Menjual buah buahan yang masih muda atau masih bunga di pohon dalam Islam hukumnya

Ats-Tsamar yang dimaksud di sini bukan hanya buah-buahan (al-fawâkih), tetapi hamlu asy-syajar, yakni buah hasil tanaman, sehingga mencakup buah-buahan dan selain buah-buahan.

Menjual buah hasil tanaman bisa terjadi dalam empat kondisi. Pertama: setelah buah dipanen/dipetik. Penjualannya seperti jual beli biasa dan atasnya berlaku hukum-hukum jual-beli umumnya. Kedua: dalam bentuk baiy’ as-salam, yakni jual-beli pesanan. Dalam hal ini, buah tersebut belum ada pada penjual. Buah itu berada dalam tanggungan penjual dan akan dia serahkan setelah jangka waktu yang disepakati. Hanya saja, buah tersebut haruslah buah yang biasanya dijual dengan standar hitungan/jumlah, takaran atau timbangan. Dalam hal ini berlaku terhadapnya hukum-hukum jual-beli pesanan (bay’ as-salam), termasuk harga harus dibayar di muka, dan tidak boleh diutang. Ketiga: dalam bentuk menjual buah yang masih di pohon dan belum dipetik. Artinya, menjual buah yang masih ada di pohon-pohon tertentu baik satu ataupun banyak pohon, yang ada di kebun tertentu, baik kebun itu luas atau sempit.

Dalam hal ini Jabir bin Abdullah ra telah meriwayatkan bahwa Rasul saw. bersabda:

« أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ »

Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang menjual buah hingga mulai tampak kelayakannya (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).

Manthûq (makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah (ats-tsamar/hasil tanaman) yang masih berada di pohonnya jika belum mulai tampak kelayakannya. Sebaliknya, mafhûm al-mukhâlafah (pemahaman kebalikan) dari hadis ini menunjukkan kebolehan menjual buah yang masih di pohonnya jika sudah mulai tampak kelayakannya.

Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya. Dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan, “hatta yathîba (hingga masak)” (HR al-Bukhari dan Muslim), atau “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i). Dalam riwayat Jabir bin Abdullah ra. menuturkan:

« نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ فَقِيلَ وَمَا تُشْقِحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا »

Nabi saw. telah melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ibn ‘Abbas ra. menuturkan:

« نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يُؤْكَلَ مِنْهُ أَوْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَحَتَّى يُوزَنَ »

Nabi saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan atau orang bisa makan darinya dan hingga bisa ditimbang (HRal- Bukhari).

Jadi batasan kebolehan buah yang masih ada di pohonnya itu untuk bisa dijual adalah jika buah itu sudah mulai layak dimakan atau dikonsumsi. Ini sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Ada kalanya buah itu dikonsumsi meski masih mentah dan muda, contohnya adalah buah mangga jenis tertentu untuk rujak, atau buah nangka untuk dijadikan sayur. Jika buah tersebut bisa dikonsumsi ketika masih muda dan ketika sudah masak, semisal nangka, ketika menjual buah nangka itu dan masih berada di pohonnya, maka harus jelas buah itu dijual untuk sayur atau untuk dikonsumsi ketika masak. Jika dijual untuk sayur, yakni masih muda maka tidak boleh dibiarkan ditunggu hingga tua dan masak.

Batasan buah itu layak dikonsumsi mengikuti tradisi pengkonsumsiannya di masyarakat. Tanda-tanda buah itu sudah layak atau bisa dikonsumsi berbeda-beda sesuai dengan jenis buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:

« أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ »

Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang menjual anggur hingga warnanya menghitam dan menjual biji-bijian hingga sudah keras (HR Abu Dawud).

Buah-buahan secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang, pepaya, dsb. Jika sudah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua, buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak. Jika belum tampak tanda-tanda seperti itu, lalu buah jenis ini dipetik, maka tidak bisa masak. Buah-buahan jenis ini, jika sudah tampak tanda-tanda perubahan warna itu yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski masih di pohonnya.

