankan jika keunikan dan kualitas tersebut diminati oleh banyak kalangan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Produksi Kain Kerawang atau Karawo sempat mati suri. Tak banyak perajin yang menekuni dunia ini karena kerumitan yang menyita banyak energi, waktu, dan ketekunan. Oleh karena itu, pemerintah melakukan berbagai cara untuk membuat kerajinan ini dapat terus lestari dan semakin populer, baik di dalam maupun luar negeri.

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah mengadakan Festival Karawo yang telah digelar untuk pertama kalinya pada 17-18 Desember 2011 silam. Festival yang akan terus digelar setahun sekali ini bertujuan untuk menarik minat masyarakat dalam mengenakan produk Karawo sekaligus menguatkan ekonomi melalui pengembangan budaya daerah.[2]

Tradisi mokarawo atau membuat sulaman adalah sepenggal sejarah yang pernah diselamatkan kaum perempuan Gorontalo. Dulu Belanda berupaya menghilangkan berbagai tradisi dan identitas lokal. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1600-an, jauh sebelum Belanda berkuasa di wilayah ini tahun 1889.

Saat Belanda masuk ke wilayah ini ada dua peristiwa penting yang mewarnai sejarah Gorontalo. Pertama, banyaknya warga masuk dan menetap di hutan dan wilayah terpencil karena enggan membayar pajak kepada Pemerintah Belanda. Keturunan orang-orang ini hingga kini masih berdiam di hutan dan wilayah terpencil, yang oleh warga Gorontalo dikenal dengan sebutan Polahi.

Kedua, upaya penghapusan segala bentuk tradisi, adat, dan hal-hal terkait berkesenian atau kebudayaan yang ada pada masyarakat Gorontalo. Saat itu Belanda melihat kekuatan orang Gorontalo terletak pada adat, budaya, dan tradisi. Karena itu, dilaranglah berbagai aktivitas yang terkait dengan adat dan tradisi.

Hengkangnya Belanda tidak serta-merta membuat karawo keluar dari ”persembunyian”. Situasi saat itu dan trauma membuat tradisi mokarawo tetap dilakukan di dalam ruang tersembunyi. Karawo mulai kembali muncul sekitar akhir tahun 1960-an, tapi belum merupakan produk yang dijual secara bebas seperti barang lain. Saat itu jika ada yang berminat pada karawo, mereka akan datang langsung ke penyulam dan memesan. Karawo kerap dibayar menggunakan uang, kerap pula dibarter dengan barang kebutuhan lain.

Pernah diselamatkan dari ancaman kepunahan saat agresi Belanda dan mengalami masa jaya, kini karawo kembali berada di bawah bayang-bayang kepunahan. Penyebabnya adalah kurangnya generasi muda yang berminat memakai karawo sebagai pakaian, apalagi sebagai penyulam. Saat ini karawo umumnya dilakukan ibu rumah tangga yang menyebar di sejumlah wilayah di Gorontalo. Tercatat saat ini ada sekitar 10.000 ibu rumah tangga yang masih menekuni karawo[3]

Berkas:Karawo.jpg

Penyulaman Kain Karawo

Tahapan pengerjaan sulaman karawo terdiri atas tiga tahap, yaitu iris-cabut, menyulam, dan proses finishing. Dalam proses iris-cabut benang ini batas dan luas bidang yang akan dibentuk berdasarkan pola yang sudah ditentukan. Ketajaman dan kecermatan menghitung benang-benang yang akan diiris dan dicabut sangat menentukan kehalusan sulaman. Tahapan menyulam dilakukan dengan cara menelusurkan benang mengikuti arah jalur benang.

Selanjutnya tahapan finishing dengan cara melilit jalur-jalur benang dengan satu kali lilitan. Hal itu dimaksudkan untuk memperkuat jalur benang yang tidak disulam sehingga hasil akhir sulaman terlihat rapi dan kokoh. Dibutuhkan waktu 10 hari untuk mengerjakan satu produk sulaman dengan motif besar.

Ada dua jenis karawo yaitu karawo manila dan karawo ikat. Karawo manila dibuat dengan teknik mengisi benang sulam secara berulang sesuai dengan motif yang sudah ada. Adapun karawo ikat dilakukan dengan cara mengikat bagian-bagian bahan yang telah diiris dan dicabut serat benangnya mengikuti motif yang telah dibuat.

Kedua teknik ini sama-sama melalui tiga tahapan, yaitu iris-cabut, menyelam, dan proses finishing. Butuh waktu 10 hari bahkan sebulan untuk membuat satu produk sulaman dengan motif besar.

