Mengapa mereka menyebut dirinya orang kejeroan

Banten - Suku Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten sejak dulu terkenal teguh dalam mempertahankan tradisinya. Namun, saat ini kondisinya mulai tertekan akibat hak adat mereka mulai terganggu.Begitulah kira-kira, gambaran kondisi Suku Badui yang mendiami kawasan Pegunungan Keundeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten."Kamari mah sok aya anu ganggu wilayah kami, pan iyeu mah teu meunang, kan aya paraturanana ti pamarintahan, ti bapak gede (Kemarin suka ada yang mengganggu wilayah kita, ini kan sebenarnya tidak boleh, karena sudah ada peraturannya dari Gubernur Banten dan Bupati Lebak)," ujar seorang warga badui yang ditemui detikcom di Kampung Ciboleger, Desa Kanekes, beberapa waktu lalu.Kepala Desa Kanekes Jaro Dainah juga mengungkapkan hal yang sama tentang kondisi di wilayah Badui. Menurutnya, sejak beberapa tahun belakangan kerap terjadi perusakan lingkungan, baik hutan dan tanaman oleh warga di luar badui.Dainah mengatakan, warganya merasa resah melihat kenyataan tersebut, apalagi belakangan beberapa kasus kejahatan juga menimpa warganya. Kerusakan terparah terjadi di wilayah perbatasan Kecamatan Leuwidamar, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang."Kalau ini dibiarkan tentu warga kami jadi sengsara, karena hutan pada gundul dan tanaman banyak yang rusak," ungkap Dainah.Menurut Dainah, warga Badui memang memiliki prinsip hidup cinta damai dan tidak mau berkonflik. Namun begitu, dirinya tetap meminta agar pemerintah, khususnya pemerintah daerah untuk melindungi warga Badui."Kalau ini tidak ditindak aparat penegak hukum, kami khawatir bisa terjadi kekerasan kepada warga kami," ucap Dainah yang saat ditemui sedang mengenakan baju pangsi hitam dan ikat kepala biru.Selain kerusakan lingkungan, lanjut Dainah, selama ini banyak hewan ternak yang sering masuk ke areal pertanian Badui. Apalagi bila musim kemarau, banyak pemilik hewan melepaskan piaraanya ke kawasan hutan dan pertanian Badui, terutama di sekitar wilayahperbatasan Kecamatan Leuwidamar, Kecamatan Sobang, Kecamatan Cigembong dan Kecamatan Sobang.Tidak hanya itu, perusakan hutan dan tanaman di kawasan Badui terus berlanjut antara lain di Desa Karangcombong, Desa Parakanbesi, Desa Sukajadi, Desa Kebon Cau dan Desa Nayagati."Bagi kami masalah ini sangat sulit, di satu sisi kami tidak mau ribut dengan warga luar, di sisi lain kehidupan kami semakin terancam dengan rusaknya alam dan tanaman milik kami," imbuh Dainah.Jaro Dainah mengungkapkan, keberadaan hak tanah ulayat (adat) suku Badui sudah diatur melalui Perda No 35/2001 tentang perlindungan atas hak ulayat masyarakat Badui yang dikeluarkan Pemkab Lebak.Masyarakat Badui memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.000 hektar yang terletak di Pegunungan Keundeng. Dalam pasal 1 disebutkan, perlindungan adalah suatu rangkaian kegiatan Pemkab Lebak dan masyarakat dalam menjaga tatanan masyarakat Badui. Sedangkan bagi yang mengganggu, merusak dan menyerobot lahan adat ini akan dikenakan sanksi 6 bulan penjara dan denda Rp 5 juta sesuai pasal 9.Namun kenyataan di lapangan, lanjut Dainah, perda yang merupakan janji 'Bapak Gede' (pejabat) di Rangkasbitung dan Serang hanyalah tulisan di atas kertas putih. Ternyata, masih banyak kegiatan penebangan hutan dan pembuatan kolam dan sawah. Bahkanlahan-lahan tersebut sudah milik orang di luar warga Badui dengan bukti kepemilikan sertifikatnya."Lamun Bapak Gede tidak percaya, silakan lihat di kanyataana (kenyataannya)," kata Jaro Dainah.Suku Badui, Orang KanekesKadang kala suku Badui juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng.Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang. Tidak begitu mengherankan, untuk mencapai lokasi diperlukan waktu sekitar 9 jam, baik berkendaran dan berjalan kaki.Masyarakat suku Badui sendiri terbagi dalam dua kelompok. Kelompok terbesar disebut dengan Badui Luar atau Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung.Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Badui Dalam atau Urang Tangtu. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana.Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Badui Dalam menyebut Badui Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan.Ciri lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Badui Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih. Sedangkan, Badui Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala bercorak batik warna biru.Suku Badui biasa bercocok tanam dan berladang. Selain itu membuat kerajinan seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu. Mereka taat pada tradisi lama dan hukum adat.Masyarakat Badui sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya.Setiap kampung di Badui Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana.Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Badui Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.Keberadaan masyarakat Badui sendiri sering dikaitkan dengan Kerajaan Sunda (Pajajaran) di abad 15 dan 16. Saat itu, kerajaan Pajajaran yang berlokasi di Bogor memiliki pelabuhan dagang besar di Banten, termasuk alamnya perlu diamankan.Nah, tugas pengamanan ini dilakukan oleh pasukan khusus untuk mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan ini yang diyakini sebagai cikal bakal suku Badui.Ada pula yang mempercayai awal kebedaraan suku Badui, merupakan sisa-sisa pasukan Pajajaran yang setia pada Prabu Siliwangi. Mereka melarikan diri dari kejaran pasukan Sultan Banten dan Cirebon. Namun pada akhirnya, mereka dilindungi Kesultanan Banten dan diberi otonomi khusus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

(zal/ken)

Suku Badui (Bahasa Badui: Urang Kanékés) atau kadang sering disebut Badui merupakan masyarakat adat dan sub-etnis dari suku Sunda di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang, mereka merupakan salah satu kelompok masyarakat yang menutup diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Badui Dalam.

Mengapa mereka menyebut dirinya orang kejeroan
Orang Badui
Urang Kanékés

Kelompok suku Badui luar

Daerah dengan populasi signifikanBantenca. 26.000 jiwaBahasaSunda BaduiAgama99% Sunda Wiwitan • 1% IslamEtnis terkaitSunda Banten dan kelompok masyarakat Sunda yang lainnya

Badui termasuk dalam suku Sunda, mereka dianggap sebagai suku Sunda yang belum terpengaruh modernisasi atau kelompok yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar.

Masyarakat Badui menolak istilah "wisata" atau "pariwisata" untuk mendeskripsikan kampung-kampung mereka. Sejak 2007, untuk mendeskripsikan wilayah mereka serta untuk menjaga kesakralan wilayah tersebut, masyarakat Badui memperkenalkan istilah "Saba Budaya Badui", yang bermakna "Silaturahmi Kebudayaan Badui".[1]

Sebutan "Badui" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Badui dan Gunung Badui yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan yang tepat adalah "Badui", bukan "Baduy".

 

Bangunan rumah adat warga Badui Luar

Suku Badui bermukim di wilayah di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Permukimannya terpusat di daerah aliran sungai pada sungai Ciujung yang termasuk dalam wilayah Cagar Budaya Pegunungan Kendeng.[2] Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng yang berjarak sekitar 40km dari Kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.[butuh rujukan]

Tiga desa utama Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.[butuh rujukan]

Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda dialek Badui. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Namun masyarakat Kanekes memiliki caranya sendiri untuk belajar serta mengembangkan wawasan mereka hingga sepadan dengan masyarakat di luar suku Badui.

 

Orang Kanekes pada tahun 2010

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Badui Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh Orang Kanekes Dalam antara lain:

  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Badui Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna tarum).

Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:

  • Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
  • Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
  • Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar

  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
  • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
  • Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

 

Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes, mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Badui merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

 

Lukisan seorang Badui di Rijksmuseum Amsterdam sekitar tahun 1816 - 1846

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian dari ajaran Islam.

Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung (panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes sering kali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".

 

Struktur pemerintahan Kanekes

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui Bupati Lebak di Kota Rangkasbitung. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun, sampo atau sikat gigi dengan pasta gigi di sungai, tidak boleh membuang sampah sembarangan. Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

  1. ^ Media, Kompas Cyber (2020-07-20). "Saba Budaya Baduy Gantikan Wisata Baduy, Apakah Itu?". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-08-07. 
  2. ^ BPS Provinsi Banten (2019). Pariwisata Banten dalam Angka Tahun 2019 (PDF). Dinas Pariwisata Provinsi Banten. hlm. 51.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

  • Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.
  • Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
  • Iskandar, J. (1991). An evaluation of the shifting cultivation systems of the Baduy society in West Java using system modelling, Thesis Abstract of AGS Students, [1][pranala nonaktif permanen].
  • Makmur, A. (2001). Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes: Perspektif kekerabatan, [2].
  • Nugraheni, E. & Winata, A. (2003). Konservasi lingkungan dan plasma Nutfah menurut kearifan tradisional masyarakat kasepuhan Gunung Halimun, Jurnal Studi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, September 2003, halaman 126-143.
  • Permana, C.E. (2001). Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  • Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net, [3]
  • Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian Arheology on the Net, [4]
  • Ascher, Robert, 1971 Analogy in Archaeological Interpretation, dalam James Deetz (ed.) Mans Imprint from the Past. Boston: Little Brown. Hal: 262271.
  • Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda,., 1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Sundanologi.
  • Ekadjati, Edi S., 1995 Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Garna, Judhistira, 1988 Perubahan Sosial Budaya Baduy dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta: Etnodata Prosindo.
  • 1993 Masyarakat Baduy di Banten, dalam Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia . Hal. 120-152)
  • Hoevell, W.R. van, 1845 Bijdrage tot de kennis der Badoeinen in het zuiden der residentie Bantam. TNI, VII: 335-430.
  • Iskandar, Johan, 1992 Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
  • Jacobs, J. and J.J. Meijer, 1891 De Badoejs. s-Grahenhage: Martinus Nijhoff.
  • Koorders, D., 1869 Losse Aantekeningeng tijdens het bezoek bij de Badois, BKI, LVI: 335-341.
  • Kramer, C., 1979 Etnoarchaeology: Implication of Ethnography for Archaeology. New York: Columbia University Press.
  • Mundardjito., 1981 Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di Indonesia, dalam Majalah Arkeologi 1-2, IV:17-29
  • Permana, R. Cecep Eka, 1996 Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
  • Pleyte, C.M., 1909 Artja Domas, het zielenland der Badoejs. Tijdschrift voor Indishe Taal, land en Volkenkunde. LI:Afl. 6: 494-526.
  • Sucipto, Toto (Drs.); Limbeng, Julianus, S.Sn., M.Si. (2007). Dra. Siti Maria, ed. Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten. Seri pengungkapan nilai-nilai kepercayaan komunitas adat. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 
  • Tricht, B. van, 1929 Levende Antiquiteiten in West-Java. Djawa IX: 43-120.
  • Rahardjo, D.M.; Rahayu (2002). Urang kanekes di Banten Kidul. Jakarta: Badan pengembangan kebudayaan dan pariwisata. OCLC 993742641.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |first2= tanpa |last2= di Authors list (bantuan)
  • Orang Amish di AS yang sama-sama mengisolasi diri.
Mengapa mereka menyebut dirinya orang kejeroan
  Gambar pada pranala luar Klik pranala guna melihat gambar   Arca Domas
  • Zanten, W. van. Aspects of Baduy Music Diarsipkan 2010-08-21 di Wayback Machine..
  • Arca Domas Baduy Diarsipkan 2011-03-16 di Wayback Machine.
  • (Indonesia) Bersama suku Baduy yang unik
  • (Inggris) The Baduy People
  • (Indonesia) Bersinergi Dengan Alam di Tanah Baduy

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suku_Badui&oldid=21653494"