Perbedaan silvikultur hutan alam dan silvikultur hutan tanaman

Silvikultur Adalah Praktik cara mempermuda usia hutan secara alami dan buatan, serta pemeliharaan serta menegakan sepanjang hidupnyaSilvikultur merupakan pengetian tentang persyaratan tapak atau tempat tumbuh pohon perilakunnya terhadap berbagai intensitas cahaya matahari, kemampuannya untuk tumbuh secara alami atau campuran, dan hal-hal lain yang mempengaruhi pertumbuhan pohon. Jadi sangatlah penting karena untuk mengetahui silvikultur masing-masing dalam jenis pohon, sebelum kita dapat mengelolah suatu hutan dengn baik.

Perbedaan silvikultur hutan alam dan silvikultur hutan tanaman

Pengertian Silvikultur atau Budidaya Hutan

Silvikultur atau dalam bahasa Inggris silviculture adalah ilmu dan seni untuk membangun, memelihara, dan mempermuda hutan guna memperoleh hasil hutan secara lesatari dengan memperhatikan aspek biofisik dan sosial.

Kata seni yang terdapat dalam definisi di atas merupakan tata cara dalam menerapkan ilmu silvikultur yang telah dipelajari. Seni ini sangat berkaitan dengan bagaimana ilmu silvikuktur dapat diaplikasikan pada praktik yang sesungguhnya.

Tujuan akhir dari budidaya hutan adalah untuk menghasilkan berbagai macam hasil hutan, baik itu produk kayu atau non kayu. Produk yang berasal dari hutan di antaranya, kayu, sayur, buah, jasa lingkungan berupa ekowisata, dan satwa liar.

Fungsi dan Fase dalam Silvikultur

Budidaya hutan memiliki fungsi utama dalam mencapai pengelolaan hutan secara lestari, fungsi utama budidaya hutan adalah:

  • Kontrol
  • Fasilitasi
  • Perlindungan
  • Penyelamatan

Sistem Silvikultur

Sistem silvikultur adalah suatu sistem yang menyeluruh dalam manajemen pada hutan produksi, baik itu di hutan alam (IUPHHK-HA) ataupun di hutan tanaman (IUPHHK-HT) mulai dari penyemaian sampai pada tahap pemanenan dengan terus berulang.

Baca Juga :  Alat Reproduksi Wanita

Sama seperti sistem silvikultur yang lain, sistem ini meliputi cara penebangan dan permudaan hutan. Sistem silvikultur ini merupakan perpaduan antara tebang pilih Filipina (selective logging), penyempurnaan hutan dengan tanaman pengayaan (enrichment), pembinaan permudaan dengan penebasan tumbuhan pengganggu, dan penerapan batas minimum diameter di Indonesia.

Berbagai pertimbangan dalam diterapkannya sistem silvikultur ini adalah Azas kelestarian hutan, azas ini diterapkan agar kelestarian produksi dan kelestarian ekosistem dapat tercapai sehingga pengusahaan tetap berjalan dan fungsi ekosistem tetap terjaga dengan baik.

Teknik silvikultur, teknik silvikultur yang digunakan disesuaikan dengan tipe hutan, sifat-sifat tumbuhan, dan kondisi ekologi.

Memungkinkan pengusahaan hutan yang mendapatkan keuntungan dan memungkinkan pengawasan yang efektif dan efisien.

Atas Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309 KPTS 11 Tahun 1999 tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanam Pokok dalam Pengelolaan Hutan Produksi, TPTJ (Tebang Pilih Tanam jalur) adalah sistem silvikultur  yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter 40 cm diikuti permudaan buatan dalam jalur.

Sistem silvikultur TPTJ mengharuskan melakukan penanaman pengayaan pada areal kerja bekas tebangan secara jalur dengan aturan jarak tanam antar jalur 25 m dan jarak tanam antar pohon 5 m.

Rumpang adalah bentuk ruang terbuka yang merupakan hasil dari penebangan kelompok vegetasi berbentuk melingkar dengan ukuran 1-2 kali tinggi pohon tepinya.

Pemanenan tebang rumpang adalah tebangan berdasarkan kelompok pohon di dalam bentuk rumpang.

Sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) adalah suatu sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan dan cara permudaan kembali. Sistem silvikultur ini biasa diterapkan dalam hutan tanaman untuk kebutuhan industri. Dengan menggunakan sistem silvikultur ini akan tercipta hutan seumur yang memiliki kualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri

Faktor-Fator Silvikultur Intensif

Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan yang biotik dan lingkungan abiotik.

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dalam pembangunan hutan adalah manusia, hewan dan tumbuhan. Hubungan-hubungan utama yang terdapat pada faktor-faktor biotik ini adalah sebagai:

  • reaksi terhadap adanya ruang tumbuh (persaingan)
  • interrelasi diantara tumbuh-tumbuhan
  • Interrelasi diantara tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan, terutama efek dari hewan-hewan
  • Campur tangan manusia

Faktor-faktor lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap pembangunan hutan yaitu :

Radiasi matahari,Temperatur,Keadaan Tanah,Air,Faktor Fisiografis

Sumber energi utama bagi tumbuh-tumbuhan hijau adalah radiasi matahari, yang diabsorbsi oleh tumbuh-tumbuhan secara langsung sebagai panas dan juga dirubah oleh tumbuh-tumbuhan tersebut menjadi energi kimiawi. Energi matahari mencapai permukaan bumi sebagai gelombang-gelombang elektromagnetis. Bagian dari energi radiasi matahari yang dapat dilihat oleh mata manusia dinamakan cahaya.

Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas cahaya, kualitas dan panjang gelombangnya, lamanya serta periodisitasnya. Variasi dalam salah satu dari sifat-sifat ini dapat merubah kuantitas dan kualitas pertumbuhan. Lamanya penyinaran atau photoperiod mempengaruhi vegetatif dan pembungaan dan panjang gelombang mempengaruhi proses-proses lainnya disamping terhadap intensitas.

Penyebaran dan adanya hutan-hutan sebagian besar ditentukan oleh faktor-faktor klimatis, edafis dan fisiografis. Faktor-faktor klimatis dan edafis banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiografis yang efeknya tidak langsung seperti konfigurasi bumi, ketinggian, lereng adan permukaan tanah. Iklim setempat atau iklim mikro, berlawanan dengan iklim umum untuk mempelajari tanah dalam hubungannya dengan vegetasi hutan adalah perlu untuk memperhatikan tidak hanya faktor-faktor langsung namun juga faktor-faktor yang tidak langsung terutama mempengaruhi zat-zat hara, air tanah dan temperatur tanah.

Peran Kehutanan Dalam Pelaksanaan SILIN

Peran Kehutanan tidak hanya meningkatkan produksi kayu, tetapi juga mampu untuk meningkatkan produk lain selain kayu dan kertas. Produk yang dirintisnya harus yang strategis misalnya bio-methanol, bio-refinery, zat bioaktif dan produk kimia lain (parfume dan lainnya) serta jasa lingkungan. Produk-produk baru tersebut belum pernah dirintis di Indonesia, tetapi

Baca Juga :  Ciri Cacingan

kecenderungan global menuju ke produk-produk baru tersebut sangat kuat

Sementara itu sejak tahun 1995 kondisi hutan Indonesia rusak parah sehingga dua hal harus dihadapi sekaligus. Pertama, mengembalikan kondisi hutan yang sudah rusak menjadi hutan yang sehat, prospektif dan lestari, sehingga bisnis kehutanan menjadi optimal. Kedua, menggali peluang bisnis baru di bidang kehutanan misalnya biomethanol, biorefinery, zatbioaktif bagi penyakit baru yang obatnya masih langka, mencari minyak atseri termasuk parfum yang mampu diproduksi, dan produk lainnya di samping upaya meningkatkan jasa lingkungan.

Sejarah Lahirnya Silvikultur Intensif

Menurut Prof. Dr. Ir. M. Na’im M.Agr., hutan yang akan dibangun dengan menerapkan konsep SILIN adalah hutan tanaman komersil yang prospektif, sehat dan lestari. Hutan yang prospektif adalah hutan yang produktivitas dan kualitas produknya tinggi. Pengelolaan hutannya juga efisien. Hutan yang sehat adalah hutan yang mampu mewujudkan fungsi optimal sebagai hutan produksi. Hutan lestari adalah hutan yang lahannya tetap lestari sebagai hutan produksi.

SILIN merupakan sebuah teknik silvikultur yang bertujuan meningkatkan produktivitas lahan yang tercermin dari peningkatan riap dan potensi tegakan, menjaga keseimbangan ekologi dengan mempertahankan keanekaragaman hayati serta memberikan jaminan kepastian hukum dan keamanan berusaha melalui pengakuan tenurial dari berbagai pihak.

Sementara secara teknis, SILIN adalah teknik silvikultur yang berusaha memadukan tiga elemen utama silvikultur, yaitu (1) pembangunan hutan tanaman dengan jenis terpilih dan kemudian melakukan pemuliaan jenis, (2) elemen manipulasi lingkungan bagi optimalisasi pertumbuhan, dan (3) elemen pengendalian hama terpadu. Apabila pembangunan hutan tanaman tidak memenuhi tiga elemen itu secara simultan, ia bukanlah SILIN.

Demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Pengertian Silvikultur : Fungsi, fase, Sistem, Faktor, Peran Kehutanan, Beserta Sejarahnya, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.


Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilakukan dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya) dan penggantian natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical stabilizing factor (pupuk, pestisida dan lain-lain). Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan output utama produktivitas.

Jika prinsip hutan tanaman masih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secara finansial akan akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. Dalam sudut pandang lain dapat dikatakan bahwa integritas ekosistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumber daya genetik dan penurunan produktivitas hutan dalam jangka panjang (Soekotjo:1999).

Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang memperhatikan wawasan konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara lain penurunan produktivitas, penurunan bonita pada areal tertentu dan sebagainya.

Di Philipina, penanaman hutan monokultur (Leucaena leucocephala) pada kelerengan 36 - 50 % terjadi kebocoran fosfat pada neraca hara yang dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th, sementara pada grassland area dengan kelerengan yang sama diperoleh saldo sebesar 35,43 kg/ha/th.

Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal dari hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang ditanam monokultur, tidak berwawasan konservasi men­jadi bencana besar bagi pelestarian lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air sangat tinggi untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva & Bandyopadhyay: 1983).

Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture Organization of The United Nations) juga melaporkan kondisi serupa di banyak negara seperti Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore & Fries: 1985).

Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang setinggi-tinggi­nya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang/tidak memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting sebagai berikut: 1. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan sehingga struktur hutan yang terbentuk selalu mono­kultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional 2. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi), sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan 3. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman yang mengalami kemunduran tapak hutan yang ditandai dengan penurunan produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus diganti dengan jenis tanaman lain

4. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair.

Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis di areal hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari politik, sosial, ekonomi dan kelembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan menyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus dilakukan pengelola­an hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkungan yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan.