Menurut Hans Kelsen norma itu berjenjang-jenjang dan Berlapislapis dalam susunan hirarki apa maksudnya jelaskan?

Memahami norma hukum dalam suatu negara, maka kita akan dikenalkan dengan suatu penjenjangan hukum (hierarki norma hukum). Teori tersebut pertama kali kemukakan oleh Adolf Merkl yang kemudian disebut oleh Zoran Jaliae dalam tulisannya A Note on Adolf Merkl’s Theory of Administrative Law sebagai stairwell structure of legal order.

Menurut Adolf Merkl hukum adalah suatu sistem tata urutan hierarkis. Lebih lanjut dikatakan, norma hukum selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). Norma hukum ke atas akan selalu berdasar dan bersumber pada norma hukum di atasnya, sedangkan ke bawah maka akan menjadi dasar dan sumber bagi norma hukum di bawahnya.

Dengan demikian norma hukum memiliki masa berlaku yang relatif, tergantung pada keberlakuan norma yang di atasnya. Jika yang di atasnya dihapuskan maka norma hukum yang di bawahnya akan terhapus pula.

Secara teoritik, mengenai penjenjangan hukum (yang bermula dari Merkl) lebih populer sebagai pemikiran Hans Kelsen melalui Teori Hukum Berjenjang (Stufenbau des Recht). Kelsen berpendapat, norma yang lebih rendah dibentuk oleh norma yang lebih tinggi dan hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarkis.

Maksudnya setiap norma yang lebih rendah bersumber, berlaku, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi bersumber dari norma yang lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya hingga sampailah pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yakni norma dasar (Grundnorm).

Grundnorm merupakan suatu asas hukum yang bersifat abstrak, umum, dan hipotesis yang menjadi landasan segala sumber hukum dalam arti formal. Dengan kata lain merupakan norma yang paling tertinggi, jika diilustrasikan sebagai suatu piramida maka ia terletak pada posisi puncak piramida tersebut.

Untuk itulah Kelsen menganggapnya sebagai suatu meta juristic yakni suatu norma yang di luar sistem hukum atau algemene verbindende voorschrifften (bukan bagian daripada peraturan perundang-undangan). Ia adalah the source of the source dari tatanan peraturan yang ada di bawahnya.

Teori di atas dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky yang juga menjadi murid dari Kelsen. Teori yang diperkenalkan adalah Die Stufenordnung der Rechtsnormen. Dalam pandangannya, Nawiasky mengaitkan hirarki tersebut dengan suatu negara. Pada intinya sama dengan yang dikemukakan Kelsen, bahwa suatu norma hukum dalam negara senantiasa berjenjang dan berlapis-lapis. Setiap norma yang lebih tinggi menjadi dasar dan sumber bagi norma hukum yang lebih rendah atau yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasarkan norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tertinggi yaitu Norma Dasar.

Dalam gagasan Nawiasky, norma hukum suatu negara tidak hanya berjenjang, namun juga berkelompok-kelompok. Adapun klasifikasinya terbagi menjadi 4 (empat) bagian sebagai berikut:

  1. Staatsfundamentalnorm;
  2. Staatsgrundgesetz;
  3. Formel Gesetz; dan
  4. Verordnung & Autonome Satzung.

Dalam kaitannya pemuncak piramida norma hukum, Nawiasky meletakkan Staatsfundamentalnorm pada posisi tersebut, yang diterjemahkan oleh Hamid S. Attamimi sebagai Norma Fundamental Negara. Ia menjadi norma tertinggi dalam sebuah negara yang tidak dibentuk oleh dan dari norma yang lebih tinggi.

Bagi Nawiasky, staatsfundamentalnorm merupakan norma yang bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat suatu negara sekaligus menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum yang ada di bawahnya. Bahkan secara hakikat menjadi dasar pembentukan konstitusi suatu negara dan syarat bagi berlakunya konstitusi tersebut. Sebab ia ada terlebih dahulu sebelum konstitusi itu dibentuk.

Melihat uraian di atas, tentunya kedua pemikiran (Kelsen dan Nawiasky) memiliki persamaan. Bahwa norma itu berjenjang dan berlapis serta bersumber dari norma yang lebih tinggi. Hingga akhirnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lagi sumber asalnya sebab ia pre-supposed.

Namun demikian, juga memiliki perbedaan. Yang mana Nawiasky telah membuat pengelompokkan norma. Kelsen juga melihat dalam perspektif norma secara umum, berbeda dengan muridnya yang menghubungkan langsung dengan suatu negara.

Perbedaan terakhir adalah Nawiasky menyebut norma dasar dengan staatsfundamentalnorm bukan staatsgrundnorm. Yang menjadi pertimbangan adalah grundnorm merupakan suatu tatanan norma yang ajeg (tidak berubah-ubah).

Sedangkan norma tertinggi masih dimungkinkan berubah manakala terjadi pemberontakan, coup d’etat, Putsch, Anscluss, dan sebagainya. Walaupun dalam beberapa pandangan hukum masih sering menggunakan kata grundnorm ketimbang staatsfundamentalnorm.

Referensi:

  1. Ni’matul Huda. 2011. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: Nusa Media.
  2. Maria Farida Indrati S. 2017. Ilmu Perundang-Undangan 1. Yogyakarta: PT Kanisius.

BAB 1

PENDAHULUAN

Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.[1]

Dalam upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan hirarkis peraturan perundang-undangan tersebut bersifat niscaya, mengingat susunan hirarkis peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dewasa ini dirasakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan dewasa ini.[2] Di samping itu, era Orde Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan perundang-undangan, dalam prakteknya selama 32 tahun belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa depan.

