Pelaksanaan sistem etika dari sila-sila Pancasila yang terjadi pada generasi muda saat ini

Pelaksanaan sistem etika dari sila-sila Pancasila yang terjadi pada generasi muda saat ini

Pelaksanaan sistem etika dari sila-sila Pancasila yang terjadi pada generasi muda saat ini
Lihat Foto

SHUTTERSTOCK/TRIAWANDA TIRTA ADITYA

Ilustrasi pemuda. Sekelompok anak muda memegang bendera merah putih di puncak gunung, menatap matahari terbit.

KOMPAS.com - Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keragaman pada masyarakatnya. Ada banyak suku, agama, ras, kelompok maupun budaya di dalamnya.

Namun, semua itu bisa disatukan dengan Pancasila. Pada dasarnya keberagaman suku bangsa, bahasa, dan budaya di Indonesia lahir lebih dulu ketimbang negara Indonesia.

Karena itu dibutuhkan pondasi yang kuat untuk menyatukan dan melindung keberagaman, yaitu Pancasila itu sendiri.

Demikian disampaikan Dr. Listiyono Santoso, S.S., M.Hum., Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga (Unair) pada "Kursus Kader kebangsaan Tingkat Dasar Gen Z" yang digelar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) beberapa waktu lalu.

Menurutnya, negara Indonesia adalah rumah yang nyaman untuk keberagaaman suku bangsa, ras dan agama, karena sangat kuatnya pondasi Pancasila dan pilar kebangsaan.

Baca juga: Arti Pengamalan Sila Ke-4 Pancasila, Siswa Harus Paham

Namun sebaliknya, ia mengatakan situasi kebangsaan Indonesia saat ini berada pada titik krusial yang memperlemah wawasan kebangsaan, yakni menguatnya intoleransi sosial, radikalisme dan primordialisme.

Itulah sebabnya, menguatkan wawasan kebangsaan pada masyarakat Indonesia sangat penting untuk dilakukan.

"Apa wawasan kebangsaan itu? Yakni cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungan yang mengutamakan persatuan dan kesatuan," terangnya seperti dikutip dari laman Unesa, Sabtu (19/12/2020).

"Tentu dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Generasi muda harus paham wawasan kebangsaan sebagai kekuatan mempersatukan bangsa," imbuhnya.

Dijelaskan, berbicara tentang bangsa, maka berbicara pula tentang budaya. Ia mengatakan bangsa Indonesia adalah sebuah komitmen dan kesepakatan yang terdiri atas berbagai etnik dan pemeluk agama yang tersusun menjadi satu kesatuan.

Putri, F. S., & Dewi, D. A. (2021). Implementasi Pancasila sebagai Sistem Etika. EduPsyCouns: Journal of Education, Psychology and Counseling, 3(1), 176-184. Retrieved from https://ummaspul.e-journal.id/Edupsycouns/article/view/1327

Afrinida, R. (2021). Tantangan pendidikan pancasila. OSF Preprints Amri, S. R. (2018). Pancasila Sebagai Sistem Etika. Voice of Midwifery, 8(01), 760-768. Asmaroini, A. P. (2017). Menjaga eksistensi Pancasila dan penerapannya bagi masyarakat di era globalisasi. JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(2), 50-64. Audri, R. (2021, February 1). Sumber Historis Pancasila Sebagai Kajian Sumber Sosiologis Pancasila. OSF Preprints Harahap, E. K. (2018). Pancasila Berkehidupan Dalam Etika Kebangsaan. Nizham Journal of Islamic Studies, 6(1), 130-142. Hartati, F. P. (2019). Etika Politik Dalam Politik Hukum Di Indonesia (Pancasila Sebagai Suatu Sistem Etika). JISIP-UNJA Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisipol Universitas Jambi, 2(2), 1-9. Latif, Y. (2013). Membumikan Etika Pancasila Dalam Penyelenggaraan Negara. Prosiding Kongres Pancasila V 2013: Strategi Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila dalam menguatkan semangat ke-Indonesia-an, 72. Nazir, M. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. PUTRANTO, S. S. (2007). Etika Pancasila:: Aktualisasinya dalam administrasi negara Indonesia. (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada). Siregar, C. (2014). Pancasila, Keadilan Sosial, dan Persatuan Indonesia. Humaniora, 5(1), 107-112. Soeprapto, S. (2013). Konsep Muhammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila Dalam Perspektif Etika Pancasila. Jurnal Filsafat, 23(2), 99-116. TAS'ADI, R. A. F. S. E. L. (2016). Pentingnya Etika Dalam Pendidikan. Ta'dib, 17(2), 189-198. Tanyid, M. (2014). Etika dalam pendidikan: Kajian etis tentang krisis moral berdampak pada pendidikan. Jurnal Jaffray, 12(2), 235-250. Yanto, D. (2017). Etika Politik Pancasila. Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.27

