Muzaraah merupakan praktik muamalah yang dilarang menurut perspektif

1.) Jelaskan soal arti hari! Jawaban::...???2.) Jelaskan 4 contoh kiamat surgā! Jawaban::...???3.)Jelaskan 4 contoh tanda akan datangnya hari … kiamat! Jawaban::....???4.)Jelaskan 4 hikmah mempercayai hari kiamat! Jawaban::....???5.),Jelaskan 4 perbedaan kiamat surgā dan kiamat kurbā? Jawaban:::.....???​

ada yg tau lanjutan nya untuk kls 5 SD ya:)​

cocokkan kata berikut dengan gambar!​

ماهر : شعر وعين وأنف ��فم وأذنان ورقبةterjemah kan kedalam bahasa Indonesia​

مِنَ ـ زَكَاةَ ـ السَّمَاءِ ـ اِلَّا مُنِعُوْا ـ وَلَمْ يَمْنَعُوْا ـ الْقَطْرَ ـ اَمْوَالِهِمْ susunlah potongan hadis berikut! bantu jawab​

PLIS TOLONG BANTU JAWAB YA SALAH REPOT!!!!MAPEL : AGAMAKELAS : V​

tolong jawab... pliss....☺️​

tolonh bantu donh kaa​

tuliskan contoh taat kepada allah, taat kepada rosul dan ulil amri masing-masing 10​

Bagaimana kamu menyikapi perbedaan yang muncul dalam menghukumi suatu masalah dalam beragamatolong jawab plisss​

Muzaraah merupakan praktik muamalah yang dilarang menurut perspektif

Elfiy @Elfiy

February 2019 1 822 Report

Muzara'ah merupakan praktik muamalah yang dilarang menurut perspektif ?

A.    Muzara’ah dan Mukharabah

1.      Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah

Menurut bahasa, al-muzara`ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara`ah yang berarti tharh al-zur`ah ( melemparkan tanaman ), maksudnya adalah modal (al-hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki.

Muzara`ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi`I dan al-Nawawi. Sedangkan menurut al-Qadhi Abu Thayid, muzara`ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian.

Menurut istilah, muzara`ah dan mukhabarah didevinisikan oleh para ulama, seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, sebagai berikut

1.    Menurut Hanafiyah, muzara`ah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.

Sedangkan muhabarah menurut Syafi`iyah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi.

Definisi muzara`ah dan mukhabarah menurut ulama Hanafiyah hamper tidak bisa di bedakan. Muzara`ah menggunakan kalimat, bi ba`d al-kharij min al-ard, sedangkan dalam mukhabarah dengan kalimat bi ba`d ma yakhruju min al-ard. Adanya perbedaan redaksi tersebut menunjukan adanya perbedaan. Namun, belum diketahui perbedaan tersebut berdasarkan pemikiran Hanafiyah.

2.    Menurut Hanabilah, muzara`ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.

3.    Menurut Malikiyah, muzara`ah adalah bersekutu dalam akad.

Lebih lanjut dijelaskan dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa muzara`ah adalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.

4.    Menurut dhahir nash al-Syafi`i, berpendapat bahwa mukhabarah adalah menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut.

Sedangkan muzara`ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.

5.    Syaikh Ibrahim al-Bajuri, berpendapat bahwa mukhabarah adalah seorang pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengeola.

Dan muzara`ah adalah seseorang pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah

Setelah diketahui definisi-definisi diatas, dapat dipahami dahwa mukhabarah dan muzara`ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara`ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut mukhabarah, sedangkan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah maka disebut muzara`ah.

Mukhabarah termasuk jenis pekerjaan yang telah dilakukan orang-orang sejak dahulu kala,karena kebutuhan mereka pada keduanya.Terkadang seseorang mempunyai tanah pertanian,namun ia tidak mampu mengurus dan memanfaatkannya.Jadi mukhabarah dibolehkan demi kebutuhan kedua belah pihak.Mukhabarah disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilikan tanah yang kurang bisa dimanfaatkan,atau menghindari tanah yang dibiarkan tidak diproduksikan,karena tidak ada yang mengolahnya.

