Harga cpo kpb nusantara apakah sudah include ppn

InfoSAWIT, JAKARTA –  Harga minyak sawit mentah (CPO) pada PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) tercatat menurun menjadi Rp 10.800/kg pada Rabu (7/9/2022), dengan demikian terdapat penurunan sekitar Rp 251/kg, bila dibandingkan dengan harga CPO pada Selasa (6/9/2022) yang mencapai Rp 11.051/kg.

Dari informasi yang didapat InfoSAWIT dari KPBN, untuk wilayah Belawan & Dumai harga CPO mencapai Rp 10.800/Kg. Lantas untuk harga CPKO di Teluk Bayu dibuka Rp 10.680/Kg, namun terjadi withdraw (WD) dengan penawaran tertinggi Rp 10.478/Kg. Sementara harga CPO di Talang Duku tidak ada Informasi.

Harga CPO di Kalbar dibuka Rp 10.600/Kg, namun terjadi withdraw (WD) dengan penawaran tertinggi Rp 10.250/Kg.

BACA JUGA: Harga TBS Sawit Sumut Periode 7-13 September 2022 Turun Tipis, Cek Harganya

Harga CPO domestik kembali mengalami penurunan, ini sejalan dengan proyeksi harga CPO global yang saat ini dibayangi melimpahnya stok CPO dan proyeksi ekonomi dunia yang kurang menggembirakan, termasuk terjadinya penutupan akses ke beberapa kota di China seperti di Sehezen dan Dalian.

Dalam survey Bloomberg, dengan tingginya stok lebih lanjut bakal meredam harga minyak sawit, yang telah anjlok lebih dari 40% sejak Mei 2022, disebabkan Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan ekspor minyak sawit nya termasuk memberlakukan penghentian sementara Pungutan Ekspor yang telah diperpanjang hingga akhir Oktober

Berikut rincian hasil Tender KPBN  (Rp./Kg), Excld PPN periode Rabu (7/9/2022):

CPO_____

Franco Belawan & Dumai Rp. 10.800-MM, IBP, ACI

T.Bayur Rp. 10.680 withdraw (WD). Penawaran tertinggi Rp. 10.478-WIRA

Kalbar Rp. 10.600  (WD). Penawaran tertinggi Rp. 10.250-EUP

(T2)

Dibaca : 279

Dapatkan update berita seputar harga TBS, CPO dan industri kelapa sawit setiap hari dari infosawit.com. Mari bergabung di Grup Telegram "InfoSAWIT - News Update", caranya klik link InfoSAWIT-News Update, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Bisa juga IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.

Harga cpo kpb nusantara apakah sudah include ppn
Ilustrasi. (Foto: Koran SI)

JAKARTA - PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN), menilai pajak ekspor Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah sebesar 10,5 persen pada Maret ini membuat harga komoditas menjadi tidak kompetitif di pasar.

"Memang tidak terlalu tinggi.  Tapi 0,5 persen lebih tinggi atau di atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN)," kata Direktur Operasional PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN), Iman Bimantara, usai RDP dengan Panitia Kerja Kelapa Sawit dan Karet Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Jakarta, Senin (18/3/2013).

Baca Juga: Konvoi Armada Ungu Tandai Dibukanya Taco Bell Paramount Gading Serpong

Iman menuturkan, Malaysia tidak memberlakukan pajak ekspor untuk CPO, namun kontribusi dari pajak yang dinilai memberatkan, dapat dikembalikan untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur terutama di pelabuhan dan jalan raya menuju ke pelabuhan yang saat ini banyak kerusakan.

"Misalnya untuk mengantre di pelabuhan Dumai itu butuh  delapan hari, itukan terlalu lama dan bisa menyebabkan kapal-kapal pengangkut CPO dari pembeli terlalu lama," katanya.

Sementara Indonesia, kapal-kapal harus membayar biaya lagi untuk menunggu di pelabuhan. Dan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan harga CPO menjadi tidak kompetitif di pasar.