Kedua: buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu, salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya. Jika sudah seperti itu maka buah yang masih di pohonnya boleh dijual. Jika dipetik sebelumnya, buah itu tidak bisa masak. Batas tersebut, yakni kapan buah itu sudah masak dan bisa dikonsumsi, bisa diketahui dengan mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.

Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang panjang, dsb, yang jika bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi sehingga sudah boleh dijual. Adapun jenis biji-bijian seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas sudah boleh dijual ketika sudah keras.

Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di kebun. Hal itu sangat sulit. Pasalnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan. Namun, ketuaan dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi tua/masak. Jadi maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah jika ada sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun yang belum. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis buah. Misal, jika sudah ada sebagian mangga yang sudah layak petik, yakni jika dipetik akan bisa masak, maka semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi buah, maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh dijual baik yang sudah ada maupun yang belum ada. Jika ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik maka seluruh jagung manis di kebun itu boleh dijual, begitulah.

Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin, hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli. Jabir bin Abdullah ra., berkata: Nabi saw. bersabda:

«إِنْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ »

Jika engkau menjual buah kepada saudaramu lalu terkena bencana maka tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta saudaramu tidak secara haq(HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai).

Namun, jika bencana itu bukan bencana cuaca seperti pencurian, kekeringan karena kerusakan pompa, gempa, banjir, kebakaran, dsb, maka penjual tidak harus melepaskan harganya. Pasalnya, bencana seperti itu tidak termasuk dalam cakupan makna hadis tersebut.

Semua itu, jika buah yang masih ada di pohon itu sudak tampak kelayakannya untuk dikonsumsi, maka boleh dijual. Adapun jika belum tampak kelayakannya untuk dikonsumsi maka buah yang masih di pohon itu tidak boleh dijual. Hal itu sesuai dengan hadis-hadis di atas. Ini jika yang dijual adalah buahnya sendiri, tanpa pohonnya.

Keempat: menjual pohon dan buahnya. Dalam hal ini ada perbedaan antara kurma dan selainnya. Untuk kurma berlaku sabda Rasul saw.:

«مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ»

Siapa saja yang menjual kurma setelah diserbukkan maka buahnya untuk penjual, kecuali disyaratkan oleh pembeli (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan at-Tirmidzi).

Jadi jika sudah diserbukkan maka buah kurma itu tidak mengikuti pohonnya. Jika pohonnya dijual maka buahnya milik penjual kecuali disyaratkan buahnya masuk dalam penjualan pohonnya itu. Adapun jika pohon itu dijual dan belum diserbukkan maka buahnya menjadi milik pembeli. Dalam hal ini yang menjadi patokan adalah penyerbukan buatan itu. Karena itu, pohon semisal yang memerlukan penyerbukan buatan seperti salak, maka bisa diperlakukan seperti kurma tersebut.

Adapun pohon selain kurma dan yang sejenis, maka buahnya mengikuti pohon. Jadi jika pohonnya dijual maka buah yang ada di pohon itu termasuk dalam penjualan itu sehingga buahnya menjadi milik pembeli pohon tersebut. Misal, siapa yang membeli pohon mangga, durian dan lainnya, dan sedang berbuah, maka buahnya menjadi milik pembeli.

Inilah ketentuan tentang jual beli buah secara ringkas. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

oleh : Yahya Abdurrahman

بسم الله الرحمن الرحيم 

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Menjual Buah Yang Masih di Pohon

Kepada Shifan Abdul Hamid

Soal:

Syaikhuna dan amiruna, assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Di negeri kami ada praktek penjualan hasil dari pohon itu sendiri sebelum dipanen. Sebagai contoh, seperti cengkeh, lada, kelapa, dsb, dijual dengan model seperti itu. Pemilik tanah akan menanam, mengairi dan memupuk tanaman tersebut untuk memaksimalkan hasil. Ketika sudah berbuah di pohon, buah itu dijual dengan harga yang diestimasi, sehingga pembeli harus memanen buah itu dan menjualnya pada waktu yang tepat. Pembeli akan membayar harga yang disepakati kepada penjual (pemilik tanah) sebelum memanen. Ketika penjualan sudah terjadi (harga disepakati antara penjual dan pembeli), penjual (pemilik tanah) tidak bertanggungjawab pada produksi sama sekali. Pembeli bisa memanennya segera atau dia bisa menundanya sampai masak. Tetapi menjadi tanggungjawabnya untuk melindungi tanaman (dari hewan, pencuri, dsb). Apakah praktek seperti ini dibolehkan oleh Islam? Semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda dan menganugerahi kemenangan untuk umat di bawah kepemimpinan Anda. Selesai.

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya pahami pertanyaan Anda bahwa Anda bertanya tentang penjualan buah yang masih di pohon. Artinya seseorang datang kepada pemilik pohon lalu mengatakan kepadanya, “Saya ingin membeli buah pohon Tin ini selama musim ini, maka buah yang masih di pohon itu untuk saya. Saya makan dan saya jual sampai berhenti buah pohon tersebut pada musim ini. Dan keduanya bersepakat atas kompensasi (harga) tertentu… Dan Anda bertanya apakah ini boleh.

Jika pemahaman saya ini benar maka jawabannya sebagai berikut:

Benar, muamalah ini tersebar di sejumlah negeri kaum Muslim dan di dalam fikih disebut “bay’ ats-tsamâr wa hiya ‘alâ ushûlihâ –menjual buah yang masih di pohon-“ dan di masyarakat umum disebut “dhimân asy-syajar –menjaminkan pohon-“… Ini adalah boleh, tetapi dengan syarat buah itu telah mulai layak dan tidak perlu semuanya masak sebab buah di pohon itu tidak masak sekaligus semuanya secara bersamaan. Saya kutipkan sebagian dalil dan rincian yang ada di kitab kami asy-Syakhshiyyah juz ii bab “bay’ ats-tsamâr wa hiya ‘alâ ushûlihâ”:

(Dan hukum syara’ pada penjaminan ini yakni pada penjualan buah yang ada di pohon dan buah itu masih di pohonnya maka ada rincian. Hal itu dilihat pada buah tersebut. Jika telah tampak kelayakannya, yakni menjadi mungkin dimakan (dikonsumsi), maka boleh menjaminkannya yakni boleh menjual buah tersebut dalam kondisi ini. Jika buah itu belum tampak kelayakannya, yakni belum bisa dimakan, maka tidak boleh menjualnya. Hal itu karena apa yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir ra, ia berkata:

«نَهَى رَسُوْلُ اللهَ ﷺ عَنْ بَيْعِ الثَّمْرِ حَتَّى يَطِيْبَ»

“Rasulullah saw melarang menjual buah sampai enak”.

Dan karena imam Muslim juga meriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata:

«نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ﷺ ... وَعَنْ بَيْعِ الثَّمْرِ حَتَّى يَبْدُوْ صَلاَحُهُ»

“Rasulullah saw melarang … dan dari menjual buah sampai tampak kelayakannya”.

Dan apa yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari Jabir ra, ia berkata:

«نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشَقِّحَ . فَقِيلَ مَا تُشَقِّحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا»

“Nabi saw melarang dari dijualnya buah sampai tusyaqqih. Maka dikatakan, apa tusyaqqih? Beliau bersabda: “memerah atau menghijau dan bisa dimakan”.

Dan karena apa yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari Anas bin Malik dari Nabi saw:

« أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا، وَعَنِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ، قِيلَ وَمَا يَزْهُو قَالَ يَحْمَارُّ أَوْ يَصْفَارُّ »

“Bahwa Beliau melarang menjual buah sampai tampak kelayakannya, dan dari menjual kurma sampai yazhû”. Dikatakan, apa itu yazhû? Beliau bersabda: “memerah atau menghijau”.

Dan juga karena apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik:

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تُزْهِىَ . فَقِيلَ لَهُ وَمَا تُزْهِى قَالَ حَتَّى تَحْمَرَّ . فَقَالَ « أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ ، بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ »

“Bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah sampai tuzhî”. Maka dikatakan kepada beliau, apa tuzhî itu? Beliau bersabda: “sampai memerah”. Lalu Beliau bersabda: “bagaimana pendapatmu jika Allah melarang buah, dengan apa salah seorang dari kalian mengambil harta saudaranya?”

Dan karena apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw:

«نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَارِ حَتَّى يَبْدُوْ صَلاَحُهَا، نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ»

“Rasulullah melarang menjual buah sampai tampak kelayakannya, beliau melarang pembeli dan penjual”.

Dan dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ وَعَنِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ »

“Rasulullah melarang menjual kurma sampai memerah dan dari menjual Sunbul sampai memutih dan aman dari cacat”.

Hadits-hadits ini semuanya jelas dalam hal larangan menjual buah sebelum matang. Dari manthuq hadits-hadits ini diistinbath tidak bolehnya menjual buah sebelum tampak kelayakannya. Dan dari mafhumnya diistinbath bolehnya menjual buah jika tampak kelayakannya. Dengan demikian maka menjaminkan pohon yang telah tampak buahnya seperti Zaitun, limun, kurma dan lainnya boleh jika mulai bisa dimakan, dan tidak boleh jika belum bisa mulai dimakan.

Tampak kelayakannya dalam hal buah tersebut adalah bisa dimakan. Hal itu dipahami dari hadits-hadits yang dinyatakan dalam hal itu. Dari pendalaman dalam hadits-hadits yang dinyatakan tentang larangan menjual buah sebelum tampak kelayakannya, kita temukan bahwa di situ ada sejumlah penjelasan. Dalam hadits Jabir dinyatakan:

«حَتَّى يَبْدُوْ صَلاَحُهُ» وَوُرِدَ: «حَتَّى يَطِيْبَ»

“sampai tampak kelayakannya” dan dinyatakan “sampai menjadi enak”.

Dan dalam hadits Anas:

«نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ»

“Rasulullah saw melarang menjual anggur sampai menghitam dan dari menjual biji sampai mengeras” (HR Abu Dawud).

Dan dalam hadits Jabir lainnya:

«حَتَّى تُشَقِّحْ»

“Sampai memerah”.

Dan dalam hadits Ibnu Abbas:

«حَتَّى يُطْعَمَ»

“sampai bisa dimakan”.

Atas dasar itu, semua hadits yang banyak itu menyatakan makna yang sama, yaitu sampai mulai bisa dimakan. Dengan memperhatikan fakta buah, bisa dilihat bahwa mulai bisa dimakan pada buah-buah itu berbeda-beda antar buah. Ada yang mulai bisa dimakan dengan tanda perubahan warnanya secara nyata sehingga tampak apa yang menunjukkan matang, seperti Kurma, Tin, Anggur, Pear dan lainnya. Ada yang tampak jelas matang dengan perubahannya atau dengan pengamatan oleh mereka yang pengalaman seperti Semangka, karena sulitnya diketahui perubahan warna masaknya. Ada juga yang jelas bisa dimakan dengan perubahannya dari bunga menjadi buah seperti mentimun dan sejenisnya. Berdasarkan hal ini maka yang dimaksud dari tampak kelayakannya pada setiap buah itu adalah tampak kelayakannya untuk dimakan. Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas ra, bahwa ia berkata:

«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَأْكُلَ مِنْهُ أَوْ يُؤْكَلَ»

“Rasulullah saw melarang menjual kurma sampai ia bisa makan darinya dari bisa dimakan”.

Sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Muttafaq ‘alayh dari riwayat Jabir:

«حَتَّى يَطِيْبَ»

 “sampai menjadi enak”.

Dari ini jelaslah kebolehan menjual buah mentimun dan sejenisnya, yakni kebolehan menjaminkan kebun mentimun semata karena mulai memberikan buah, yakni semata mulai berubah bunganya menjadi buah mentimun sehingga Anda membeli buah yang masih berupa bunga dan sebelum berbunga, artinya Anda membeli buah dalam kondisi ini sebelum ada semata karena sebagiannya mulai ada. Ini bukan dari sisi menjual sesuatu yang tidak ada (bay’ al-ma’dûm) sebab buahnya datang belakangan dan tidak ada secara sekaligus. Maka buah di kebun mentimun dijual seluruhnya dari seluruh musimnya apa yang ada dan yang belum ada sama sekali. Sebab tidak ada perbedaan antara tampak kelayakan buah dengan memerah seperti Kurma, atau menghitam seperti Anggur, atau dengan berubah warna seperti Pear; dengan yang tampak kelayakannya dengan munculnya sebagiannya dan diikuti bunga-bunga sebagian lainnya dan munculnya buah lainnya. Hanya saja, buah yang mulai berubahnya bunga tidak dianggap sebagai buah seperti halnya Melon, tidak boleh yang demikian. Jadi tidak boleh menjual Almond yang masih berupa bunga, dan tidak boleh menjual Tin yang masih muda sebelum mulai matang. Yang dimaksud menjualnya adalah menjualnya sementara buah itu masih di pohon, yakni menjaminkan pohon, sebab menjual buah yang masih di pohon itu dibatasi buah itu tampak kelayakannya yakni dengan tampaknya sesuatu yang menunjukkan mulai matangnya buah tersebut.

Dan maksud tampak kelayakannya itu bukanlah tampak kelayakan semua buah, karena hal itu mustahil. Sebab buah itu masak sebutir demi sebutir atau sebagian demi sebagian kemudian berturut-turut sampai seluruhnya. Maksud tampak kelayakan itu bukan di satu kebun seluruhnya dan bukan tampak kelayakan seluruh kebun. Akan tetapi, yang dimaksud tampak kelayakannya adalah tampak kelayakan jenisnya jika tidak berbeda jenis (satu jenis buah), dengan matang seperti Zaitun; atau tampak kelayakan jenisnya jika berbeda jenisnya seperti Tin dan Anggur. Misalnya, tampak layak sebagian buah Kurma di kebun maka boleh menjual buah Kurma itu seluruhnya di seluruh kebun itu. Jika tampak layak satu jenis Apel di sebagian pohon maka boleh menjual jenis Apel itu di seluruh kebun tersebut. Jika tampak layak buah Zaitun di beberapa pohon suatu kebun maka boleh menjaminkan Zaitun dari seluruh kebun itu. Sebab hadits mengatakan:

«نَهَى عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ وَعَنِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ»

“Rasulullah melarang menjual kurma sampai memerah dan dari menjual Sunbul sampai memutih dan aman dari cacat”.

 Dan hadits mengatakan:

«نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ»

“Rasulullah saw melarang menjual anggur sampai menghitam dan dari menjual biji sampai mengeras” (HR Abu Dawud).

Jadi hadits menjelaskan hukum buah setiap jenis dan setiap macamnya. Hadits mengatakan dalam biji “hattâ yasytadda –sampai mengeras-“, pada Anggur hitam “hattâ yaswadda –sampai menghitam-“. Jadi hukum tersebut bergantung pada tampaknya kelayakan setiap jenis dengan tidak memperhatikan jenis lainnya, dan setiap macam tanpa memperhatikan macam lainnya. Kalimat tampak kelayakan yang ada di dalam hadits pada satu jenis dan satu macam berlaku pada sebagian buah betapapun sedikitnya, apalagi bahwa fakta buah menunjukkan tampak kelayakannya itu berturut-turut (tidak sekaligus berbarengan).

Dari yang demikian menjadi jelas bahwa tidak boleh menjaminkan suatu buah, yakni menjual buah suatu pohon sebelum tampak kelayakannya…

Saya berharap jawaban telah menjadi jelas.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

17 Jumadul Ula 1438 H

14 Februari 2017 M

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/42176.html#sthash.1H6fcasu.dpuf

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/587932591403816/?type=3&theater