Pengertian merdeka belajar menurut para ahli

“Bagaimana pandangan PSPK tentang kebijakan Merdeka Belajar?” pertanyaan ini tidak dapat kami jawab karena Merdeka Belajar bukanlah suatu kebijakan. Merdeka Belajar adalah filosofi yang mendasari proses sekaligus tujuan jangka panjang pendidikan Indonesia. Merdeka Belajar bukanlah visi yang baru dalam pendidikan Indonesia. Ki Hadjar Dewantara (KHD), Bapak Pendidikan Indonesia, menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan adalah tujuan pendidikan sekaligus paradigma pendidikan yang perlu dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan. KHD menyatakan bahwa kemerdekaan memiliki makna yang lebih daripada kebebasan hidup. Yang paling utama dari kemerdekaan adalah kemampuan untuk “hidup dengan kekuatan sendiri, menuju ke arah tertib-damai serta selamat dan bahagia, berdasarkan kesusilaan hidup manusia” (2013, h.480). Makna merdeka dalam merdeka belajar, dengan demikian, bukan semata-mata kebebasan tetapi juga kemampuan, keberdayaan, untuk mencapai kebahagiaan. 

Keselamatan dan kebahagiaan seabagai tujuan, menurut KHD, tidak saja diperoleh dan dirasakan oleh individu, tetapi juga secara kolektif. Individu yang memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bijaksana akan mempu membuat keputusan serta tindakan yang membawa kebahagiaan dan keselamatan bagi dirinya, masa depannya, dan orang-orang lain di sekitarnya (Dewantara, 2013). Keselamatan dan kebahagiaan individu dan kolektif tersebut dapat dicapai ketika budi pekerti terbangun. Oleh karena itu, pada hakikatnya pendidikan adalah proses pengembangan karakter, sebagaimana yang ditulisnya (2013, p.25):

Budi pekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga…. Dengan adanya ‘budi pekerti’ itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.

KHD mengemukakan bahwa dalam pendidikan harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan atau kebebasan memiliki tiga macam sifat yaitu: berdiri sendiri (zelfstanding), tidak tidak bergantung pada orang lain (onafhankelijk) dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheld, zelfbeschikking). Pernyataan KHD tersebut menyiratkan bahwa kemandirian dan upaya untuk senantiasa memerdekakan diri adalah tujuan yang ingin dicapai melalui proses pendidikan. Dengan demikian Merdeka Belajar bukanlah satu kebijakan. Merdeka Belajar tidak sepatutnya dan tidak cukup untuk dituangkan hanya dalam satu kebijakan saja. Sebaliknya, Merdeka Belajar seharusnya melandasi seluruh kebijakan pendidikan baik di tingkat nasional, maupun di konteks yang mikro, yaitu di ruang-ruang kelas hingga keluarga. 

Merdeka Belajar bukan konsep baru. Lalu mengapa sekarang baru ramai? Karena Kemendikbud Ristek kembali menguatkan pesan yang begitu mendalam ini. Menurut kami ramainya Merdeka Belajar ini adalah suatu hal yang positif. Bukan saja sebagai pengingat bahwa kita memiliki guru bangsa yang luar biasa kompeten, tetapi juga mengingatkan betapa relevannya diskursus tentang kemerdekaan dalam belajar di konteks Indonesia saat ini. 

Relevansi Merdeka Belajar Dengan Pendidikan Saat Ini, Termasuk Masa Pandemi

Merujuk pada perkembangan reformasi kurikulum negara lain dan juga kurikulum yang diterapkan multinasional, perubahan dalam kurikulum mengarah pada penguatan kompetensi lintas disiplin ilmu atau yang dikenal juga dengan istilah-istilah seperti transversal skills, general capabilities, 21st Century skills, global competencies, dan sebagainya. Kurikulum semakin mengarah pada pengintegrasian dan penguatan interkoneksi pengetahuan, keterampilan, sikap, dan disposisi dari beberapa disiplin ilmu. Dengan kata lain, kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi menyiratkan lebih dari sekadar perolehan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga melibatkan mobilisasi akan pengetahuan, keterampilan, sikap, serta nilai-nilai ketika menghadapi tuntutan yang kompleks. Hal ini serupa dengan konsep “Budi Pekerti” yang dinyatakan oleh KHD.

Kurikulum dan pembelajaran yang berorientasi pada kompetensi ini pun menjadi arah pembaharuan kebijakan pendidikan Indonesia. Sebagai konsekuensinya, untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia juga perlu mengubah paradigmanya menuju kemerdekaan belajar sesuai konsep KHD. Penelitian kontemporer di berbagai konteks menunjukkan pentingnya tiga unsur prasyarat pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kompetensi, yaitu: 1) pembelajaran yang berpusat pada siswa – di mana siswa memiliki kemampuan untuk menjadi “agen” dalam pembelajarannya, bukan menjadi “konsumen” informasi sehingga anak berkesempatan untuk belajar mengatur dirinya dalam proses belajar , 2) pembelajaran yang relevan dan kontekstual, dan 3) kurikulum yang fleksibel dengan muatan yang tidak padat. Dengan kata lain, pembelajaran yang 1) merdeka, 2) sesuai kodrat anak, dan 3) sesuai kodrat zaman – jika merujuk pada konsep yang dibangun KHD. 