Sedangkan saat ini harga CPO yang berasal dari sejumlah SPT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang dijual oleh PT KPB Nusantara sudah menjadi harga acuan petani. "Sekitar Rp7.500 per kilogramnya termasuk PPN," katanya.

Iman mengungkapkan, 100 persen suplai CPO yang diterima dari sejumlah PTPN, sebanyak 75 persen dijual ke pasar impor dan 25 persen dijual ke pasar lokal. Seperti diketahui, PT KPBN adalah anak usaha dari PTPN I-XIV dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI). PT KPBN memasarkan komoditas agro industri produksi BUMN, yang meliputi CPO, karet, latex, teh, Kopi, coklat, gula tetes baik di pasar lokal maupun ekspor.

(mrt)

Bisnis, JAKARTA — Harga minyak sawit mentah di pasar berjangka turun begitu Indonesia mengumumkan kenaikan pajak ekspor menjadi US$675 per ton pekan lalu.

Harga minyak sawit mentah (CPO) di Bursa Derivatif Malaysia untuk kontrak pengiriman Mei 2022 turun 6,6% secara harian ke 5.760 ringgit Malaysia (US$1.373,5) per ton pada Jumat (18/3). Harga sempat mencapai puncaknya pada 9 Maret di level 7.074 ringgit Malaysia (US$1.690,9) per ton.

Sehari sebelumnya, Indonesia mengumumkan kenaikan batas atas pungutan ekspor CPO dari US$175 menjadi US$375 per ton, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 23/2022. Pungutan itu berlaku jika harga CPO di atas US$1.500 per ton. Sementara itu, Kementerian Perdagangan mengemukakan rencana menaikkan bea keluar CPO dari saat ini US$200 menjadi US$300 per ton.

Dengan demikian, eksportir nantinya harus membayar total pajak ekspor US$675 per ton jika harga CPO di atas US$1.500 dari saat ini hanya maksimal US$375 per ton.

Koreksi harga CPO tampaknya mengikuti penurunan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani. Tender CPO di Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) berada di level Rp15.303 per kilogram pada Jumat (18/3). Angka itu turun berturut-turut dari Rp16.161 per kilogram pada Rabu (16/3) menjadi Rp15.751 per kilogram pada Kamis (17/3).

“Ini menggambarkan ketidakpastian pasar CPO dalam negeri karena pada saat yang bersamaan harga CPO dunia relatif stabil. Hari ini adalah hari pertama penerapan PMK 23 dan harga CPO hanya turun sedikit dibandingkan tanggal 17,” kata Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, Jumat (18/3).

Apkasindo melaporkan harga TBS menurun tipis setelah pemerintah menaikkan pungutan ekspor. Menurutnya, kenaikan levy atas CPO dan produk turunannya itu bakal menekan harga TBS petani mencapai Rp1.600 per kilogram dari posisi saat ini Rp3.605 per kilogram.

“Dengan pungutan ekspor US$175 per ton saja, harga TBS petani sudah tertekan sekitar Rp507 sampai Rp700 per kilogram. Itu baru akibat PE, belum lagi oleh bea keluar (BK). Kalau ditotal, tekanan yang ditanggung petani, bisa mencapai Rp1.600 per kilogram,” katanya.

Diwartakan the Edge Markets, kebijakan putar balik Indonesia dari semula kewajiban pasar domestik (DMO) menjadi kenaikan pajak ekspor kemungkinan akan menyebabkan penurunan tajam ekspor minyak sawitnya dalam beberapa bulan ke depan.

Menurut Public Investment Bank, kebijakan itu pun akan dapat mengakibatkan kesenjangan yang lebih lebar antara harga minyak sawit Malaysia dan Indonesia karena perbedaan pajak yang besar.

Dalam catatannya, langkah pemerintah Indonesia disebut positif untuk harga CPO karena akan mengakibatkan pasokan minyak sawit global yang lebih ketat sehingga mempertahankan opini overweight pada sektor perkebunan.

Pajak ekspor CPO yang lebih tinggi akan membuat produsen minyak sawit enggan mengekspor CPO mereka. Dengan harga CPO saat ini 6.895 ringgit per ton, menurut Public Investment Bank, eksportir minyak sawit Indonesia akan dikenakan bea masuk CPO maksimum US$675 per ton. Di posisi harga itu pula, selisih harga CPO Indonesia-Malaysia melebar menjadi US$543 dari US$384 per ton.

“Mengikuti kebijakan terbaru, pemain hulu murni di Indonesia akan merugi karena bea keluar yang besar dan kuat, sementara penyuling lokal adalah pemenang karena mereka memiliki daya tawar yang lebih baik,” tulis bank investasi yang bermarkas di Kuala Lumpur itu.

Sementara itu, baik RHB Research dan CGS-CIMB Securities Sdn Bhd mempertahankan opini netral di sektor ini.

RHB menghitung karena konsumsi minyak goreng curah di Indonesia sekitar 2,1 juta ton per tahun, subsidi tersebut dapat memanfaatkan sebanyak US$1 miliar per tahun, dengan asumsi subsidi sekitar Rp6.400 per liter, dari dana tersebut.

CGS-CIMB memperkirakan kemampuan produsen Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dari harga CPO yang tinggi saat ini akan dipengaruhi oleh pungutan ekspor yang lebih tinggi.

“Namun, hal ini tidak akan berpengaruh signifikan terhadap prakiraan pendapatan tahun buku 2022/2023–2024 kami yang mengasumsikan harga CPO US$1.146 pada 2022 dan US$900 per ton pada 2023–2024,” katanya.

KRISIS PANGAN

Sementara itu, dilansir Bloomberg, Minggu (20/3), para ekonom khawatir langkah banyak negara mengamankan pasokan mereka sendiri, termasuk Indonesia yang menaikkan pajak ekspor CPO dan turunannya, akan mendatangkan ancaman krisis pangan global.

Perang antara Rusia dan Ukraina, dua penghasil biji-bijian, telah memicu kepanikan tentang kekurangan, lonjakan harga dan potensi tekanan pada pupuk Rusia. Hal itu memicu pembatasan ekspor dari Asia ke Amerika, sementara Uni Eropa mengisyaratkan akan memutar seluruh pendekatan terhadap kebijakan pertanian untuk memastikan ketahanan pangan.

Invasi Ukraina, yang dikenal sebagai lumbung roti Eropa, mengguncang pasar komoditas, dan negara-negara merespons dengan menimbun biji-bijian dan minyak goreng, atau mendorong panen yang lebih besar. Negara-negara G7 dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mendesak para pemimpin untuk menjaga arus perdagangan tetap terbuka, memperingatkan bahwa proteksionisme dapat mendorong harga lebih tinggi dan menyebabkan rak kosong di negara-negara yang bergantung pada impor.

“Setiap stabilitas yang Anda dapatkan di negara yang memberlakukan larangan ekspor adalah ketidakstabilan yang diekspor ke seluruh dunia,” kata Joseph Glauber, peneliti senior di Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional di Washington.

Pejabat Uni Eropa akan bertemu hari ini untuk membahas cara membuat pasokan makanan lebih aman.

Beberapa negara bergerak maju sendiri. Bulgaria mengalokasikan dana pemerintah untuk meningkatkan cadangan biji-bijian nasional, dengan tujuan membeli sekitar 1,5 juta ton.

Di Prancis, sebuah asosiasi produsen pakan ingin pemerintah menimbun 800.000 ton biji-bijian yang dibutuhkannya setiap bulan karena khawatir permintaan global akan sereal dapat menghabiskan pasokan domestik.

Moldova dan Serbia juga membatasi penjualan tanaman seperti gandum atau gula.

“Ini adalah efek peniru: Jka Anda melakukannya, maka saya juga akan melakukannya,’” kata Arif Husain, Kepala Ekonom Program Pangan Dunia.