REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosok pahlawan nasional Indonesia, Ibu Siti Waidah yang juga dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi perempuan Aisyiyah, diangkat ke layar lebar. Film biopik produksi Iras Film ini akan tayang mulai 24 Agustus 2017 mendatang. Film ini dibintangi Tika Bravani sebagai Nyai Ahmad Dahlan, David Chalik sebagai Kyai Ahmad Dahlan, dan sejumlah nama pemeran lainnya seperti Cok Simbara, Della Puspita, Rara Nawangsih, Egi Fedly, Malvino Fajaro, Inne Azri dan Olla Ata Adonara sebagai sutradara. Dyah Kalsitorini selaku produser sekaligus penulis skenario mengatakan, membuat film ini merupakan amanah yang luar biasa mengingat sosok Nyai Ahmad Dahlan yang luar biasa. "Dalam durasi 98 menit Insyaallah kami berusaha gambarkan siapa beliau. Sosok Nyai Ahmad Dahlan sebagi istri, ibu, guru, sahabat dan pejuang," ujar Dyah Kalsitorini dalam jumpa pers "Nyai Ahmad Dahlan", Kamis (3/8) kemarin. Dyah mengatakan, film ini tidak semata-mata mengangkat sosok Nyai Ahmad Dahlan sebagai istri dari KH Ahmad Dahlan, namun juga sebagai upaya mengangkat kembali kisah-kisah inspiratif tentang pejuang perempuan tanah air yang kerap dilupakan dari sejarah. Dalam penggarapan cerita film ini, Dyah mengatakan mendapat dukungan dari keluarga besar Nyai Ahmad Dahlan. Bahkan riset yang dilakukan selama enam bulan juga mendapat pendampingan dari pihak keluarga. "Banyak pahlawan nasional perempuan yang tenggelam. Padahal banyak sekali, salah satunya adalah Nyai Ahmad Dahlan asal Kauman, Yogyakarta ini," kata dia. Dyah juga mengatakan bersyukur mendapat dukungan dari keluarga besar Kyai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dan Aisyiyah. Bahkan ia menyebut 90 persen pemain dalam film ini adalah keluarga besar Kyai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dan Aisyiyah. Antara lain Dahnil Anzar Simanjuntak ketua umum PP Muhammadiyah yang memerankan Kyai Fakhrudin, Dyah Puspitarini ketua Nasyiatul Aisyiyah yang memerankan Munjiyah. Film ini juga menempatkan Tya Subiakto untuk music scoring.
SETELAH beberapa waktu lalu hadir 'Sang Pencerah,' film yang menceritakan kisah hidup KH Ahmad Dahlan, dunia perfilman Tanah Air bakal diramaikan lagi dengan kehadiran film yang juga menghadirkan kisah perjuangan tokoh bangsa Indonesia. 'Sang Kyai.' Film ini mengisahkan lika-liku perjuangan KH Hasyim Asy'ari, seorang ulama kharismatik dari Tebu Ireng, Jombang, yang juga pendiri Nahdatul Ulama (NU), menuju Indonesia yang merdeka. Sunil Samtani, yang menjadi produser film 'Sang Kyai,' mamaparkan film yang berlatar belakang sejarah ini bertujuan untuk menggugah hati sekaligus mengingatkan masyarakat Indonesia tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. "Tentu saja kami sangat bangga bisa memproduksi film yang menggambarkan sosok kyai yang sangat kharismatik di masa penjajahan. Seperti kita tahu, Kyai Hasyim Asy'ari adalah sosok kunci dalam menggerakkan santri-santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan," kata Sunil Samtani ditemui di sela-sela syuting film Sang Kyai di kawasan Gedung Juang 45, Solo, Minggu (16/12). Film yang diproduksi Rapi Film ini menggambarkan bagaimana KH Hasyim Asy'ari mengobarkan nasionalisme melalui pendekatan spiritual. Sisi perjuangan yang, kata Sunil, tidak banyak orang mengetahuinya. Film ini mengambil sudut di empat lokasi. Kediri, Gondang Klaten, Rutan Ambarawa (Kabupaten Semarang). Dan di Kota Solo, kata Sunil, merupakan lokasi syuting terakhir. Di Kota Solo sendiri pengambilan gambarnya memakan waktu sekitar 50 hari. Film ini digarap serius. Rasa nasionalisme merupakan jiwanya. Maka itu, Sunil berharap, "Film Sang Kyai ini, nantinya mampu memberikan sumbangan moral terhadap masyarakat Indonesia, terutama kaum muda menjadi tulang punggung Indonesia di masa mendatang." Sementara itu, Rako Prijanto, sang sutradara 'Sang Kyai' menambahkan pembuatan film ini difokuskan pada perjuangan KH Hasyim Asy'ari pada era tahun 1942-1947. Hal ini juga sesuai dengan usulan PBNU. "Pada periode itu, sosok KH Hasyim menjadi salah satu tokoh sentral, penentu arah dalam mengerahkan massa santri melawan penjajah," kata Rako Prijanto. Dalam pandangan Rako Prijanto sendiri, KH Hasyim Asy'ari merupakan sosok kyai kharismatik yang menyulut rasa kebangsaan santrinya di Tebu Ireng dan berpengaruh besar atas perjuangan-perjuangan selanjutnya. "Semangat yang beliau berikan kepada para santri akhirnya menjalar ke masyarakat luas, hingga berujung terjadinya perang pada tanggal 10 November 1945, dimana saat itu terjadi perobekan bendera merah putih biru menjadi merah putih, di Hotel Oranya Surabaya," kata dia. Film Sang Kyai didukung oleh aktor dan aktris papan atas Indonesia, seperti Ikranagara yang memerankan Tokoh KH Hasyim Asy'ari, Christine Hakim yang memerankan Nyai Kapu (istri KH Hasyim Asy'ari), dan Agus Kuncoro pemeran Wahid Hasyim (anak KH Hasyim Asy'ari). Penasaran segera menontonnya? tunggu pemutarannya pada Juni 2013, ya. Sang Pencerah adalah film drama tahun 2010 yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo berdasarkan kisah nyata tentang pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Film ini dibintangi oleh Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan, Muhammad Ihsan Tarore sebagai Ahmad Dahlan Muda, dan Zaskia Adya Mecca sebagai Nyai Ahmad Dahlan.
