Mengapa memotong pembicaraan orang lain termasuk sikap tidak sopan jelaskan

Segala sesuatu ada etikanya. Dalam seni berkomunikasi, salah satu etikanya yaitu tidak memotong pembicaraan orang lain. Simak penjelasan selengkapnya berikut ini, yuk.

Mengapa memotong pembicaraan orang lain termasuk sikap tidak sopan jelaskan
image source: summitcounseling.org

Pertama-tama, alasan jangan potong pembicaraan orang lain adalah karena dia akan kehilangan konsentrasi obrolan. Jika konsentrasi tak lagi fokus, dia pastinya lupa dengan apa poin yang sedang disampaikan, sampai pada akhirnya dia pun malas untuk melanjutkan ceritanya. Padahal, siapa tahu ada informasi penting yang seharusnya kamu tahu tapi malah tidak tersampaikan sebagaimana mestinya gara-gara kamu memotong pembicaraan.


2. Besar kemungkinan dia akan tersinggung


Mengapa memotong pembicaraan orang lain termasuk sikap tidak sopan jelaskan
image source: womenpla.net

Jika ingin dihargai orang lain, kamu pun perlu menghargai orang lain. Nah, setiap orang punya hak untuk bicara, jadi siapapun tentu akan tersinggung jika perkataannya disela begitu saja. Kamu tentu juga merasa sakit hati, kan, saat ada orang lain yang menyela ceritamu? Jadi, baiknya kamu pun tidak memotong pembicaraan orang lain.


3. Kamu akan menjatuhkan nilai diri sendiri di mata orang lain


Mengapa memotong pembicaraan orang lain termasuk sikap tidak sopan jelaskan
image source: ecr.co.za

Alasan jangan potong pembicaraan orang lain salah satunya juga demi kebaikanmu sendiri. Saat kamu memotong pembicaraan, itu hanya akan membuat kepribadianmu anjlok di mata lawan bicara. Memotong pembicaraan lawan bicara termasuk tindakan yang egois, jadi itu akan mengurangi respek orang lain terhadap kamu.

Jika sudah demikian, bukan tak mungkin dia pelan-pelan akan menjauhimu. Bayangkan jika kamu selalu menyela perkataan orang lain, satu per satu teman dan kolega mungkin akan meninggalkanmu, padahal sebagai makhluk sosial kamu tidak bisa hidup sendiri, kan?


4. Kamu akan belajar jadi pendengar yang baik


Mengapa memotong pembicaraan orang lain termasuk sikap tidak sopan jelaskan
image source: glamour.com

Kata orang bijak, Tuhan memberi satu mulut dan dua telinga supaya manusia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Menjadi pendengar yang baik memang banyak berguna dalam kehidupan sosial, lho. Saat jadi pendengar, kamu bisa melatih kesabaran, tidak mementingkan diri sendiri, hingga menghargai perbedaan pendapat. Selain itu, orang lain juga jadi lebih respek kepadamu.

Itulah empat alasan jangan potong pembicaraan orang lain, yang mana akan berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Bila benar-benar perlu memotong pembicaraan misalnya karena tiba-tiba ada telepon masuk, maka jangan lupa permisi dan sampaikan baik-baik, ya.


(ebn/ebn)

Mengapa memotong pembicaraan orang lain termasuk sikap tidak sopan jelaskan

Dalam berkomunikasi, ada saatnya kita harus berbicara dan ada saatnya kita harus mendengarkan. Dalam berkomunikasi, ada saatnya kita harus berbicara dan ada saatnya kita harus mendengarkan.

Bagian dari adab berbicara adalah tidak memotong pembicaraan orang lain tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitab beliau berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 83) sebagai berikut:

 واصغ إلى حديث من حدثك ولا تقطعن على أحد كلامه إلا إن كان من الكلام الذي يسخط الله كالغيبة، واحذر المداخلة في الكلام، ولا تظهر لمن حدثك حديثاً تعرفه أنك تعرفه؛ فإن ذلك مما يوحش الجليس، وإذا حدثك إنسان بكلام أو حكى لك حكاية على غير الوجه المنقول فلا تقل له ليس كما تقول ولكنه كذا وكذا، فإن تعلق ذلك بأمر الدين فعرفه الصواب برفق. 

Artinya,”Dengarkan orang lain yang berbicara kepadamu, dan jangan sekali-kali kamu putus pembicaraan itu, kecuali mengandung ucapan yang mendatangkan murka Allah, seperti ghibah (menggunjing), misalnya. Apabila seseorang sedang membicarakan sesuatu padamu, sedangkan engkau telah mengetahuinya sebelumnya, ,jangan tunjukkan bahwa engkau telah mengetahuinya. Yang demikian itu dapat membuatnya tersinggung. Ketika seseorang berbicara kepadamu tentang hal yang tidak sebenarnya, janganlah engkau mengatakan padanya: ’Berita itu tidak seperti yang engkau katakan, tetapi “begini”... dan “begini”... Dan jika berita itu berkaitan dengan masalah keagamaan, tunjukkan kepadanya bagaimana sebenarnya secara halus sehingga tidak menyinggung perasaannya.”

Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara kepada kita tidak dibenarkan. Setiap orang memilki hak untuk didengarkan sehingga hak dia untuk berbicara tidak bisa dipangkas begitu saja tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan secara syar’i seperti menggunjing. Menggunjing dilarang di dalam ajaran Islam. Al-Qur’an mengibaratkan menggunjing orang lain sebagai memakan bangkai saudaranya sendiri yang telah mati sebagaimana disebutkan dalam penggalan Surat al-Hujurat, ayat 12, berikut ini:

.وَلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمُ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُم أَنْ يَأكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ

Artinya,”Janganlah kamu mencari kesalahan orang lain dan jangan di antara kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kalian akan merasa jijik.”

Namun demikian, memotong pembicaraan orang lain bisa saja diperbolehkan meskipun ia tidak menggunjing asalkan sebelumnya sudah mengajukan izin dan diberikan. Sebagai contoh, seorang murid bermaksud menyela pembicaraan guru karena ada sesuatu yang ingin ditanyakan dengan sebelumnya memohon maaf. Jika guru memberikan ijin, maka apa yang dilakukan murid tersebut tidak salah. 

Kedua, kita hendaknya tidak menghentikan pembicaraan seseorang hanya karena kita sudah tahu apa yang akan dia ceritakan. Misalnya seseorang bercerita tentang megahnya bangunan Masjid Istiqlal di Jakarta. Kita tidak berminat mendengarkan cerita itu karena kita sendiri sudah pernah berkunjung ke sana. Lalu kita memintanya berhenti bercerita tentang Masjid Istiqlal. Sikap demikian tidak baik atau tercela karena bisa membuat orang yang bercerita itu menjadi malu dan bahkan mungkin tersinggung.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: 

إذا قلتَ للناسِ أَنصِتوا و هم يتكلَّمون ، فقد ألْغَيْتَ على نفسِك

Artinya,“Jika engkau mengatakan ‘diamlah!’ kepada orang-orang ketika mereka tengah berbicara, sungguh engkau mencela dirimu sendiri” (HR. Ahmad).

Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan toleransi dan apresiasi terhadap orang lain dengan membiarkannya bercerita sesuai dengan apa yang dia ketahui. Jangan-jangan apa yang kita ketahui tentang Masjid Istiqlal di Jakarta sudah berbeda keadaannya dengan apa yang dia ceritakan. Justru di sinilah kita bisa memberikan tanggapan tentang masjid terbesar se Asia Tenggara itu sesuai yang kita ketahui sehingga memunculkan diskusi menarik bagi kedua belah pihak. 

Baca juga: Adab-adab dalam Bertamu

Ketiga, jika seseorang bercerita kepada kita tentang suatu peristiwa tidak persis sama dengan keadaan yang sebenarnya, kita tidak harus melakukan penyangkalan secara frontal. Hal ini berlaku untuk hal-hal yang memang tidak prinsipil. Misalnya, seseorang bercerita tentang sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Jalan Sudirman antara sebuah sepeda motor dan sebuah mobil. Lalu ia mengatakan peristiwa itu terjadi pada jam 09.00 pagi. 

Kebetulan kita juga mengetahui peristiwa itu dan tahu persis pada pukul berapa kecelakaan itu terjadi. Jika kita tahu bahwa peristiwa itu terjadi pada pukul 09.10, kita tidak perlu secara frontal apalagi marah-marah menyangkal soal waktu kejadian sebab secara substansial pukul 09.00 dan pukul 09.10 adalah sama, yakni pagi hari. Apalagi jika orang yang bercerita itu lebih menekankan tentang peristiwanya dan bukan tentang waktu kejadiannya serta tidak ada maksud berbohong, maka hal yang tidak prinsipil ini bisa kita toleransi.

Lain persoalannya dengan hal-hal penting yang menyangkut urusan keagamaan, seperti fiqih. Jika ada seseorang mengatakan kepada kita bahwa shalat Shubuh bisa dilakukan sebanyak 1 rakaat, maka kita harus meluruskan dengan mengatakan hal yang sebenarnya karena ini menyangkut sesuatu yang haq dan bersifat qath’i. Kita harus memberikan tanggapan kepada orang itu secara baik dan bijak bahwa jumlah rakaat Shubuh adalah 2 saja, tidak bisa lebih dan tidak bisa kurang karena shalat di pagi hari ini tidak bisa diringkas (qashar) sebagaimana shalat Maghrib. 

Dalam kaitan dengan hoaks, jika seseorang bercerita tentang suatu peristiwa yang kita tahu itu tidak benar sama sekali dan sangat membahayakan kerukunan dan perdamaian bersama, maka kita pun harus menyampaikan bahwa hal itu hanyalah hoaks dan memintanya untuk tidak menyebarkannya. Hoaks bisa sama dengan fitnah. 

Ketiga poin di atas merupakan adab berbicara sebagaimana dinasihatkan oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad. Intinya adalah dalam berkomunikasi secara lisan dengan orang lain ada saatnya kita harus berbicara dan ada saatnya kita harus mendengarkan tanpa memotong pembicaraan pihak lawan bicara kecuali dalam hal-hal yang memang dibenarkan secara syar’i. 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Unversitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Berita seputar Forum R20