Kenapa pt asuransi tidak dapat di sebut bank

Lembaga asuransi sebagaimana dikenal sekarang, sebenarnya tidak dikenal pada masa awal Islam, akibatnya banyak literatur Islam menyimpulkan bahwa asuransi tidak dapat dipandang sebagai praktik yang halal, walaupun secara jelas mengenai lembaga asuransi ini tidak dikenal di masa Islam, akan tetapi dalam historisitas Islam, terdapat beberapa aktifitas dari kehidupan pada masa Rasulullah SAW yang mengarah pada prinsip-prinsip asuransi. Misalnya konsep tanggung jawab bersama yang disebut dengan sitem aqilah.

            Menurut Muhammad Syakir Sula dalam bukunya, disebutkan bahwa sistem aqilah menurut Thomas Patrick dalam bukunya Dictionary of Islam, merupakan suatu kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan suku Arab sejak zaman dulu bahwa jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain, pewaris korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh saudara terdekat pembunuh tersebut yang disebut aqilah, harus membayar uang darah atas nama pembunuh.

            Sistem tersebut tersebut telah berkembang pada masyarakat Arab sebelum lahirnya Rasulullah, SAW., kemudian pada zaman Rasulullah SAW atau pada masa awal Islam, sistem tersebut dipraktikkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sistem aqilah adalah sistem menghimpun anggota untuk menyumbang dalam suatu tabungan bersama yang dikenal sebagai “kunz”. Tabungan ini bertujuan untuk memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang terbunuh secara tidak sengaja dan untuk membebaskan hamba sahaya.

            Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan asuransi syariah tidak terlepas adanya asuransi konvensional yang telah ada sejak lama. Sebelum terwujudnya asuransi syariah terdapat berbagai macan asuransi konvensional yang rata-rata dikendalikan oleh non muslim. Jika ditinjau dari segi hukum perikatan Islam, asuransi konvensional hukumnya haram. Hal ini dikarenakan dalam operasional asuransi konvensional mengadung unsur gharar, maysir dan riba. Pendapat ini disepakati oleh banyak ulama terkenal seperti yusuf Qaradhawi (Guru besar Universitas Qatar), Sayyid Sabiq, Abdullah al Qalqili, Muhammad Bakhil al Muthi’ie (Mufti Mesir 1854-1935), Abdul Wahab Khalaf, dll., namun demikian karena alasan kemaslahatan atau kepentingan umum sebagian yang lain dari mereka membolehkan beroperasinya asuransi konvensional.

            Di Malaysia pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan pada tanggal 15 Juni 1972. Hal tersebut disampaikan oleh Jawataan Kuasa Fatwa Malaysia, begitu juga dengan Jawatan Fatwa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya yang menyatakan bahwa asuransi masa kini cara pengelolaan barat dan sebagian operasinya tidak sesuai dengan operasi Islam.

            Atas landasan bahwa asuransi konvensional hukumnya adalah haram, maka kemudian dipikirkan dan dirumuskan bentuk asuransi yang bisa dihindari dari ketiga unsur yang diharamkan Islam. Berdasarkan hasil analisa terhadap hukum atau syariat Isalam ternyata di dalam ajaran Islam memuat substansi perasuransian. Asuransi yang termuat dalam substansi hukum Islam tersebut ternyata dapat menghindarkan prinsip operasional asuransi dari unsur gharar, maisir dan riba.

            Dengan adanya keyakinan umat Islam di dunia dan keuntungan yang diperoleh melalui konsep asuransi syariah, lahirlah berbagai perusahaan asuransi yang mengendalikan asuransi berlandaskan syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi syariah ini bukan saja perusahaan orang Islam, namun juga berbagai perusahaan bukan Islam ikut terjun ke dalam usaha asuransi syariah.

