Hukum menjual kulit dan daging hewan yang dikurbankan bagi orang yang berkurban adalah

Ilustrasi hewan kurban (Dok. Kumparan)

Tidak lama lagi, umat Islam di seluruh dunia bakal merayakan Hari Raya Idul Adha 2021. Pada perayaan itu, selalu identik dengan hewan kurban, seperti sapi dan kambing.

Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada 10 Dzulhijjah, menjadi momen atau kesempatan bagi umat muslim yang mampu untuk berkurban. Nantinya, hewan-hewan kurban itu dagingnya akan dibagi-bagikan, termasuk kepada orang yang tidak mampu.

Anjuran untuk berkurban bagi yang mampu tercantum dalam QS. Al-Kautsar ayat 1-3 yang artinya:

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus."

Berbicara mengenai kurban, tentunya menjelang Idul Adha banyak sekali hewan-hewan kurban, seperti sapi dan kambing yang dijual. Tentu saja hal ini termasuk lumrah dan tidak melanggar ketentuan Islam.

Tapi, bagaimana hukumnya jika menjual daging kurban?

Dilansir dari NU Online, mereka yang menjual daging kurban secara dadakan, di mana orang-orang ini menerima daging dari panitia masjid atau tetangga, kemudian dijual.

Menjual hewan kurban hukumnya jelas mubah. Lalu, bagaimana dengan mereka yang menjual daging kurban?

Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin dalam karyanya Busyral Karim Bisyarhi Masa’ilit Ta‘lim. Al-Bulqini sangsi perihal lemak hewan kurban. Berdasar pada qiyas, tidak cukup membagikan paket kurban berupa lemak seperti keterangan di kitab Tuhfah.

Sementara orang dengan kategori faqir boleh mendayagunakan daging kurban seperti menjualnya atau transaksi selain jual-beli kepada orang muslim.

Berbeda dengan orang kaya yang menerima daging kurban. Ia boleh mendayagunakan daging itu hanya untuk dikonsumsi, disedekahkan kembali, atau menjamu tamunya. Karena kedudukan tertinggi dari orang kaya sejajar dengan orang yang berkurban.

Imam Nawawi dalam madzhab Syafi'i mengatakan bahwa menjual hewan kurban yang meliputi daging, kulit, tanduk dan rambut semuanya dilarang. Begitu pula menjadikan sebagai upah para penjagal.

Akibat dari menjual kulit hewan kurban dan kepala hewan kurban sebagaimana yang berlaku, bisa menjadikan kurban tersebut tidak sah. Artinya, hewan kurban yang disembelih pada Hari Raya Idul Adha menjadi sama saja dengan menyembelih hewan biasa. Orang yang berkurban tidak mendapat fadilah pahala berkurban. Hal ini telah dijelaskan dalam suatu hadist berikut,

"Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya. Artinya dia tidak mendapat pahala yang dijanjikan kepada orang yang berkurban atas pengorbanannya,” (HR Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, juz 6, halaman 121)

Maka dari itu, hewan kurban yang meliputi daging, kulit, dan tanduk semuanya tidak diperbolehkan untuk dijual. Sebab, mereka yang berkurban tidak akan mendapatkan pahala. Sedangkan bagi penerima daging, juga tidak dibolehkan menjual daging atau kulit yang ia terima kecuali penerima adalah orang fakir miskin.

MENJUAL KULIT BINATANG KURBAN?

Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari

Menyembelih binatang kurban merupakan ibadah agung yang dilakukan umat Islam setiap tahun pada hari raya kurban.

Orang yang menyembelih binatang kurban, boleh memanfaatkannya untuk memakan sebagian daging darinya, menshadaqahkan sebagian darinya kepada orang-orang miskin, menyimpan sebagian dagingnya, dan memanfaatkan yang dapat dimanfaatkan, misalnya ; kulitnya untuk qirbah (wadah air) dan sebagainya.

Dalil hal-hal di atas adalah hadits-hadits dibawah ini.

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَع قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُالْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّه نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِي قَالَ كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّ خِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْتُعِينُوا فِيهَا

“Dari Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa di antara kamu menyembelih kurban, maka janganlah ada daging kurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga”. Tatkala pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya : “Wahai, Rasulullah! Apakah kita akan melakukan sebagaimana yang telah kita lakukan pada tahun lalu?” Beliau menjawab : “Makanlah, berilah makan, dan simpanlah,. Karena sesungguhnya tahun yang lalu, menusia tertimpa kesusahan (paceklik), maka aku menghendaki agar kamu menolong (mereka) padanya (kesusahan itu). [HR Bukhari no. 569, Muslim, no, 1974]

Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Makanlah, berilah makan, dan simpanlah’, bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukkan kebolehan. Karena perintah ini datangnya setelah larangan, sehingga hukumnya kembali kepada sebelumnya.[1]

Dari hadits ini kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang memakan daging kurban lebih dari tiga hari. Hal itu agar umat Islam pada waktu itu menshadaqahkan kelebihan daging kurban yang ada. Namun larangan itu kemudian dihapuskan. Dalam hadits lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menghapuskan larangan tersebut dan menyebutkan sebabnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كُنْتُ نَهَيْتُكُم عَنْ لُحُومِ اْلأَضَا حِيِّ فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ فَكُلُوا مَابَدَا لَكُمْ وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Dahulu aku melarang kamu dari daging kurban lebih dari tiga hari, agar orang yang memiliki kecukupan memberikan keleluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun (sekarang), makanlah semau kamu, berilah makan, dan simpanlah” [HR Tirmidzi no. 1510, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullah berkata:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ اَهلِ الْمِلْمِ مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ

“Pengamalan hadits ini dilakukan oleh ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka”.

Dalam hadits lain disebutkan:
“Dari Abdullah bin Waqid, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan daging kurban setelah tiga hari. Abdullah bin Abu Bakar berkata : Kemudian aku sebutkan hal itu kepda Amrah. Dia berkata, “dia (Abdullah bin Waqid) benar”. Aku telah mendengar Aisyah Radhiyallahu anha mengatakan, orang-orang Badui datang waktu Idul Adh-ha pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, ‘Simpanlah (sembelihan kurban) selama tiga hari, kemudian shadaqahkanlah sisanya’. Setelah itu (yaitu pada tahun berikutnya, -pent) para sahabat mengatakan : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang membuat qirbah-qirbah[2] dari binatang-binatang kurban mereka, dan mereka melelehkan (membuang) lemak darinya”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Memangnya kenapa?” Mereka menjawab, “Anda telah melarang memakan daging kurban setelah tiga hari”. Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya aku melarang kamu hanyalah karena sekelompok orang yang datang (yang membutuhkan shadaqah daging, -pent). Namun (sekarang) makanlah, simpanlah, dan bershadaqahlah’ [HR Muslim no. 1971]

Banyak ulama menyatakan, orang yang menyembelih kurban disunnahkan bershadaqah dengan sepertiganya, memberi makan dengan sepertiganya, dan dia bersama keluarganya memakan sepertiganya. Namun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ini lemah. Sehingga hal ini diserahkan kepada orang yang berkurban. Seandainya dishadaqahkan seluruhnya, hal itu dibolehkan. Wallahu a’lam.[3]

MENJUAL SESUATU DARI HEWAN SEMBELIHAN KURBAN
Dalam masalah ini terdapat beberapa hadits, sebagaimana tersebut dibawah ini.

1. Hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.

Baca Juga  Bila Orang Tua Tidak Mampu Mengaqiqahkan Anaknya?

عَنْ عَلِيِّ رضي اللّه عنْه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ علَى بًدْنِهِ وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُو مَهَا وَجُلُو دَهَا وَجِلاَلَهَا (فِي الْمَسَا كِيْنِ) وَلاَ يُغْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئًا

“Dari Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar dia mengurusi budn (onta-onta hadyu) beliau[4], membagi semuanya, dan jilalnya[5] (pada orang-orang miskin). Dan dia tidak boleh memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada penjagalnya”. [HR Bukhari no. 1717, tambahan dalam kurung riwayat Muslim no. 439/1317]

Pada riwayat lain disebutkan, Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata.

أَمَرَ نِي رَسُولُ اللّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar aku mengurusi onta-onta kurban beliau, menshadaqahkan dagingnya, kulitnya dan jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada tukang jagalnya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kami akan memberikan (upah) kepada tukang jagalnya dari kami” [HR Muslim no. 348, 1317]

Hadits ini secara jelas menunjukkan, bahwa Ali Radhiyallahu anhu diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menshadaqahkan daging hadyu, kulitnya, bahkan jilalnya. Dan tidak boleh mengambil sebagian dari binatang kurban itu untuk diberikan kepada tukang jagalnya sebagai upah, karena hal ini termasuk jual beli. Dari hadits ini banyak ulama mengambil dalil tentang terlarangnya menjual sesuatu dari binatang kurban, termasuk menjual kulitnya.

2. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رضسُو لَ اللّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ باعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa menjual kulit binatang kurbannya, maka tidak ada kurban baginya”.

Syaikh Abul Hasan As-Sulaimani menjelaskan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim (2/389-390) dan Al-Baihaqi (99/294) dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush Shagir, no. 6118. Namun di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Ayyasy, dan dia seorang yang jujur namun berbuat keliru, perawi yang tidak dijadikan hujjah[6]

3. Hadits Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

(…وَلاَ تَبِيْعُوْا لُحُوْمَ الْهَدْيِ وَاْلأَضَا حِي فَكُلُوْا وتَصَدَّقُوْا وَاستَمْتِعُوْا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيْعُو هَا….)

