Kerajaan Belanda menyerahkan beberapa wilayah kepada kerajaan Britania Raya yaitu

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Akad Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Akad London atau Traktat London. Akad ini ditujukan bagi mengatasi konflik yang muncul berturut-turut yang belakang sekali suatu peristiwa pemberlakuan Akad Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Akad ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan bagi tukar menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berdasarkan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dipilihkan secara lokal. antara lain :

  1. Pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak menciptakan akad dengan negara segi Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi akad dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan kekuatan militer dan sipil bagi menghambat akad dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan bagi pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam akad ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang bersesuaian dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju bagi tidak membuka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania mempersilakan bagi diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak akan membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju bagi tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat akad dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan yang dibangun bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dinyatakan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari jumlah yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kesudahan tahun 1825.

Akad disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, p2k.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dsb.


Page 2

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Akad Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Akad London atau Traktat London. Akad ini ditujukan bagi mengatasi konflik yang muncul berturut-turut yang belakang sekali suatu peristiwa pemberlakuan Akad Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Akad ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan bagi tukar menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berdasarkan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dipilihkan secara lokal. antara lain :

  1. Pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak menciptakan akad dengan negara segi Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi akad dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan kekuatan militer dan sipil bagi menghambat akad dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan bagi pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam akad ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang bersesuaian dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju bagi tidak membuka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania mempersilakan bagi diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak akan membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju bagi tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat akad dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan yang dibangun bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dinyatakan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari jumlah yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kesudahan tahun 1825.

Akad disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, p2k.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dsb.


Page 3

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Akad Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Akad London atau Traktat London. Akad ini ditujukan bagi mengatasi konflik yang muncul berturut-turut yang belakang sekali suatu peristiwa pemberlakuan Akad Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Akad ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan bagi tukar menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berdasarkan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dipilihkan secara lokal. antara lain :

  1. Pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak menciptakan akad dengan negara segi Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi akad dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan kekuatan militer dan sipil bagi menghambat akad dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan bagi pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam akad ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang bersesuaian dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju bagi tidak membuka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania mempersilakan bagi diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak akan membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju bagi tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat akad dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan yang dibangun bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dinyatakan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari jumlah yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kesudahan tahun 1825.

Akad disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, p2k.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dsb.


Page 4

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Akad Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Akad London atau Traktat London. Akad ini ditujukan bagi mengatasi konflik yang muncul berturut-turut yang belakang sekali suatu peristiwa pemberlakuan Akad Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Akad ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan bagi tukar menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berdasarkan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dipilihkan secara lokal. antara lain :

  1. Pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak menciptakan akad dengan negara segi Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi akad dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan kekuatan militer dan sipil bagi menghambat akad dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan bagi pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam akad ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang bersesuaian dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju bagi tidak membuka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania mempersilakan bagi diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak akan membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju bagi tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat akad dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan yang dibangun bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dinyatakan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari jumlah yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kesudahan tahun 1825.

Akad disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, p2k.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dsb.


Page 5

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Akad Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Akad London atau Traktat London. Akad ini ditujukan bagi mengatasi konflik yang muncul berturut-turut yang belakang sekali suatu peristiwa pemberlakuan Akad Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Akad ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan bagi tukar menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berdasarkan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dipilihkan secara lokal. antara lain :

  1. Pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak menciptakan akad dengan negara segi Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi akad dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan kekuatan militer dan sipil bagi menghambat akad dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan bagi pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam akad ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang bersesuaian dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju bagi tidak membuka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania mempersilakan bagi diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak akan membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau menciptakan akad dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju bagi tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat akad dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan yang dibangun bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dinyatakan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari jumlah yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kesudahan tahun 1825.

Akad disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, p2k.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dsb.


Page 6

Perjanjian Bungaya (sering juga dinamakan Bongaya atau Bongaja) merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya sela Kesultanan Gowa yang diganti oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diganti oleh Admiral Cornelis Speelman.[1] Walaupun dinamakan perjanjian perdamaian, pokok sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sebanyak benda/barang di pelabuhan Makassar (yang diduduki Gowan).

Pokok perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan sela pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sbg Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 mesti diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni warga negara Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan sedang tinggal di sekitar Makassar mesti segera dikirim untuk Admiral (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang sedang tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, mesti diserahkan untuk Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti berbuat salah atas pembunuhan orang Belanda di beragam tempat mesti diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar mesti membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, sangat lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris mesti ditampik dari kawasan Makassar dan tak boleh lagi diterima tinggal di sini atau memperagakan perdagangan.
    Tak telah tersedia orang Eropa yang boleh masuk atau memperagakan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh tidak terikat barang-barang yang dijual di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tak boleh mempublikasikan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh memperagakannya. Seluruh yang melanggar akan dihukum dan benda/barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni mesti dimerdekakan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan mesti menginginkan surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tak boleh telah tersedia kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya seluruh kawasan di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar mesti menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar mesti dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk direbut raja.
  11. Benteng Ujung Pandang mesti diserahkan untuk Kompeni dalam keadaan berpihak kepada yang benar, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi kawasannya.
  12. Koin Belanda seperti yang dipergunakan di Batavia mesti diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan mesti mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan aturan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya mesti sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya sangat lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan kawasannya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu mesti diserahkan untuk Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar mesti dikembalikan. Untuk mereka yang sudah meninggal atau tak bisa dikembalikan, mesti dibayar dengan kompensasi.
  17. Untuk Sultan Ternate, seluruh orang yang sudah diambil dari Kepulauan Sula mesti dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa mesti melepaskan seluruh hasratnya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya merupakan milik raja Ternate.
  18. Gowa mesti menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya mesti dimerdekakan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang sedang ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang sedang ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka mesti diberi keleluasaan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo sampai Turatea, dan dari Turatea sampai Bungaya, mesti tetap menjadi tanah milik Kompeni sbg hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar mesti diberi keleluasaan oleh pemerintah Gowa dan tak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, bisa terus bersama isteri mereka. Untuk berikutnya, bila telah tersedia orang Makassar yang berkeinginan tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berkeinginan tinggal dengan orang Makassar, boleh memperagakannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa mesti menutup negerinya untuk seluruh bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga mesti membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan mesti terjalin sela para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan mau ikut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di sela para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) mesti diminta untuk menaruh diri di tengah. Bila salah satu pihak tak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil sikap yang dibuat yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar mesti mengirim dua penguasa pentingnya bersama Admiral ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini untuk Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Bila perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral bisa menahan dua pangeran penting sbg sandera selama yang dia inginkan.
  27. Semakin jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang telah tersedia di Makassar mesti dibawa ke Batavia.
  28. Semakin jauh tentang pasal 15, bila Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa mesti ditahan.
  29. Pemerintah Gowa mesti membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berulang-ulang, berpihak kepada yang benar dalam wujud meriam, benda/barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Admiral sbg wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini mesti bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Pustaka

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Zaman Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Lihat juga

  • Kesultanan Gowa
  • Sultan Hasanuddin

Sumber :
informasi.web.id, p2k.ptkpt.net, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 7

Perjanjian Bungaya (sering juga dinamakan Bongaya atau Bongaja) merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya sela Kesultanan Gowa yang diganti oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diganti oleh Admiral Cornelis Speelman.[1] Walaupun dinamakan perjanjian perdamaian, pokok sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sebanyak benda/barang di pelabuhan Makassar (yang diduduki Gowan).