            Pada dekade 70-an di beberapa negara Islam atau negara Islam atau di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam. Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya perusahaan asuransi syarian islamic insurance Co. Ltd. Di Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd. Di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini kemudian diiukuti oleh berdirinya dar al mal al-islami di Genewa, swiss dan takaful Islami di Luxemburg dll. Sampai akhirnya di Malaysia berdiri Syariat Takaful Sendirian Berhad tahun 1983. Di Indonesia sendiri asuransi takaful baru muncul pada tahun 1994 seiring dengan diresmikannya PT Syarikat Takaful Indonesia yang kemudian mendirikan 2 anak perusahaan yaitu PT. Syarikat Takaful Indonesia yang kemudian mendirikan 2 anak perusahaan yaitu PT. Asuransi Takaful keluarga pada tahun 1994 dan PT. Asuransi Takaful Umum pada tahun 1995.

            Gagasan dan pemikiran didirikannya asuransi berlandaskan syariah sebenarnya sudah muncul tiga tahun sebelum berdirinya takaful dan makin kuat setelah diresmikannya Bank Muamalat Indonesia tahun 1991. Dengan beroperasinya bank-bank syariah dirasakan kebutuhan akan dihadirkannya jasa asuransi yang berdasarkan syariah pula. Berdasatkan pemikiran tersebut ikataan cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 Juli 1993 melalui yayasan Abdi Bangsanya bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful dengan menyusun Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI).

            TEPATI itulah yang kemudian menjadi perumus dan perealisir dari berdirinya asuransi takaful Indonesia dengan mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) dan PT Asuransi Umum (asuransi kerugian). Pendirian dua perusahaan asuransi tersebut dimaksudkan untuk memenuhi pasal 3 UU Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian yang menyebutkan bahwa perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian harus didirikan secara terpisah.

            Langkah awal yang dilakukan TEPATI dalam membentuk asuransi yang berdasarkan syariah adalah melakukan studi banding ke syariakat takaful malaysia sendirian berhad Kuala Lumur pada tanggal 7 sampai dengan 10 September 1993. Hasil studi banding ini diseminarkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1993 yang merekomendasikan untuk segera dibentuk Asuransi Takaful Indonesia. Kemudian TEPATI merumuskan dan menyusun konsep asuransi takaful serta mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi. Akhirnya tanggal 23 Agustus 1994, Asurandi Takaful Indinesia berdiri secara resmi. Pendirian ini dilakukan secara resmi di Puri Agung Room Hotel Syahid, Jakarta. Izin operasionalnya diperoleh dari Departemen Keuangan melalui surat Keputusan nomor Kep-385/KMK.017/1994 tanggal 4 Agustus 1994.

            Perkembangan asuransi syariah di Indonesia termasuk hitungan terlambat dibanding dengan perkembangan asurandi syariah di luar negeri. Pada akhir abad ke 20 negara non muslim telah membuka perusahaan asuransi yang bernuansa Islam seperti Turki dengan berdirinya perusahaan Ihlas Sigarta As (1993),. Asutralia dengan berdirinya Takaful Australia (1993), Bahamas dengan berdirinya perusahaan asuransi Islam Takaful & Re-Takaful (1993), Ghana dengan berdirinya Asuransi Metropolitan Insurance Co. Ltd. (1993), dll.

            Saat ini perusahaan asuransi yang benar-benar secara penuh beroperasi sebagai perusahaan asuransi syariah ada tiga, yaitu Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful Umum dan Asuransi Mubarakah. Selain itu ada beberapa perusahaan asuransi konvensional yang membuka cabang syariah seperti MAA, Great Eastern, Tripakarta, beringin Life, Bumi Putra, Dharmala dan Jasindo.

            Perkembangan asuransi syariah di masa yang diharapkan akan terus berkembang, seiring dengan membaiknya perkembangan ekonomi dunia, khususnya di Indonesia. Meskipun perusahaan syariah di Indonesia masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, diharapkan di waktu yang akan datang produk-produk asuransi yang bernilai syariah dapat tumbuh dan berkembang secara baik. Diharapkan pula, ada perusahaan asuransi konvensional dalam operasionalnya kepada prinsip syariah yang mendasarkan operasionalnya kepada prinsip tolong-menolong dan kejujuran yang sempurna.