Lebih-lebih dalam prakteknya, masih banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang baku, termasuk dalam soal nomenklatur yang digunakan oleh tiap-tiap kementerian dan badan-badan pemerintahan seingkat Menteri.[3] Sebagai contoh, produk hukum yang dikeluarkan Bank Indonesia yang dimaksud untuk memberikan aturan terhadap dunia perbankan menggunakan istilah Surat Edaran yang tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa kementerian mengeluarkan peraturan di bidangnya dengan menggunakan sebutan Keputusan Menteri, dan beberapa lainnya menggunakan istilah Peraturan Menteri dan Surat Edaran Menteri. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dengan Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif biasa tidak dibedakan, kecuali dalam kode nomernya saja, sehingga tidak jelas kedudukan masing-masing sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur.[4]

Sebelum membahas lebih rinci masalah-masalah dan usul-usul penyempurnaan mengenai sumber tertib hukum dan sistem serta tata urut peraturan Republik Indonesia di masa depan, perlu diperjelas dulu pengertian kita mengenai sumber tertib hukum, dan mengenai bentuk-bentuk serta tata urut peraturan yang kita gunakan dalam tulisan ini. Pengertian tentang sumber tertib hukum memuat pengertian yang lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup aneka putusan legislatif dan eksekutif yang dapat dijadikan sumber hukum, tetapi mencakup pula putusan-putusan pengadilan dalam lingkungan kekuasaan judikatif. Sedangkan bentuk-bentuk dan tata-urut peraturan hanya mencakup putusan-putusan cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif yang isinya dapat bersifat mengatur (regeling), dan karena itu disebut dengan ‘per-ATUR-an’. Akan tetapi, pengertian peraturan itu dalam arti luas dapat pula mencakup putusan-putusan yang bersifat administratif yang meskipun tidak bersifat mengatur, tetapi dapat dijadikan dasar bagi upaya mengatur kebijakan yang lebih teknis, yang kemudian disebut penetapan (beschiking).[5]

Fenomena Surat Edaran Menteri dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia belum pernah termaktub secara konkrit dalam tata urutan peraturan-perundang-undangan. Hal itu diakibatkan oleh adanya perdebatan mengenai surat edaran menteri tersebut, apakah surat edaran termasuk dalam kategori mengatur (regeling) atau bersifat penetapan (beschiking). Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan tidak disebutkan derajat dan hierarki Surat Edaran Menteri, meskipun dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ditegaskan bahwa Jenis Peraturan Perundang-undangan selain tersebut dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat, tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Hal yang masih diperdebatkan akhir-akhir ini adalah fenomena surat himbauan Dirjen Dikti tentang publikasi karya ilmiah sebagai syarat lulus bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Himbauan Dirjen Dikti tersebut menimbulkan pro dan kontra dalam proses pelaksanaan dilapangan. Tidak sedikit dari berbagai kalangan Perguruan Tinggi yang mencoba mempersoalkan keabsahan produk Dirjen Dikti tersebut, baik dari segi muatannya maupun dari kewenangan lembaganya untuk mengeluarkan surat himbauan tentang publikasi karya ilmiah sebagai syarat lulus bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta.

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka dengan ini kami tertarik untuk meneliti dan menelaah tentang Kedudukan Surat Edaran Menteri dalam Sistem Hukum Indonesia, dikarenakan sangat menarik untuk diteliti baik dari segi yuridis, filosofis dan sosilogis pelaksanaan dari Surat Edaran Menteri tersebut.

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini diantaranya adalah :

  1. Bagaimana kedudukan Surat Edaran Menteri apabila dikaitkan dengan jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ?
  2. Bagaimanakah keabsahan Surat Edaran Menteri dalam upaya memberikan pengaturan terhadap instansi lembaga vertikal dibawahnya ?

Sedangkan yang menjadi tujuan dari penulisan tulisan ini diantaranya adalah :

  1. Mengetahui kedudukan Surat Edaran Menteri apabila dikaitkan dengan jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
  2. Menjelaskan keabsahan Surat Edaran Menteri dalam upaya memberikan pengaturan terhadap instansi lembaga vertikal dibawahnya
  1. Secara teoritis dapat menambah dan memperdalam keilmuan dalam bidang Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara yang berkaitan dengan Ilmu Perundang-Undangan
  2. Manafat praktis adalah untuk membangun kesadaran dan pemahaman kepada publik akan kedudukan Surat Edaran Menteri dalam sistem hukum Indonesia

Metode yang digunakan dalam penulisan tulisan ini adalah metode penulisan hukum normatif, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam tulisan ini. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.[6]

Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan tulisan ini adalah terdiri dari 2 (empat) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach).[7]

Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan tulisan ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan tulisan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.[8]

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[9] Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.[10] Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam penulisan tulisan ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan tulisan ini.

Dalam tulisan ini di gunakan metode analisis induktif kualitatitif,[11] yaitu metode analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam tulisan ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi landasan atau pisau analisa dalam penulisan tulisan ini sebagai langkah untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang menjadi pembahasan.