Pokok perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan sela pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sbg Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 mesti diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni warga negara Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan sedang tinggal di sekitar Makassar mesti segera dikirim untuk Admiral (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang sedang tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, mesti diserahkan untuk Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti berbuat salah atas pembunuhan orang Belanda di beragam tempat mesti diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar mesti membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, sangat lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris mesti ditampik dari kawasan Makassar dan tak boleh lagi diterima tinggal di sini atau memperagakan perdagangan.
    Tak telah tersedia orang Eropa yang boleh masuk atau memperagakan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh tidak terikat barang-barang yang dijual di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tak boleh mempublikasikan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh memperagakannya. Seluruh yang melanggar akan dihukum dan benda/barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni mesti dimerdekakan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan mesti menginginkan surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tak boleh telah tersedia kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya seluruh kawasan di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar mesti menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar mesti dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk direbut raja.
  11. Benteng Ujung Pandang mesti diserahkan untuk Kompeni dalam keadaan berpihak kepada yang benar, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi kawasannya.
  12. Koin Belanda seperti yang dipergunakan di Batavia mesti diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan mesti mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan aturan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya mesti sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya sangat lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan kawasannya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu mesti diserahkan untuk Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar mesti dikembalikan. Untuk mereka yang sudah meninggal atau tak bisa dikembalikan, mesti dibayar dengan kompensasi.
  17. Untuk Sultan Ternate, seluruh orang yang sudah diambil dari Kepulauan Sula mesti dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa mesti melepaskan seluruh hasratnya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya merupakan milik raja Ternate.
  18. Gowa mesti menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya mesti dimerdekakan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang sedang ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang sedang ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka mesti diberi keleluasaan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo sampai Turatea, dan dari Turatea sampai Bungaya, mesti tetap menjadi tanah milik Kompeni sbg hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar mesti diberi keleluasaan oleh pemerintah Gowa dan tak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, bisa terus bersama isteri mereka. Untuk berikutnya, bila telah tersedia orang Makassar yang berkeinginan tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berkeinginan tinggal dengan orang Makassar, boleh memperagakannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa mesti menutup negerinya untuk seluruh bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga mesti membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan mesti terjalin sela para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan mau ikut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di sela para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) mesti diminta untuk menaruh diri di tengah. Bila salah satu pihak tak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil sikap yang dibuat yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar mesti mengirim dua penguasa pentingnya bersama Admiral ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini untuk Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Bila perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral bisa menahan dua pangeran penting sbg sandera selama yang dia inginkan.
  27. Semakin jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang telah tersedia di Makassar mesti dibawa ke Batavia.
  28. Semakin jauh tentang pasal 15, bila Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa mesti ditahan.
  29. Pemerintah Gowa mesti membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berulang-ulang, berpihak kepada yang benar dalam wujud meriam, benda/barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Admiral sbg wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini mesti bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Pustaka

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Zaman Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Lihat juga

  • Kesultanan Gowa
  • Sultan Hasanuddin

Sumber :
informasi.web.id, p2k.ptkpt.net, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 8

Perjanjian Bungaya (sering juga dinamakan Bongaya atau Bongaja) merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya sela Kesultanan Gowa yang diganti oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diganti oleh Admiral Cornelis Speelman.[1] Walaupun dinamakan perjanjian perdamaian, pokok sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sebanyak benda/barang di pelabuhan Makassar (yang diduduki Gowan).

Pokok perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan sela pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sbg Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 mesti diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni warga negara Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan sedang tinggal di sekitar Makassar mesti segera dikirim untuk Admiral (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang sedang tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, mesti diserahkan untuk Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti berbuat salah atas pembunuhan orang Belanda di beragam tempat mesti diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar mesti membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, sangat lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris mesti ditampik dari kawasan Makassar dan tak boleh lagi diterima tinggal di sini atau memperagakan perdagangan.
    Tak telah tersedia orang Eropa yang boleh masuk atau memperagakan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh tidak terikat barang-barang yang dijual di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tak boleh mempublikasikan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh memperagakannya. Seluruh yang melanggar akan dihukum dan benda/barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni mesti dimerdekakan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan mesti menginginkan surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tak boleh telah tersedia kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya seluruh kawasan di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar mesti menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar mesti dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk direbut raja.
  11. Benteng Ujung Pandang mesti diserahkan untuk Kompeni dalam keadaan berpihak kepada yang benar, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi kawasannya.
  12. Koin Belanda seperti yang dipergunakan di Batavia mesti diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan mesti mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan aturan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya mesti sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya sangat lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan kawasannya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu mesti diserahkan untuk Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar mesti dikembalikan. Untuk mereka yang sudah meninggal atau tak bisa dikembalikan, mesti dibayar dengan kompensasi.
  17. Untuk Sultan Ternate, seluruh orang yang sudah diambil dari Kepulauan Sula mesti dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa mesti melepaskan seluruh hasratnya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya merupakan milik raja Ternate.
  18. Gowa mesti menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya mesti dimerdekakan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang sedang ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang sedang ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka mesti diberi keleluasaan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo sampai Turatea, dan dari Turatea sampai Bungaya, mesti tetap menjadi tanah milik Kompeni sbg hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar mesti diberi keleluasaan oleh pemerintah Gowa dan tak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, bisa terus bersama isteri mereka. Untuk berikutnya, bila telah tersedia orang Makassar yang berkeinginan tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berkeinginan tinggal dengan orang Makassar, boleh memperagakannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa mesti menutup negerinya untuk seluruh bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga mesti membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan mesti terjalin sela para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan mau ikut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di sela para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) mesti diminta untuk menaruh diri di tengah. Bila salah satu pihak tak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil sikap yang dibuat yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar mesti mengirim dua penguasa pentingnya bersama Admiral ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini untuk Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Bila perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral bisa menahan dua pangeran penting sbg sandera selama yang dia inginkan.
  27. Semakin jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang telah tersedia di Makassar mesti dibawa ke Batavia.
  28. Semakin jauh tentang pasal 15, bila Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa mesti ditahan.
  29. Pemerintah Gowa mesti membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berulang-ulang, berpihak kepada yang benar dalam wujud meriam, benda/barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Admiral sbg wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini mesti bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Pustaka

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Zaman Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Lihat juga

  • Kesultanan Gowa
  • Sultan Hasanuddin

Sumber :
informasi.web.id, p2k.ptkpt.net, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 9

Perjanjian Bungaya (sering juga dinamakan Bongaya atau Bongaja) merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya sela Kesultanan Gowa yang diganti oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diganti oleh Admiral Cornelis Speelman.[1] Walaupun dinamakan perjanjian perdamaian, pokok sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sebanyak benda/barang di pelabuhan Makassar (yang diduduki Gowan).

