Jelaskan keterkaitan al quran hadis dan al rayu sebagai sumber ajaran islam dan berikan contohnya

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam menjalankan kehidupan di dunia, kita membutuhkan hukum-hukum yang dapat mengatur dan mengarahkan langkah-langkah yang kita lalui. Kita sebagai umat Islam membutuhkan apa itu yang disebut dengan hukum Islam. Dalam menerapkan hukum Islam kita selalu merujuk kepada sumber-sumber yang memuat berbagai hukum baik secara qath’i maupun dzanny. Sumber-sumber hukum Islam tersebut yakni al-Qur’an, as-Sunnah dan Ra’yu(nalar) dengan metode ijma’ maupun qiyas.

Melalui sumber-sumber yang telah disebutkan di atas, kita memperoleh hukum yang kita butuhkan, baik memperolehnya secara langsung maupun melalui bantuan interpretasi para ulama terhadap sumber-sumber hukum tersebut. Terhadap hukum yang qath’i, kita akan langsung mampu memahami hukum yang terkandung di dalamnya tanpa harus dilakukan ijtihad lebih mendalam. Berbeda halnya dengan hukum-hukum yang dzanny, kita membutuhkan ijtihad-ijtihad para ulama yang dapat memudahkan kita untuk menerapkannya.

Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai sumber-sumber hukum Islam dan beberapa hal yang berkaitan dengan sumber-sumber tersebut. Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

BAB I

PEMBAHASAN

A.    Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam

Sebelum membahas lebih jauh tentang Al-qur’an sebagai sumber hukum islam, mari kita kaji terlebih dahulu pengertian dari al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah firman Allah s.w.t. yang di turunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara berangsur-angsur melalui malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan pedoman hidup bagi umatnya dan membacanya adalah ibadah. Al-Qur’an ini turun pada sekitar tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran nabi Muhammad s.a.w.

Telah kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam dan merupakan pedoman hidup yang abadi. Dikatakan abadi karena kemurniannya sejak diturunkan sampai di akhir zaman senantiasa terpelihara. Allah s.w.t. menjamin pasti kemurnian al-Qur’an, seperti dalam firmannya yang berarti “Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya”(QS. Al-Hijr, 15:9).

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang pertama dan utama bagi umat islam. Pada masa rasulullah s.a.w. setiap persoalan solusinya selalu di kembalikan kepada al-Qur’an. Rasulullah sendiri dalam perilakunya sehari-hari selalu mengacu pada al-Qur’an. Oleh karena itu kita sebagai seorang muslim kita harus menggunakan al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Seperti dalam firman-Nya yang berarti “Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal,8:20). Ayat tersebut mengandung dua perintah yang pertama adalah perintah untuk taat kepada allah, taat berarti kita harus menjalankan smua perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Dan perintah-perintah Allah itu ada dalam al-Qur’an, jadi kalau kita taat kepada Allah kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada dalam al-Qur’an. Perintah yang kedua adalah taat kepada Rasulullah, artinya kita harus taat kepada sunnah dan hadits-haditsnya. Baik perintah maupun larangannya.

1. Tujuan turunnya al-Quran

Dengan menganalisa ayat-ayat al-Qur’an terutama dari segi fungsinya bagi kehidupan manusia akan terlihat bahwa Allah SWT menurunkan al-Qur’an dengan dua tujuan utama. Pertama, bagi kepentingan pribadi Nabi dan kedua bagi kepentingan umat manusia termasuk Nabi.

Tujuan turunnya alQur’an bagi kepentingan Nabi ialah sebagi bukti yang paling kuat terhadap kenabiannya atau sebagai mukjizat Nabi Muhammad. Setiap pembawa risalah memerlukan pengakuan dari umat. Pengakuan ini akan muncul bila ia dapat berbuat atau mengemukakan ssesuatu yang tidak mungkin dilakukan atau dikemukakan oleh umatnya. Hal yang luar biasa inilah yang disebuat mukjizat. Di tengah umat Arab yang sedang mengagungkan bersyair dan keindahan bahasa muncullah Nabi Muhammad dengan al-Qur’an, baik dari segi materi dan bahasa tidak dapat ditandingi oleh ahli bahasa manapun, bahkan mereka tidak mampu berbuat yang sama meskipun mereka berhimpun untuk itu (Al-Isra : 88).