  1. ^ “kompas.com: Djahra Laliyo dan Kain Karawo”. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-03. Diakses tanggal 2014-09-03. 
  2. ^ “indonesiawonder.com: Karawo Kain Unik dari Gorontalo”. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-03. Diakses tanggal 2014-09-03. 
  3. ^ “kompas.com Sepenggal Sulaman Sejarah Gorontalo”. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-03. Diakses tanggal 2014-09-03. 

Bernas.id – Warga Gorontalo patut berbangga. Nama Gorontalo harum hingga “New York Fashion Week” lewat kerajinan sulam Karawo. Di tangan dua desainer hebat, Yurita Puji dan Agus Lahinta, kerajinan sulam Karawo melalui Gallery of Indonesia mewarnai Couture Fashion Week di Amerika Serikat. (Berita Jawa Pos pada tanggal 12 September 2017)

Sulam Karawo adalah salah satu ragam pembuatan dan motif kain yang dikembangkan di provinsi yang pernah dipimpin oleh Fadel Muhammad untuk era dari tahun 2001 sampai dengan 2009. Ragam pembuatan kain dapat dilakukan dengan cara tenun, bordir, lukis, batik dan sulam. Di mana salah satunya adalah sulam Karawo.

Sulam yang dikenal dengan sulaman Kerawang ini, memiliki keunikan dalam teknik pembuatannya. Teknik sulam ini sudah turun-temurun dilakukan oleh perempuan di provinsi yang terbentuk pada tahun 2001 ini.

Proses pembuatannya membutuhkan waktu lumayan lama serta memerlukan dedikasi pengrajin agar menjadikan sehelai kain menjadi karya yang bernilai tinggi.

Ingin tahu bagaimana pembuatan sulam Karawo? Ini langkah?langkah pembuatannya.

1. Pemilihan kain

Tidak semua kain dapat dilakukan proses karawo. Kain yang mempunyai serat vertikal dan horizontal saja yang terpilih.

2. Iris dan Cabut Benang

Selanjutnya, pengrajin akan menghitung jumlah lubang yang akan diiris sesuai dengan ukuran motif yang akan disulam. Lalu mengiris benang satu per satu. Dalam tahapan ini, pengrajin sangat dituntut ketajaman mata serta ketelitian. Terutama untuk kain yang mempunyai tingkat kerapatan yang tinggi. Bila salah iris, maka pekerjaan ini dianggap gagal.

Setelah benang diiris dan dicabut satu per satu, agar tersedia ruang-ruang kosong yang nantinya akan diisi dengan benang lainnya.

3. Karawo

Tahap berikutnya, pengrajin melakukan pekerjaan karawo dengan dua metode yaitu

  • Melakukan karawo/mengisi motif terlebih dahulu kemudian sisa yang tidak diberi motif diikat
  • Melakukan ikat  terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan karawo/mengisi motif.

Semakin penuh lilitan benang dalam satu lubang pada proses karawo maka harga sulaman tersebut akan bernilai tinggi.

4. Tahap Akhir

Terakhir, pengrajin melilitkan jalur-jalur benang dengan satu kali lilitan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat jalur benang yang tidak disulam sehingga hasil akhir sulaman terlihat kokoh dan kuat.

Yang menarik dalam pengerjaan teknik Karawo ini dilakukan secara manual tanpa bantuan mesin. Selain itu, pengerjaan iris benang, cabut benang, dan ikat Karawo dilakukan oleh pengrajin yang berbeda. Oleh karenanya, perlu dijaga kualitas setiap tahapan produksinya.

Dalam proses sulam karawo, mulai dari pemilihan kain hingga siap dipasarkan diperlukan waktu kira-kira 10 hari. Itu pun untuk motif yang besar. Semakin kecil dan rumit maka waktu yang dibutuhkan waktu yang lebih panjang.

Saat ini, teknik Karawo yang mempunyai citra budaya yang tinggi dan produk khas nasional perlu dilestarikan. Para Desainer sudah melakukannya dengan mengkolaborasi satu teknik motif dengan teknik sulam Karawo ini, yaitu Batik dan Karawo. Adanya ekspor kain Karawo juga melestarikan teknik ini, mengingat orang Eropa dan Amerika sangat menghargai karya yang berjenis handmade.

Oleh karenanya, bagi para desainer muda gunakan teknik Karawo ini untuk mempertinggi citra produk dalam negeri dan mengapresiasi budaya yang sangat langka ini.