Sumber: http://www.pa-amuntai.go.id/artikel-pengadilan/521-asuransi-syariah.html
Penulis: Syaiful Annas, S.H.I., M.Sy.

Prinsip utama dalam asuransi syariah adalah ta’awanu ‘ala birri wa al-taqwa (tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa), dan al-ta’min (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan lainnya saling menjamin dan menanggung resiko. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi takaful adalah akad takaful (saling menanggung) bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.

            Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau asuransi takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama:

            Yang berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta yang mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah. Hal ini dapat diperhatikan dari hadits-hadits berikut:

“setiap orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang di bawah tanggung jawab kamu” (HR. Bukhari dan Muslim)

“kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang beriman antara satu dengan lain seperti satu tubuh (jasad) apabila satu dari anggotanya tidak sehat, maka akan berpengaruh kepada seluruh tubuh” (HR. Bukhari dan Muslim).

“seorang mukmin dengan mukmin lainnya (dalam satu masyarakat) seperti sebuah bangunan dimana tiap-tiap bagian dalam banguna itu mengukuhkan bagian-bagian yang lain” (HR Bukhari dan Muslim).

“seseorang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri” (HR. Bukhari).

Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap muslim. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang  beriman, taqwa dan harmonis. Dengan prinisp ini, maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam al-Quran dan Rasulullah SAW. dalam al-Sunnah tentang kewajiban untuk tidak memperhatikan kepentingan diri sendiri semata tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.

  1. Saling bekerja sama atau saling membantu

            yang berarti di antara peserta asuransi takaful yang satu dengan lainnya saling bekerja sama dan saling tolong-menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang dideritanya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 dan hadits Nabi yang mengajarkan bahwa orang yang meringankan kebutuhan hidup saudaranya akan diringankan kebtuhannya oleh Allah. Allah akan menolong hamba-Nya selagi ia menolong saudaranya.

  1. Saling melindungi penderitaan satu sama lain.

            yang berarti bahwa para peserta asuransi takaful akan beroeran sebagai pelingdung bagi peserta lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang dideritanya. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Quraisy ayat 4 yang artinya “(Allah) telah menyediakan makanan untuk menghilangkan bhaya kelaparan dan menyelamatkan/mengamankan mereka dari mara bahaya ketakutan”, Firman Allah QS. Al- Baqarah ayat 126 yang artinya “ketika Nabi Ibrahim berdoa ya Tuhanku jadikanlah negeri ini aman dan selamat”.

            Di antara sabda Rasulullah yang mengandung maksud perlunya saling melindungi adalah:

Maksud Hadits: “sesungguhnya seseorang yang beriman ialah siapa yang boleh memberi keselamatan dan perlindungan terhada harta dan jiwa raga manusia”

Maksud hadits: “Rasulullah bersabda: demi diriku dalam  kekuasaan Allah, bahwa siapa pun tidak perlu masuk surga kalau tidak memberi perlindungan jirannya yang terhimpit”.

Maksud hadits: “tidaklah sah iman seseorang itu kalau ia tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan jirannya menatap kelaparan”.

            Dengan begitu maka asuransi takaful (syariah) merealisir perintah Allah SWT dalam al-Quran dan Rasulullah SAW dala  sunnah tentang kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat.

            Karnaen A. Perwataatmadja sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi mengemukakan prinsip-prinsip asuransi takaful yang sama, beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada takni prinsip menhindari unsur-unsur gharar, maysir, dan riba. Sehingga terdapat 4 prinsip syariah yakni:

  1. Saling bertanggung jawab
  2. Saling bekerja sama atau saling membantu
  3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, dan
  4. Menghindari unsur gharar, maysir dan riba.

