Menafkahi keluarga dengan harta yang halal merupakan penerapan al- quran dan Hadis sebagai seorang

Islam mengajarkan umatnya bekerja keras mencari nafkah.

Kewajiban Mencari Nafkah

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah) Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)

Oleh: Mutohharun Jinan

Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja keras mencari nafkah. Islam sangat mencela umat yang malas, yaitu mereka yang hanya menggantungkan hidupnya dari belas kasihan orang lain dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara meminta-minta.

Lebih jauh, dalam Islam, kerja merupakan ibadah. Membanting tulang mencari nafkah yang halal untuk kebutuhan keluarga merupakan ibadah yang bernilai sangat tinggi bahkan termasuk jihad. Allah sangat menghargai kerja keras dan karya nyata seseorang.

Rasulullah saw bersabda

Menafkahi keluarga dengan harta yang halal merupakan penerapan al- quran dan Hadis sebagai seorang

“Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya (bekerja) sendiri. Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR. Ibnu Majah)

Hadis tersebut hendaklah menjadi pemantik setiap Muslim untuk bersemangat bekerja. Karena bekerja merupakan bagian dari kehendak dasar (fitrah) setiap orang. Maksudnya, setiap orang yang normal dan sehat akalnya tentu akan merasa senang bekerja guna memenuhi kebutuhannya, dan merasa ada sesuatu yang hilang bila tidak memiliki pekerjaan.

Tidak dibenarkan seorang Muslim bermalas-malasan, hanya berharap belas kasih dari orang lain pada hal sebenarnya masih mampu bekerja dengan kekuatan fisiknya. Tidak dibenarkan menyia-nyiakan waktu luang hanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. ”Dan jika telah selesai satu pekerjaan maka segeralah mengerjakan pekerjaan lain”. Begitu isyarat Al-Qur’an (Qs Al-Insyirah [94]: 7).

Bekerja mencari nafkah bagian dari kewajiban seorang Muslim. Karena itulah Islam memberi penghargaan yang besar kepada mereka yang bekerja keras mencari nafkah. Dalam Islam tidak dibeda-bedakan jenis-jenis pekerjaan, prinsipnya semua pekerjaan diperbolehkan kecuali yang jelas-jelas dilarang. Berdagang atau menawarkan jasa pada dasarnya boleh, yang dilarang adalah bila caranya curang dan barang dagangannya haram.

Tentu saja, yang perlu diingat adalah bekerja harus dengan cara halal. Seorang pedagang, misalnya, tidak menipu pembeli atau curang dalam menakar. Seorang pegawai tidak mengurangi jam kerjanya, seorang pimpinan tidak korupsi atau melakukan mark-up. Begitupun dengan para pejabat, tidak korupsi atau menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya untuk kepentingan diri dan golongannya.

Mutohharun Jinan, pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta


Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2018

Menafkahi keluarga dengan harta yang halal merupakan penerapan al- quran dan Hadis sebagai seorang

Lihat Artikel Asli

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.

Menafkahi keluarga merupakan kewajiban suam yang sarat pahala

Antara

Menafkahi keluarga merupakan kewajiban suam yang sarat pahala. Ilustrasi mencari nafkah

Rep: Umar Mukhtar Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, – Allah SWT telah menetapkan hak dan kewajiban yang di antaranya adalah wajibnya seorang suami memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya dengan cara yang baik.

Baca Juga

Para ulama sepakat bahwa nafkah yang diberikan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya adalah kewajiban individu. Allah SWT berfirman:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ  "...Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya..." (QS Al Baqarah ayat 233) Allah SWT juga berfirman: 

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ "Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya..." (QS At Talaq ayat 7). Rasulullah SAW juga bersabda: 

ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف "...Hak mereka (istri) atas kalian (suami) adalah agar kalian memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik." (HR Muslim)

Karena itu, seorang istri memiliki hak atas rezeki suami, baik dalam kondisi miskin maupun kaya dan berkecukupan. Suami harus memberikan apa yang dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya, seperti tempat tinggal, pakaian, dan pangan secara penuh.

Jika seorang suami berada dalam kondisi miskin, maka itu menjadi kewajiban masing-masing (suami dan istri) seperti yang telah disepakati oleh semua ulama. Al-Muhallab dalam kitab Fath Al-Baari berkata, "Menafkahi keluarga adalah wajib dan ini adalah pendapat dengan suara bulat."

Ibnu Qudamah dalam 'Al Mughni', dari Ibn Mundzir, juga menyampaikan bahwa semua ulama telah bersepakat bahwa seseorang harus menafkahi anak-anak yang miskin. 

Ath-Thabari juga mengatakan, "Menafkahi anak selama masih kecil adalah wajib baginya." (Penjelasan Ibnu Battal atas hadits riwayat Bukhari)

Jika seorang suami merasa jenuh dan lelah dalam memberikan nafkah karena tingginya biaya hidup yang harus ditanggung, atau karena sulitnya berjuang mencari nafkah, ingatlah bahwa Allah SWT memberikan ganjaran pahala yang besar dan membebaskan semua kesulitan dan keletihan serta kecemasan yang dirasakan oleh suami.

ع

ن كَعْبُ بنُ عُجْرَة: "أنَّه مر على النبي صلى الله عليه وسلم رجلٌ، فرأى أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم من جَلَدِه ونشاطِه، فقالوا: يا رسول الله، لو كان هذا في سبيلِ الله، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إن كان خرجَ يسعى على وَلَدِه صِغارًا، فهو في سبيل الله، وإن كان خرج يسعى على أبوين شيخين كبيرين، فهو في سبيل الله، 

Dari Kab bin Ujrah, seorang sahabat pernah berpapasan dengan Nabi SAW, lalu para sahabat juga turut menyaksikan sahabat tadi yang warna kulitnya legam dan sangat rajin, mereka pun berkata, “Wahai Rasululullah, seandainya (pria semacam ini) ikut berjihad.: Lalu Rasulullah SAW menimpali, “Jika dia keluar rumah untuk menafkahi anaknya yang kecil dia (jihad) di jalan Allah, jika dia keluar untuk menafkah dua orang tuanya yang sudah renta, dia di jalan Allah.” (HR Ath Thabrani) 

Ibnu Al Mubarak, bahkan sebagai gambaran saking pentingnya nafkah untuk keluarga pernah mengatakan, "Nafkah terhadap keluarga tidak tertandingi amalan apapun, termasuk jihad di jalan Allah."

Sumber: islamweb 

Menafkahi keluarga dengan harta yang halal merupakan penerapan al- quran dan Hadis sebagai seorang

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Menafkahi keluarga dengan harta yang halal merupakan penerapan al- quran dan Hadis sebagai seorang

Kewajiban para suami dalam rangka menafkahi keluarganya memiliki koridor yang jelas, di mana terdapat syarat yang harus di tunaikan olehnya. Syarat tersebut adalah hendaknya seorang suami memberikan nafkah kepada istri dan anaknya dengan nafkah yang halal dan baik, serta menjauhkan yang haram dan menghindari yang syubhat.

Allah Ta’ala memperingatkan dalam firman-Nya, “Dan makanlah dari apa yang Allah rezekikan kepadamu berupa makanan yang halal dan baik..” (Al-Maidah [5]: 88)

Makanan merupakan salah satu perwujudan nafkah suami. Allah menghendaki hamba-Nya memakan makanan yang halal dan baik, sama halnya dengan Dia menghendaki kaum muslimin menafkahi keluarganya dengan nafkah yang halal dan baik. Hal yang demikian akan membuat nafkah yang diusahakan oleh suami menjadi penuh berkah.

Keberkahan dari sebuah nafkah, setidaknya dapat ditentukan oleh tiga hal.

Pertama, suami meniatkan usahanya dalam memenuhi nafkah keluarga ikhlas karena Allah. Ia melakukannya semata-mata sebagai wujud dari ketaatannya menunaikan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ia teringat sebuah hadist, “Amal itu bergantung pada niat,” sehingga ia menjadikan niatnya karena Allah, bukan karena selain-Nya. Bukan karena keterpaksaan, dan bukan pula karena hendak mengejar dunia.

Kedua, suami dalam memenuhi nafkah keluarganya hanya mencari nafkah yang halal. Ia tidak mencari suatu  nafkah kecuali hal itu halal bagi dirinya dan keluarganya. Ia berusaha menghindari nafkah yang haram karena yang diterima Allah adalah nafkah yang halal. Kehalalan nafkah suami setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu halal karena dzatnya memang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, halal cara mendapatkan dan dipergunakan pada yang halal.

Suami harus berhati-hati terhadap nafkah yang haram karena hal itu dapat mengotori niat, menghalangi diterimanya ibadah dan doa serta mengantarkan pelakunya pada kesesatan. Bahkan, nafkah yang haram tidak dapat diterima meskipun ia dibelanjakan pada jalan ketaatan. Sufyan Ats Tsauri radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang menafkahkan hartanya yang haram dalam ketaatan, ia seperti orang yang mencuci pakaiannya yang kotor dengan air kencing.”

Ketiga, suami dalam memenuhi nafkah keluarganya, disamping ia mencari nafkah yang halal, juga mensyaratkan nafkah tersebut adalah nafkah yang baik. Halal belum tentu baik, sedangkan baik juga belum tentu halal. Contohnya, makanan. Gula adalah makanan yang halal, tetapi tidak baik jika dikonsumsi oleh seorang yang menderita diabetes. Atau, nasi lengkap dengan lauk dan sayurnya adalah makanan yang baik, tetapi karena ia mendapatkannya dengan cara mencuri, maka makanan itu tidak halal. Karena itu, Allah memerintahkan kepada kita agar memakan makanan yang halal sekaligus baik.

Nafkah yang diusahakan oleh suami dengan niat karena Allah, halal dan baik akan dipenuhi dengan keberkahan. Tubuh kita menjadi tubuh yang penuh dengan keberkahan, begitu pula rumah kita. Dengan demikian, insyaallah kebahagiaan hidup akan dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Tak hanya kebahagiaan hidup di dunia, tetapi juga di akhirat.