“Janganlah kamu menjual daging hadyu dan kurban. Tetapi makanlah, bershadaqahlah, dan gunakanlah kesenangan dengan kulitnya, namun janganlah kamu menjualnya” [Hadits dha’if, riwayat Ahmad 4/15][7]

PERKATAAN PARA ULAMA
1. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Jika seseorang telah menetapkan binatang kurban, wolnya tidak dicukur. Adapun binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai kurban, dia boleh mencukur wolnya. Binatang kurban termasuk nusuk (binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan (kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh (bagian) binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual sesuatu darinya. Menukarkannya merupakan jual beli”.

Beliau rahimahullah juga mengatakan : “Aku tidak mengetahui perselisihan di antara manusia tentang ini, yaitu : Barangsiapa telah menjual sesuatu dari binatang kurbannya, baik kulit atau lainnya, dia (harus) mengembalikan harganya –atau nilai apa yang telah dia jual, jika nilainya labih banyak dari harganya- untuk apa yang binatang kurban dibolehkan untuknya. Sedangkan jika dia menshadaqahkannya, (maka) lebih aku sukai, sebagaimana bershadaqah dengan daging binatang kurban lebih aku sukai”[8]

2. Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Dan madzhab (pendapat) kami (Syafi’iyah), tidak boleh menjual kulit hadyu atau kurban, dan tidak boleh pula (menjual) sesuatu dari bagian-bagiannya. Inilah madzhab kami. Dan ini pula pendapat Atho, An-Nakha’i, Malik, Ahmad dan Ishaq. Namun Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak mengapa menjual kulit hadyu dan menshadaqahkan harga (uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di dalam menjualnya. An-Nakha’i dan Al-Auza’i berkata : ‘Tidak mengapa membeli ; ayakan, saringan, kapak, timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan kulitnya, -pent), Al-Hasan Al-Bashri mengatakan ; “Kulitnya boleh diberikan kepada tukang jagalnya’. Tetapi (perkataannya) ini membuang sunnah, wallahu a’lam. [Lihat Syarah Muslim 5/74-75, Penerbit Darul Hadits Cairo]

3. Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata : “Ini (hadits Ali Radhiyallahu anhu di atas) menunjukkan bahwa dia (Ali Radhiyallahu anhu) bershadaqah dengan kulit dan jilal (pakaian onta) sebagaimana dia bershadaqah dengan daging. Dan Ali Radhiyallahu anhu tidak sedikitpun mengambil dari hewan sembelihan itu sebagai upah kepada tukang jagal, karena hal itu termasuk hukum jual-beli, karena dia (tukang jagal) berhak mendapatkan upah. Sedangkan hukum kurban sama dengan hukum hadyu, yaitu tidak boleh diberikan kepada tukang jagalnya sesuatupun dari binatang sembelihan itu (sebagai upah). Penulis Nihayatul Mujtahid berkata : “Yang aku ketahui, para ulama sepakat tidak boleh menjual dagingnya”. Tetapi mereka berselisih tentang kulit dan bulunya yang dapat dimanfaatkan. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan tidak boleh. Abu Hanifah mengatakan boleh menjualnya dengan selain dinar dan dirham. Yakni (ditukar) dengan barang-barang. Atha’ berkata, boleh dengan semuanya, dirham atau lainnya” [8] Abu Hanifah membedakan antara uang dengan lainnya, hanya karena beliau memandang bahwa menukar dengan barang-barang termasuk kategori memanfaatkan (binatang sembelihan), karena ulama sepakat tentang bolehnya memanfaatkan dengannya’. [Lihat Subulus Salam 4/95, Syarah Hadits Ali]

Baca Juga  Mana Yang Lebih Baik Untuk Berkurban?

4. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan : “Di antara faidah hadits ini menunjukkan, bahwa kulit binatang kurban tidak dijual. Bahkan penggunaan kulitnya adalah seperti dagingnya. Pemilik boleh memanfaatkannya, menghadiahkannya atau menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin.[9]

Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat tidak boleh menjual daging kurban atau hadyu (hewan yang disembelih oleh orang yang haji). Jumhur (mayoritas) ulama juga berpendapat tidak boleh menjual kulit binatang kurban, wolnya (bulu kambing), wabar (rambut onta) dan rambut binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan menjual kulitnya, rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar) barang-barang, bukan dengan uang, karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata”[10]

KESIMPULAN Dari perkataan para ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Orang yang berkurban boleh memanfaatkan kurbannya dengan memakan sebagiannya, menshadaqahkan sebagiannya, memberi makan orang lain dan memanfaatkan apa yang dapat dimanfaatkan. 2. Para ulama sepakat, orang yang berkurban dilarang menjual dagingnya.

3. Tentang menjual kulit kurban, para ulama berbeda pendapat.