Pertanyaan tentang penyaluran dana bank syariah

JAKARTA, Investor.id - PT Bank Maybank Indonesia Tbk (Maybank Indonesia) memberikan solusi perbankan syariah melalui unit usaha syariah (UUS) Maybank Indonesia, yang sudah memiliki basis nasabah tersendiri. Layanan ini bisa menjadi opsi bagi calon nasabah yang sedang mengeksplorasi simpanan berbasis syariah, yaitu melalui Maybank Tabungan U iB, Maybank Tabungan MyArafah dan Maybank Tabungan MyPlan iB Shariah Journey. Dalam rangka melengkapi wawasan dan pengetahuan masyarakat akan produk keuangan syariah, berikut ini adalah lima pertanyaan yang paling kerap terlontarkan di masyarakat seputar tabungan dan/atau investasi syariah. Pertama, apakah perbedaan produk simpanan syariah dan konvensional? Jawabannya pengelolaan dana nasabah harus sesuai dengan prinsip syariah, misalnya, disalurkan hanya kepada kegiatan yang dinilai Halal. Kedua, siapa sajakah yang dapat membuka tabungan syariah? Jawabanny, setiap orang bisa membuka tabungan syariah. Ketiga, apakah di tabungan syariah mendapatkan bunga seperti tabungan konvensional lainnya? Perbankan syariah tidak menerapkan sistem bunga. Ketika  nasabah membuka rekening tabungan syariah, nasabah dapat memilih jenis akad atau basis pengelolaan simpanan yang diinginkan. Nasabah berhak atas imbal hasil (bagi hasil) apabila produk yang digunakan menggunakan basis akad mudharabah mutlaqah. Keempat, untuk membuka rekening tabungan syariah, berapakah dana yang perlu disetor? Maybank Indonesia memiliki beragam produk simpanan berbasis syariah. Bagi nasabah baru yang belum pernah memiliki rekening di Maybank, mereka dapat membuka Maybank Tabungan U iB dengan setoran awal Rp 200 ribu, yang dapat dengan mudah dibuka dengan menggunakan smartphone via aplikasi M2U ID. Apakah tabungan syariah memiliki manfaat lain yang berbeda dibandingkan dengan tabungan konvensional? Fitur zakat online dari UUS Maybank Indonesia merupakan salah satu solusi andalan bagi nasabah yang hendak menyalurkan zakat kepada lembaga resmi pengelola zakat, infak, dan sedekah, yang telah bekerjasama dengan Maybank Indonesia, yaitu: Dompet Dhuafa, Baznas Bazis, Rumah Yatim, dan Rumah Zakat.

“Mengusung misi Humanising Finansial Services, Maybank Indonesia mengerti pentingnya pengelolaan keuangan dan gaya hidup secara seimbang dan berkesinambungan. Komitmen kami adalah untuk terus dapat menyediakan solusi keuangan yang memahami aspirasi  nasabah dalam journey keuangannya, khususnya melalui produk dengan prinsip syariah,” tutur Romy Buchari, Head of Shariah Banking, Maybank Indonesia.

Editor : Harso Kurniawan ()

Baca berita lainnya di GOOGLE NEWS

Pertanyaan :

Assalamu'alaikum

Saya adalah mantan pegawai bank syariah baik itu BPR maupun Bank Umum.Saya ingin cerita pengalaman saja.Ketika itu, ada pembiayaan dimana saya sebagai AO nya, dan setelah beberapa bulan berjalan, ada debitur yang macet. Sesuai dengan kesepakatan maka akan dikenai denda dimana denda tersebut akan diserahkan pada yayasan sosial untuk kepentingan umat. Namun dalam perjalanannya ketika saya sudah mengundurkan diri, debitur tersebut ditagih karena selama 4 bulan tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan cara yang kasar dan tidak sopan.

Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana seharusnya bank syariah dalam menyelesaikan masalah hutang yang tidak sanggup dibayar oleh debitur ?  Seandainya debitur tidak mempunyai apa-apa, bukannya ada hadits yang berisi jika kau memberikan utang (pinjaman) kepada orang lain, dan orang tersebut tidak mampu mengembalikan maka kita mempunyai kewajiban untuk membantunya dan balasan dari Allah adalah sebaik-baik balasan.

