Sabtu, 20 Mei 2017 15:23 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Kerusuhan pada Mei 1998 silam bisa jadi menjadi salah satu sejarah kelam bagi Indonesia. Sejumlah kerusakan terjadi di berbagai tempat. Salah satunya di Glodok, Jakarta Barat, yang menjadi tempat berdagang oleh warga beretnis Tionghoa.Yunita, yang kala itu masih duduk di kelas 5 SD turut menyaksikan peristiwa yang terjadi di Glodok. Pada 14 Mei 1998 pagi, Yunita masih berangkat ke sekolahnya yang terletak di kawasan Glodok seperti biasa. Karena pada pagi hari, masih belum ada tanda-tanda bahkan akan terjadi kerusuhan.Namun, sekitar pukul 10.00 WIB, seluruh murid di sekolah Yunita dikumpulkan di aula sekolah. Saat itu guru dan pihak sekolah meminta murid untuk langsung pulang ke rumah masing-masing.
“Di lantai 3 pas kebetulan hadap luar langsung gedung Glodok Plaza, kita bisa lihat kok ada asap hitam dan sudah ramai,” kata Candra kepada CNNIndonesia.com. Melihat keadaan seperti itu, murid-murid pun langsung mengerjakan soal dengan cepat. Setelah selesai, guru pun langsung memerintah semua murid untuk segera pulang ke rumah.Candra pun melihat secara langsung bagaimana orang-orang mulai menjarah barang-barang di pertokoan kemudian membakar gedung-gedung pertokoan tersebut.Baginya peristiwa tersebut menjadi sebuah pengalaman yang cukup mengakibatkan trauma. Tak hanya trauma karena peristiwa dan penjarahan yang terjadi, tapi juga trauma karena mengapa etnis Tionghoa yang diserang.“Pengalaman sangat-sangat traumatik, waktu itu bingung kenapa orang Tionghoa jadi korban, masalahnya apa, Tionghoa kenapa, teman-teman juga bingung, emang kami bukan warga negara Indonesia ya,” ujar Candra.Candra mengatakan ketakutan yang dirasakan oleh warga etnis Tionghoa kala itu adalah karena mereka tidak tahu siapa sebenarnya lawan yang mereka hadapi.Karena jika musuhnya adalah orang non-Tionghoa, Candra menyebut banyak pula warga non-Tionghoa yang ikut membantu menjaga posko keamanan.Ketakutan yang dirasakan saat itu bahkan sampai berdampak pada ketakutan warga saat melihat segerombolan orang lewat.Tak Tahu Musuh Kata Candra, saat itu jika melihat ada segerombolan orang pasti langsung dianggap sebagai musuh, dianggap sebagai perusuh. Dan siapa pun yang lewat sambil membawa barang langsung dianggap sebagai penjarah.“Yang lucu itu kami enggak tahu siapa lawan kami, masa orang non-Tionghoa, soalnya banyak yang bantuin kami jaga posko juga, kalau bahasa kerennya sekarang, kami merasa negara enggak hadir, kami mau minta bantuan polisi juga enggak bisa,” ujarnya.Keadaan seperti itu, lanjut Candra akhirnya menyebabkan beberapa temannya memilih untuk kabur ke luar negeri.Candra mengungkapkan kerusuhan itu tidak terjadi secara tiba-tiba.
LIVE REPORT Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei–15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie.
Medan Jakarta Surakarta Peta lokasi kerusuhan Mei 1998 Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa.[1] Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut.[2][3] Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.[4] Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" karena penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa. Beberapa dari mereka tidak ketahuan, tetapi ada juga yang ketahuan bukan milik pribumi. Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.[5] Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, tetapi pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.[4] Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.[4] Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan "Laporan TGPF" [4] Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual, TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga berlatar belakang militer.[6] Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangab saat itu (Wiranto) dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini.[7][8][9] Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung namun sampai 1 Maret 2004 belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung.[10] Penuntutan Amendemen KUHPPada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta supaya dilakukan amendemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998) mengalami pemerkosaan anal, oral, dan/atau disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.[11]
Page 213 Mei adalah hari ke-133 (hari ke-134 dalam tahun kabisat) dalam kalender Gregorian.
12 Mei - 13 Mei - 14 Mei
|