Yati Surachman Slamet Rahardjo Giring Ganesha Ikranagara Ihsan Tarore Zaskia Adya Mecca Sujiwo Tejo Dennis Adhiswara Agus KuncoroPenata musikTya Subiyakto SatrioSinematograferFaozan RizalPenyuntingWawan I. WibowoDistributorMultivision Plus Tanggal rilis 8 September 2010Negara IndonesiaBahasa
Film ini menjadikan sejarah sebagai pelajaran pada masa kini tentang toleransi, koeksistensi (bekerjasama dengan yang berbeda keyakinan), kekerasan berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang.[1] Sang Pencerah mengungkapkan sosok pahlawan nasional itu dari sisi yang tidak banyak diketahui publik. Selain mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah, lelaki tegas pendirian itu juga dimunculkan sebagai pembaharu Islam di Indonesia. Ia memperkenalkan wajah Islam yang modern, terbuka, serta rasional.[2] Versi novel kisah ini ditulis Akmal Nasery Basral berdasarkan skenario film yang dibuat sutradara Hanung Bramantyo.[3] Seorang pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah sesat, Syirik dan Bid'ah. Dengan sebuah kompas, dia menunjukkan arah kiblat di Masjid Besar Kauman yang selama ini diyakini ke barat ternyata bukan menghadap ke Ka'bah di Mekah, melainkan ke Afrika. Usul itu kontan membuat para kiai, termasuk penghulu Masjid Agung Kauman, Kyai Penghulu Cholil Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo), meradang. Ahmad Dahlan, anak muda yang lima tahun menimba ilmu di Kota Mekah, dianggap membangkang aturan yang sudah berjalan selama berabad-abad lampau. Walaupun usul perubahan arah kiblat ini ditolak, melalui suraunya Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat yang salah. Ahmad Dahlan dianggap mengajarkan aliran sesat, menghasut dan merusak kewibawaan Keraton dan Masjid Besar. Bukan sekali ini Ahmad Dahlan membuat para kyai naik darah. Langgar kidul di samping rumahnya, tempat dia salat berjemaah dan mengajar mengaji, bahkan sempat hancur diamuk massa lantaran dianggap menyebarkan aliran sesat . Ahmad Dahlan juga di tuduh sebagai kyai Kafir karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda, serta mengajar agama Islam di Kweekschool atau sekolah para bangsawan di Jetis, Yogyakarta. Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Ganesha), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adhiswara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman.
Sebagai sutradara, Hanung juga dituntut untuk menghidupkan atmosfer dan lanskap Yogyakarta pada akhir 1800-an. Selain dilakukan di Yogyakarta, syuting digelar di Musium Kereta Api Ambarawa dan kompleks Kebun Raya Bogor yang disulap menjadi Jalan Malioboro lengkap dengan Tugu Yogyakarta pada zaman itu. Hanung juga mengembalikan dan mereka ulang bangunan Masjid Besar Kauman, Kota Gede, Bintaran, dan wilayah keraton seratus tahun silam dengan bangunan set lokasi serealistis mungkin. Di beberapa adegan, misalnya saat Dahlan beribadah haji, Hanung juga menggunakan potongan film dokumenter lama koleksi Perpustakaan Nasional. Dana yang dikeluarkan untuk pembuatan film ini lumayan besar, sekitar Rp 12 miliar. Selain itu, biaya besar dibutuhkan untuk kostum pemain. Misalnya, pakaian batik yang dikenakan pemain mesti sesuai dengan batik pada 1900. Jarik atau kain panjang sengaja didesain khusus untuk film Sang Pencerah sesuai dengan motif yang memang dikenal pada 1900-an; termasuk perlengkapan serban yang sengaja dibuat sendiri untuk keperluan syuting.
Page 28 September adalah hari ke–251 (hari ke–252 dalam tahun kabisat) dalam kalender Gregorian.
7 September – 8 September – 9 September
|