Dalam praktek mukhabarah terdapat pembagian hasil,maka untuk hal-hal yang lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah,yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak,dengan tujuan saling bisa menguntungkan.

Dengan adanya praktek mukhabarah sangat menguntungkan kedua belah pihak baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah.Pemilik tanah lahannya dapat digarap,sedangkan petani dapat meningkatkan taraf hidupnya.Seperti tadi dijelaskan sistem bagi hasil dari paroan seperti ini hampir sama dengan muzara’ah,hanya saja bedanya dalam muzara’ah si pemilik tanah yang mengeluarkan benih yang akan ditanam. Disini pembagian hasilnya pun menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Kerjasama ini biasanya dilakukan pada tanaman yang harga benihnya relatif murah seperti padi,jagung,kacang,dll.

B.     Dasar Hukum Mukhabarah dan Muzara`ah

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara`ah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ibnu Abbas r.a yang artinya “ sesungguhnya Nabi Saw. Menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara`ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”

Diriwayatkan oleh Abu dawud dan al-Nasa`i dari Rafi` r.a. dari Nabi Saw. Beliau bersabda yang artinya “ yang boleh bercocok tanam hanya tiga macam orang : laki-laki yang ada tanah, maka dialah yang berhak menanamnya dan laki-laki yang diserahi manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya dan laki-laki yang menyewa tanah dengan mas atau perak”

Menurut al-Syafi`iyah, haram hukumnya melakukan muzara`ah. Ia beralasan dengan hadis sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit Ibn al-Dhahak yang artinya “bahwa Rasullullah Saw. Telah melarang bermuzara`ah dan memerintahkan sewa menyewa saja dan Rasullullah Saw. Bersabda, ia tidak mengapa.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari Thawus r.a. yang artinya “sesungguhnya Thawus r.a. bermukhabarah, Umar r.a berkata; dan aku berkata kepadanya; ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata; setelah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. Tidak melarang mukhabarah, hanya beliau berkata, bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi”.

            Menurut pengarang kitab al-Minhaj, bahwa mukhabarah, yaitu mengerjakan tanah (menggarap lading atau sawah) dengan mengambil sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja dan tidak boleh pula bermuzara`ah, yaitu pengelolaan tanah yang benihnya dari pengolahan tanah. Pendapat ini beralasan kepada beberapa hadis shahih, antara lain hadis Tsabit Ibn Dhahak, karena mengingat akibat buruk sering terjadi ketika berbuah.

            Demikian dikemukakan dasar hukum muzara`ah dan mukhabarah, diketahui pula pendapat para ulama, ada yang mengharamkan kedua-duanya, seperti pengarang al-Minhaj, ada yang mengharamkan muzara`ah saja, seperti al-syafi`i, dan ada yang menghalalkan kedua-duanya, antara lain al-Nawawi, Ibnu Munzir dan Khatabi

C.    Rukun-rukun dan Syarat-syaratnya

Menurut Hanafiyah, rukun muzara`ah ialah akad, yaitu ijab dan Kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun muzara`ah menurut Hanafiyah ada empat, yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal, dan alat-alat untuk menanam

Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.

                                  i.     Syarat yang bertalian dengan `aqidain, yaitu harus berakal.

                                ii.     Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu di syaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.

                              iii.     Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu :

a)      Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya ( persentasenya ketika akad )

b)      Hasil adalah milik bersama.

c)      Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal ini tidak sah.

d)     Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui.

e)      Tidak di syaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma`lum

                              iv.     Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu :

a)    Tanah tersebut dapat ditanami,

b)   Tanah tersebvut dapat diketahui batas-batasnya

                                v.     Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

a)      Waktunya telah ditentukan.

b)      Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih empat bulan (tergantung tekhnologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat)

c)      Waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.

                              vi.     Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara`ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.

Menurut Hanabilah, rukun muzara`ah ada satu, yaitu ijab dan Kabul, boleh dilakukan dengan lafazh apa saja yang menunjukan adanya ijab dan Kabul dan bahkan muzara`ah sah dilafazhkan dengan lafazh ijarah.

D.     Berakhirnya Akad muzara`ah

Akad al-muzaraah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah dicapai, yaitu:

1)   Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi bila waktu habis namun belum layak panen, maka akad muzara’ah tidak batal melainkan tetap dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.

2)  Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama Hanafiyah bila salah satu dari dua unsur tadi wafat maka akad muzaraah ini dianggap batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya proses penanaman. Namun Syafi’iyah memandangnya tidak batal

3)  Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan adanya berbagai halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.

E.       Hikmah Mukhabarah dan Muzara`ah

Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi, kuda, dan yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak diantara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang, dan yang lainnya, yang layak untuk ditanami ( bertani ), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengelola sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak dapat menghasilkan suatu apa pun

Muzara`ah dan mukhabarah disyariatkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksikan karena tidak ada yang mengolahnya.

Muzara`ah dan mukhabarah terbapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.

Adapun hikmah yang lainnya,antara lain:

1.    Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani dan penggarap

2.    Meningkatkan kesejahteraan masyarakat

3.    Tertanggulanginya kemiskinan

4.    Terbukanya lapangan pekerjaan,terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.

B.     MUDHARABAH

1.      Pengertian

Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qiradh atau mudharabah bahasa penduduk Hijaz. Namun, pengertian qiradh dan mudharabah adalah satu makna.

Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Sebagaimana Allah berfirman:

عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Artinya : “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa  yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)

Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath`u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan muamalah.

Jadi, menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath`u (potongan), berjalan, dan atau bepergian.

Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut :

1.      Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

2.      Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada orang lain dan orang lain punya jasa untuk mengolah harta itu.

3.      Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada pemilik lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)

4.      Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah adalah ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.

5.      Ulama Syafi`iyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain untuk ditirajahkan.

6.      Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah adalah menyerahkan harta kepada orang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.

7.      Al-Bakri Ibn al-Arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa mudharabah adalah memberikan masalahnya kepada orang lain dan didalamnya diterima penggantian.6

8.      Sayyid Sabiq Berpendapat, mudharabah adalah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.

9.      Menurut Imam Taqiyuddin, berpendapat bahwa mudharabah adalah akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.

Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama di atas, kiranya dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh adalah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan

2.      Dasar Hukum Mudharabah

Hukum melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a Bahwasanya Rasulullah Saw. Telah bersabda yang artinya “ada tiga perkara yang diberkati : jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual”.

Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan : “ harta jangan digunakan untuk membeli binatang,jangan kamu bawa ke laut, dan jangan di bawa menyebrangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku.”

Dalam al-Muwaththa` Imam Malik, dari al-A`la Ibn Abd al-Rahman Ibn Ya`qub, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan harta Utsman r.a sedangkan keuntungannya dibagi dua

Qiradh atau mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman Rasullullah, beliau tahu dan telah mengakuinya, bahwa sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan Qiradh, yaitu Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a yang kemudian menjadi istri beliau.

Kebolehan  mudharabah juga dapat di qiyas kan dengan kebolehan praktik musaqah (bagi hasil dalam bidang perkebunan). Selain itu, kebolehan praktik mudharabah merupakan ijma` ulama

3.      Jenis-Jenis Mudharabah

Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:

1.      Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.

2.      Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib. Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.

Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor

4.      Rukun dan Syarat Mudharabah

Menurut ulama Syafi`itah, rukun-rukun mudharabah atau ada enam, yaitu :

                    i.          Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya;

                  ii.          Orang pekerja keras, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang;

                iii.          Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang;

                iv.          Mal. Yaitu harta pokok atau modal;

                  v.          Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba;

                vi.          Keuntungan.

Menurut Sayyid Sabiq, rukun Mudharabah adalah ijab dan Kabul yang dikeluarkan dari orang yang memiliki keahlian.