Adapun tujuan turunnya al-Qur’an bagi kepentingan umat adalah sebagai sumber hidayah atau petunjuk yang akan membimbing umat untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat. Kedudkan al-qur’an sebagai sumber hidayat disampaikan Allah dalam al-Qur’an secara jelas dan dalam frekuensi yang banyak sekali. Ada dua bentuk sumber hidayat dalam al-Qur’an :

1.             Sumber ilmu pengetahuan yang tersimpan di dalamnya yang melingkupi segala bidang. Kandungan ilmu pengetahuan itu akan membawa manusia yang berhasil itu menggalinya untuk menguasai rahasia alam, dapat hidup di dalamnya dan bahkan dapat menguasai alam itu sendiri.Ilmu pengetahuan akan menunjuki-Nya dalam kehidupan dunia dan akhirat.

2.              Dlm bentuk tata aturan kehidupan manusia baik dalam hubungannya dengan allah pencipta maupun dalam hubungannya dengan sesame manusia yang akan menjamin kemaslahatan kehidupan umat baik di dunia maupun untuk akhirat.

2. Penjelasan al-Qur’an terhadap Hukum

Ayat al-Qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Dalam surat Ali Imran ayat 7 disebutkan bahwa dua macam itu adalah muhkan dan mutasyabih.

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanaya, tersingkap secara jelas yang menghindarkan keraguan arti dan menghilangkan kemungkinan-kemungkinan pemahaman. Adapaun ayat-ayat mutasyabih adalah kebalikannya yaitu lafadz yang tidak pasti artinya hingga dapat dipahami daripadanya dengan beberapa kemungkinan. Adanya kemungkinan berbagai pemahaman ini dapat disebabkan oleh dua hal, pertama, lafadz itu digunakan untuk dua maksud secara pemahaman yang sama. Contoh pada lafadz quru dalam firman Allah Al-Baqarah : 228 yang berarti suci atau haid. Kedua lafadz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan. Keraguan ini disebabkan penggunaan sifat yang terdapat pada manusia untuk Allah SWT padahal diyakini bahwa Allah tidak akan sama dengan makhluk.

Ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikan dalam bentuk yang muhkam secara penjelasan yang sempurna, penunjukannya terhadap hukum yang pasti (qath’i  dilalah).tidak mungkin dipaham maksud yang lain dan tidak mungkin pula ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda-beda. Penunjukkan ini pasti berlaku pada bidang akidah seperti keesaan Allah dan ibadah pokok seperti keharusan shalat, serta dalam hal yang norma baik dan buruk seperti keharusan berbakti kepada orang tua.

Ayat-ayat mutasyabih dalam bentuk penjelasan yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang mengandung isyarat, penunjukannya bersifat dzanni, dengan arti tidak meyakinkan. Karenanya dapat dipahami beberapa kemungkinan pemahaman. Penjelasan yang bersifat dzanni ini umumnya berlaku pada bidang muamalah dalam arti luas yang menganut hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat. Dalam bidang inilah berlaku istilah :”Perubahan hukum berdasarkan perubahan waktu dan tempat serta berlaku pula reformulasi bila keadaan menghendaki.

Ibarat Al-Qur’an dalam menetapkan dan menjelaskan hukum yang berupa perintah dan larangan ada beberapa model, antara lain:

  1. Suruhan, yang berarti keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Keharusan seperti perintah shalat, Allah berfirman yang artinya,”Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Larangan contohnya firman Allah dalam surah Al An’am ayat 151 yang artinya,”Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan hak”.
  2. Janji baik dan buruk, pahala dan dosa serta pujian dan celaan.
  3. Ibarat, contohnya seprti istri yang ditalak harus menjalankan masa iddah.

B. Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam

1.      Pengertian

Menurut bahasa sunnah adalah jalan yang dilaui, baik terpuji maupun tercela. Sedangkan secara istilah adalah hal-hal yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik itu berupa ucapan (fi’liyah), perbuatan (qauliyah), ketetapan (taqririyah), sifat, kelakuan, perjalan hidup baik sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya. Sunnah fi’liyah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW, seperti melaksanakan shalat lima waktu dengan sunnah kaifiyahnya, melasanakan haji dan menunaikan tugasnya sebagai hakim guna memutuskan sebuah perkara. Sunnah qauliyah adalah segala perkataan dari Nabi Muhammad, seperti sabda beliau:

عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قضى أن لا ضرر ولاضرار  {رواه ابن ماجه}

Artinya: Dari Ubaidah bin Samit, sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan bahwa “tidak boleh melakukan kemudharatan dan tidak pula boleh membalas kemudharatan dengan kemudharatan”.

Sedangkan sunnah taqririyah atau ketetapan adalah perbuatan para sahabat Nabi yang telah dikararkan oleh Nabi Muhammad baik berupa perbuatan maupun perkataan, sedangkan ikrar itu bisa berupa sikap diamnya Nabi Muhammad atau tidak menunjukkan tanda-tanda ingkar atau menyetujuinya. Sehingga dengan adanya ikrar atau persetujuan tersebut perbuatan yang dilakukan oleh sahabat dianggap srbagai perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.

Adapun kaitannya dengan lafad sunnah, ada perbedaan pendapat mengenai sinonim dari lafad hadis, tetapi ada pula yang membedakan antara keduanya. Namun Hasbi Ash-Shiddiqi berpendapat bahwa hadis merupakan sunnah, antara hadis dan sunnah hanya dibedakan dalam hal bahwa hadis konotasinya adalah segala peristiwa yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW walaupun hanya sekali saja beliau mengucapkan, atau mengerjakannya dan diriwayatkan oleh perorangan saja. Sedangkan sunnah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terus menerus, dinukilkan dari masa ke masa dengan jalan mutawwatir. Beliau melaksanakannya beserta dengan para sahabat, lalu tabi’in. dan generasi-generasi selanjutnya sampai menjadi pranata sosial bagi umat Islam.

2.      Kehujjahannya

            Telah sepakat bahwa sesuatu yang datangnya dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapannya akan membentuk hukum syar’at Islam atau tuntutan dan disampaikan kepada kita dengan sanad yang shahih yang mendatangkan kepastian yang ditujukan sebagai hujjah atas umat Islam. Bukti-bukti atas kehujjahan sunnah adalah sebagai berikut:

a)      Di dalam nash-nash al Qur’an

Allah telah berfirman dalam ayat-ayat-Nya bahwa jika terjadi suatu pertentangan dalam suatu urusan, maka dianjurkan untuk mengembalikannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Seperti firman Allah SWT dalam QS. an-Nisa’:59, yang berbunyi:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Hal tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pembentukan syri’at Islam oleh Nabi Muhammad adalah pembentukan hukum yang harus diikuti.

b)      Ijma’ para sahabat

Di kalangan para sahabat telah disepakati untuk wajib ittiba’ terhadap hadis Nabi, baik pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup maupun telah wafat, di kalangan para sahabat tidak ada yang mengingkarinya.

3.      Nisbahnya kepada Al-Qur’an

            Sunnah adalah sumber hukum kedua bagi hukum Islam yang menerangkan segalayang dikehendaki al-Qur’an sebagai penjelas, penyarah, penafsir, penguat, dan yang mempertanggungkannya terhadap yang tidak zhahir. Seorang mujtahid akan kembali kepada sunnah ketika membahas tentang suatu masalah, ketika ia tidak menemukan penjelasan hukum yang hendak ia ketahui di dalam al-Qur’an. Terdapat berbagai pendapat mengenai hubungan atau fungsi yang terkandung dalam sunnah terhadap al-Qur’an, secara umum pendapat-pendapat tersebut sebagai berikut:

·         Bayan taqrir, keterangan yang diberikan sunnah untuk memperkokoh atau memperjelas apa yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, sehingga hukum tersebut memiliki dua sumber hukum dan terdapat dua dalil. Dengan contoh sebagai berikut:

Dalam ayat al-Qur’an QS. al-Baqarah:185

“(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Diperkuat atau diperjelas dengan hadis Nabi Muhammad:

صوموا لرؤيته وافتروالرؤيته {متفق عليه }

“ Berpuasalah kamu setelah melihat bulan dan berbukalah kamu setelah melihat bulan”.(Muttafaqun ‘alaih)

·        Bayan tafsir, adakalanya sunnah memerinci, menafsirkan hal-hal yang ada dalam al-Qur’an yang bersifat global atau mrembatasi hal-hal yang terdapat dalam al-Qur’an yang bersifat mutlak atau mentakshis hal-hal yang bersifat umum. Oleh karena itu Allah memberikan keluasan kepada Nabi Muhammad SAW dalam menafsirkan makna ayat-ayat yang dimaksud dalam Al-Qur’an, seperti contohnya hadis yang menerangkan tentang kemujmalan ayat al-Qur’an tentang shalat:

صلوا كمار أيتموني اصلى {رواه احمد و البخارى}

“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (HR. Imam Ahmad dan Imam Bukhari)

·         Bayan Tasyri’, adakalanya ada hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, sehingga hukum yang muncul ditetapkan oleh sunnah dan al-Qur’an mendiamkannya atau tidak menunjukkan atas hal tersebut. Contohnya tentang keharaman menghimpun wanita dengan bibinya dalam satu pernikahan dan keharaman seorang laki-laki memakai pakaian sutra dan emas serta. 

4.      Pembagian hadis menurut sanad dan kehujjahannya

      Hadis menurut sanadnya terbagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan ahad, dengan perincian sebagai berikut:

1)      Hadis mutawir, hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok perawi yang di dalamnya mustahil untuk sepakat berbuat dusta. Hal tersebut disebabkan jumlah perawi yang banyak dan dalam setiap tingkatan jumlahnya sama, ada pendapat yang menyatakan bahwa pada setiap tingkatan minimal terdapat 40 orang perawi. Hadis Mutawatir terbagi menjadi tiga bagian yaitu; mutawatir lafdzi, mutawatir maknawi dan mutawatir amali.

2)      Hadis ahad, hadis yang tingkatan sanadnya tidak mencapai tingkatan mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir maupun tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga bagian yaitu; hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib.

Sedangkan hadis menurut kehujjahannya terbagi menjadi tiga, yaitu:

1)      Hadis shahih, hadis yang dinukilkan dari perawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat dan tidak janggal.

2)      Hadis hasan, hadis yang dinukilkan dari perawi yang adil, tetapi kurang sempurna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat dan tidak janggal.

3)      Hadis dha’if, hadis yang lemah, tidak memenuhi syarat hadis shahih maupun hasan, baik dari segi perawinya, sanadnya, maupun matannya.

5.      Sunnah yang di antaranya bukan merupakan hukum syari’at Islam

      Perbuatan ataupun perkataan Nabi Muhammad SAW merupakan hujjah umat Islam yang harus diikuti, apabila itu termasuk dalam kualitas beliau sebagai utusan Allah dan dimaksudkan sebagai dasar hukum syari’at Islam secara umum. Ada keadaan sunnah yang ketika hukum atau undang-undang tersebut tidak wajib untuk diikuti, seperti:

·         Hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang bersifat manusiawi, seperti makan, minum, duduk, berdiri, tidur yang dimana keadaan tersebut bukan merupakan hukum syari’at. Tetapi apabila ada dalil yang menjelaskan bahwa yang dimaksudkan di dalamnya adalah tuntunan, maka perbuatan tersebut merupakan hukum syari’at Islam.

·         Hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang bersifat pengetahuan kemanusiaan, kepandaian, seperti strategi perang.

·         Hal-hal yang ada dalil syari’atnya tetapi dalil itu menunjukkan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW, bahwa hal tersebut bukan tuntunan maupun syari’at hukum Islam, seperti diperbolehkannya beliau memiliki istri lebih dari empat orang.

C. Ra`yu ( Nalar ) sebagai Sumber Hukum Islam

1. Pengertian

Ra`yu artinya melihat. Obyek yang dilihat bisa konkrit maupun abstrak. Yang dimaksud ra`yu dalam pembahasan ini adalah memikirkan, hasil pemikiran atau rasio.

2. Batas Penggunaan Ra`yu

Ra`yu dapat digunakan dalam dua hal, yaitu :

    1.  Dalam hal yang tidak ada hukumnya sama sekali.

2. Dalam hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannnya terhadap hukum tidak secara pasti.

3.  Kekuatan Hukum Hasil Temuan Nalar

Hukum hasil ra`yu mujtahid kekuatannya bersifat relatif (zhanni), karena tidak dapat dipastikan oleh mujtahid itu sendiri bahwa itulah sebenarnya hukum Allah, karena Allah tidak pernah menjelaskan demikian.

4. Penggunaan Ra`yu sebagai sumber hukum Islam

Bentuk penggunaan ra`yu diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Dilihat dari segi orang yang menggunakannya, dibagi dua :

a. Penggunaan ra`yu secara kolektif atau ijtihad jama`i, yaitu hukum yang ditetapkan didasarkan pada hal penalaran yang sama.

b. Penggunaan ra`yu secara perorangan ( ijtihad fardi ), yaitu apa yang dicapaioleh seseorang mujtahid tentang hukum suatu masalah belum tentu sama dengan apa yang dapat dicapai oleh mujtahid lain mengenai masalah yang sama.

Dari dua cara penggunaan ra`yu diatas, yang terkuat dari segi kebenaran atau terhindar dari kesalahan adalah ijtihad jama`i. Cara penggunaan ijtihad jama`i disebut juga ijma`.

2. Dilihat dari segi ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah :

a. Ra`yu yang merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah.

b. Ra`yu yang tidak merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah

Yang terkuat dari segi pencapaian kebenaran dan terhindar dari kesalahan adalah ra`yu yang merujuk pada nash al Qur`an dan Sunnah. Penggunaan ra`yu ini disebut qiyas.

Ijma dan qiyas disepakati ulama sebagai dalil yang kuat dalam penemuan hukum fiqh dalam al-Qur`an dan Sunnah yang tidak menjelaskan hukumnya secara pasti.

5. Metode Penentuan Hukum Menggunakan Ra`yu

a)        Ijma’

1.  Definisi Ijma’

Ijma’ merupakan kesepakatan umat setelah wafatnya Rasulullah terhadap suatu kasus hukum dalam  suatu masa. Jadi yang menentukan suatu hukum sudah menjadi Ijma’ atau belum adalah para mujtahid (ahli- ijtihad) yang berkompeten dalam bidangnya. Pada dasarnya ijma merupakan dalil rasional. Definisi klasik dan syarat esensial ijma’ sebagai mana ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat jelas bahwa tak kurang dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat dianggap sebagai ijma’ yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun ruang bagi ketidaksepakatan atau ikhtilaf mengenai konsep ijma’.

Secara etimologi ijma’ berasal dari kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang artinya “bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat”.dalam hal ini dapat di lihat dalam Al-Qur’an Surat yusuf (12): 15:

Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."

Adapun pengertian ijma dalam istilah teknis hukum atau istilah Syar’i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan rumusan itu dapat di lihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijma sebagai berikut:

a. Al Ghazali, ijma` yaitu kesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas sesuatu urusan agama

b. Al Midi, ijma` yaitu kesepakatan sejumlah ahlul halli wal `Aqd ( para ahli yang kompeten dalam mengurusi umat ) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus. Atau kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.

c. Ulama Syi`ah, ijma` yaitu kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara`.

d. Al Nazham, ijma` yaitu setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.

e. Abdul Wahab Khallaf, ijma` yaitu consensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atassuatu hukum syara` mengenai suatu kasus.

f. Mayoritas ahli Ushul Fiqih, ijma’ adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa ketika Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.

2.  Ijma’ sebagai sumber hukum

Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma` menempati salah satu dalil hukum setelah al Qur`an dan Sunnah. Jadi, ijma` dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam.

Yang dimaksud dengan fungsi ijma’ disini adalah kedudukannya dihubungkan dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu, menurut ulama ahlu sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya. Dalam hal ini terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’, dilihat dari sudut pandangan masing-masing kelompok.

 Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama yang melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.

            Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’, dalam bentuk nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadika sandaran itu. Melalui ijma’, dalil yang asalnya lemah atau zhanni mampu menjadi dalil yang kuat atau Qath’i, baik dalil itu berbentuk Nash atau qiyas.

3.  Rukun- Rukun Ijma’

Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah : kesepakatan para mujtahid dari umat islam pada suatu masa atas hukum syara’ tertentu. Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ada 4 rukun ijma’, antara lain:

a.       Adanya sejumlah orang yang berkualitas sebagai mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya di temukan seorang mujtahid, maka tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rasulullah SAW, karena beliau sendiri yang menentukan hukum pada masa itu. Jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijma`.

b. Adanya kesepakatan para mujtahid terhadap suatu hukum mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya

c.  Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya ia memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya baik masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya sendiri atau mereka menemukakan pendapat mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia Islam mengadakan suatu konggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atas satu hukum mengenainya.

d.  Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah. Jika kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak dapat menjadi ijma’, meskipun amat sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah syar’iyah yang pasti dan meningkat sehingga menurut mayoritas ulama, ijma’ ini tidak dapat dijadikan hujjah. Selain itu, ijma’ dilakukan tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid Makkah saja atau Madinah saja yang berijma’ atau kalangan dari ahli bait saja, maka ijma’ ini tidak sah menurut syara’.           

4.  Macam-macam ijma’.

Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkanya, maka ia ada dua macam yaitu:

a.         Ijma’ Sharih, yaitu: kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu kasus, dengan cara masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hukum. Maksudnya bahwasannya setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas. Ijma’ ini merupakan ijma’ yang hakiki dan ini merupakan hujjah syar’iyah dalam madzhab jumhur ulama. Dilalahnya bersifat qath’i.

b.        Ijma’ Sukuti, yaitu: sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka secara jelas mengenai suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu. Ijma` sukuti pengaruhnya terhadap hukum bersifat zhanni. Imam Syafi`i dan pengikutnya berpendapat ijma` sukuti adalah bukan ijma` yang dipandang bukan sebagai sumber hukum, dengan sendirinya tidak mempunyai kekeuatan hukum yang mengikat. Imam Ahmad, ulama Hanafiyah, sebagian ulama Syafi`i, dan al Jubbai berpendapat bahwa ijma` sukuti adalah ijma` yang mempunyai kekeuatan hukum yang mengikat sebagai hujjah. Dengan syarat berlalunya masa penyampaian, semua mujtahid telah meninggal, dan tidak ada sanggahan. Abu Hasyim berpendapat ijma` sukuti bukan ijma`, tetapi dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum. Jumhur menyatakan bahwa ijma’ ini tidak dapat dijadikan hujjah.

c.         Kesepakatan dalam prinsip, yaitu para mujtahidberbeda pendapat dan menghasilkan banyak pendapat yang berkembang namun mereka sepakat dalam satu hal tertentu yang merupakan prinsip. Kesepakatan yang prinsip ini dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh mujtahid mengemukakan pendapat yang menyalahi pendapat orang banyak itu.

Dari segi penerimaan ulama terhadap ijma`, ulama membaginya :

1. Ijma` kaum muslimin, yaitu ijma` yang menyeluruh dan merata dilaksanakan oleh umat

Islam.

2. Ijma` para sahabat, ijma` ini dapat diterima semua pihak.

3. Ijma` ahlul `ilmu dalam segala masa, adalah pengertian ijma` secara umum.

5.  Pendapat Ulama Tentang Persyaratan Ijma`

a. Kuantitas anggota ijma`

Imam Haramain menetapkan kehujjahan ijma` melalui dalil `aqli. Ia berpendapat bahwa jumlah ulama mujtahid untuk terlaksanya ijma` adalah jumlah yang mencapai batas mutawatir, karena kehujjahan ijma` ditentukan terhindarnya dari kesalahan.

Menurut al Midi dan ulama Hambali tidak mensyaratkan jumlah mutawatir untuk terlaksanya ijma`, karena kehujjahan suatu ijma`ditentukan oleh dalil naqli bukan dalil `aqli.

b. Berlalunya masa

Telah dijelaskan bahwa ijma` itu berlangsung berdasarkan kesepakatan ulama mujtahid dalam suatu masa tertentu. Sebagian ulama menyatakan syahnya ijma` tidak perlu mensyaratkan berlalunya masa.

Imam Ahmad Ibn Hambal, Ustadz Abu Bakar Ibn Fauraq, dan sebagian kecil ulama Syafi`iyah berpendapat bahwa berlalunya masa atau punahnya peserta ijma` merupakan syarat untuk kekuatan hujjah suatu ijma`.

Jumhur ulama berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalnya peserta ijma` bukan syarat kekuatan suatu ijma`, alasannya :

1. Dalil kehujjahan ijma` itu berasal dari al-Qur`an dan Sunnah. Keduanya tidak mewajibkan  berlalunya masa.

2.  Hakikat ijma` itu adalah kesepakatan. Kekuatan hukum terletak pada kesepakatannya itu.

3.  Para tabi`in berhujjah dengan ijma` pada masa generasi sahabat masih ada.

4. Mempersyaratkan berlalunya masa bagi kekuatan ijma` akan menyebabkan tidak   terlaksananya ketentuan hasil ijma` secara mutlak, padahal ia ketentuan yang mengikat.

Sebagian ulama merinci bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua peserta ijma` merupakan syarat untuk ijma` sukuti, sedangkan untuk ijma` sharih tidak perlu persyaratan tersebut.

c. Sandaran ijma`

Yaitu dalil yang kuat dalam bentuk nash al Qur`an dan Sunnah, baik langsung maupun tidak.

1. Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma` itu harus menunjuk pada sandaran yang kuat, bukan hanya berdasar taufik dari Allah SWT. Alasannya, antara lain :

a. Tidak akan tercapai kebenaran tanpa adanya rujukan atau sandaran.

b. Nabi Muhammad tidak menetapkan hukum, kecuali dengan wahyu.

c. Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa dalil adalah tindakan yang salah.

d. Bila mujtahid dapat menetapkan hukum tanpa sandaran secara perorangan maka tidak

perlu kesepakatan.

e. Produk hukum syar`i bila tidak disandarkan pada dalil, maka tidak diketahui dengan hukum syara`. Keadaan demikian tidak dapat diterima.

2.  Sebagian kecil ulama tidak mempersyaratkan adanya sandaran ijma`, alasannya :

a. Jika ijma` memerlukan sandaran dalil, berarti kekuatan ijma` terletak pada dalil. Ini sama dengan tidak ada ijma` sebagai dalil syara` yang berdiri sendiri.

b. Cukup banyak ijma` yang tidak menyandarkan diri pada dalil. Contoh ijma` ulama tentang pengambilan sewa pemandian umum.

Tentang qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma` ;

1. Jumhur ulama membolehkan qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma`.

2. Ulama Syi`ah dan Daud al Zhahiri berpendapat tidak boleh menjadikan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran ijma`, alasannya :

a) Bentuk qiyas berbeda-beda, pandangan ulama terhadapnya juga berbeda-beda.

b) Para sahabat selalu menetapkan hukum secara ijma` dengan sandaran al Qur`an dan

Sunnah.

3. Sebagian ulama berpendapat qiyas boleh dijadikan sandaran ijma`dengan qiyas yang mempunyai `illat yang kuat.

b)  QIYAS

1. Definisi Qiyas

Secara bahasa qiyas berarti , artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya.

Qiyas menurut istilah ilmu Ushul fiqh adalah : mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.

Dalam masa sahabat, qiyas itu diartikan dengan:”Mengembalikan sesuatu kepada maksud syara’.kepada kaidah-kaidah yang umum dan kepada illat-illat yang lekas dipahamkan yang tidak diperselisihkan lagi”.

Sedangkan pendapat ulama-ulama lain sebagai berikut:

1. Al Ghazali, mendefinisikan qiyas “ menanggungkan ( menghubungkan ) sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya dalam penetapan atau peniadaan hukum “.

2. Ibnu Subki “ qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam `illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan ( mujtahid ) “.

3. Abu Hasan al Bashri “ qiyas adalah menghasilkan ( menetapkan ) hukum ashal pada furu` karena keduanya sama dalam hal `illat hukum menurut mijtahid “.

4. Abu Zahrah “ menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam `illat hukum “.

5. Al Midi “ ibarat dari kesamaan antara furu` dengan ashal dalam `illat yang diistimbathkan dari hukum ashal “.

Kemudian dengan pergantian zaman, qiyaspun memperoleh beberapa ta’rif yang diberikan oleh para ushulliyin dan terjadi pulalah perselisihan tentang memakai qiyas sebagai hujjah, tempat memakainya dan cara memakainya. Perselisihan-perselisihan itu timbul dan berangsur-angsur menghebat.

Adapun perkataan mereka: ”menyamakan suatu kasus dengan kasus lainnya, atau menghubungkan hukum suatu kejadian dengan kejadian lain, atau menjangkaukan hukum suatu kejadian ke kejadian lainnya, semuanya itu merupakan ungkapan yang sama, pengertiannya adalah satu.

2. Qiyas sebagai sumber hukum

Menurut jumhur ulama Islam, bahwasanya qiyas merupakan hujjah syar’iyyah mengenai perbuatan manusia (amaliyah). Ia menduduki peringkat keempat diantara hujjah syar’iyyah, dengan pengertian apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash (Al-Qur’an dan sunnah) dan ijma’ dan diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illat hukum ini, maka kasus itu diqiyaskan dengan kasus tersebut dan ia diberi hukum dengan hukumnya, dan ini hukumnya menurut syara’. Dan seorang mukallaf harus mengikutinya dan mengamalkannya. Mereka ini dikatakan sebagai orang-orang yang menetapkan qiyas (mustbitul qiyas).

Sedangkan mahdzab Zhahiriyah dan sebagian kelompok Syi’ah Imamiyyah berpendapat bahwasanya qiyas bukanlah hujjah syar’iyyah atas hukum, mereka ini disebut sebagai penolak qiyas (nufatul qiyas).

Adapun dalil Al-Qur’an yang paling jelas diantara dalil yang mereka kemukakan tentang kehujjahan qiyas, salah satunya ayat sebagai berikut:

Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Adapun dalil As-Sunnah, maka yang paling jelas diantara dalil yang mereka kemukakan berupa As-Sunnah adalah salah satunya sebagai berikut:

Artinya:

“Bahwasanya Rasulullah SAW. Ketika hendak mengutuskan menuju negeri Yaman, berkata kepadanya: “Bagaimanakah kamu memberi putusan, apabila kepadamu dimintakan suatu putusan ?”. Muadz menjawab : saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah. Jika saya tidak menemukannya , maka saya akan memutuskan berdasarkan sunnah Rasululloh SAW, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono”.

Lantas Rasulullah SAW, menepuk-nepuk dadanya dan berkata:” segala puji bagi adalah bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasululloh kepada utusan Rasululloas kepada apa yang diridhoi Rasulullah SAW”.

3. Rukun –rukun Qiyas

Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun yaitu:

1.      Al-Ashlu, yaitu sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqish alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).

2.      Al-Far’u, yaitu sesuatu yang tidak ada nash hukumnya, ia juga disbut : al-maqis (yang diqiyaskan). Al-mahmul(yang dipertanggung jawabkan),dan al-musyabbah (yang diserupakan).

3.      Hukum Ashl, yaitu : hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u (cabangnya).

4.      Al-‘Illat, yaitu : suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pula cabang (far’),maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukumnya.

Di bawah ini beberapa contoh penetapan hukum dengan qiyas:

1.        Meminum khamar adalah kasus yang ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu pengharaman yang ditunjukkan Allah SWT dalam Q.S. Al-Ma’idah ayat 90:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” 

Sedangkan narkoba belum jelas hukumnya. Maka antara narkoba dan khamr ditentukan ‘illatnya, yakni sama-sama memabukkan. ‘Illat tersebut kemudian dijadikan alasan umtuk menyamakan hukum narkoba dengan hukum khamr. Sehingga hukum mengkonsumsi narkoba sama dengan meminum khamr yakni haram. Dalam hal ini khamr merupakan al-ashl, arkoba merupakan al-far’u, haram merupakan hukum ashl, dan memabukkan merupakan ‘illat.

2.        Kertas yang dibubuhi dengan tanda tangan diatasnya adalah kejadian yang hukumnya ditetapkan oleh nash, yaitu bahwa ia telah ditetapkan berdasarkan nash, yaitu bahwa ia menjadi hujjah atas pemberian tanda tangan, yang didasarkan dalil berupa : teks undang-undang berupa keperdataan, karena suatu ‘illat yaitu: bahwasanya pembubuhan tanda tangan oleh si-penanda tangan menunjukkan atas dirinya. Sedangkan kertas yang dicap dengan jari juga padanya ditemukan ‘illat ini, maka ia diqiyaskan dengan kertas yang ditanda tangani mengenai hukumnya, dan ia menjadi bukti atas pemberian cap jari itu.

Dalam semua contoh tersebut di atas, kejadian yang tidak ada nash hukumnya disamakan dengan kasus yang ada nash hukumnya mengenai hukum yang dinashkan itu, berdasarkan atas adanya persamaan keduanya dalam segi ‘illat hukum tersebut. Penyamaan antara dua kejadian dari segi hukumnya ini yang didasarkan atas persamaan ‘illat. Keduanya ini adalah qiyas dalam istilah para ahli ushul fiqh.

4. Pembagian Qiyas

·      Pembagian qiyas dari segi kekuatan ’illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan menjadi ’illat yang terdapat pada ashal, yakni ;

1.    Qiyas Awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ’illat pada furu’. Umpama, keharaman memukul lebih kuat dari keharaman berkata ”uf” kepada orang tua.

2.    Qiyas musawi, yakni qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berluknya hukum pada ashal karena kekuatan ’illatnya sama. Contoh membakar hartanya anak yatim atau memakannya secara tidak patut sama-sama merusak harta anak yatim.

3.    Qiyas adwan yakni qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan berlakunnya hukum pada ashal mskipun qiyas tersebut memiliki persyaratan. Misalnya, hukum riba pada gandum dengan hukum riba pada apel.

·      Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya.

1.    Qiyas jali, yakni qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau tidak ditetapkan ‘illatnya dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’nya dipastikan tidak ada pengaruhnya.

2.    Qiyas Khofi, yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash.

·      Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum, yakni qiyas muatssir dan qiyas mulaim.

·      Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidak ‘illat itu pada qiyas itu, yakni;

1.    Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seolah-olah ashal itu sendiri. Umpamanya, membakar harta anak yatim yang diqiyaskan dengan memakan hartanya secara tidak patut dengan `illat merusak harta anak yatim.

2.    Qiyas ‘illat, yakni qiyas yang ‘illat dijelaskan dalamnya, qiyas tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashal. Umpamanya, qiyas nabiz untuk khomr dengan ‘illat “rangsangan yang kuat” yang memabukan.

3.    Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat. Umpamanya, mengqiyaskan nabiz kepada khamr dengan menggunakan alasan “ bau yang menyengat”

·      Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan furu’

1.    Qiyas ikhalah,

2.    Qiyas Syabah,

3.    Qiyas Syabru,

4.    Qiyas Thard,

BAB III

KESIMPULAN

Sumber hukum Islam terdiri dari:

1.      Al-Qur’an: firman Allah s.w.t. yang di turunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara berangsur-angsur melalui malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan pedoman hidup bagi umatnya dan membacanya adalah ibadah. Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan paling utama.

2.      As-Sunnah: hal-hal yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik itu berupa ucapan (fi’liyah), perbuatan (qauliyah), ketetapan (taqririyah), sifat, kelakuan, perjalan hidup baik sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya. As-Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Quran dimana ia memiliki fungsi terhadap al-Qur’an yakni: Bayan Taqriri, Bayan Tasyri’ dan Bayan Tafsir.

3.      Ra’yu (nalar): penggalian hukum dari Nash (al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran manusia (rasio). Ada 2 metode dalam penggunaan ra’yu, yaitu:

a.       Ijma’: kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa ketika Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.

b.      Qiyas: mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy ,Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.

Effendi, Satria Effend. 2005. Ushul Fiqh . Jakarta: Kencana.

Khallaf, Abdul Wahab. 1994.  Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dita Utama.

Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,Padang: Angkasa Raya,1993

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997