            Terdapat beberapa solusi untuk mensiasati agar bentuk usaha asuransi terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.

  1. Gharar (uncertainly) atau ketidakpastian ada 2 bentuk:
  2. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis. Secara konvensional, kontrak atau perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategotikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan beraoa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Dalam konsep syraiah keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad takafuli atau tolong- menolong dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya.
  3. Sumber dana pembayaran kalim dan keabsahan syar’i penerima uang klim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui dari mana uang pertanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran kalim yang akan diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaraan premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain. Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful bisa diambil dari dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang diberikan oleh para peserta.
  4. Maysir (gambling) artinya ada salah satu pihak yang untung namun di pihak lain justru megalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian perseta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika perserta yang belum lama menjadi anggota (jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar. Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru’.
  5. Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi kpnvensional melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.

            Dalam AM. Hasan Ali, MA, dengan mengutip dari MA. Coudhury dalam bukunya Contribution to Islamic Ekonomic Theory, prinsip dasar tersebut ditambah 5 lagi sehingga menjadi 9 prinsip dasar, yaitu:

  1. Tauhid (unity), prinsip ini adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariah islam. Setiap bangunan dan aktivitas kehidupan manusia harus didasakan pada nilai-nilai tauhidy. Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan. Sebagaimana firman Allha dalam QS al-Hadid (57) ayat 4 yang artuinya berbunyi “... dan Dia selalu bersamamu dimana pun kamu berada”.
  2. Keadilan (justice), dalam asuransi syariah harus terpenuhi neilai-nilai kadilan antara para pihak yang terkait dengan akad asuransi tersebut. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai uaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi.
  3. Kerja sama (cooperation), prinsip ini selalu ada karena merupakan prinsip universal dalam literatur ekonomi Islam. Manusia sebagai makhluk yang mendapat mandat dari khaliq-Nya untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran di muka bumi, mempunyai dua wajah yanh tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
  4. Amanah (trustworthy), prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberikan kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Prinsip ini juga berlaku bagi nasabah untuk mneyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memenipulasi kerugian (peril) yang menimpa dirinya.
  5. Kerelaan (al-Ridha), dalam bisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan jumlah dana yang disetornya ke perusahaan asuransi yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru’).
  1. Struktur Kelembagaan dan Badan Hukum Asuransi Syariah di Indonesia

Struktur kelembagaan asuransi syariah secara garis besar sama dengan asuransi secara umum yakni adanya Komisaris, Direksi, Direktur Utama, Direktur Tkeni, Direktur Umum dan Keuangan, Direktur Pemasaran dan lain-lain, akan tetapi hal yang membedakkan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional, selain tidak adanya riba di asuransi syariah, juga adanya DPS (Dewan Pengawas Syariah) dalam asuransi syariah. Dalam struktur organisasinya DPS berperan mengawasi kinerja asuransi syariah agar tidak melakukan hal yang bertentangan dengan fatwa MUI. Selain ada DPS, ada dewan komisaris dan dewan direksi.

Tugas DPS dalam asuransi syariah adalah sesuai dengan (Keputusan Dewan Pimpinan MUI tentang susunan pengurus DSN-MUI, No: Kep-98/MUI/III/2001), yaitu:

  1. Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
  2. Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
  3. Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalamsatu tahun anggaran.
  4. DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN dalam asuransi syariah DPS setara dengan Dewan Komisaris, perbedaannya, dewan komisaris akan mengawasi kinerja asuransi syariah, sedangkan dewan syariah akan mengawasi system dan mekanisme yang diharuskan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan bertentangan dengan Fatwa MUI.

Badan hukum asuransi syariah di Indonesia yang selama ini beroperasi adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT), hal tersebut bisa dilihat seperti keberadaan PT Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) dan PT Asuransi Umum (asuransi kerugian).