Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi dibutuhkan komponen-komponen yang mendasari pelaksanaan pembelajaran pada pendidikan inklusi. Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Pada umumnya komponen-komponen yang mendasari pelaksanaan pembelajaran pada pendidikan inklusi tidak jauh berbeda dengan komponen pembelajaran pada pendidikan reguler. Menurut Slameto (2010: 29) komponen pembelajaran adalah bagian-bagian dari sistem proses pendidikan yang menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan. Menurut Toto Ruhimat (2009: 2) pembelajaran merupakan 27 suatu sistem yang terdiri atas bea komponen yaitu input, proses, outcome. a. Komponen Input Pembelajaran Menurut Suwarna (2006: 34) komponen input terdiri atas raw input (masukan siswa), instrumental input (masukan sarana), invironmental input (masukan lingkungan). Raw input akan diproses menjadi output, instrumental input akan menentukan cara selama proses, dan environmental input akan mendukung proses pendidikan. 1) Raw Input Raw input atau masukan siswa berisikan tentang kondisi, kemampuan, dan karakteristik siswa atau peserta didik. Peserta didik adalah salah satu komponen dalam pengajaran. Sebagai salah satu komponen dalam pembelajaran, peserta didik adalah komponen terpenting diantara kelompok lainnya. Menurut Suharsimi arikunto dalam Tim Dosen AP (2010: 50) peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Pada dasarnya peserta didik adalah unsur menentu dalam proses belajar mengajar. Tanpa adanya peserta didik, sesungguhnya tidak akan terjadi proses pengajaran. Sehingga peserta didik adalah komponen yang sangat penting dalam hubungan proses 28 belajar mengajar. Karena itu pembelajaran pada kelas inklusi merupakan solusi yang tepat bagi perkembangan pendidikan untuk semua karena kelas inklusi menerima anak dengan berbagai karakteristik dan perbedaan kemampuan dalam satu ruangan dan dalam satu sesi pembelajaran. 2) Instrumental Input a) Guru atau pendidik Tenaga pendidik pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusi wajib memiliki kompetensi pembelajaran bagi peserta didik pada umumnya maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Setiap sekolah penyelenggara pendidikan inklusi wajib memiliki guru pendamping khusus (GPK). Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi yang belum memiliki guru pendamping khusus dapat bekerja sama dengan guru pendamping khusus dari sekolah atau lembaga lain. Dalam kegiatan pembelajaran, guru sebagai fasilitator dan motivator untuk mendorong terjadinya pembelajaran yang aktif untuk semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Menurut Tarmansyah (2007: 138) beberapa hal yang harus dilakukan guru di sekolah inklusi diantaranya hendaknya memperhatikan minat dan potensi siswa, menganalisa kegiatan pembelajaran yang tepat dengan menggunakan metode dan pendekatan. Standar 29 Nasional Pendidikan (SNP) dalam E. Mulyasa (2008: 53) memaparkan bahwa peran guru pada umumnya yaitu sebagai fasilitator, motivator dan pemberi inspirasi. Diluar peran guru pada umumnya, peran guru kelas dan guru pendamping khusus pada kelas inklusi dapat dijelaskan berikut ini. (1) Peran guru kelas Menurut Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 198) guru kelas harus mampu mengemban tanggung jawab umum program-program dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Menurut Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 199) peran guru kelas dijabarkan berdasarkan komponen-komponen pendidikan inklusi antara lain: Merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan merumuskan dalam rpp, mengelola materi yang diajarkan, terampil menggunakan metode yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, terampil mengatur strategi belajar, melakukan evaluasi pembelajaran. (2) Peran guru pendamping khusus Guru pendamping khusus harus dapat menyelenggarakan baik pembelajaran di kelas reguler, inklusi, maupun di sekolah luar biasa. Menurut John W. Santrock (2007: 246) guru pendamping khusus adalah guru sumber daya yang memberikan pelayanan yang bermanfaat bagi anak-anak penderita ketidakmampuan 30 maupun mengalami gangguan belajar. Sebagai seorang pendampung khusus, guru harus memiliki keterampilan khusus untuk menghadapi siswa yang berkebutuhan khusus apapun klasifikasinya. Menurut Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 203) peran guru pendamping khusus di kelas inklusi antara lain: “a) sebagai pengajar braile untuk siswa tunanetra, b) sebagai pengajar orientasi mobilitas untuk siswa tunanetra, c) sebagai pengajar bina wicara untuk siswa tunarungu, d) sebagai pendamping dan pengajar bina sosial dan pribadi pada siswa tunalaras, g) sebagai pengajar siswa berkesulitan belajar membaca, menulis dan berhitung, h) sebagai pengajar khusus bagi siswa berbakat” Karena itu guru pendamping khusus yang menangani siswa slow learner hendaknya dapat mendampingi siswa saat siswa mengalami kesulitan memahami materi pelajaran di kelas. b) Tujuan Pembelajaran Menurut Wina Sanjaya (2014: 63) kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh guru dan siswa adalah kegiatan yang bertujuan. Dalam setting pembelajaran, tujuan pembelajaran pada dasarnya merupakan harapan, yaitu rancangan yang diharapkan dari siswa sebagai hasil belajar. Dengan demikian, merumuskan tujuan merupakan langkah penting yang harus dilakukan dalam merancang sebuah 31 program pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik (2011: 108) dengan merumuskan tujuan pembelajaran akan memudahkan guru dalam memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik, mengalokasikan waktu, memilih alat bantu pembelajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran untuk mengukur prestasi siswa. Dengan demikian merumuskan tujuan pembelajaran dalam kegiatan belajar sangatlah penting, karena selain sebagai pondasi perencanaan pembelajaran tujuan pembelajaran juga merupakan pondasi hasil yang harus dicapai oleh siswa. c) Kurikulum Materi pembelajaran yang dijelaskan didalam kelas baik sekolah reguler maupun sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi berlandaskan pada kurikulum. Kurikulum digunakan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang relevan, dengan memperhatikan pluralitas kebutuhan individual setiap siswa (Redi Susanto, 2012: 27) kurikulum hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan anak. Oleh sebab itu hendaknya memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kurikulum dengan anak. Menurut Sari Rudiyati (2015: 1) Kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana atau pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan atau pendidikan yang didalamnya 32 mencakup pengaturan tentang tujuan, isi/materi, proses dan evaluasi. Tujuan berarti apa yang akan dicapai, materi berarti apa yang akan dipelajari. Proses berarti apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dan evaluasi berarti apa yang harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan. Kurikulum bisa bersifat makro, artinya pengaturan tentang tujuan, isi/materi, proses dan evaluasi dalam skala nasional, tetapi juga bisa bersifat mikro yaitu pengaturan tentang hal tersebut dalam konteks pembelajaran di kelas. Adaptasi kurikulum juga merupakan salah satu cara untuk pemenuhan hak bagi ABK yang berada di sekolah inklusi. Karena setiap individu memiliki keterbatasan maka pembelajaranpun disesuaikan dengan keberadaan siswa. Untuk memperlancar proses KBM nya maka diperlukan rencana untuk membuat adapatasi kurikulum agar semua ABK dapat terlayani dengan baik. Kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa reguler perlu diubah/dimodifikasi sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Penyesuaian kurikulum dengan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Penyesuaian kurikulum tidak harus sama pada masing-masing komponen, artinya 33 jika komponen tujuan dan materi harus dimodifikasi, mungkin demikian juga proses dan evaluasinya. Sari Rudiyati, (2015: 8), menyebutkan pengembangan kurikulum adaptif untuk siswa berkebutuhan pendidikaan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif perlu dilakukan. Ada empat model kemungkinan pengembangan kurikulum adaptif bagi siswa yang berkebutuhan pendidikan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif, yakni: (1) Model duplikasi; (2) Model modifikasi; (3) Model subtitusi, dan (4) model omisi. Lebih lanjut, dapat dikaji sebagai berikut: 1. Model Duplikasi Duplikasi artinya salinan yang serupa benar dengan aslinya. Menyalin berarti membuat sesuatu menjadi sama atau serupa. Dalam kaitannya dengan model kuriukulum, duplikasi berarti mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk siswa pada umumnya (reguler). Jadi model duplikasi adalah cara dalam pengembangan kurikulum, dimana siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada 34 empat komponen utama kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi. a. Duplikasi Tujuan Duplikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada anak-anak pada umumnya/reguler juga diberlakukan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan demikian standar komptensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk siswa reguler juga diberlakukan untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, Demikian juga Kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan juga indikator keberhasilannya b. Duplikasi Isi atau materi Duplikasi isi/materi berarti materi-materi pembelajaran yang diberlakukan kepada siswa pada umumnya/reguler juga diberlakukan sama kepada siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Siswa berkebutuhan pendidikan khusus memperoleh informasi, konsep, teori, materi, pokok bahasan atau sub-sub pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan kepada siswa-siswa pada umumnya/ reguler. 35 c. Duplikasi proses Duplikasi proses berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kegiatan atau pengalaman belajar mengajar yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler. Duplikasi proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar, lingkungan/setting belajar, waktu belajar penggunaan media belajar dan atau sumber belajar. d. Duplikasi Evaluasi Duplikasi evaluasi berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani evaluasi atau penilaian yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler. Duplikasi evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau lingkungan dimana evaluasi dilaksanakan. 2. Model Modifikasi Modifikasi berarti merubah atau menyesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka model modifikasi bararti cara pengembangan kurikulum, dimana kurikulum umum yang diberlakukan bagi siswa-siswa reguler diubah 36 untuk disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan mereka. Modifikasi dapat diberlakukan pada empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, proses, dan evaluasi. a. Modifikasi Tujuan Modifikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Sebagai konsekuensi dari modifikasi tujuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka akan memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa reguler, baik berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL), kompetensi inti (SI, kompetensi dasar (KD) maupun indikatornya. b. Modifikasi Materi Modifikasi ini berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa reguler dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus 37 mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan keleluasan, kedalaman dan kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada materi yang diberikan kepada siswa reguler. c. Modifikasi Proses Modifikasi proses berarti ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus dengan yang dialami oleh siswa pada umumnya. Metode atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa reguler tidak diterapkan untuk siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi pembelajaran khusus yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi proses atau kegiatan pembelajaran bisa berkaitan dengan penggunaan metode mengajar, lingkungan/setting belajar, waktu belajar, media belajar serta sumber belajar. d. Modifikasi Evaluasi Modifikasi evaluasi, berarti ada perubahan dalam sistem penilaian hasil belajar yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan 38 pendidikan khusus. Dengan kata lain siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani sistem evaluasi yang berbeda dengan siswa-siswa lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi. Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem kenaikan kelas, bentuk rapor, ijasah, dll. 3. Model Subtitusi Subtitusi berarti mengganti. Dalam kaitannya dengan model kurikulum, maka substansi berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain yang sebobot dengan yang digantikan. Model substansi bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses maupun evaluasi. 4. Model Omisi Omisi berarti menghapus/menghilangkan. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi berarti upaya untuk menghapus/menghilangkan sesuatu, baik sebagian atau keseluruhan dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak 39 mungkin diberikaan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum tetapi tidak disampaikan atau tidak diberikan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus, karena sifatnya terlalu sulit atau mampu dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam substitusi ada materi pengganti yang sebobot, sedangkan dalam model omisi tidak ada materi pengganti. Menurut Direktorat PLB (2007: 18) kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler, namun dalam implementasinya kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Menurut Direktorat PLB (Tarmansyah, 2007: 168) modifikasi dapat dilakukan dengan cara memodifikasi alokasi waktu, isi/materi, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, lingkungan belajar, pengelolaan kelas. Dengan modifikasi kurikulum yang tepat akan memberikan peluang terhadap tiap-tiap anak untuk mengaktualisasikan potensi sesuai dengan bakat, 40 kemampuan dan perbedaan yang ada pada setiap anak, baik yang reguler maupun berkebutuhan khusus. Dalam penelitian ini pendidik mempunyai peran sangat penting dalam proses pembelajaran guna mencapai tujuan pembelajaran. Setelah pendidik mempelajari kurikulum yang berlaku, selanjutnya membuat suatu desain instruksional dengan mempertimbangkan kemampuan awal peserta didik, tujuan yang hendak di capai, teori belajar dan pembelajaran, karakteristik bahan yang akan diajarkan, metode dan media atau sumber belajar yang akan digunakan, dan unsur-unsur lainnya sebagai penunjang. Setelah desain dibuat, kemudian aktivitas belajar dan pembelajaran dilakukan. Dalam hal ini terjadi interaksi pendidik bertindak mengajar dan peserta didik bertindak belajar untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Pada akhirnya, implementasi pembelajaran itu akan menghasilkan suatu hasil belajar yang kemudian dievaluasi untuk mengukur keefektifan proses pembelajaran yang terjadi. Jika ada salah satu komponen pembelajaran yang bermasalah, maka proses pembelajaran tidak dapat berjalan dengan baik. d) Metode Pembelajaran Metode pembelajaran merupakan cara melakukan atau menyajikan, menguraikan dan memberikan latihan isi 41 pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Guru dituntut agar mampu memahami kedudukan metode sebagai salah satu komponen yang ikut ambil bagian bagi keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Untuk melaksanakan proses pembelajaran yang berlangsung sistematis dan dapat mencapai tujuan pembelajaran, perlu dipikirkan metode pembelajaran yang tepat. Tarmansyah (2007: 162) mengatakan bahwa setiap siswa membutuhkan teknik belajar yang berbeda untuk mengembangkan dirinya. Karena itu guru perlu menggunakan strategi dan metode belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Metode pada pendidikan inklusi menggunakan dua prinsip yaitu prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum yang digunakan ada prinsip-prinsip yang digunakan pada pendidikan reguler. Sedangkan prinsip khusus pada kelas inklusi bergantung pada jenis atau klasifikasi siswa berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi. Prinsip khusus mengarah pada metode yang seharusnya digunakan guru dalam membanu proses kegiatan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus (Lay Kekeh Marthan, 2007: 176). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemilihan metode pembelajaran dalam pelaksanaan pembelajaran sekolah inklusi perlu disesuaikan dengan 42 keterbatasan dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Selain itu metode yang diterapkan hendaknya sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang baik (prinsip umum maupun khusus) diharapkan proses belajar mengajar dapat berjalan baik dan efektif serta memungkinkan siswa berkebutuhan khusus dapat meningkatkan potensi dalam dirinya. e) Sarana Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi adalah sarana dan prasarana yang telah terdapat pada sekolah pada umumnya dan ditambahkan dengan aksesibilitas serta media pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Sependapat dengan pendapat Depdiknas (2007) bahwa sarana di sekolah inklusi tidak berbeda dengan sekolah pada umumnya. Namun disamping menggunakan sarana prasarana seperti yang digunakan sekolah reguler, anak dalam sekolah inklusi membutuhkan sarana prasarana khusus sesuai dengan jenis kelainan dan kebutuhan anak. Menurut Direktorat PLB (2007: 26) pada hakekatnya semua sarana dan prasarana disekolah reguler dapat digunakan pada pendidikan inklusi, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi aksesibilitas khusus sesuai dengan kebutuhan anak 43 berkebutuhan khusus. Sarana dan prasarana yang dapat membantu siswa slow learner dalam pembelajaran dikelas misalnya media pembelajaran yang konkret dan mudah digunakan. f) Media Pembelajaran Media pembelajaran adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pengajaran (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2006: 121). Dalam proses belajar mengajar kehadiran media mempunyai arti yang penting. Karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang disampaikan dapat dibantu dnegan menghadirkan media sebagai perantara. Setiap materi pelajaran tentu memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi. Kerumitan dan kesukaran bahan yang akan disampaikan kepada anak didik dapat disederhanakan dengan bantuan media pembelajaran. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006: 120) media dapat mewakili apa yang kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu, dengan keabstrakan bahan dapat dikonkretkan dengan kehadiran media. Media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran sekolah inklusi seharusnya yang sesuai dengan kebutuhan siswa slow learner. 44 g) Sumber Belajar Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk mempelajari bahan dan pengalaman belajar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam penyusunan perencanaan pembelajaran, guru perlu menetapkan sumber apa yang digunakan oleh siswa untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Menurut Wina Sanjaya (2014: 175) sumber belajar yang dapat dimanfaatkan oleh guru dalam proses pembelajaran diantaranya adalah manusia, alat berupa media cetak maupun audio visual, aktifitas dan kegiatan, serta lingkungan. Dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penggunaan variasi sumber belajar sangat diperlukan. Penggunaan salah satu sumber belajar tertentu akan membuat pengetahuan siswa terbatas dari satu sumber yang diterapkan tersebut. Dengan demikian penggunaan sumber yang bervariasi dapat membuat siswa mengembangkan pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan pembelajaran menggunakan satu sumber belajar. h) Rencana Pembelajaran Menurut Abdul Majid (2011: 16), perencanaan pembelajaran adalah sebuah proses mengembangkan pengajaran secata sistematik yang digunakan secara khusus atas dasar teori-teori 45 pembelajaran dan pengajaran untuk menjamin kualitas pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan begitu sebelum memulai kegiatan pembelajaran seorang guru sebaiknya mempersiapkan rencana pembelajaran agar proses pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Tarmansyah (2007: 194) rencana kegiatan pembelajaran disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik, yang menggunakan segitiga kurikulum yaitu: 1) Isi, artinya tema yang terdapat dalam kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan kelas berdasarkan pada latar belakang, kemampuan dan perbedaan karakteristik peserta didik. 2) Proses, artinya bagaimana kurikulum diajarkan dengan memanfaatkan metode dan sumber belajar yang sesuai dan tepat. 3) Lingkungan, artinya penggunaan sumber belajar dalam proses pembelajaran yang dapat mengembangkan psikososial peserta didik. Dalam pembelajaran untuk siswa slow learner, tentu saja isi, proses, dan lingkungan disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, serta karakteristik siswa slow learner. rencana pembelajaran berisikan sebagian besar komponen-komponen 46 pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Direktorat PLB tahun 2004 (dalam Tarmansyah 2007: 195) perencanaan kegiatan pembelajaran meliputi rencana pengelolaan kelas, rencana pengorganisasian bahan pembelajaran, rencana pengaturan scenario kegiatan pembelajaran, rencana penggunaan sumber belajar dan rencana penilaian. Dalam menyusun perencanaan kegiatan pembelajaran terdapat hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyusun perencanaan kegiatan pembelajaran menurut Tarmansyah (2007: 197-198) yaitu: 1) Kompetensi, yaitu kemampuan yang harus dikuasai peserta didik di akhir pembelajaran. 2) Sumber belajar, yaitu media atau sarana prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung jalannya proses pembelajaran yang sesuai dengan materi slow learner yang diajarkan serta kebutuhan peserta didik. 3) Peserta didik, yaitu karakter peserta didik, kelebihan dan kelemahan serta bantuan-bantuan yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran untuk siswa, media atau sarana prasarana yang dibutuhkan seperti adalah media pembelajaran yang konkret dan sederhana. 3) Environmental Input Environmental input atau masukan lingkungan yang merupakan faktor-faktor yang mendukung proses pembelajaran. Faktor-faktor tersebut pada akhirnya akan saling berinteraksi sehingga tercipta suatu proses belajar mengajar yang kondusif. 47 Slameto (2010: 54-70) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar, yaitu faktor individual, dan faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial. Berdasarkan pernyataan tersebut faktor-faktor individual maupun faktor sosial secara langsung dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses beajar mengajar. Faktor individual yang timbul dari diri seseorang senantiasa akan menjadi modal utama dalam mencapai keoptimalan proses pembelajaran. Faktor sosial yang ditimbulkan menjadikan seorang siswa didik akan mampu belajar dengan baik dan optimal. Menurut Slameto (2010: 60) faktor sosial dapat dilihat dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian faktor lingkungan dapat mempengauhi berhasil atau tidaknya proses belajar siswa. |