BAB 2

LANDASAN TEORITIK TENTANG NORMA PERUNDANG-UNDANGAN

2.1   TEORISASI NORMA

Suatu pernyataan tentang realitas dikatakan benar, karena pernyataan tersebut berhubungan dengan realitas atau karena pengalaman kita menunjukkan kesesuaian dengan relitas tersebut. Suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan ukuran realitas. Validitas norma tidak karena keberlakuannya. Pertanyaan mengapa sesuatu seharusnya terjadi tidak pernah dapat dijawab dengan penekanan pada akibat bahwa sesuatu harus terjadi, tetapi hanya oleh penekanan bahwa sesuatu seharusnya terjadi.[12]

            Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahsa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia.[13]

Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku  seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Setiap norma itu mengandung suruhan-suruhan yang didalam bahasa asingnya disebut dengan das Sollen (ought to be/ought to do).[14]

Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral. adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.[15]

  1. Norma Superior Dan Norma Inferior

Analisis hukum, yang menyingkap karakter dinamis dari sistem normatif dan fungsi norma dasar, juga menunjukan kekhususan lebih lanjut dari hukum, yaitu: Hukum mengatur kriterianya sendiri sepanjang suatu norma hukum menentukan cara norma lain dibuat, dan juga isi dari norma tersebut. Sejak suatu norma hukum adalah valid karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma hukum lain, maka norma terakhir merupakan alasan validitas yang pertama.[16]

Hubungan antara norma yang mengatur pembuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial. Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tata Hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirarki dari norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang paling tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.[17]

Hans Kelsen mengemukakan adanya dua system norma, yaitu system norma statis (nomostatics) dan system norma dinamik (nomodynamics). Norma statis adalah system yang melihat pada isi suatu norma, dimana suatu norma umum dapat ditarik menjadi  norma khusus, atau norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Contoh dari norma statis  adalah:

Dari suatu norma umum yang menyatakana “hendaknya engkau menghormati orang tua  “ dapat ditarik/dirinci norma khusus, seperti kita wajib membantunya kalau orang tua itu dalam keadaan susah, kita harus merawatnya kalau sedang sakit.

Sistem norma yang dinamik adalah suatu system norma yang melihat pada berlakunya suatu norma dari cara pembentukannya dan penghapusannya. Menurut hans kelsen, norma itu berjenjang jenjang dan berlapis-lapis dalam susunan yang hierarkis, dimana norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya pada akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada norma yang paling tinggi yang disebut norma dasar (grundnorm) yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau dari mana asalnya. Norma dasar atau biasa yang disebut grundnorm, basicnorm, atau fundamentalnorm ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlaku secara presupposed, yaitu lebih dahulu ditetapkan oleh masyarakat.[18]

  1. Norma Hukum Vertikal Dan Horizontal

Dinamika norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma hukum yang vertikal dan dinamika norma hukum yang horizontal. Dinamika norma hukum vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas: dalam dinamika yang vertikal ini norma hukum itu berlaku, berdasar, dan bersumber, pada norma hukum di atasnya, norma hukum di atasnaya berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma hukum yang atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar norma hukum di bawahnya. Dinamika norma hukum vertikal ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum, yang ada di negara Republik Indonesia: Pancasila sebagai norma dasar negara merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam  Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945, dan seterusnya. Dalam dinamika norma hukum horizontal, suatu norma hukum itu bergeraknya tidak ke atas atau tidak ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma horizontal ini tidak membentuk norma hukum baru akan tetapi  tapi bergerak ke samping karena adanya suatu analogi. Contoh pencurian listrik. Listrik bukanlah suatu benda, tetapi dapat ditafsirkan secara analogi menjadi benda.[19]

  1. Norma Hukum Umum dan Individual

Norma hukum dari segi alamat yang dituju (addressat) dapat dibedakan antara norma hulkum umum dan individual. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak dan tidak tertentu. Norma hukum umum sering dirumuskan dengan ‘Barang siapa….’, atau ‘Setiap orang….’, ataupun ‘Setiap warga negara….’ dan sebagainya sesuai dengan addressat yang dituju. Norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan (addressatnya) pada seseorang, beberap orang, atau banyak orang yang telah tertentu sehingga norma hukum yang individual ini biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:[20]

– Syafei Bin Muhammad Sukri bertempat tinggal di Jl. Pajajaran Raya No. 1 Jakarta.

– Para pengemudi bis lota jurusan Suta yang beroperasi antara jam 07.00 sampai 08.00 pada tangggal 1 Januari 2011.

  1. Norma Hukum Abstrak dan Kongkret

Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum, yang melihat pada perbauatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak kongkret. Norma hukum abstrak mmerumuskan  suatu perbuaan secara abstrak, miusalnya mencuri, membunuh, menebang pohon, dan sebagainya. Sedangkan norma hukum kongkret adalah melihat perbuatan seseorang lebih nyata.[21]

  1. Norma Hukum Einmahlig Dan Dauerhaftig

Norma hukum einmahlig adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan ini norma hukum tersebut selesai. Contohnya adalah penetapan seseorang menjadi pegawai.

Norma hukum dauerhaftig adalah norma hukum yang berlaku secara terus-menerus sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru.

Dari pembatasan norma-norma tersebut yang membedakan antara norma hukum umum-individual, norma hukum abstrak – kongkret, serta norma hukum yang satu kali selesai, berlaku terus menerus, maka norma hukum yang termasuk dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah suatu norma hukum yang bersifat umum-abstrak dan berlaku terus menerus, sedangkan norma hukum yang bersifat individual kongkret dan sekali selesai merupakan keputusan yang bersifat penetapan (beschikking). Di samping norma hukum yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling), yaitu yang umum-abstrak dan berlaku terus menerus dan norma hukum yang bersifat menetapkan (beschikking) yaitu yang individual-kongkret dan berlaku sekali saja.