Yudhyarta, D. Y. (2020). PemberdayaanEtika Pancasila dalam Konteks Kehidupan Kampus. Al-Liqo: Jurnal Pendidikan Islam, 5(01), 43-63.

“PANCASILA merupakan hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai dengan rumusan Pancasila 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Sukarno, piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final Pancasila 18 Agustus 1945. Adalah jiwa besar para founding fathers, para ulama dan pejuang kemerdekaan dari seluruh pelosok Nusantara sehingga kita bisa membangun kesepakatan bangsa yang mempersatukan kita.” (Presiden Joko Widodo, 1 Juni 2017)    

Bangsa Indonesia dengan segenap potensi yang ada, merupakan bangsa yang besar dan kaya. Memiliki keuntungan demografi, dengan posisi strategis di antara jalur-jalur distribusi barang dan jasa internasional, dan memiliki SDA hayati dan non-hayati yang melimpah serta diberkahi dengan sumber energi yang seakan tak ada habisnya. Tepat apabila dijuluki sebagai the winning region (kawasan pemenang), karena negara ini memiliki segalanya.

Kebesaran bangsa Indonesia dengan segala sumber dayanya itu sangat rentan menjadi negara yang hancur dan gagal (failed state). Karena Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang memiliki perbedaan dari segala bidang (naturally fragmented). Keanekaragaman baik dari suku, agama, maupun golongan sangat mudah memicu terjadinya disintegrasi bangsa.

Belajar dari sejarah dunia, sejak 1991 tercatat 3 negara terpecah oleh konflik yang disebabkan bahasa, ekonomi, dan agama. Hasilnya, 23 negara baru memproklamasikan diri dengan warisan konflik yang berkepanjangan. Sebut saja Yugoslavia, Sudan, dan Uni Soviet. Pengalaman sejarah menunjukkan beberapa kali Indonesia juga pernah diterpa dengan perpecahan antaranak bangsa. Namun, pada akhirnya negara ini mampu untuk bertahan.

Kemampuan untuk bertahan dari perpecahan bangsa itu, bukan tanpa sebab. Hal ini disebabkan bangsa Indonesia memiliki alat pemersatu bangsa (national cohesion) yang terbentuk secara alamiah dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Lihat saja pada zaman majapahit, Mpu Tantular di dalam Kitab Sutasoma telah menuliskan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa yang mengisahkan bahwa pada masa itu tidak ada perselisihan sedikitpun yang disebabkan perbedaan baik agama maupun suku bangsa.

Hal ini bukti bahwa menghormati perbedaan telah diyakini nenek moyang bangsa Indonesia beratus-ratus tahun yang lalu. Sementara itu, di belahan dunia lain, sekelompok manusia masih memperlakukan manusia lainnya sebagai budak yang dipekerjakan secara kasar tanpa upah layak atas dasar perbedaan rasial dan warna kulit semata.

Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila sejarah kerukunan bangsa Indonesia yang sudah tumbuh beratus-ratus tahun lamanya ini harus dihancurkan oleh kebencian yang disebabkan oleh keserakahan dan perebutan kekuasaan di antara kelompok-kelompok tertentu.
Tentunya perpecahan seperti negara-negara itu tidak kita inginkan terjadi di negara yang kita cintai ini. Tanggung jawab ini terletak pada kita semua, terlebih pada bahu dan pundak para generasi muda yang hidup di zaman now khususnya bagi generasi milenial.  

Generasi milienial atau generasi Y (teori William Straus dan Neil Howe) yang saat ini berumur antara 18–36 tahun, merupakan generasi di usia produktif. Generasi yang akan memainkan peranan penting dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.         Keunggulan generasi ini memiliki kreativitas tinggi, penuh percaya diri serta terkoneksi antara satu dengan lainnya. Namun, karena hidup di era yang serba otomatis, generasi ini cenderung menginginkan sesuatu yang serba instan dan sangat gampang dipengaruhi.      

Hal inilah yang menjadi titik kritis bagi masa depan negara dan bangsa kita. Sungguh merupakan suatu ironi di tengah masifnya perkembangan teknologi komunikasi saat ini, tetapi di sisi lain, ternyata hal itu tidak mampu mendekatkan dan menyatukan anak bangsa. Era komunikasi terbukti memberi jaminan akses dan kecepatan memperoleh informasi. Akan tetapi, acapkali menciptakan jarak serta membuat tidak komunikatif. Bahkan, berujung dengan rusaknya hubungan interpersonal.

Teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah perang konvensional menjadi perang modern dengan menggunakan teknologi, media massa, internet (cyber war). Sasarannya jelas yaitu ketahanan ekonomi, pertahanan dan keamanan, budaya, ideologi, lingkungan, politik, karakter, dll.

Disadari atau tidak banyak pihak yang sepertinya tidak ingin Indonesia menjadi bangsa yang besar dan hebat. Kita sering menerima gempuran dan pola serangan pintar melalui F-7, food, fashion, film dan fantasi, filosofi, dan finansial.
Serangan terhadap filosofi dan finansial ialah hal yang paling mengkhawatirkan. Serangan terhadap filosofi yang paling mengkhawatirkan yang merupakan bentuk perang ideologi dan pikiran agar terjebak pada pola ideologi liberalis, kapitalis, sosialis, dan radikalis

Untuk membentengi diri dari kehancuran akibat pesatnya perkembangan teknologi dan upaya-upaya memecah bangsa, maka bangsa ini harus kembali kepada Pancasila. Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, telah berkembang secara alamiah dari perjalanan panjang sejarah, berisikan pandangan hidup, karakter dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila itu ialah semangat bersatu, menghormati perbedaan, rela berkorban, pantang menyerah, gotong royong, patriotisme, nasionalisme, optimisme, harga diri, kebersamaan, dan percaya pada diri sendiri.
Pancasila harus dijadikan cara hidup (way of life) seluruh anak bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila tidak perlu lagi diajarkan secara formal dengan tampilan kaku, tetapi yang terpenting ialah hakikatnya tetap terpelihara dan diamalkan.

Dalam melaksanakan langkah-langkah itu, diperlukan sinergisme lintas kelembagaan, untuk bersama-sama mengaktualisasikan Pancasila melalui sistem dan dinamika kekinian. Kampus memegang peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial sehingga tidak ada indikasi perkembangan paham lain.

Generasi milenial harus berada di depan, memegang obor untuk mencegah paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila agar tidak masuk ke dalam kampus sehingga masa depan pendidikan dan nasib generasi penerus bangsa ke depan tidak berada di jalan yang salah.

Arah perjalanan bangsa ini berada di tangan generasi milenial, generasi muda yang saat ini tengah membaca tulisan ini, yang akan menerima tongkat estafet pembangunan. Mari jaga, rawat dan peliharalah nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari.