Show
Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah pada tanggal 26 April 2019 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 75 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly di Jakarta pada tanggal 29 April 2019. Dasar hukum UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah ini adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjelasan Umum UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan UmrahDalam Penjelasan UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah dikatakan bahwa Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, sosial, maupun finansial dan sekali dalam seumur hidup. Pelaksanaan Ibadah Haji merupakan rangkaian ibadah keagamaan yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang mengatur tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti. Selain itu, semakin meningkatnya jumlah warga negara untuk menunaikan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah, perlu peningkatan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktik Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, selama ini masih ditemukan beberapa kelemahan, baik dalam aspek regulasi dan tata kelola kebijakan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan jemaah, maupun pengawasan terhadap pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan aturan dan perbaikan dalam praktik penyelenggaraannya, sehingga Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dapat dilaksanakan dengan aman, nyaman, tertib, lancar, dan sesuai dengan syariat, serta menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik untuk sebesar-besar kemanfaatan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan dan perbaikan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Perbaikan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah tidak cukup hanya sebatas pada perbaikan kualitas pelayanan terhadap jemaah tetapi perbaikan tersebut harus menyentuh seluruh aspek yang ada di dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Adapun pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Jemaah Haji, Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler, BPIH, KBIHU, Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, Penyelenggaraan Ibadah Umrah, koordinasi, peran serta masyarakat, penyidikan, larangan, dan ketentuan pidana.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah diterbitkan dengan pertimbangan:
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah berasaskan:
Pasal 3Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah bertujuan:
Jemaah Haji berkewajiban:
Perencanaan Ibadah Haji Reguler meliputi:
Menteri melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Kuota petugas haji daerah menggunakan kuota haji Indonesia. Pasal 25
Pasal 26Ketentuan lebih lanjut mengenai PPIH dan petugas haji daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3PengawasPasal 27
Pasal 28
Paragraf 4Misi Haji IndonesiaPasal 29
Bagian KeempatPelaksanaanParagraf 1PendaftaranPasal 30
Paragraf 2Dokumen Perjalanan Ibadah HajiPasal 31
Paragraf 3PembinaanPasal 32
Pasal 33
Paragraf 4Pelayanan KesehatanPasal 34
Paragraf 5Pelayanan TransportasiPasal 35
Pasal 36
Pasal 37Pelayanan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 wajib memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi serta melaksanakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 38
Paragraf 6Pelayanan AkomodasiPasal 39
Paragraf 7Penyediaan KonsumsiPasal 40
Paragraf 8PelindunganPasal 41
Pasal 42
Bagian KelimaEvaluasi dan PelaporanPasal 43
BPIH bersumber dari Bipih, anggaran pendapatan dan belanja negara, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 45
Bagian KeduaPembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah HajiPasal 46
Pasal 47
Bagian KetigaPenetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah HajiPasal 48
Bagian KeempatPembayaran dan Pengembalian Setoran Jemaah HajiPasal 49
Pasal 50
Bagian KelimaPelaporanPasal 51
BAB VKELOMPOK BIMBINGAN IBADAH HAJI DAN UMRAHPasal 52
Pasal 53
Pasal 54
Pasal 55Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan memperoleh izin KBIHU, evaluasi, standardisasi bimbingan dan pendampingan, serta akreditasi KBIHU diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 56
BAB VIPENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUSBagian KesatuUmumPasal 57Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh PIHK. Bagian KeduaPersyaratanPasal 58Untuk mendapatkan izin menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan:
Pasal 59
Pasal 60Pembukaan kantor cabang PIHK harus dilaporkan kepada Menteri melalui Kementerian Agama di kabupaten/kota setempat. Pasal 61Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK, izin PIHK, dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KetigaHak dan Kewajiban Penyelenggara Ibadah Haji KhususPasal 62PIHK berhak mendapatkan:
Pasal 63
Bagian KeempatKuota Haji KhususPasal 64
Pasal 65
Pasal 66Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian kuota haji khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 64 dan pengisian sisa kuota haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 67
Bagian KelimaBiaya Perjalanan Ibadah Haji KhususPasal 68
Pasal 69
Pasal 70
Bagian KeenamPetugasPasal 71
Pasal 72Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KetujuhPendaftaran dan PenundaanPasal 73
Pasal 74Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran, pemberangkatan Jemaah Haji Khusus berdasarkan nomor urut pendaftaran, pengecualian bagi Jemaah Haji Khusus lanjut usia yang dapat diberangkatkan, dan penundaan keberangkatan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KedelapanDokumen Perjalanan Ibadah Haji KhususPasal 75
Bagian KesembilanPembinaanPasal 76
Bagian KesepuluhPelayanan KesehatanPasal 77
Bagian KesebelasPelayanan TransportasiPasal 78
Bagian Kedua BelasPelayanan Akomodasi dan KonsumsiPasal 79
Bagian Ketiga BelasPelindunganPasal 80
Pasal 81
Bagian Keempat BelasPelaporanPasal 82
Bagian Kelima BelasPengawasan dan EvaluasiPasal 83
Pasal 84Ketentuan mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam BelasAkreditasiPasal 85
Setiap orang yang akan menjalankan Ibadah Umrah harus memenuhi persyaratan:
Bagian KeduaHak Jemaah UmrahPasal 88Jemaah Umrah berhak memperoleh pelayanan dari PPIU meliputi:
Bagian KetigaPenyelenggara Perjalanan Ibadah UmrahPasal 89Untuk mendapatkan izin menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan:
Pasal 90
Pasal 91
Pasal 92Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeempatHak dan Kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah UmrahPasal 93PPIU berhak mendapatkan:
Pasal 94PPIU wajib:
Pasal 95
Bagian KelimaPelindunganPasal 96
Pasal 97
Pasal 98Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pelindungan PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dan Pasal 97 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeenamPengawasan dan EvaluasiPasal 99
Pasal 100Pengawasan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dilaksanakan secara terpadu dengan kementerian/lembaga terkait. Pasal 101
Pasal 102Dalam hal hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah terdapat dugaan tindak pidana, hasil pengawasan dan evaluasi disampaikan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. Bagian KetujuhAkreditasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah UmrahPasal 103Menteri menetapkan standar akreditasi PPIU. Pasal 104
Pasal 105Menteri memublikasikan hasil akreditasi PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 kepada masyarakat. Pasal 106Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIIIKOORDINASIPasal 107
Pasal 108
Pasal 109Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IXPERAN SERTA MASYARAKATPasal 110
Pasal 111
BAB XPENYIDIKANPasal 112
BAB XILARANGANPasal 113Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai penerima setoran Bipih. Pasal 114Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus. Pasal 115Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah. Pasal 116Setiap Orang dilarang memperjualbelikan kuota Haji Indonesia. Pasal 117Setiap Orang dilarang tanpa hak melakukan perbuatan mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah. Pasal 118PIHK dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus. Pasal 119PPIU dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah. BAB XIIKETENTUAN PIDANAPasal 120Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai penerima pembayaran Bipih, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 121Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 122Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 123Setiap Orang yang memperjualbelikan kuota Haji Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Pasal 124Setiap Orang yang tanpa hak mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Pasal 125PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 126PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). BAB XIIIKETENTUAN PERALIHANPasal 127Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
BAB XIVKETENTUAN PENUTUPPasal 128Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 129Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Komisi Pengawas Haji Indonesia dan Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dinyatakan bubar serta fungsi dan tugasnya dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 130Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 131Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 132Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah |