Nilai materai yang digunakan untuk transaksi diatas 1 juta dengan menggunakan kuitansi adalah

Pengetahuan Umum

Pada Artikel sebelumnya yang berjudul “Fungsi Sebenarnya Meterai dalam Perjanjian” telah menjelaskan fungsi dari suatu meterai dalam Perjanjian, dimana ada atau tidaknya meterai dalam sebuah perjanjian bukan merupakan suatu indikator yang menjadi ukuran keabsahan suatu perjanjian melainkan sebagai perwujudan dari kewajiban dan peran masyarakat untuk secara langsung dan bersama–sama turut dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional melalui pemungutan Bea Meterai walaupun dalam jumlah yang kecil. Undang-Undang tentang Bea Meterai telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai (“UU 10/2020”) yang mencabut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 (“UU 13/1985”) dan berlaku efektif terhitung sejak tanggal 1 Januari 2021. Untuk mempermudah dalam memahami ketentuan penggunaan Bea Meterai terbaru khususnya terkait penggunaan meterai yang merupakan suatu hal yang sangat umum dalam melakukan suatu transaksi, berikut ini ringkasan pengaturan penggunaan meterai dalam UU 10/2020. Perubahan pertama dalam UU 10/2020 adalah Perluasan objek Bea Meterai terletak pada perluasan definisi dokumen yang menjadi objek Bea Meterai, yang tidak hanya mencakup dokumen dalam bentuk kertas, tetapi termasuk juga dokumen dalam bentuk elektronik.  

Perubahan selanjutnya adalah perubahan tarif Bea Meterai dalam dokumen wajib dibubuhi meterai yang sebelumnya dikenakan Rp. 3.000 dan Rp. 6.000 menjadi tarif tunggal sebesar Rp. 10.000. yang dimaksud dengan dokumen wajib dibubuhi meterai adalah Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan dan Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata sebagai berikut:

  1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya

  2. Akta notaris

  3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah

  4. Surat berharga

  5. Dokumen transaksi surat berharga,

  6. Dokumen lelang

  7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)


Sedangkan dokumen yang tidak wajib dibubuhi meterai adalah sebagai berikut:

  1. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang.

  2. Ijazah.

  3. Tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja.

  4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya.

  5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya.

  6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.

  7. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah.

  8. Surat gadai.

  9. Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

  10. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.

Meterai yang dapat digunakan untuk membayar tarif bea meterai dapat berupa (i) meterai tempel yaitu meterai dengan ciri umum memuat gambar lambing negara Garuda Pancasila, frasa “Meterai Tempel” dan angka yang menunjukan minimal (ii) meterai elektronik yaitu meterai yang memiliki kode unik dan keterangan tertentu atau (iii) meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya.

Namun demikian, bagi dokumen dokumen sebagaimana disebut diatas yang belum melakukan pembayaran bea meterai (belum dibubuhi meterai) atau kurang bayar (dibubuhi meterai yang tidak sesuai) dapat melakukan pelunasan Bea Meterai yang terutang melalui prosedur “Pemeteraian Kemudian” dengan menggunakan Meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak yang kemudian disahkan oleh Pejabat Pos dengan dikenakan sanksi administrative sebesar 100% dari Bea Meterai yang terutang.

Dalam UU 10/2020, Meterai Rp. 6.000 dan Meterai Rp. 3.000 yang telah dicetak berdasarkan UU 13/1985 yang masih tersisa, masih dapat digunakan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun yaitu sampai dengan tanggal 1 Januari 2022 dengan ketentuan nilai total Meterai tempel yang dibubuhkan pada Dokumen paling sedikit Rp9.000,00 (sembiian ribu rupiah). Sehingga terdapat 3 opsi pembubuhan meterai berdasarkan UU 10/2020:

  1. 1 buah Meterai Rp. 10.000 dalam setiap dokumen wajib dibubuhi meterai

  2. 1 buah Meterai Rp. 6.000 dan Meterai Rp. 3.000 dalam setiap dokumen wajib dibubuhi meterai

  3. 2 buah Meterai Rp. 6.000 dalam setiap dokumen wajib dibubuhi meterai.



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tarif bea meterai baru yang bersifat tunggal atau yang lebih dikenal dengan bea meterai Rp 10.000 atau materai Rp 10.000 di tahun 2021 (materai 10.000) sudah mulai berlaku. Sementara, meterai Rp 3.000 dan materai Rp 6.000 tetap berlaku dalam masa transisi hingga 31 Desember 2021.  Hal tersebut sesuai dengan ketentuan di dalam UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Dalam regulasi teranyar tersebut, kedua meterai lama hanya bisa digunakan sampai 31 Desember 2021 (materai 6000 apa masih berlaku).  Merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2020, bea materai Rp 10.000 dikenakan atas beberapa dokumen yang meliputi:  1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;  2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;  Baca Juga: Begini 3 cara penggunaan meterai Rp 3.000 dan Rp 6.000 3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;  4. Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun;  5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;  6. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;  Baca Juga: Meterai Rp 10.000 belum beredar, meterai lama tetap berlaku 7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang (1) menyebutkan penerimaan uang; atau (2) berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;  8. Dokumen lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.  Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