Pembelajaran yang memerdekakan anak atau berpusat pada siswa bukan semata-mata memberikan sebesar-besarnya kebebasan dan kesenangan pada mereka. Konsep “merdeka” harus senantiasa dikembalikan pada definisi yang dirancang oleh KHD, tidak diterjemahkan sebagai kebebasan yang sebesar-besarnya kepada peserta didik. Ini adalah definisi yang  keliru, menganggap bahwa merdeka adalah memberikan anak kebebasan atau suka-suka tanpa melatih siswa untuk bertanggung jawab. Akibatnya, konsep merdeka dianggap malah tidak mendidik, tidak memberikan tantangan anak untuk belajar; padahal definisi tersebut sangat jauh dari tujuan KHD yang mencetuskannya.

Filosofi Merdeka Belajar sangat erat dengan konsep pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), pembelajaran mandiri (self-regulated learning), dan pola pikir berkembang (growth mindset). Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan untuk terus belajar serta pola pikir yang tidak mandeg adalah modal yang sangat penting untuk generasi muda menghadapi perkembangan zaman yang semakin cepat. Dengan demikian “Merdeka” bukan sekadar menjadi tujuan pembelajaran tetapi juga proses yang berlangsung seiring tumbuh kembang anak dalam sistem pendidikan nasional. Ketika mereka belajar secara merdeka, kompetensi akan lebih kuat terbangun, dan mereka akan terus termotivasi belajar dan meningkatkan kompetensinya. Siklus belajar seperti ini terbangun sepanjang hayat, dilandasi oleh kemerdekaan untuk belajar dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan sesuai minat dan bakat individu. Maka filosofi Merdeka Belajar sangat relevan dengan konteks, bahkan menjadi kebutuhan pendidikan Indonesia saat ini. 

Pandemi COVID-19 dan Merdeka Belajar

Pandemi adalah titik balik bagi Indonesia untuk perlu menyadari perlunya semangat merdeka belajar. Pandemi membuka tabir masalah besar pendidikan Indonesia, yaitu 1) anak tidak benar2 belajar dan 2) kesenjangan kualitas pembelajaran. Keduanya sebenarnya merupakan masalah yang sudah nyata di Indonesia bahkan sebelum pandemi COVID-19 terjadi. Selain itu, pandemi juga memperlihatkan disparitas kapasitas infrastruktur pendidikan damn kompetensi guru untuk melakukan pengajaran efektif menggunakan teknologi. Kesenjangan ini pun bukan hal yang baru, namun sudah lama disparitas sumber daya satuan pendidikan ini terjadi. Maka pandemi tidak menimbulkan masalah baru, tetapi meningkatkan intensitas dan urgensi kedua masalah tersebut. Oleh karena itu pertanyaan tentang relevansi Merdeka Belajar dengan kondisi pendidikan di masa pandemi adalah pertanyaan yang penting. 

Rangkaian kebijakan Merdeka Belajar dirancang untuk mencapai tujuan jangka panjang, bukan sebagai rangkaian kebijakan di masa darurat. Namun demikian, sebagaimana disampaikan pada paragraf di atas bahwa masalah proses pembelajaran di masa pandemi sebenarnya adalah masalah yang sudah lama terjadi, maka situasi pandemi ini sebenarnya merupakan kesempatan untuk melakukan perubahan yang berkelanjutan, bukan hanya solusi-solusi semetara. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan di masa pandemi perlu selaras dengan kebijakan-kebijakan dalam rangkaian Merdeka Belajar. Sebagai contoh, fleksibilitas penggunaan dana BOS sebagaimana yang menjadi salah satu episode dalam rangkaian Merdeka Belajar perlu sejalan dengan kebutuhan di masa pandemi. Fleksibilitas ini semakin dibutuhkan pada masa pandemi karena perubahan metode pembelajaran. 

Merdeka Belajar  & Keragaman Indonesia

Kemerdekaan, yaitu kapabilitas untuk mengatur diri sendiri atau dengan kata lain memiliki otonomi, adalah kebutuhan dasar pendidikan Indonesia. Sejak awal tahun 2000-an sistem terdesentralisasi sudah dirancang  dan memang menunjukkan adanya kesenjangan kualitas pendidikan berbasis daerah, akibat dari kemampuan yang beragam dalam pengelolaan pendidikan. Maka pertanyaan: “apakah filosofi ini relevan untuk 3T?” adalah pertanyaan yang beralasan.

Pertanyaan tersebut mungkin muncul karena asumsi bahwa “merdeka” adalah membiarkan pihak yang dimerdekakan menentukan nasibnya sendiri. Kembali ke konsep “Merdeka Belajar” KHD, kemerdekaan bukanlah pembiaran. Kemerdekaan dalam konteks ini tidak boleh bertentangan dengan komitmen negara untuk mencerdaskan seluruh anak bangsa. Merdeka Belajar tidak mengarahkan sistem pendidikan Indonesia menjadi state-based di mana pemerintah pusat tidak memainkan peranan penting. Sebaliknya, pemerintah pusat perlu memberikan perhatian dan bantuan asimetris, sesuai dengan kebutuhan daerah. 

Merdeka Belajar dalam konteks pengelolaan pendidikan tercermin dalam pengelolaan yang memandang setiap daerah, setiap pendidik dan tenaga kependidikan sebagai “agents”, bukan pihak-pihak yang senantiasa tidak mampu mengelola dirinya sendiri sehingga tidak perlu ditingkatkan kapasitas dan kompetensinya. Pemerintah pusat memberikan dukungan pembangunan pendidikan sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, serta kesiapan daerah tersebut. Kebijakan Merdeka Belajar, dengan demikian, harus dapat memberdayakan dan mendukung daerah 3T untuk mampu membangun dirinya sendiri, bukan malah terus menjadi daerah yang bergantung pada bantuan pemerintah pusat ataupun pihak lain. 

Dengan demikian, semangat Merdeka Belajar yang dicetuskan oleh KHD sepatutnya mampu memberikan ruang untuk daerah menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kapasitas dan sumber daya yang tersedia. Pemerintah Pusat perlu mulai memainkan peran untuk menetapkan kompetensi yang perlu dituju saja, namun memberikan ruang lebih leluasa untuk daerah dan satuan pendidikan melakukan proses penyelesaian masalah secara lebih mandiri. Kebijakan-kebijakan Merdeka Belajar perlu terus mendorong kemerdekaan daerah, pendidik, sehingga mereka dapat menyelenggarakan pendidikan yang memerdekakan anak. Hanya dengan sistem pendidikan yang memerdekakan, yang memberikan keleluasaan guru untuk menjadi agen perubahan yang mandirilah proses pembelajaran dapat memerdekakan peserta didik. 

Rangkaian Kebijakan Merdeka Belajar 

Sebagai kesimpulan, Merdeka Belajar adalah tujuan sekaligus paradigma yang perlu melandasi seluruh kebijakan pendidikan. Merdeka Belajar tidak dapat dan tidak seharusnya menjadi kebijakan tunggal. Dengan memahami makna Merdeka Belajar secara utuh sebagaimana yang diamanatkan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, kita dapat mengerti bahwa untuk mencapai pembelajaran yang memerdekakan anak, dibutuhkan kerangka atau rangkaian kebijakan untuk memastikan segala tantangan yang menghambat proses belajar yang memerdekakan dapat diatasi. Guru perlu ruang untuk fokus pada proses pedagogi, maka tuntutan beban administrasi perlu dikurangi (Merdeka Belajar episode 1), proses akuntabilitas dana BOS perlu dipermudah agar bermanfaat besar untuk proses belajar (episode 3), kualitas guru perlu ditingkatkan secara strategis dan kontekstual (episode 5), pelibatan masyarakat perlu lebih terkoordinasi agar mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama (episode 4), dan seterusnya.

Indonesia membutuhkan kerangka kebijakan pendidikan yang utuh. Perdebatan tentang mana yang harus diperbaiki: kurikulum atau guru, adalah perdebatan usang yang tidak memperhatikan proses pembelajaran sebagai suatu sistem. Pertanyaan tersebut adalah jebakan yang membatasi perspektif kita menuju pencapaian Merdeka Belajar. Upaya sistematis – bukan parsial, kolektif, dan kolaboratif untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah strategi yang perlu terus dikuatkan dalam ekosistem pendidikan Indonesia. 

Implementasi kebijakan-kebijakan dalam rangkaian Merdeka Belajar membutuhkan strategi yang baik serta kemampuan pemerintah untuk konsisten. Perubahan paradigma tidak akan terjadi dalam satu hari. Pada masa pandemi ini kita melihat bagaimana sebagian guru kesulitan untuk melepaskan sense of control di kelasnya ketika proses belajar yang terjadi hanya melalui layar gawai. Mereka tidak dapat mengawasi penuh kegiatan siswanya, dan bagi sebagian guru hal ini adalah hal yang mengkhawatirkan. Dalam konteks yang lebih makro, PSPK menyadari bahwa melepaskan kendali penuh pemerintah pusat, atau memerdekakan guru, satuan pendidikan, dan daerah, bukanlah hal yang mudah bagi pemerintah. Oleh karena itu proses yang konsisten dan berkelanjutan, kebijakan yang terkoordinir dalam suatu sistem, koordinasi yang berbasis kesamaan visi pendidikan untuk mengatasi masalah-masalah kompleks menjadi faktor-faktor penting untuk mencapai cita-cita Merdeka Belajar.