Pokok perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan sela pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sbg Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 mesti diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni warga negara Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan sedang tinggal di sekitar Makassar mesti segera dikirim untuk Admiral (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang sedang tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, mesti diserahkan untuk Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti berbuat salah atas pembunuhan orang Belanda di beragam tempat mesti diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar mesti membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, sangat lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris mesti ditampik dari kawasan Makassar dan tak boleh lagi diterima tinggal di sini atau memperagakan perdagangan.
    Tak telah tersedia orang Eropa yang boleh masuk atau memperagakan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh tidak terikat barang-barang yang dijual di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tak boleh mempublikasikan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh memperagakannya. Seluruh yang melanggar akan dihukum dan benda/barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni mesti dimerdekakan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan mesti menginginkan surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tak boleh telah tersedia kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya seluruh kawasan di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar mesti menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar mesti dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk direbut raja.
  11. Benteng Ujung Pandang mesti diserahkan untuk Kompeni dalam keadaan berpihak kepada yang benar, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi kawasannya.
  12. Koin Belanda seperti yang dipergunakan di Batavia mesti diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan mesti mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan aturan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya mesti sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya sangat lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan kawasannya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu mesti diserahkan untuk Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar mesti dikembalikan. Untuk mereka yang sudah meninggal atau tak bisa dikembalikan, mesti dibayar dengan kompensasi.
  17. Untuk Sultan Ternate, seluruh orang yang sudah diambil dari Kepulauan Sula mesti dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa mesti melepaskan seluruh hasratnya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya merupakan milik raja Ternate.
  18. Gowa mesti menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya mesti dimerdekakan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang sedang ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang sedang ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka mesti diberi keleluasaan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo sampai Turatea, dan dari Turatea sampai Bungaya, mesti tetap menjadi tanah milik Kompeni sbg hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar mesti diberi keleluasaan oleh pemerintah Gowa dan tak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, bisa terus bersama isteri mereka. Untuk berikutnya, bila telah tersedia orang Makassar yang berkeinginan tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berkeinginan tinggal dengan orang Makassar, boleh memperagakannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa mesti menutup negerinya untuk seluruh bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga mesti membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan mesti terjalin sela para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan mau ikut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di sela para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) mesti diminta untuk menaruh diri di tengah. Bila salah satu pihak tak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil sikap yang dibuat yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar mesti mengirim dua penguasa pentingnya bersama Admiral ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini untuk Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Bila perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral bisa menahan dua pangeran penting sbg sandera selama yang dia inginkan.
  27. Semakin jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang telah tersedia di Makassar mesti dibawa ke Batavia.
  28. Semakin jauh tentang pasal 15, bila Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa mesti ditahan.
  29. Pemerintah Gowa mesti membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berulang-ulang, berpihak kepada yang benar dalam wujud meriam, benda/barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Admiral sbg wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini mesti bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Pustaka

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Zaman Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Lihat juga

  • Kesultanan Gowa
  • Sultan Hasanuddin

Sumber :
informasi.web.id, p2k.ptkpt.net, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 10

Perjanjian Bungaya (sering juga dinamakan Bongaya atau Bongaja) merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya sela Kesultanan Gowa yang diganti oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diganti oleh Admiral Cornelis Speelman.[1] Walaupun dinamakan perjanjian perdamaian, pokok sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sebanyak benda/barang di pelabuhan Makassar (yang diduduki Gowan).

Pokok perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan sela pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sbg Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 mesti diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni warga negara Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan sedang tinggal di sekitar Makassar mesti segera dikirim untuk Admiral (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang sedang tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, mesti diserahkan untuk Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti berbuat salah atas pembunuhan orang Belanda di beragam tempat mesti diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar mesti membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, sangat lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris mesti ditampik dari kawasan Makassar dan tak boleh lagi diterima tinggal di sini atau memperagakan perdagangan.
    Tak telah tersedia orang Eropa yang boleh masuk atau memperagakan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh tidak terikat barang-barang yang dijual di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tak boleh mempublikasikan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh memperagakannya. Seluruh yang melanggar akan dihukum dan benda/barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni mesti dimerdekakan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan mesti menginginkan surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tak boleh telah tersedia kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya seluruh kawasan di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar mesti menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar mesti dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk direbut raja.
  11. Benteng Ujung Pandang mesti diserahkan untuk Kompeni dalam keadaan berpihak kepada yang benar, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi kawasannya.
  12. Koin Belanda seperti yang dipergunakan di Batavia mesti diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan mesti mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan aturan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya mesti sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya sangat lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan kawasannya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu mesti diserahkan untuk Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar mesti dikembalikan. Untuk mereka yang sudah meninggal atau tak bisa dikembalikan, mesti dibayar dengan kompensasi.
  17. Untuk Sultan Ternate, seluruh orang yang sudah diambil dari Kepulauan Sula mesti dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa mesti melepaskan seluruh hasratnya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya merupakan milik raja Ternate.
  18. Gowa mesti menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya mesti dimerdekakan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang sedang ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang sedang ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka mesti diberi keleluasaan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo sampai Turatea, dan dari Turatea sampai Bungaya, mesti tetap menjadi tanah milik Kompeni sbg hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar mesti diberi keleluasaan oleh pemerintah Gowa dan tak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, bisa terus bersama isteri mereka. Untuk berikutnya, bila telah tersedia orang Makassar yang berkeinginan tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berkeinginan tinggal dengan orang Makassar, boleh memperagakannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa mesti menutup negerinya untuk seluruh bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga mesti membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan mesti terjalin sela para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan mau ikut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di sela para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) mesti diminta untuk menaruh diri di tengah. Bila salah satu pihak tak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil sikap yang dibuat yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar mesti mengirim dua penguasa pentingnya bersama Admiral ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini untuk Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Bila perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral bisa menahan dua pangeran penting sbg sandera selama yang dia inginkan.
  27. Semakin jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang telah tersedia di Makassar mesti dibawa ke Batavia.
  28. Semakin jauh tentang pasal 15, bila Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa mesti ditahan.
  29. Pemerintah Gowa mesti membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berulang-ulang, berpihak kepada yang benar dalam wujud meriam, benda/barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Admiral sbg wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini mesti bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Pustaka

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Zaman Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Lihat juga

  • Kesultanan Gowa
  • Sultan Hasanuddin

Sumber :
informasi.web.id, p2k.ptkpt.net, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 11

Perjanjian Bungaya (sering juga dinamakan Bongaya atau Bongaja) merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya sela Kesultanan Gowa yang diganti oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diganti oleh Admiral Cornelis Speelman.[1] Walaupun dinamakan perjanjian perdamaian, pokok sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sebanyak benda/barang di pelabuhan Makassar (yang diduduki Gowan).