Mohon pencerahannya masalah ini. Terimakasih.

Wassalam

-Danang, SOLO-

Wa'alaikumussalam wr wb

Pak Danang yang dirahmati Allah, kita harus melihat secara utuh pada kasus tersebut, supaya kita tidak terjebak pada justifikasi yang kurang tepat.

Pertama, Allah SWT memerintahkan kita untuk berkomitmen terhadap akad yang sudah disepakati bersama (QS 5 : 1). Apapun kondisi yang dihadapi, kita harus berusaha memenuhi komitmen tersebut.

Kedua, dalam praktek perbankan syariah, sesuai dengan aturan Bank Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan ketika bank menghadapi pembiayaan bermasalah. Biasanya pada tunggakan pertama, pihak bank akan menelepon. Pada tunggakan kedua, pihak bank akan memanggil nasabah yang bersangkutan. Jika ternyata pembiayaan tersebut masih bermasalah, maka akan masuk dalam kategori kolektabilitas dua, dan biasanya pihak bank menawarkan rescheduling utang.

Jika masih tidak lancar juga, maka pada tahap kolektabilitas empat, bank menawarkan eksekusi jaminan nasabah. Jika ternyata jaminannya tidak laku, maka bank dapat mengenakan write-off, yaitu "hapus buku" atau bahkan "hapus tagih", dimana nasabah maupun ahli warisnya tidak lagi terkena kewajiban utangnya.

Yang harus diperhatikan, uang yang digunakan bank syariah pada dasarnya adalah uang milik nasabah penabung (DPK). Sehingga, secara moral dan aturan, pihak bank syariah juga harus mempertanggungjawabkannya. Namun demikian, pihak bank syariah dilarang keras untuk menggunakan cara-cara yang kasar dan tidak sesuai dengan akhlak Islami di dalam menagih utang tersebut.

Ketiga, terkait dengan meringankan dan menghapus beban utang, itu adalah firman Allah dalam QS 2 : 280. Untuk memahaminya, ada baiknya kita merujuk pada HR Ibnu Sirin, dimana pada saat itu terjadi perselisihan antara dua orang, yang kemudian ditengahi oleh sahabat yang bernama Syuraih ra. Mereka berselisih soal utang yang tidak dapat dibayarkan. Syuraih ra memerintahkan orang yang berutang tersebut untuk ditahan, tetapi sahabat lain ada yang membela dan mengatakan bahwa orang yang berutang tersebut dalam keadaan susah dengan mengutip pada QS 2 : 280.

Namun Syuraih ra menjawab, ayat itu terkait dengan utang berbasis riba, sementara dalam ayat lain, yaitu QS 4 : 58, Allah juga memerintahkan kita untuk memenuhi amanah atau hak orang lain, dalam hal ini hak orang yang memberi utang. Akan tetapi, jika orang yang memberi utang itu mengikhlaskan, maka itu lebih baik baginya.

Hikmah yang bisa kita ambil adalah bahwa yang namanya utang itu adalah pilihan terakhir, jika opsi-opsi lain tidak mungkin. Ketika kita harus berutang, maka harus sesuai kemampuan dan kita pun harus memiliki niat untuk mengembalikannya. Insya Allah, Allah akan memudahkan jalan kita (al-hadits). Jika tidak ada niat melunasi, maka pasti tidak akan terlunasi. Jangan sampai kita terkena penyakit ghalabatid dayn, yaitu terlilit utang dan tidak ada kesanggupan untuk membayarnya. Karena utang yang tidak terlunasi, akan menghalangi seseorang menuju surga.

Adapun bagi pihak pemberi utang, jika memang orang yang berutang sudah tidak mampu lagi melunasi utangnya karena sebab-sebab di luar kemampuannya, dan bukan karena penyimpangan yang dilakukannya, maka menyedekahkan utang tersebut jauh lebih baik dan lebih utama. Wallahu a'lam.