Syarat-syarat sah Mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun Mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah Mudharabah adalah sebagai berikut

                    i.          Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang tersebut berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagangan lainnya, Mudharabah tersebut batal.

                  ii.          Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang dibawah perbudakan.

                iii.          Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.

                iv.          Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga ataupun seperempat.

                  v.          Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua.

                vi.          Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara diwaktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad Mudharabah yaitu keuntungan. Bila dalam Mudharabah  ada persyaratan-persyaratan, maka Mudharabah tersebut akan menjadi rusak (fasid) menurut pendapat al-Syafi`I dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal, Mudharabah tersebut tetap sah.

Menurut pasal 231 kompilasi hukum Ekonomi Syariah, syarat mudharabah adalah sebagai berikut :

                    i.          Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan, atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk melakukan kerja sama dalam usaha

                  ii.          Penerima modal menjalankan usaha daslam bidang yang disepakati

                iii.          Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad.

5.      Kedudukan Mudharabah

Hukum Mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung pada keadaan.

Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam pengelolaannya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah `alaih (objek wakalah).

Ketika harta duitasharrufkan oleh pengelola, harta tersebut dibawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya, sehingga harta tersebut kedudukannya sebagai amanat (titipan). Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak wajib menggantinya. Bila kerusakan timbul karena kelalaian pengelola, maka ia wajib menanggungnya.

Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati. Karena bersama-sama dalam keuntungan, maka mudharabah disebut juga syirkah.

Ditinjau dari segi keuntungan yang diperoleh oleh pengelola harta, pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap sebagai ijarah ( upah mengupah atau sewa menyewa )

Apabila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan pengelola dan penguasa harta tersebut dianggap ghasab. Ghasab adalah min al-kabair.

6.      Biaya Pengelolaan Mudharabah

Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di lingkungan ( daerahnya ) sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta (modal) tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.

Namun, jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharabah. Imam Malik berpendapat bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya cukup besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.

Kiranya dapat dipahami bahwa biaya mudharabah pada dasarnya dibebankan kepada pengelola modal, namun tidak masalah biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan. Menurut Imam Malik; menggunakan modal pun boleh apabila modalnya besar sehingga kemungkinan memperoleh keuntungan berikutnya.

7.      Berakhirnya Mudharabah

Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.

Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakil dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya. Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.”

Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar darinya.”

Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.

Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan keadaan dua belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya kembali memotivasi diri kita untuk belajar dan mengetahui tata aturan syariat dalam muamalah sehari-hari.

8.      Tindakan Setelah Matinya Pemilik Modal

Jika pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah fasakh pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal sudah meninggal dunia dan tanpa izin dari ahli warisnya, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab. Ia wajib menjamin (mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi dua.

Jika mudharabah telah fasakh (batal), sedangkan modal berbentuk urud (barang dagangan), pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya karena yang demikian itu adalah hak berdua. Jika pelaksana (pengelola modal) setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju,pemilik modal dipaksa untuk menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian pendapat Mazhab Syafi`I dan Hanbali.

9.      Pembatalan Mudharabah

Mudharabah akan menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut ini :

                    i.          Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai upah karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Dan jika ada kerugian, kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apa pun, kecuali atas kelalaiannya.

                  ii.          Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian

                iii.          Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal

10.  Hikmah Mudharabah

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

Hikmah lain dibolehkannya Mudharabah adalah memberi kemudahan bagi pergaulan manusia dalam kehidupan dan keuntungan timbal balik tanpa ada pihak yang dirugikan. Dalam kehidupann sehari-hari terdapat orang yang punya modal dan tidak pandai berniaga; sedangkan di pihak lain ditemukan orang yang mampu berniaga tetapi tidak memiliki modal. Dengan cara ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan secara timbal balik

Hakikat dari mudharabah itu adalah bahwa dari segi modal yang diserahkan itu ia adalah titipan yang mesti dijaga oleh pengusaha. Dari segi kerja, pengusaha berkedudukan sebagai wakil dari pemilik modal, maka berlaku padanya ketentuan tentang perwakilan; sedangkan dari segi keuntungan yang diperoleh, ia adalah harta serikat antara pemilik modal dengan pengusaha.



Page 2