  1. Norma Hukum Tunggal Dan Berpasangan

Norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang berdiri sendiri  dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya hanya merupakan suatu suruhan (das Sollen) tentang bagaimana kita harus bertindak atau bertingkah laku. Contohnya: Presiden memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.

Norma hukum berpasangan terdiri dari norma hukum primer dan sekunder. Norma hukum primer adalah suatu norma hukum yang berisi aturan/patokan bagaimana cara kita harus berprilaku dalam masyarakat. Norma hukum primer ini biasa disebut das Sollen atau disebutkan dengan istilah ‘hendaknya’. Contohnya: ‘hendaknya kamu tidak mencuri’.

Norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma hukum primer tidak dipenuhi. Norma hukum primer ini memberi pedoman bagi penegak hukum untuk bertindak apabila norma hukum primer tidak dipenuhi. Contohnya: ‘….apabila kau membunuh dihukum 15 tahun penjara’.

2.2 TINGKAT-TINGKAT DALAM TATA HUKUM

  1. a.  Konstitusi Dalam Arti Materiil Dan Formal

            Struktur hierarkis tata hukum suatu negara adalah sebagai berikut: Dipresuposisikan sebagai norma dasar, konstitusi adalah level paling tinggi dalam hukum nasional.[22] Hans Kelsen mengatakan bahwa konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubahanya menurut ketentuan khusus yang dimaksudkan agar perubahan norma ini sulit dilakukan. Konstitusi dalam arti materiil terdiri dari aturan-aturan yang mengatur pembuatan norma hukum umum, khususnya pembuatan undang-undang. Konstitusi formal biasanya juga berisi norma lain, yaitu norma yang bukan merupakan bagian materi konstitusi.[23] Tetapi hal ini adalah untuk menjaga norma yang menentukan organ dan prosedur legislasi bahwa suatu dokumen nyata yang khusus dirancang dan bahwa perubahan aturan-aturannya dibuat secara khusus lebih sulit. Hal ini karena materi konstitusi adalah dalam bentuk konstitusional yang harus dipisahkan dari hukum biasa. Terdapat prosedur khusus untuk pembuatan, perubahan, dan pencabutan hukum konstitusi.[24]

Berbeda dengan Hans Kelsen, muridnya yang berkenamaan juga yaitu Hans Nawiasky melihat norma tertinggi dalam negara selalu mempunyai kemungkinan mengalami perubahan, baik oleh suatu peristiwa pemberontakan, coup d’etat.[25]

Konstitusi dalam arti formal, khususnya ketentuan yang menentukan bahwa perubahan konstitusi lebih sulit daripada perubahan hukum biasa, adalah mungkin hanya jika terdapat konstitusi tertulis. Terdapat negara yang tidak memiliki meiliki konstitusi tertulis, seperti Inggris, yang berarti tidak ada konstitusi formal. Maka konstitusi memiliki karakter hukum kebiasaan dan tidak ada perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa. Sedangkan konstitusi dalam arti materiil dapat berupa konstitusi tertulis atau tidak tertulis.[26]

  1. Norma Umum Dibuat Berdasarkan Konstitusi: Undang-Undang dan Kebiasaan

            Norma umum yang ditetapkan dengan cara legislasi atau kebiasaan, membentuk suatu tingkatan di bawah konstitusi dalam hirarki hukum. Norma-norma umum ini diaplikasikan oleh organ yang kompeten, khususnya pengadilan dan otoritas administratif. Organ pelaksana hukum harus diinstruksikan sesuai dengan tata hukum, yang juga menentukan prosedur yang harus diikuti organ pada saat mengaplikasikan hukum. Maka norma umum hukum undang-undang atau kebiasaaan memiliki dua fungsi besar, yaitu:

  1. Menentukan organ pelaksana hukum dan prosedur yang harus diikuti;
  2. Menentukan tindakan yudisial dan administratif organ tersebut.

Tindakan inilah yang menciptakan norma individual, yaitu penerapan norma hukum pada kasus nyata.

Karena fungsi pengadilan dalam kapasitasnya sebagai organ pelaksana hukum adalah mengaplikasikan norma umum undang-undang atau kebiasaan terhadap kasus konkret, maka pengadilan harus memutuskan apakah norma umum memberikan sanksi kepada perbuatan yang diklaim oleh penuntut sebagai delik, atau diklaim oleh penggugat sebagai delik sipil, dan apakah sanksinya?.

Pengadilan harus mampu menjawab tidak hanya pertanyaan tentang fakta (quaestio facti) tetapi juga pertanyaan tentang hukum (quaestio Juris), dilakukan dengan menentukan apakah norma umum tersebut yang diaplikasikan adalah valid yang berarti mempertanyakan apakah norma tersebut telah dibuat dengan cara yang ditentukan oleh konstitusi. Fungsi pengadilan ini menonjol khususnya ketika terdapat keraguan apakah perbuatan tergugat atau terdakwa merupakan suatu delik. Pengadilan harus menentukan keberadaan suatu norma tersebut seperti halnya menentukan eksistensi delik. Fungsi menentukan eksisitensi norma umum yang diaplikasikan oleh pengadilan mengimplikasikan pentingnya fungsi penafsiran norma tersebut, yaitu menentukan maknanya.