Wassalaamualaikum wr wb

Laily Dwi Arsyianti

Pertanyaan tentang penyaluran dana bank syariah
 

Rubrik konsultasi ini diasuh oleh Dr Irfan Syauqi Beik, Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Kirimkan pertanyaan Anda ke: 

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

Prinsip Syariah Pada Bank Syariah

Yang dimaksud Perbankan Syariah menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU Perbankan Syariah”) adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (“UUS”), mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.[1]

Kami asumsikan pencairan dana yang Anda maksud adalah terkait pembiayaan dalam Bank Syariah. Definisi pembiayaan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 25 UU Perbankan Syariah sebagai berikut:

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

  1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

  2. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

  3. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;

  4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

  5. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Berarti jika Anda melaksanakan pembiayaan berdasarkan kesepakatan dengan Bank Syariah, Anda harus menepati janji tersebut.

Kegiatan Bank Syariah dalam kegiatan pembiayaan di antaranya yaitu:[2]

  1. menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;

  2. menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;

  3. menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;

Karena Anda tidak menyebutkan akad apa yang digunakan terkait pembiayaan yang tidak dicairkan sesuai dengan nominal yang tertera pada akad, kami asumsikan akad tersebut adalah akad mudharabah atau akad qardh. Penjelasan mengenai kedua akad tersebut adalah:

  1. “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan adalah Akad kerja sama suatu usaha antara Bank Syariah yang menyediakan seluruh modal, dengan Nasabah yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.[3]

  2. “Akad qardh” adalah Akad pinjaman dana kepada Nasabah dengan ketentuan bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.[4]

Definisi akad di Pasal 1 angka 13 UU Perbankan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.

Memang Bank Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU Perbankan Syariah wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Namun melihat definisi akad di atas, Bank Syariah seharusnya tetap melakukan kewajiban untuk memberikan pembiayaan dari apa yang sudah disepakati bersama. Jika nominal yang tertera pada akad dengan yang dicairkan adalah berbeda, itu artinya Bank Syariah tidak melaksanakan pembiayaan tersebut sesuai akad.

Kegiatan usaha produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah yang dituangkan ke dalam Peraturan Bank Indonesia (“PBI”) berdasarkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia.[5]

Dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya.[6]

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Secara umum, menurut Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah, penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Namun para pihak dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah, dengan catatan para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa di dalam akad, yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Pemberian Rekening Koran di Bank Syariah

Kami kurang memahami rekening koran apa yang Anda maksudkan. Namun definisi rekening koran dapat ditemukan dalam  Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/24/PBI/2015 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia (“PBI 17/2015”) yaitu laporan yang memuat posisi dan mutasi atas transaksi yang terjadi pada rekening giro.

Kami tidak dapat menemukan peraturan perundang-undangan mengenai kewajiban beserta sanksi bagi bank yang tidak memberikan rekening koran.

Namun menurut Pasal 47 UU Perbankan Syariah, atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan atau nasabah investor yang dibuat secara tertulis, Bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan atau nasabah investor pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan atau nasabah investor tersebut.

Sanksi Administratif

Bagi Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini, diberikan sanksi sesuai Pasal 56 UU Perbankan Syariah oleh Bank Indonesia beurpa sanksi administratif.

Pasal 58 ayat (1) UU Perbankan Syariah Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini adalah:

  1. denda uang;

  2. teguran tertulis;

  3. penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS;

  4. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;

  5. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan;

  6. pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;

  7. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau

  8. pencabutan izin usaha.

Sehingga terhadap bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah, contohnya tidak mencairkan dana sesuai akad sebagaimana dijabarkan di atas, dapat dikenakan sanksi administratif.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

[1] Pasal 1 angka 7 UU Perbankan Syariah

[2] Pasal 19 huruf c, d, dan e jo. Pasal 21 huruf b UU Perbankan Syariah

[3] Penjelasan Pasal 19 huruf c UU Perbankan Syariah

[4] Penjelasan Pasal 19 huruf e Perbankan Syariah

[5] Pasal 26 ayat (1), (2), dan (3) UU Perbankan Syariah

[6] Pasal 36 UU Perbankan Syariah