  • Meterai
  • bea meterai
  • Ditjen Pajak

Nilai materai yang digunakan untuk transaksi diatas 1 juta dengan menggunakan kuitansi adalah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peredaran Materai Rp 3.000 dan Materai Rp 6.000 sudah resmi dihentikan Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kedua materai lama tersebut ini kini sudah digantikan oleh Materai Rp 10.000 atau Materai 10000.  Penggunaan Materai 10000 ini merupakan impelementasi dari UU Bea Meterai terbaru yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2021.  Sebagai informasi, kenaikan bea materai ini juga merupakan bagian dari upaya menggenjot penerimaan pemerintah pusat dari pajak. Dengan kenaikan tarif bea materai, maka penerimaan negara melalui pajak diperkirakan bisa bertambah hingga Rp 11 triliun pada 2021.  Pada UU baru tersebut, ada perluasan definisi dokumen yang menjadi objek bea meterai, tidak hanya mencakup dokumen dalam bentuk kertas, tetapi termasuk juga dokumen dalam bentuk elektronik.  Baca Juga: Penerapan Meterai Elektronik Bisa Menambah Pendapatan Negara Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan kesetaraan fungsi (level playing field) antara dokumen elektronik dan dokumen kertas sehingga asas keadilan dalam pengenaan Bea Meterai dapat ditegakan secara proporsinal.  Adapun dengan kenaikan tarif menjadi Materai 10.000 atau Materai 10000, maka batas nilai dokumen yang dikenai tarif bea materai pun dinaikkan, yakni menjadi Rp 5 juta.  Tadinya, dokumen dengan nilai kurang dari atau sama dengan Rp 250.000 sudah dikenai bea materai.  Selain dokumen dengan nilai di bawah Rp 5 juta, dokumen yang sifatnya untuk penanganan bencana alam juga tidak dikenai bea materai. Dokumen untuk kegiatan yang bersifat non-komersil juga tidak diwajibkan untuk dikenai bea materai.  Baca Juga: Pemerintah kebut pembuatan meterai elektronik, demi raup triliunan rupiah Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

  • Meterai
  • bea meterai
  • Direktorat Jenderal Pajak

Nilai materai yang digunakan untuk transaksi diatas 1 juta dengan menggunakan kuitansi adalah

Nilai materai yang digunakan untuk transaksi diatas 1 juta dengan menggunakan kuitansi adalah

Nilai materai yang digunakan untuk transaksi diatas 1 juta dengan menggunakan kuitansi adalah
Lihat Foto

dok Tribun Kaltim

Ilustrasi materai Rp 6.000

JAKARTA, KOMPAS.com - Siapa tak kenal dengan meterai atau yang sering diucapkan sebagai materai. Penggunaan materai seringkali ditemui ketika harus berurusan dengan dokumen penting, sebut saja dokumen perjanjian. 

Tujuan penempelan materai adalah memberikan nilai hukum pada sebuah dokumen yang telah dibuat. Bea materai merupakan pajak yang dikenakan pada beberapa dokumen resmi dengan maksud untuk memberikan nilai hukum terhadap sebuah dokumen.

Untuk surat yang ditandatangi, materai yang digunakan biasanya adalah materai 6000. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan materai 3000.

Lalu, apa perbedaan materai 6000 dan materai 3000?

Baca juga: Apa Sebenarnya Fungsi Materai 6000?

Dikutip dari DJP Kementerian Keuangan, penggunaan dan fungsi materai diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, bea materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu.

Perbedaan penggunaan materai 6000 dan materai 3000 secara spesifik diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2000.

Penggunaan materai 6000

  • Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata
  • Akta Notaris termasuk salinannya
  • Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya
  • Surat yang memuat jumlah uang (penerimaan uang, pembukuan, pemberitahuan saldo rekening di bank, pemberitahuan pelunasan utang) dengan nominal lebih dari Rp 1.000.000;
  • Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan
  • Cek, bilyet, giro
  • Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000
  • Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000.

Baca juga: Mengintip Besaran Gaji Take Home Pay PNS Bea Cukai

Penggunaan materai 3000

  • Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 250.000 sampai dengan Rp 1.000.000
  • Surat berharga wesel, promes dan aksep dengan nominal lebih dari Rp 250.000 sampai Rp 1.000.000
  • Cek, bilyet, giro
  • Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000.

Secara garis besar, fungsi materai 6000 digunakan untuk surat berharga dengan nominal di atas Rp 1.000.000. Sementara materai 3000 dipakai untuk surat berharga yang nominalnya sampai Rp 1.000.000. Ini membuat penggunaan materai 6000 lebih luas dibandingkan materai 3000. 

Sebenarnya, tak semua dokumen berharga harus dibubuhi materai. Dengan kata lain, dokumen tanpa materai bukan berarti dokumen tersebut dianggap tidak sah. Namun, dokumen tanpa materai tersebut tak bisa dijadikan alat bukti di pengadilan.

Baca juga: Jadi Sumber Polemik Riau dan Sumbar, Apa Itu Pajak Air Permukaan?