Norma konstitusi yang mengatur pembuatan norma umum yang diaplikasikan oleh pengadilan dan organ pelaksana hukum lain adalah bukan norma lengkap yang independen. Norma konstitusi secara intrinsik adalah bagian dari semua aturan hukum yang harus diaplikasikan oleh pengadilan dan organ lain. Maka hukum konstitusi tidak dapat dikutip sebagai suatu contoh norma yang tidak memberikan sanksi. Norma dari materi konstitusi adalah hukum hanya dalam kaitan organiknya dengan norma yang memberikan sanksi yang dibuat berdasarkan norma konstitusi tersebut. Dalam pandangan dinamis pembuatan norma umum ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yaitu konstitusi, diproyeksikan sebagai bagian dari norma yang lebih rendah.

Pembuatan hukum dengan kebiasaan dan Undang-undang sering disebut sebagai dua sumber hukum. Dalam konteks ini, hukum hanya dipahami sebagai norma umum, mengabaikan norma individual yang bagaimanapun juga merupakan bagian dari hukum seperti yang lainnya.

Sumber hukum adalah ekspresi yang figuratif dan ambigu. Istilah tersebut tidak hanya digunakan untuk menyebut metode pembuatan hukum, yaitu kebiasaan dan legislasi, tetapi juga untuk mengkarakteristikan alasan validitas hukum khususunya alasan paling akhir. Maka norma dasar menjadi dasar hukum. Namun dalam arti yang lebih luas, setiap norma hukum adalah sumber bagi norma yang lainnya,  karena memuat prosedur pembuatan norma atau isi norma yang akan dibuat. Maka setiap norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber hukum bagi norma yang lebih rendah. Jadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri.

  1. e. Pembuatan dan Pelaksanaan Hukum

Suatu norma yang mengatur pembuatan norma lain adalah dilaksanakan dalam pembuatan norma lain tersebut. Pembuatan hukum (Law Creating) adalah selalu merupakan pelaksanaan hukum (Law applying).[27] Adalah tidak benar mengklasifikasikan tindakan hukum sebagai tindakan pembuatan hukum dan tindakan pelaksanaan hukum. Normalnya pembuatan hukum dan pelaksanaan hukum terjadi dalam waktu yang sama. Pembuatan norma hukum adalah suatu pelaksanaan dari norma yang lebih tinggi, dan pelaksanaan norma hukum yang lebih tinggi normalnya adalah pembuatan suatu norma yang lebih rendah. Legislasi adalah proses pembuatan hukum menurut konstitusi sehingga juga merupakan pelaksanaan hukum. Pembuatan konstitusi pertama dapat dilihat sebagai suatu pelaksanaan norma dasar. Dengan demikian aktivitas hukum selalu melibatkan baik pembuatan maupun pelaksanaan. Hal ini berlaku baik pada legislatif, pengadilan, maupun organ administratif dalam suatu negara.

Kesesuaian atau ketidak kesesuaian antara keputusan pengadilan dengan  norma umum dan antara undang-undang dengan konstitusi serta jaminan konstitusi yang berkekuatan hukum (res judicata).

Norma yang lebih tinggi, undang-undang, atau norma hukum kebiasaan, sekurang-kurangnya menetapkan pembentukan dan isi dari norma keputusan pengadilan, yang kedudukannya lebih rendah. Norma yang lebih rendah, bersama-sama dengan norma yang lebih tinggi, termasuk ke dalam tata hukum yang sama hanya jika norma yang lebih rendah bersesuaian dengan norma yang lebih tinggi. Tetapi siapa yang harus menetapkan apakah norma yang lebih rendah sesuai dengan norma yang lebih tinggi , apakah norma khusus dari keputusan pengadilan  sesuai dengan norma umum dari hukum statusta dan hukum kebiasaan? Jawabannya adalah adalah harus ada satu pengadilan tingkat terakhir, yang diberi hak untuk memberikan keputusan akhir tentang perkara tersebut, yakni suatu otorita yang keputusannya tidak dapat dibatalkan atau diubah lagi. Dengan keputusan tertinggi ini, maka perkara menjadi res judicata (berkekuatan hukum) dan konstitusi menghendaki undang-undang sebagai valid hanya selama undang-undang itu belum dibatalkan oleh organ yang berkompeten atau menurut cara yang biasa.

            The unity of the legal order can never be endangered by any contradiction between a higher and a lower norm in the hierarchy of law.[28]

(Kesatuan tata hukum tidak pernah bisa terancam oleh suatu pertentangan antar norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah di dalam hirarkhi hukum).

Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:[29]

  1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
  2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
  3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
  4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[30]

Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[31]

Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[32]

1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.

3) Formell gesetz: Undang-Undang.

4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

BAB 3

KEDUDUKAN DAN KEABSAHAN SURAT EDARAN MENTERI

DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

3.1 Kedudukan Surat Edaran Menteri

Dalam rangka penyusunan tertib peraturan perundang-undangan, perlu dibedakan dengan tegas antara putusan-putusan yang bersifat mengatur (regeling) dari putusan-putusan yang bersifat penetapan administratif (beschikking).[33] Semua pejabat tinggi pemerintahan yang memegang kedudukan politis berwenang mengeluarkan keputusan-keputusan yang bersifat administratif, misalnya untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat, membentuk dan membubarkan kepanitiaan, dan sebagainya. Secara hukum, semua jenis putusan tersebut dianggap penting dalam perkembangan hukum nasional. Akan tetapi, pengertian peraturan perundang-undangan dalam arti sempit perlu dibatasi ataupun sekurang-kurangnya dibedakan secara tegas karena elemen pengaturan (regeling) kepentingan publik dan menyangkut hubungan-hubungan hukum atau hubungan hak dan kewajiban di antara sesama warganegara dan antara warganegara dengan negara dan pemerintah.

Elemen pengaturan (regeling)[34] inilah yang seharusnya dijadikan kriteria suatu materi hukum dapat diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan sesuai dengan tingkatannya secara hirarkis. Sebagai contoh, Keputusan Presiden mengangkat seseorang menjadi Menteri ataupun mengangkat dan memberhentikan seorang Pejabat Eselon I di satu Departemen, ataupun menaikkan pangkat seorang pegawai negeri sipil ke pangkat yang lebih tinggi. Contoh lain, misalnya, Keputusan Menteri yang menetapkan pembentukan Panitia Nasional peringatan hari ulang tahun Departemen tertentu, ataupun mengangkat dan memberhentikan pegawai negeri sipil, dan lain-lain sebagainya. Materi-materi yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden ataupun Keputusan Menteri seperti tersebut tidaklah mengandung elemen regulasi sama sekali. Sifatnya hanya penetapan administratif (beschikking).

Dalam arti luas, keputusan-keputusan tersebut memang mengandung muatan hukum, karena di dalamnya berisi hubungan-hubungan hak dan kewajiban dari para pihak yang terlibat di dalamnya yang terbit karena putusan pejabat yang berwenang dan juga didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah. Akan tetapi, untuk kepentingan tertib peraturan perundang-undangan, bentuk-bentuk hukum yang bersifat adminsitratif tersebut, sebaiknya disebut dengan istilah yang berbeda dari nomenklatur yang digunakan untuk bentuk-bentuk formal peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, yang termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan dalam arti sempit itu adalah UUD dan dokumen yang sederajat, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Pejabat setingkat Menteri. Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Bupati/Walikota, dan Peraturan Desa serta Peraturan Kepala Desa.

Sedangkan bentuk-bentuk putusann lainnya dapat dinamakan Ketetapan atau Keputusan dengan tingkatan yang sederajat dengan peraturan yang terkait. Misalnya, Ketetapan dan Keputusan MPR, meskipun bukan peraturan dalam pengertian yang baru, tetapi tingkatannya sederajat dengan UUD dan Naskah Perubahan UUD yang sama-sama merupakan produk MPR. Keputusan Presiden dapat disetarakan tingkatannya dengan Peraturan Presiden, Keputusan Menteri sederajat dengan Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur dengan Peraturan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota dengan Peraturan Bupati/Walikota, dan seterusnya. Mengingat tingkatannya sederajat dengan bentuk-bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang terkait (ambtsdrager), maka tidak ada salahnya apabila dalam susunan tata urut peraturan perundang-undangan yang baru nanti, bentuk keputusan administratif tersebut juga turut dicantumkan dengan pengertian bahwa putusan-putusan tersebut bersifat administratif (beschikking) dan tidak berisi pengaturan terhadap kepentingan umum (publik).[35] Keputusan-keputusan yang bersifat administratif ini tidak dapat kita kategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.

Di luar bentuk-bentuk peraturan yang bersifat mengatur itu, memang ada pula bentuk-bentuk peraturan yang disebut dengan ‘beleidsregels’ (policy rules) atau peraturan kebijakan. Bentuk peraturan kebijakan ini memang dapat juga disebut peraturan, tetapi dasarnya hanya bertumpu pada aspek ‘doelmatigheid’ dalam rangka prinsip ‘freis ermessen’ atau ‘beoordelingsvrijheid’,  yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum. Berdasarkan prinsip ini, sudah seyogyanya suatu pemerintahan itu diberikan ruang gerak yang cukup untuk berkreatifitas dalam usahanya melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, yang tidak selalu atau bahkan tidak mungkin ditentukan secara rinci dalam bentuk peraturan-peraturan yang kaku. Inilah yang pada mulanya menjadi dasar pembenar sehingga muncul Keputusan-Keputusan Presiden yang turut mengatur, meskipun bukan dalam arti ‘regeling’ (public regulation).[36] Akan tetapi, agar kita konsisten dan konsekwen mengikuti sistematika pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif secara tegas, saya mengusulkan kiranya prinsip ‘freis ermessen’ tersebut di atas tidak digunakan sepanjang menyangkut pembuatan peraturan dalam arti teknis. Prinsip kebebasan bertindak itu cukup diimplementasikan dalam bentuk Instruksi Presiden ataupun Keputusan-Keputusan yang tidak diperlakukan sebagai peraturan, yang salah satunya Surat Edaran Menteri

Apabila kita kaitkan dengan Surat Edaran Menteri, maka dapat diurai beberapa Kedudukan surat edaran Menteri adalah sebagai berikut :

  1. Surat Edaran Menteri Bukan Peraturan Perundang-undangan, hal itu dikarenakan Surat Edaran Menteri tidak memuat tentang Norma tingkah laku (Larangan, Perintah, Ijin dan pembebasan), Kewenangan (Berwenang dan tidak berwenang), dan penetapan.[37]
  2. Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak
  3. Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.
  4. Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma
  5. Surat Edaran merupakan suatu PERINTAH pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya.
  6. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edaran Menteri, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran.
  7. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena Surat Edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya:
    • Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak.
    • Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan.
    • Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
    • Dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
  8. Surat Edaran adalah suatu perintah atau penjelasan yang tidak berkekuatan hukum, tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya

3.3 Keabsahan Surat Edaran Menteri

Di dalam teori hukum biasanya dibedakan antara 3 macam hal berlakunya hukum sebagai kaidah, yaitu sebagai berikut:

  1. Hukum Berlaku Secara Yuridis,

Apabila ketentuannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau bial terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Sevenbergen), atau apabila menunjukkkan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann). Keberlakuan yurudis atau normatif suatu peraturan atau kaidah jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu kaidah hukum tertentu yang didalam kaidah-kaidah hukum saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. System kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan Hierarki kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah hukum umum. Di dalamnya kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi.[38]

Keberlakuan yurudis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan diperinci dalam syarat-syarat:

pertama, keharusan adanya kewenangan peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Jika tidak, maka peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum. Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Misalnya, peraturan perundang-undangan formal harus dibuat bersama-sama antara presiden dengan DPR, jika tidak, maka UU tersebut batal demi hukum.

Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atu peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalu diperintah oleh peraturan perundang-undangan lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan perundang-undangan tersebut. Misalnya, kalau UUD 1945 atau UU terdahulu menyatakan bahwa sesuatu harus diatur UU, maka dalam bentuk UU -lah hal itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya keputusan Presiden, maka keputusan tersebut dapat dibatalkan.

Ketiga, keharusan mengikuti tatacara tertentu. Apabila tatcara tersebut tidak diikuti, maka peraturan perundang-undangan tersebut batal, demi hukum atau tidak/belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Misalnya, peraturan daerah dibuat bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah, kalu ada peraturan daerah tanpa mencantumkan persetujuan DPRD, maka batal demi hukum. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu UU tidak boleh mengandung kaidah yang bertentang dengan UUD.[39]

Dalam kaitan dengan dasar berlaku secara yuridis dari peraturan perundang-undangan, maka Soerjojno Suekanto dan purnadi Purbacaraka Mengemukakan beberapa pendapat :

  1. Hans Kelsen, berpendapat bahwa setiap kaidah hukum berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya;
  2. zevenbergen, menyatakan bahwa kaidah hukum harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya; dan
  3. Logemann, kaidah hukum mengikat kalau menunjukkan hubungan keharusan (hubungan memaksa). Antara satu kondisi dengan akibatnya.[40]
  1. Hukum Berlaku Secara Sosiologis,

Apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah tadi berlaku karena diterima atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Dasar berlaku secara empiris/sosiologis maksudnya adalah jika para warga masyarakat mematuhi hukum dimana hukum itu diberlakukan. Keberlakuan empiris dapat dilihat melalui sarana penelitan empiris tentang perilaku warga masyarakat. Jiaka dari penelitan tersebut tampak bahwa masyarakat berperilaku dengan mengacu kepada keseluruhan kaidah hukum, maka terdapat keberlakuan empiris kaidah hukum. Dengan demikian, norma hukum mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. [41]

Dengan dasar sosiologis peraturan perundang-undangan yang dibuat dan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoretis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu:

  1. Teori kekuasaan secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
  2. Teori pengakuan, kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat temapat hukum itu berlaku.[42]

Terkait dengan keberlakuan empiris kaidah hukum dalam masyarakat Lawrence M. Friedman[43] menyatakan bahwa The legal system is not a machine, it is run by human being. Interpendensi fungsional selalu akan tampak dalam proses pemberlakuan / penegakan hukum. Lebih lanjut, Friedman menyebutkan bahwa paling tidak ada 3 faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi proses penegakan hukum, yakni: pertama, faktor substansi hukum dimaksudkan adalah aturan, norma, pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang. Kedua, faktor-faktor struktural dalam hal ini adalah bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia, misalnya kita berbicara tentang struktur sistim hukum Indonesia, maka termasuk didalamnya struktur institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Juga termasuk unsur struktur jumlah dan jenis pangadilan, yurisdiksinya jenis kasus yang berwenang untuk diperiksa, serta bagaimana dan mangapa. Jelasnya struktur bagaikan foto diam yang menghentikan gerak.

Ketiga, faktor kultural dalam hal ini sikap manusia dan sistim hukum kepercayaan, nilai pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran yang menentukan bagaiman hukum digunakan, dihindari, atau disalah gunakan. Tanpa kultur hukum, hukum tak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar dikeranjang dan bukan seperti ikan hidup dilaut.[44] Secara singkat cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut: (1) struktur di ibaratkan sebagai mesin; (2) substansi adalah apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin itu; dan (3) kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan

  1. Hukum tersebut berlaku secara filosofis

artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi (Soekanto, 1979: 46-47). Setiap masyarakat selalu mempunyai “Rechtsidee”, yakni apa yang masyarakat harapkan dari hukum, misalnya hukum menjamin adanya keadilan, kemenfaatan dan ketertiban, maupun kesejahteraan. Cita hukum atau rechtsidee tumbuh dalam sistem nilai masyarakat tentang baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakat dan lain sebaginya. Termasuk tentang pandangan dunia ghaib. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistim nilai baik sebagai sarana yang melindung nilai-nilai maupun sebagi saran mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.[45]

Menurut Rudolf Stammler, cita hukum adalah konstruksi pikiran yang merupakan keharuasan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Selanjutnya, Gustav Radbruch seorang ahli filsafat hukum seperti stammler dari aliran Neo-katian, menyatakan bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulative dan kontruktif. Tanpa cita hukum-hukum akan kehilangan maknanya.[46] Didalam pembentukan   peraturan perundang-undangan proses terwujudnya nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum ke dalam norma hukum tergantunh pada tingkat kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai tersebut oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan. Tiadanya kesadaran akan nilai-nilai tersebut akan terjadi kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang dibuat.

            Apabila dihubungkan dengan surat edaran menteri dikaitkan dengan keabsahan secara Yuridis, Filosofis dan Yuridis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Secara Yuridis pengaturan mengnai Surat Edaran Menteri tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun, namun bagian dari freis ermessen dari pemerintah untuk mengeluarkan apapun yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan manapun.
  2. Secara Filosofis, surat edaran menteri merupakan hal yang merupakan kebutuhan teknis untuk memperjelas norma-norma yang ada diatasnya yang belum jelas, sehingga diatur lebih lanjut melalui surat edaran.
  3. Secara Sosiologis, surat edaran menteri sangat dibutuhkan dalam kondisi yang mendesak dan untuk memenuhi kekosongan hukum, akan tetapi jangan sampai peraturan menteri bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Dengan demikian apabila dipertanyakan tentang keabsahannya, maka dapat disimpulkan bahwa surat edaran menteri tetap harus dianggap sah sepanjang mengatur tingkat internal vertikal pejabat tata usaha negara dilingkungannya, dengan tetap mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis dan sosiologis dalam pembentukan dan pelaksanaannya dilapangan.

BAB 4

PENUTUP

4.1 Simpulan

  1. Kedudukan Surat Edaran Menteri dalam sistem hukum di Indonesia, bukan termasuk sebagai kategori Peraturan Perundang-Undangan, hal itu dikarenakan surat edaran menteri tidak memenuhi unsur-unsur sebagai norma hukum.
  2. Keabsahan surat edaran menteri harus tetap dianggap sah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tingi dengan tetap mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis dan sosiologis dalam pembentukan dan pelaksanaannya

4.2 Saran

  1. Diharapkan ius constitutum Indonesia lebih memperjelas dan mempertegas lagi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga produk surat edaran dapat diminimalisir, apabila belum dapat dilaksanakan maka diupayakan agar terdapat pemisahan antara produk hukum yang bersifat mengatur dan bersifat penetapan.
  2. Keabsahan surat edaran menteri harus tertuang secara resmi dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat menimbukan multi tafsir tentang keberadaannya

                [1] Rosjidi Ranggawidjaja, Pedoman Teknik Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Cita Bhakti Akademia, Bandung, 1996, hlm. 19

                [2] M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, CV. Mandar Maju, Bandung, 1995, Hal 26

                [3] Slamet Effendy yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, Hal 43

                [4] NPD Sinaga, Probmatika SEMA, artikel dalam forum keadilan, tanggal 3 Mei 2011. Hal 37

                [5] Mustamin DG. Matutu. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal 86

                [6] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, Hal.57

                [7] Untuk lebih lebih jelasnya tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum normatif bandingkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hal. 14 dengan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada media, Jakarta, 2006, Hal. 93-137 dan Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-321

                [8] Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, Hal. 141

                [9] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op Cit, Hal.13

                [10] Soerjono Soekanto, Op Cit, Hal. 52

                [11] Metode induktif adalah metode yang merupakan kesimpulan-kesimpulan umum yang diperoleh berdasarkan proses pemikiran setelah mempelajari peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret. Untuk lebih jelasnya baca : Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 60

[12] Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell, 1945

[13] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta, Kanisius, 1998, hlm., 6.

[14] Kelsen, Hans, Op.Cit, hlm. 35

[15] Maria Farida Indrati Suprapto, Op.Cit. hlm. 6

[16] Kelsen, Hans, Op.Cit, hlm. 123-124

[17] Kelsen, Hans, Op.Cit, hlm. 124

[18] Kelsen, Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 8

[19] Kelsen, Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 10

[20] Kelsen, Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 11

[21] Kelsen, Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 12

[22] Rommen, Heinrich A., The Natural Law: A Study in Legal And Social History and Philosophy, Indianapolis, Liberty Fund, 1998 hal.128. dalam Jimly Asshiddiqie, Teori hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hal.111

[23] Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hal.111

[24] Kelsen, Hans, General Theory…, Op.Cit., Hal. 124-125

[25] Astim Riyanto, Op.Cit. hlm. 154

[26] Astim, Riyanto, Ibid, hal.125

[27] Jimly Assiddiqie, Loc.Cit., hal.118

[28] Ibid, 162.

[29] A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.

[30] Ibid.

[31] Ibid., hlm. 359.

[32] Ibid

                [33] Bagir Manan, Kecendrungan Histories Pasal 18 UUD 1945, UNISCA, Jakarta, hal.3.

                [34] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal.37.

                [35] Artikel Taufiqurrohman Syahuri dalam buku Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, The Biography Institute, Bekasi, 2007, hal. 144.

                [36] Ridwan. HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hal.68-69.

                [37] M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung, hal.8

[38] Keberlakuan Yuridis Sebuah Kaidah Hukum Tidak Dapat Dilepaskan Dari Teori Hukum murni (Reine Rechtlehre) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Lebih Lanjut perhatikan J.J.H. Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm. 150-152.

[39] Bagir Manan, Dasar-Dasar…Op, cit., hlm. 14-15.

[40] Soerjono S. purnadi P., Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 88-89.

[41] Bruggink, Op, cit, hlm, 149-150.

                [42] Soerjono S. dan Purnadi p., Perihal. . . Op. cit., hlm. 91-92.

                [43] Lawrence M. Friedman, 1975. The Legal System: Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation.

                [44] Ibid.

                [45] Bagir Manan, Dasar-dasar . . . Op, cit. hlm. 17.

                [46] Baca Esmi Warassih P. 2001. “Fungsi Cita Hukum Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yang Demokratis” Dalam Arena Hukum Majalah Hukum FH Unubraw No. 15 Tahun 4, November 2001, hlm, 354-361.