Pokok perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan sela pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sbg Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 mesti diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni warga negara Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan sedang tinggal di sekitar Makassar mesti segera dikirim untuk Admiral (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang sedang tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, mesti diserahkan untuk Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti berbuat salah atas pembunuhan orang Belanda di beragam tempat mesti diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar mesti membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, sangat lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris mesti ditampik dari kawasan Makassar dan tak boleh lagi diterima tinggal di sini atau memperagakan perdagangan.
    Tak telah tersedia orang Eropa yang boleh masuk atau memperagakan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh tidak terikat barang-barang yang dijual di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tak boleh mempublikasikan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh memperagakannya. Seluruh yang melanggar akan dihukum dan benda/barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni mesti dimerdekakan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan mesti menginginkan surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tak boleh telah tersedia kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya seluruh kawasan di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar mesti menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar mesti dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk direbut raja.
  11. Benteng Ujung Pandang mesti diserahkan untuk Kompeni dalam keadaan berpihak kepada yang benar, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi kawasannya.
  12. Koin Belanda seperti yang dipergunakan di Batavia mesti diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan mesti mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan aturan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya mesti sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya sangat lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan kawasannya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu mesti diserahkan untuk Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar mesti dikembalikan. Untuk mereka yang sudah meninggal atau tak bisa dikembalikan, mesti dibayar dengan kompensasi.
  17. Untuk Sultan Ternate, seluruh orang yang sudah diambil dari Kepulauan Sula mesti dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa mesti melepaskan seluruh hasratnya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya merupakan milik raja Ternate.
  18. Gowa mesti menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya mesti dimerdekakan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang sedang ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang sedang ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka mesti diberi keleluasaan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo sampai Turatea, dan dari Turatea sampai Bungaya, mesti tetap menjadi tanah milik Kompeni sbg hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar mesti diberi keleluasaan oleh pemerintah Gowa dan tak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, bisa terus bersama isteri mereka. Untuk berikutnya, bila telah tersedia orang Makassar yang berkeinginan tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berkeinginan tinggal dengan orang Makassar, boleh memperagakannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa mesti menutup negerinya untuk seluruh bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga mesti membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan mesti terjalin sela para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan mau ikut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di sela para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) mesti diminta untuk menaruh diri di tengah. Bila salah satu pihak tak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil sikap yang dibuat yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar mesti mengirim dua penguasa pentingnya bersama Admiral ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini untuk Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Bila perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral bisa menahan dua pangeran penting sbg sandera selama yang dia inginkan.
  27. Semakin jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang telah tersedia di Makassar mesti dibawa ke Batavia.
  28. Semakin jauh tentang pasal 15, bila Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa mesti ditahan.
  29. Pemerintah Gowa mesti membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berulang-ulang, berpihak kepada yang benar dalam wujud meriam, benda/barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Admiral sbg wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini mesti bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Pustaka

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Zaman Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Lihat juga

  • Kesultanan Gowa
  • Sultan Hasanuddin

Sumber :
informasi.web.id, p2k.ptkpt.net, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 12

Perjanjian Bungaya (sering juga dinamakan Bongaya atau Bongaja) merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya sela Kesultanan Gowa yang diganti oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diganti oleh Admiral Cornelis Speelman.[1] Walaupun dinamakan perjanjian perdamaian, pokok sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sebanyak benda/barang di pelabuhan Makassar (yang diduduki Gowan).

Pokok perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan sela pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sbg Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 mesti diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni warga negara Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan sedang tinggal di sekitar Makassar mesti segera dikirim untuk Admiral (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang sedang tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, mesti diserahkan untuk Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti berbuat salah atas pembunuhan orang Belanda di beragam tempat mesti diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar mesti membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, sangat lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris mesti ditampik dari kawasan Makassar dan tak boleh lagi diterima tinggal di sini atau memperagakan perdagangan.
    Tak telah tersedia orang Eropa yang boleh masuk atau memperagakan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh tidak terikat barang-barang yang dijual di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tak boleh mempublikasikan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh memperagakannya. Seluruh yang melanggar akan dihukum dan benda/barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni mesti dimerdekakan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan mesti menginginkan surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tak boleh telah tersedia kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya seluruh kawasan di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar mesti menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar mesti dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk direbut raja.
  11. Benteng Ujung Pandang mesti diserahkan untuk Kompeni dalam keadaan berpihak kepada yang benar, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi kawasannya.
  12. Koin Belanda seperti yang dipergunakan di Batavia mesti diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan mesti mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan aturan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya mesti sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya sangat lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan kawasannya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu mesti diserahkan untuk Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar mesti dikembalikan. Untuk mereka yang sudah meninggal atau tak bisa dikembalikan, mesti dibayar dengan kompensasi.
  17. Untuk Sultan Ternate, seluruh orang yang sudah diambil dari Kepulauan Sula mesti dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa mesti melepaskan seluruh hasratnya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya merupakan milik raja Ternate.
  18. Gowa mesti menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya mesti dimerdekakan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang sedang ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang sedang ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka mesti diberi keleluasaan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo sampai Turatea, dan dari Turatea sampai Bungaya, mesti tetap menjadi tanah milik Kompeni sbg hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar mesti diberi keleluasaan oleh pemerintah Gowa dan tak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, bisa terus bersama isteri mereka. Untuk berikutnya, bila telah tersedia orang Makassar yang berkeinginan tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berkeinginan tinggal dengan orang Makassar, boleh memperagakannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa mesti menutup negerinya untuk seluruh bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga mesti membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan mesti terjalin sela para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan mau ikut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di sela para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) mesti diminta untuk menaruh diri di tengah. Bila salah satu pihak tak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil sikap yang dibuat yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar mesti mengirim dua penguasa pentingnya bersama Admiral ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini untuk Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Bila perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral bisa menahan dua pangeran penting sbg sandera selama yang dia inginkan.
  27. Semakin jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang telah tersedia di Makassar mesti dibawa ke Batavia.
  28. Semakin jauh tentang pasal 15, bila Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa mesti ditahan.
  29. Pemerintah Gowa mesti membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berulang-ulang, berpihak kepada yang benar dalam wujud meriam, benda/barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Admiral sbg wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini mesti bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Pustaka

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Zaman Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Lihat juga

  • Kesultanan Gowa
  • Sultan Hasanuddin

Sumber :
informasi.web.id, p2k.ptkpt.net, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 13

Perjanjian Bungaya (sering juga dinamakan Bongaya atau Bongaja) merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya sela Kesultanan Gowa yang diganti oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diganti oleh Admiral Cornelis Speelman.[1] Walaupun dinamakan perjanjian perdamaian, pokok sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sebanyak benda/barang di pelabuhan Makassar (yang diduduki Gowan).

Pokok perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan sela pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sbg Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 mesti diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni warga negara Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan sedang tinggal di sekitar Makassar mesti segera dikirim untuk Admiral (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang sedang tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, mesti diserahkan untuk Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti berbuat salah atas pembunuhan orang Belanda di beragam tempat mesti diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar mesti membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, sangat lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris mesti ditampik dari kawasan Makassar dan tak boleh lagi diterima tinggal di sini atau memperagakan perdagangan.
    Tak telah tersedia orang Eropa yang boleh masuk atau memperagakan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh tidak terikat barang-barang yang dijual di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tak boleh mempublikasikan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh memperagakannya. Seluruh yang melanggar akan dihukum dan benda/barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni mesti dimerdekakan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan mesti menginginkan surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tak boleh telah tersedia kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya seluruh kawasan di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar mesti menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar mesti dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk direbut raja.
  11. Benteng Ujung Pandang mesti diserahkan untuk Kompeni dalam keadaan berpihak kepada yang benar, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi kawasannya.
  12. Koin Belanda seperti yang dipergunakan di Batavia mesti diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan mesti mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan aturan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya mesti sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya sangat lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan kawasannya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu mesti diserahkan untuk Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar mesti dikembalikan. Untuk mereka yang sudah meninggal atau tak bisa dikembalikan, mesti dibayar dengan kompensasi.
  17. Untuk Sultan Ternate, seluruh orang yang sudah diambil dari Kepulauan Sula mesti dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa mesti melepaskan seluruh hasratnya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya merupakan milik raja Ternate.
  18. Gowa mesti menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya mesti dimerdekakan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang sedang ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang sedang ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka mesti diberi keleluasaan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo sampai Turatea, dan dari Turatea sampai Bungaya, mesti tetap menjadi tanah milik Kompeni sbg hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar mesti diberi keleluasaan oleh pemerintah Gowa dan tak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, bisa terus bersama isteri mereka. Untuk berikutnya, bila telah tersedia orang Makassar yang berkeinginan tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berkeinginan tinggal dengan orang Makassar, boleh memperagakannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa mesti menutup negerinya untuk seluruh bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga mesti membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan mesti terjalin sela para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan mau ikut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di sela para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) mesti diminta untuk menaruh diri di tengah. Bila salah satu pihak tak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil sikap yang dibuat yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar mesti mengirim dua penguasa pentingnya bersama Admiral ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini untuk Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Bila perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral bisa menahan dua pangeran penting sbg sandera selama yang dia inginkan.
  27. Semakin jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang telah tersedia di Makassar mesti dibawa ke Batavia.
  28. Semakin jauh tentang pasal 15, bila Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa mesti ditahan.
  29. Pemerintah Gowa mesti membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berulang-ulang, berpihak kepada yang benar dalam wujud meriam, benda/barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Admiral sbg wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini mesti bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Pustaka

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Zaman Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Lihat juga

  • Kesultanan Gowa
  • Sultan Hasanuddin

Sumber :
informasi.web.id, p2k.ptkpt.net, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 14

Perjalanan Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuna berbahasa Sunda yang berisi kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpankan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Naskah Bujangga Manik semuanya terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing mengandung sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.

Tokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda yang semakin suka menjalani hidup sebagai seorang resi, walaupun sebenarnya dia seorang kesatria dari keraton Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi Kota Bogor). Sebagai seorang resi, dia menerapkan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa. Pada perjalanan kedua Bujangga Manik malah sempat singgah di Bali kepada beberapa lama. Pada beres Bujangga Manik bertapa di sekitar Gunung Patuha hingga kesudahan hayatnya.[1] Dari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa naskah Bujangga Manik bersumber dari zaman sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang bersumber dari bahasa Arab. Penyebutan Majapahit, Malaka, dan Demak membawa pada lebih kurang bahwa naskah ini ditulis kesudahan tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an.[2] Naskah ini sangat mempunyai nilai karena menggambarkan geografi dan topografi Pulau Jawa pada saat naskah dibentuk. Semakin dari 450 nama lokasi, gunung, dan sungai diistilahkan di dalamnya. Sebagian luhur dari nama-nama lokasi tersebut sedang digunakan atau dikenal hingga sekarang[3].

Ringkasan Naskah

Naskah ini ditulis dengan genre santri lelana ("orang pintar yang berkelana"), suatu genre yang cukup umum digunakan pada naskah-naskah dari masa berikutnya, seperti misalnya Serat Centhini.

Disebutkan bahwa Bujangga Manik akan meninggalkan ibunya kepada pergi ke arah timur. Dia sangat teliti dalam menceritakan keberangkatannya. Dari muslihat budinya kita kenal bahwa dia mengenakan ikat kepala (saceundung kaen).

Perjalanan pertamanya dilukiskannya secara terperinci. Waktu mendaki wilayah Puncak Bujangga Manik menghabiskan waktu seperti seorang pelancong zaman modern: dia duduk, mengipasi badannya dan menikmati pemandangan, khususnya Gunung Gede yang dia sebut sebagai titik tertinggi dari daerah Pakuan (ibukota Kerajaan Sunda).

Dari Puncak dia melanjutkan perjalanan hingga menyeberangi Ci Pamali (sekarang dikata Kali Brebes) kepada masuk ke wilayah Jawa. Di wilayah Jawa dia mengembara ke berbagai desa yang termasuk kerajaan Majapahit dan juga kerajaan Demak. Sesampai di Pamalang, Bujangga Manik merindukan ibunya dan memutuskan kepada pulang. Namun pada kesempatan ini, dia semakin suka kepada lewat laut dan menaiki kapal yang datang dari Malaka. Kesultanan Malaka mulai pertengahan ratus tahun ke-15 hingga ditaklukkan oleh Portugis menguasai perdagangan pada perairan ini.

Keberangkatan kapal dari pelabuhan dilukiskan seperti upacara pesta bedil ditembakkan, peralatan musik dipertontonkan, beberapa lagu dinyanyikan dengan keras oleh awak kapal; cerminan terperinci mengenai bahan yang digunakan kepada menciptakan kapal diceritakan: berbagai jenis bambu dan rotan, tiang dari kayu laka, juru mudi yang bersumber dari India juga disebutkan; Bujangga Manik benar-benar terpesona karena awak kapal bersumber dari berbagai lokasi atau bangsa.

Perjalanan dari Pamalang (sekarang Pemalang) ke Kalapa, pelabuhan Kerajaan Sunda, ditempuh dalam setengah bulan. yang memberi bekas bahwa kapal yang ditumpangi tersebut beristirahat di berbagai lokasi di selang Pamalang dan Kalapa. Dari perjalanan tersebut, Bujangga Manik menciptakan nama alias lainnya adalah Ameng Layaran. Dari Kalapa, Bujangga Manik melalui Pabeyaan dan meneruskan perjalanan ke istana kerajaan di Pakuan, di bidang selatan kota Bogor sekarang bujangga Manik memasuki Pakancilan, terus masuk ke paviliun yang dihias cantik dan duduk di sana. Dia melihat ibunya sedang menenun. Ibunya terkejut dan bahagia melihat anaknya pulang kembali. Dia segera meninggalkan pekerjaannya dan memasuki rumah dengan melalui beberapa lapis tirai, dan naik ke lokasi tidurnya.

Ibu Bujangga Manik menyediakan sambutan buat anaknya, menghidangkan sebaki bahan kepada mengunyah sirih, menyisirkan rambutnya, dan mengenakan baju mahal. Dia akhir turun dari kamar tidurnya, keluar dari rumah, pergi ke paviliun dan menyambut anaknya. Bujangga Manik menerima perlengkapan mengunyah sirih yang ditawarkan ibunya.

Pada bidang berikutnya, disebutkan mengenai putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Jompong Larang, pesuruh putri Ajung Larang meninggalkan istananya, menyeberangi Ci (Sungai) Pakancilan dan datang ke istana Bujangga Manik. Di istana tersebut dia bertemu seorang asing yang sedang mengunyah sirih yang ternyata adalah Bujangga Manik. Jompong Larang terpesona dengan ketampanan Bujangga Manik.

Sekembalinya ke istana majikannya, Jompong Larang menemui putri Ajung Larang yang kebetulan sedang sibuk menenun. Putri, yang mengenakan gaun serta di sampingnya aci kotak impor dari Cina, melihat Jompong Larang yang tergesa-gesa, menaiki tangga dan akhir duduk di sampingnya.

Putri menanyakan pesan apa yang dibawanya. Jompong Larang mengatakan bahwa dia melihat pria yang sangat tampan, sepadan bagi putri Ajung Larang. Dia menceritakan bahwa Ameng Layaran semakin tampan daripada Banyak Catra atau Silih Wangi, atau sepupu sang putri, atau siapapun itu. Semakin dari itu, pria itu pintar menciptakan sajak dalam daun lontar serta mampu berbahasa Jawa. Putri Ajung Larang langsung dihinggapi rasa cinta. Dia akhir membubarkan pekerjaan menenunnya dan memasuki rumah. Di sana dia sibuk menyediakan hadiah bagi pria muda tersebut, yang terdiri dari berbagai perlengkapan mengunyah sirih, menggunakan bahan-bahan yang indah, dengan sangat hati-hati. Putri juga menambahkan koleksi wangi-wangian yang sangat mahal: "seluruh wewangian tersebut bersumber dari luar negeri", juga baju dan sebuah keris yang indah.

Ibu Bujangga Manik mendesak anaknya kepada menerima hadiah dari putri Ajung Larang akhir menggambarkan kecantikan putri yang luar biasa serta pujian-pujian lainnya. Ibunya juga mengatakan bahwa putri berkeinginan kepada meyerahkan dirinya kepada Bujangga Manik serta mengucapkan kata-kata yang tidak pernah disampaikan putri Ajung Larang, "Diri sendiri akan menyerahkan diri diri sendiri. Diri sendiri akan menyambar seperti elang, menerkam seperti harimau, menginginkan diterima sebagai kekasih. Ameng Layaran terkejut mendengar ucapan-ucapan ibunya yang antusias dan mengatakannya sebagai kata-kata terlarang (carèk larangan) dan bertekad kepada menolak hadiah tersebut dengan kata-kata yang panjang juga. Dia menginginkan ibunya bersama Jompong Larang kepada mengembalikan hadiah tersebut kepada putri serta menghibur putri. Dia semakin suka kepada hidup sendiri dan menjaga petuah yang dia terima selama perjalanannya ke Tanah Jawa, di pesantren di lereng Gunung Merbabu (yang dia sebut dalam naskah ini sebagai Gunung Damalung dan Pamrihan). Kepada itulah Bujangga Manik terpaksa harus meninggalkan ibunya.

Bujangga Manik mengambil tasnya yang mengandung buku luhur (apus ageung) dan siksaguru, juga tongkat rotan serta pecut. Dia akhir mengatakan bahwa dia akan pergi lagi ke timur, ke ujung timur pulau Jawa kepada mencari lokasi nanti dia dikuburkan, kepada mencari "laut kepada hanyut, suatu lokasi kepada kematiannya, suatu lokasi kepada merebahkan tubuhnya". Dengan kata-kata yang dramatis ini dia meninggalkan istana dan memulai pengembaraan panjangnya.

Dia meneruskan perjalanannya ke timur, menuliskan banyak sekali nama lokasi yang sebagian sedang digunakan hingga sekarang.[4]

Rujukan

  • J. Noorduyn (alihbahasa oleh Iskandar Wassid). 1984. Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: data topografis dari sumber Sunda Kuno. KITLV & LIPI, Jakarta.
  • J. Noorduyn & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV.

Catatan kaki

  1. ^ Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems. KITLV Press. hlm. 437. 
  2. ^ Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems. KITLV Press. hlm. 438. 
  3. ^ Noorduyn J. 1982. BKI 138:413-442.
  4. ^ Noorduyn J. 1982. BKI 138:413-442.


Sumber :
p2k.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dan lain sebagainya.


Page 15

Perjalanan Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuna berbahasa Sunda yang berisi kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpankan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Naskah Bujangga Manik semuanya terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing mengandung sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.

Tokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda yang semakin suka menjalani hidup sebagai seorang resi, walaupun sebenarnya dia seorang kesatria dari keraton Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi Kota Bogor). Sebagai seorang resi, dia menerapkan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa. Pada perjalanan kedua Bujangga Manik malah sempat singgah di Bali kepada beberapa lama. Pada beres Bujangga Manik bertapa di sekitar Gunung Patuha hingga kesudahan hayatnya.[1] Dari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa naskah Bujangga Manik bersumber dari zaman sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang bersumber dari bahasa Arab. Penyebutan Majapahit, Malaka, dan Demak membawa pada lebih kurang bahwa naskah ini ditulis kesudahan tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an.[2] Naskah ini sangat mempunyai nilai karena menggambarkan geografi dan topografi Pulau Jawa pada saat naskah dibentuk. Semakin dari 450 nama lokasi, gunung, dan sungai diistilahkan di dalamnya. Sebagian luhur dari nama-nama lokasi tersebut sedang digunakan atau dikenal hingga sekarang[3].

Ringkasan Naskah

Naskah ini ditulis dengan genre santri lelana ("orang pintar yang berkelana"), suatu genre yang cukup umum digunakan pada naskah-naskah dari masa berikutnya, seperti misalnya Serat Centhini.

Disebutkan bahwa Bujangga Manik akan meninggalkan ibunya kepada pergi ke arah timur. Dia sangat teliti dalam menceritakan keberangkatannya. Dari muslihat budinya kita kenal bahwa dia mengenakan ikat kepala (saceundung kaen).

Perjalanan pertamanya dilukiskannya secara terperinci. Waktu mendaki wilayah Puncak Bujangga Manik menghabiskan waktu seperti seorang pelancong zaman modern: dia duduk, mengipasi badannya dan menikmati pemandangan, khususnya Gunung Gede yang dia sebut sebagai titik tertinggi dari daerah Pakuan (ibukota Kerajaan Sunda).

Dari Puncak dia melanjutkan perjalanan hingga menyeberangi Ci Pamali (sekarang dikata Kali Brebes) kepada masuk ke wilayah Jawa. Di wilayah Jawa dia mengembara ke berbagai desa yang termasuk kerajaan Majapahit dan juga kerajaan Demak. Sesampai di Pamalang, Bujangga Manik merindukan ibunya dan memutuskan kepada pulang. Namun pada kesempatan ini, dia semakin suka kepada lewat laut dan menaiki kapal yang datang dari Malaka. Kesultanan Malaka mulai pertengahan ratus tahun ke-15 hingga ditaklukkan oleh Portugis menguasai perdagangan pada perairan ini.

Keberangkatan kapal dari pelabuhan dilukiskan seperti upacara pesta bedil ditembakkan, peralatan musik dipertontonkan, beberapa lagu dinyanyikan dengan keras oleh awak kapal; cerminan terperinci mengenai bahan yang digunakan kepada menciptakan kapal diceritakan: berbagai jenis bambu dan rotan, tiang dari kayu laka, juru mudi yang bersumber dari India juga disebutkan; Bujangga Manik benar-benar terpesona karena awak kapal bersumber dari berbagai lokasi atau bangsa.

Perjalanan dari Pamalang (sekarang Pemalang) ke Kalapa, pelabuhan Kerajaan Sunda, ditempuh dalam setengah bulan. yang memberi bekas bahwa kapal yang ditumpangi tersebut beristirahat di berbagai lokasi di selang Pamalang dan Kalapa. Dari perjalanan tersebut, Bujangga Manik menciptakan nama alias lainnya adalah Ameng Layaran. Dari Kalapa, Bujangga Manik melalui Pabeyaan dan meneruskan perjalanan ke istana kerajaan di Pakuan, di bidang selatan kota Bogor sekarang bujangga Manik memasuki Pakancilan, terus masuk ke paviliun yang dihias cantik dan duduk di sana. Dia melihat ibunya sedang menenun. Ibunya terkejut dan bahagia melihat anaknya pulang kembali. Dia segera meninggalkan pekerjaannya dan memasuki rumah dengan melalui beberapa lapis tirai, dan naik ke lokasi tidurnya.

Ibu Bujangga Manik menyediakan sambutan buat anaknya, menghidangkan sebaki bahan kepada mengunyah sirih, menyisirkan rambutnya, dan mengenakan baju mahal. Dia akhir turun dari kamar tidurnya, keluar dari rumah, pergi ke paviliun dan menyambut anaknya. Bujangga Manik menerima perlengkapan mengunyah sirih yang ditawarkan ibunya.

Pada bidang berikutnya, disebutkan mengenai putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Jompong Larang, pesuruh putri Ajung Larang meninggalkan istananya, menyeberangi Ci (Sungai) Pakancilan dan datang ke istana Bujangga Manik. Di istana tersebut dia bertemu seorang asing yang sedang mengunyah sirih yang ternyata adalah Bujangga Manik. Jompong Larang terpesona dengan ketampanan Bujangga Manik.

Sekembalinya ke istana majikannya, Jompong Larang menemui putri Ajung Larang yang kebetulan sedang sibuk menenun. Putri, yang mengenakan gaun serta di sampingnya aci kotak impor dari Cina, melihat Jompong Larang yang tergesa-gesa, menaiki tangga dan akhir duduk di sampingnya.

Putri menanyakan pesan apa yang dibawanya. Jompong Larang mengatakan bahwa dia melihat pria yang sangat tampan, sepadan bagi putri Ajung Larang. Dia menceritakan bahwa Ameng Layaran semakin tampan daripada Banyak Catra atau Silih Wangi, atau sepupu sang putri, atau siapapun itu. Semakin dari itu, pria itu pintar menciptakan sajak dalam daun lontar serta mampu berbahasa Jawa. Putri Ajung Larang langsung dihinggapi rasa cinta. Dia akhir membubarkan pekerjaan menenunnya dan memasuki rumah. Di sana dia sibuk menyediakan hadiah bagi pria muda tersebut, yang terdiri dari berbagai perlengkapan mengunyah sirih, menggunakan bahan-bahan yang indah, dengan sangat hati-hati. Putri juga menambahkan koleksi wangi-wangian yang sangat mahal: "seluruh wewangian tersebut bersumber dari luar negeri", juga baju dan sebuah keris yang indah.

Ibu Bujangga Manik mendesak anaknya kepada menerima hadiah dari putri Ajung Larang akhir menggambarkan kecantikan putri yang luar biasa serta pujian-pujian lainnya. Ibunya juga mengatakan bahwa putri berkeinginan kepada meyerahkan dirinya kepada Bujangga Manik serta mengucapkan kata-kata yang tidak pernah disampaikan putri Ajung Larang, "Diri sendiri akan menyerahkan diri diri sendiri. Diri sendiri akan menyambar seperti elang, menerkam seperti harimau, menginginkan diterima sebagai kekasih. Ameng Layaran terkejut mendengar ucapan-ucapan ibunya yang antusias dan mengatakannya sebagai kata-kata terlarang (carèk larangan) dan bertekad kepada menolak hadiah tersebut dengan kata-kata yang panjang juga. Dia menginginkan ibunya bersama Jompong Larang kepada mengembalikan hadiah tersebut kepada putri serta menghibur putri. Dia semakin suka kepada hidup sendiri dan menjaga petuah yang dia terima selama perjalanannya ke Tanah Jawa, di pesantren di lereng Gunung Merbabu (yang dia sebut dalam naskah ini sebagai Gunung Damalung dan Pamrihan). Kepada itulah Bujangga Manik terpaksa harus meninggalkan ibunya.

Bujangga Manik mengambil tasnya yang mengandung buku luhur (apus ageung) dan siksaguru, juga tongkat rotan serta pecut. Dia akhir mengatakan bahwa dia akan pergi lagi ke timur, ke ujung timur pulau Jawa kepada mencari lokasi nanti dia dikuburkan, kepada mencari "laut kepada hanyut, suatu lokasi kepada kematiannya, suatu lokasi kepada merebahkan tubuhnya". Dengan kata-kata yang dramatis ini dia meninggalkan istana dan memulai pengembaraan panjangnya.

Dia meneruskan perjalanannya ke timur, menuliskan banyak sekali nama lokasi yang sebagian sedang digunakan hingga sekarang.[4]

Rujukan

  • J. Noorduyn (alihbahasa oleh Iskandar Wassid). 1984. Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: data topografis dari sumber Sunda Kuno. KITLV & LIPI, Jakarta.
  • J. Noorduyn & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV.

Catatan kaki

  1. ^ Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems. KITLV Press. hlm. 437. 
  2. ^ Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems. KITLV Press. hlm. 438. 
  3. ^ Noorduyn J. 1982. BKI 138:413-442.
  4. ^ Noorduyn J. 1982. BKI 138:413-442.


Sumber :
p2k.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dan lain sebagainya.


Page 16

Akad Bungaya (sering juga dinamakan Bongaya atau Bongaja) adalah akad perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya selang Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Admiral Cornelis Speelman.[1] Walaupun dinamakan akad perdamaian, pokok sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah benda/barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowan).

Pokok akad

  1. Akad yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan selang pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 wajib diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di lebih kurang Makassar wajib segera dikirim kepada Admiral (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, wajib diserahkan kepada Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat wajib diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar wajib membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris wajib diusir dari kawasan Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau menerapkan perdagangan.
    Tidak aci orang Eropa yang boleh masuk atau menerapkan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh bebas sama sekali berjualan di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh menyebarluaskan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh menerapkannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan benda/barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni wajib diberi keleluasaan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan wajib memohon surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh aci kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua kawasan di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di lebih kurangnya. Mereka yang melanggar wajib menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar wajib dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
  11. Benteng Ujung Pandang wajib diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang dibentuk menjadi kawasannya.
  12. Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia wajib diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan wajib mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan anggaran 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya wajib sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan kawasannya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu wajib diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar wajib dikembalikan. Bagi mereka yang sudah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, wajib dibayar dengan kompensasi.
  17. Bagi Sultan Ternate, semua orang yang sudah diambil dari Kepulauan Sula wajib dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa wajib memerdekakan seluruh hasratnya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
  18. Gowa wajib menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya wajib diberi keleluasaan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka wajib ditinggalkan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, wajib tetap dibentuk menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar wajib ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi menolong mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika aci orang Makassar yang berkeinginan tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berkeinginan tinggal dengan orang Makassar, boleh menerapkannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa wajib menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga wajib menolong Kompeni melawan musuhnya di dalam dan lebih kurang Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan wajib terjalin selang para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di selang para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) wajib diminta untuk meletak diri di tengah. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tingkah laku yang dibuat yang setimpal.
  26. Ketika akad damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar wajib mengirim dua penguasa pentingnya bersama Admiral ke Batavia untuk menyerahkan akad ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika akad ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
  27. Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang aci di Makassar wajib dibawa ke Batavia.
  28. Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa wajib ditahan.
  29. Pemerintah Gowa wajib membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berulang-ulang, baik dalam bangun meriam, benda/barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Admiral sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini wajib bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk akad ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Referensi

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Masa zaman Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Lihat pula

  • Kesultanan Gowa
  • Sultan Hasanuddin

Sumber :
id.wikipedia.org, diskusi.biz, p2k.kpt.co.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya.


Page 17

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Selang Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Kontrak Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Kontrak London atau Traktat London. Kontrak ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang muncul beruntun dampak pemberlakuan Kontrak Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Kontrak ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan untuk ganti menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berlandaskan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dikuatkan secara lokal. selang lain :

  1. Pembatasan banyak bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak membikin kontrak dengan negara bagian Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi kontrak dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan daya militer dan sipil untuk menghambat kontrak dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan untuk pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat buka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam kontrak ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju untuk tidak buka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania memohon untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak hendak membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju untuk tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat kontrak dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan kontruksi bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dijelaskan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari banyak yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kemudian tahun 1825.

Kontrak disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya.


Page 18

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Selang Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Kontrak Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Kontrak London atau Traktat London. Kontrak ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang muncul beruntun dampak pemberlakuan Kontrak Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Kontrak ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan untuk ganti menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berlandaskan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dikuatkan secara lokal. selang lain :

  1. Pembatasan banyak bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak membikin kontrak dengan negara bagian Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi kontrak dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan daya militer dan sipil untuk menghambat kontrak dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan untuk pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat buka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam kontrak ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju untuk tidak buka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania memohon untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak hendak membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju untuk tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat kontrak dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan kontruksi bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dijelaskan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari banyak yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kemudian tahun 1825.

Kontrak disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya.


Page 19

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Selang Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Kontrak Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Kontrak London atau Traktat London. Kontrak ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang muncul beruntun dampak pemberlakuan Kontrak Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Kontrak ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan untuk ganti menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berlandaskan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dikuatkan secara lokal. selang lain :

  1. Pembatasan banyak bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak membikin kontrak dengan negara bagian Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi kontrak dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan daya militer dan sipil untuk menghambat kontrak dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan untuk pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat buka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam kontrak ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju untuk tidak buka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania memohon untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak hendak membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju untuk tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat kontrak dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan kontruksi bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dijelaskan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari banyak yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kemudian tahun 1825.

Kontrak disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya.


Page 20

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Selang Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Kontrak Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Kontrak London atau Traktat London. Kontrak ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang muncul beruntun dampak pemberlakuan Kontrak Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Kontrak ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan untuk ganti menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berlandaskan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dikuatkan secara lokal. selang lain :

  1. Pembatasan banyak bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak membikin kontrak dengan negara bagian Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi kontrak dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan daya militer dan sipil untuk menghambat kontrak dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan untuk pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat buka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam kontrak ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju untuk tidak buka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania memohon untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak hendak membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju untuk tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat kontrak dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan kontruksi bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dijelaskan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari banyak yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kemudian tahun 1825.

Kontrak disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya.


Page 21

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Selang Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Kontrak Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Kontrak London atau Traktat London. Kontrak ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang muncul beruntun dampak pemberlakuan Kontrak Britania-Belanda 1814.

Belanda diganti oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diganti oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Kontrak ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan untuk ganti menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berlandaskan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dikuatkan secara lokal. selang lain :

  1. Pembatasan banyak bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak membikin kontrak dengan negara bagian Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi kontrak dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan daya militer dan sipil untuk menghambat kontrak dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan untuk pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat buka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam kontrak ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju untuk tidak buka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania memohon untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak hendak membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju untuk tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat kontrak dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan kontruksi bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dijelaskan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari banyak yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kemudian tahun 1825.

Kontrak disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya.


Page 22

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Selang Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Kontrak Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Kontrak London atau Traktat London. Kontrak ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang muncul beruntun dampak pemberlakuan Kontrak Britania-Belanda 1814.

Belanda diganti oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diganti oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Kontrak ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan untuk ganti menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berlandaskan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dikuatkan secara lokal. selang lain :

  1. Pembatasan banyak bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak membikin kontrak dengan negara bagian Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi kontrak dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan daya militer dan sipil untuk menghambat kontrak dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan untuk pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat buka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam kontrak ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju untuk tidak buka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania memohon untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak hendak membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju untuk tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat kontrak dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan kontruksi bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dijelaskan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari banyak yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kemudian tahun 1825.

Kontrak disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya.


Page 23

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Selang Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda mentandatangani Kontrak Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Kontrak London atau Traktat London. Kontrak ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang muncul beruntun dampak pemberlakuan Kontrak Britania-Belanda 1814.

Belanda diganti oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diganti oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Kontrak ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan untuk ganti menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berlandaskan kepada negara yang paling dimohon, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang dikuatkan secara lokal. selang lain :

  1. Pembatasan banyak bayaran yang boleh dikenakan pada benda/barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak membikin kontrak dengan negara bagian Timur yang tidak mengikutsertakan /membatasi kontrak dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan daya militer dan sipil untuk menghambat kontrak dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan untuk pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat buka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam kontrak ini, mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju untuk tidak buka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania memohon untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak hendak membangun kantor perwakilan di pulau Sumat atau membikin kontrak dengan penguasanya.
  • Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh Belanda.
  • Britania setuju untuk tidak membangun kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat kontrak dengan penguasa-penguasa kawasan.

Semua serah terima dari kepemilikan dan kontruksi bangunan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dijelaskan pada Convention on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari banyak yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pounds sterling sebelum kemudian tahun 1825.

Kontrak disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda.


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya.