Istilah sunan berasal dari kata susuhunan yang berarti

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Apa arti dari kata sunan?

[Aya E Hadi]

Jawaban atas pertanyaan 

Wa’alaikum salam Wr. Wb.

Sunan: Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sunan, dalam budaya suku-suku di Pulau Jawa, adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Kata ini merupakan penyingkatan dari susuhunan[1]. Kata ini berarti tempat penerima “susunan” jari yang sepuluh, atau dengan kata lain “sesembahan”.

Pada periode sejarah Jawa pra-Islam gelar ini jarang dipakai atau tidak banyak didokumentasi. Pada awal-awal masuknya Islam di Jawa, gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad ke-15 hingga abad ke-16. Selain sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai, ustadz, penghulu, atau tuan guru. Gelar “sunan” atau “susuhunan” juga diberikan kepada penguasa Kraton Surakarta Hadiningrat (Kasunanan Surakarta).

Gelar penguasa Jawa

Pemakaian lainnya untuk istilah “sunan” dan “susuhunan” adalah sebagai gelar bagi raja-raja dari Kesultanan Mataram semenjak Amangkurat I hingga suksesi pada Kasunanan Surakarta sampai sekarang. Ini adalah warisan Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam, yang mengklaim sebagai Sultan dan Sayidin Panatagama, yaitu raja dan pemimpin agama bagi masyarakat Jawa.

Walisongo

Walisongo adalah sembilan orang penyebar agama Islam di pulau Jawa yang paling terkenal di antara mereka yang mendapat sebutan sunan. Istilah Walisongo berasal dari kata wali (bahasa Arab, yang berarti wakil, dan sanga (bahasa Jawa, yang berarti sembilan). Mereka dianggap sebagai mubaligh agung, baik dari segi ilmu agama Islam maupun bobot segala jasa dan karomahnya terhadap kehidupan masyarakat dan kenegaraannya. Berikut ini adalah daftar sembilan wali yang secara umum dianggap sebagai Walisongo tersebut:

  1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
  2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
  3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
  4. Sunan Drajat atau Raden Qasim
  5. Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
  6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
  7. Sunan Kalijaga atau Raden Said
  8. Sunan Muria atau Raden Umar Said
  9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Sunan-sunan lain

Beberapa mubaligh lainnya selain Walisongo, khususnya yang terlibat dalam masa awal penyebaran agama Islam di Jawa, juga disebut sunan. Berikut ini adalah beberapa mubaligh lainnya yang mendapat gelar sunan:

  1. Sunan Bangkalan
  2. Sunan Bungkul
  3. Sunan Dalem
  4. Sunan Geseng, adalah murid Sunan Kalijaga
  5. Sunan Ngadilangu
  6. Sunan Ngerang
  7. Sunan Ngudung, adalah ayah Sunan Kudus
  8. Sunan Prawata, adalah putra sulung Sultan Trenggana
  9. Sunan Sendang Duwur
  10. Sunan Tembayat atau Sunan Pandanaran II, bupati kedua Semarang
  11. Sunan Wilis
  12. Sunan Lawu, Raden Gugur, putra Brawijaya-V

Penggunaan dalam masyarakat Sunda

Orang Sunda memakai “sunan” untuk menyebut orang yang memiliki kedudukan terhormat (Susuhunan). Salah satu contohnya adalah penyebutan tokoh Sunan Ambu, sosok perempuan mulia yang merupakan “ibu” dari kebudayaan dan peradaban Sunda. Wallahu A’lam.

Wallohu a’lam. Semoga bermanfaat.

[Ical Rizaldysantrialit]

Sumber Baca Disini
Silahkan baca juga artikel terkait.

Istilah sunan berasal dari kata susuhunan yang berarti

Istilah sunan berasal dari kata susuhunan yang berarti

Almunawwar.or.id – Kata sunan memang sangat lumrah di kenal oleh masyarakat indonesia sebagai seorang manusia yang tinggi ilmu agamanya, terutama ketika bisa berdakwah dan menyampaikan risalah islamiyaah bagi orang awwam terlebih khusus yang ada di daerah Jawa ini.

Perjalan dakwah dan syiar yang dilakukan oleh para Sunan ini memang sangatlah panjang dan berliku dalam mengajak orang-orang awam (non muslim) ke jalan yang sangat di ridhoi oleh Alloh S.W.T yaitu agama islam, sehingga jasa dan pengorbanannya kini sangat besar sekali.

Lalu bagaimana penjelasan mengenai istilah daripada sunan tersebut menurut literatur bahasa indonesia? Berikut penerangan yang di ambil dari beberapa sumber terpercaya.

Sunan, dalam budaya suku-suku di Pulau Jawa, adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Kata ini merupakan penyingkatan dari susuhunan[1]. Kata ini berarti tempat penerima “susunan” jari yang sepuluh, atau dengan kata lain “sesembahan”.

Pada periode sejarah Jawa pra-Islam gelar ini jarang dipakai atau tidak banyak didokumentasi. Pada awal-awal masuknya Islam di Jawa, gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad ke-15 hingga abad ke-16. Selain sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai, ustadz, penghulu, atau tuan guru. Gelar “sunan” atau “susuhunan” juga diberikan kepada penguasa Kraton Surakarta Hadiningrat (Kasunanan Surakarta).

Gelar penguasa Jawa Pemakaian lainnya untuk istilah “sunan” dan “susuhunan” adalah sebagai gelar bagi raja-raja dari Kesultanan Mataram semenjak Amangkurat I hingga suksesi pada Kasunanan Surakarta sampai sekarang. Ini adalah warisan Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam, yang mengklaim sebagai Sultan dan Sayidin Panatagama, yaitu raja dan pemimpin agama bagi masyarakat Jawa.

Walisongo

Walisongo adalah sembilan orang penyebar agama Islam di pulau Jawa yang paling terkenal di antara mereka yang mendapat sebutan sunan. Istilah Walisongo berasal dari kata wali (bahasa Arab, yang berarti wakil, dan sanga (bahasa Jawa, yang berarti sembilan). Mereka dianggap sebagai mubaligh agung, baik dari segi ilmu agama Islam maupun bobot segala jasa dan karomahnya terhadap kehidupan masyarakat dan kenegaraannya. Berikut ini adalah daftar sembilan wali yang secara umum dianggap sebagai Walisongo tersebut:

Sunan Walisongo 1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim 2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat 3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim 4. Sunan Drajat atau Raden Qasim 5. Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq 6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin 7. Sunan Kalijaga atau Raden Said 8. Sunan Muria atau Raden Umar Said

9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Sunan Sunan lain
Beberapa mubaligh lainnya selain Walisongo, khususnya yang terlibat dalam masa awal penyebaran agama Islam di Jawa, juga disebut sunan. Berikut ini adalah beberapa mubaligh lainnya yang mendapat gelar sunan:

1. Sunan Bangkalan 2. Sunan Bungkul 3. Sunan Dalem 4. Sunan Geseng, adalah murid Sunan Kalijaga 5. Sunan Ngadilangu 6. Sunan Ngerang 7. Sunan Ngudung, adalah ayah Sunan Kudus 8. Sunan Prawata, adalah putra sulung Sultan Trenggana 9. Sunan Sendang Duwur 10. Sunan Tembayat atau Sunan Pandanaran II, bupati kedua Semarang 11. Sunan Wilis

12. Sunan Lawu, Raden Gugur, putra Brawijaya-V

Penggunaan dalam masyarakat Sunda
Orang Sunda memakai “sunan” untuk menyebut orang yang memiliki kedudukan terhormat (Susuhunan). Salah satu contohnya adalah penyebutan tokoh Sunan Ambu, sosok perempuan mulia yang merupakan “ibu” dari kebudayaan dan peradaban Sunda.

Wallohu A’lamu Bishowaab
Semoga Bermanfaat.

Sumber: piss-ktb.com

almunawwar.or.id

Raja-raja Mataram sedari awal berkuasa tak pernah menggunakan gelar sultan. Raja pertama Danang Sutawijaya memilih sebutan panembahan. Maknanya orang yang disembah. Gelar lengkapnya Panembahan Senopati ing Ngalaga.

Senopati merasa tak percaya diri memakai sebutan sultan. Pertimbangannya, meski Mataram melanjutkan Dinasti Pajang, Senopati bukan keturunan langsung raja Pajang Sultan Hadiwijaya. Dia hanya berstatus anak angkat. Gelar panembahan kemudian yang menjadi pilihan.

Sebutan panembahan dilanjutkan penggantinya Raden Mas (RM) Jolang. Panembahan Hanyakrawati, demikian gelarnya saat jumeneng sebagai raja kedua Mataram. Hanyakrawati bertakhta selama 12 tahun, dari 1601-1613. Kekuasaannya yang relatif singkat menjadi persoalan saat menunjuk pengganti. Suksesi Mataram menghadapi polemik.

Sebelum meninggal, Hanyakrawati mendengarkan ramalan Sunan Tembayat. Mataram menjadi kerajaan besar jika dipimpin RM Rangsang, anak sulung Hanyakrawati. Ketika Rangsang naik takhta, dia memutuskan tetap memakai gelar panembahan. Kompletnya Panembahan Agung Abdulrakhman.

Gelar panembahan digunakan selama 11 tahun. Tujuh tahun setelah pembangunan ibu kota baru di Kerta, gelar panembahan itu ditanggalkan. Rangsang kemudian memakai sebutan susuhunan. Yakni Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Nama Hanyakrakusuma sama yang digunakan Sunan Bonang.

Penggunaan gelar susuhunan itu dipakai setelah Mataram mengalahkan Madura pada 1624. Proklamasi pemakaian gelar baru diadakan pada Garebek Pasa pada 15 Agustus 1624. Tahun itu merupakan kenaikan takhta yang sebenarnya bagi Susuhunan Agung. Di istana baru itu, Rangsang benar-benar merasakan sebagai raja.

Susuhunan berasal dari kata suhun yang berarti punji. Jadi susuhunan berarti yang dipunji atau ditaruh di atas kepala.  Gelar susuhunan atau sunan itu juga dipakai para pemuka agama. Lebih-lebih para wali. Mereka dihormati dan mendapatkan penghormatan yang tinggi. Para wali punya pengaruh luas dan kekuasaan yang besar. Mereka merupakan raja-raja di daerahnya. Setara dengan daerah Mataram asli. Tak heran para wali ini menggunakan gelar sebagaimana raja-raja di masa lalu.

Ambil contoh Sunan Giri memakai gelar Prabu Setmata. Bahkan dalam Babad Tanah Jawi, Sunan Giri ditulis sebagai raja-pandita. Sedangkan Sunan Bonang bergelar Prabu Nyakrakusuma. Nama itulah yang diadopsi raja Mataram Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Memakai gelar susuhunan ini bagi Rangsang jauh lebih mentereng dibandingkan sebutan panembahan.

Penggunaan gelar susuhunan ternyata belum memuaskan hati raja keempat Mataram ini. Dia mendengar raja Banten yang merupakan rivalnya memakai gelar sultan. Karena itu, pada 1641 atau 17 tahun setelah memakai sebutan susuhunan dia kembali mengubah gelar. Dari Susuhunan Agung menjadi Sultan Mataram.

Gelar Sultan Agung seperti yang dewasa ini kita kenal sesungguhnya baru muncul pasca Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Nama tersebut ditemukan di redaksi babad yang disusun di era raja Surakarta Susuhunan Paku Buwono III pada 1749-1788.

Gelar sultan ini menggambarkan ketataan raja pada agama. Di usia tuanya Sultan Agung menaruh perhatian terhadap agama. Setiap tahun dia mengikuti upacara gerebek. Dia  memelopori perubahan bangunan masjid di Jawa yang dilengkapi dengan serambi. (zam/zl/bersambung)