Fungsi tanah jajahan bagi pihak swasta sejak penetapan undang-undang agraria 1870

Undang-Undang Agraria 1870 merupakan undang-undang yang diberlakukan oleh pemerintah Hinda Belanda untuk mengatur prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Berikut ini beberapa dampak diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870:

  1. Pihak swasta semakin banyak memasuki Hindia Belanda.
  2. Pengeksploitasian tanah jajahan.
  3. Dimulainya Era Imperialisme Modern.
  4. Berkembangnya kapitalisme di Hindia Belanda.
  5. Tanah jajahan berfungsi sebagai produsen barang mentah untuk kepentingan industri di Eropa, tempat pemasaran hasil industri Eropa, dan penyedia tenaga kerja yang murah.
  6. Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang.

Sedangkan, Undang-Undang Gula merupakan undang-undang yang mengatur penghapusan kewajiban budidaya tebu kepada petani secara bertahap di Hindia Belanda. Berikut adalah beberapa dampak diberlakukannya Undang-Undang Gula.

  1. Perekonomian di Jawa mengalami keterpurukan.
  2. Terjadinya banyak perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah.
  3. Munculnya pabrik-pabrik komoditas pertanian.
  4. Munculnya perusahaan jasa yang bergerak dalam bidang pengangkutan barang.
  5. Berkembangnya perusahaan swasta asing di Hindia Belanda.

Fungsi tanah jajahan bagi pihak swasta sejak penetapan undang-undang agraria 1870

Diberlakukannya UU Agraria 1870 tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang sebelumnya berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), yaitu sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Tanam paksa pada dasarnya diberlakukan untuk dapat meningkatkan produksi tanaman ekspor dan pemberdayaan petani. Namun, hal tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kebijakan ini justru semakin membuat rakyat sengsara. Oleh karena itu, tanam paksa pun ditentang tokoh-tokoh intelektual Belanda, seperti Eduard Douwes Dekker, Baron van Hoevell, Fransen van de Putten, dan lainnya.

Sejak era 1850-an, kaum pengusaha swasta diizinkan untuk mengadakan kontrak dengan para petani di Hindia Belanda, khususnya di Jawa dan Sumatera. Terkait dengan penyerahan produk ekspor, menyewa tanah desa, dan menyewa tanah yang tidak digunakan untuk perkebunan. Kondisi ini menjadikan paham-paham liberal terhadap perkembangan ekonomi di Hindia Belanda semakin berkembang. Puncaknya ketika 1870 kaum liberal berhasil memenangkan suara di parlemen Belanda yang menyepakati adanya UU Agraria 1870. Menteri Jajahan Engelbertus de Waal kemudian mengesahkan Undang-Undang Agraria 1870 untuk diterapkan di Hindia Belanda. Tujuan diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 antara lain sebagai berikut.

  1. Memberikan peluang dan kemungkinan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda. Cara tersebut dapat dilakukan melalui pengembangan industri-industri dan perusahaan-perusahaan perkebunan mereka di Jawa.
  2. Melindungi hak-hak tanah penduduk agar tidak hilang atau jatuh ke tangan asing melalui penyewaan tanah, bukan menjual tanah kepada pihak asing.
  3. Membuka kesempatan kerja yang lebih baik bagi penduduk Indonesia utamanya dalam bidang buruh perkebunan.

Namun sangat disayangkan bahwa idealisme yang dikobarkan oleh kaum liberal untuk memperjuangkan keluarnya kebijakan ini tidak sejalan dengan kenyataannya. Keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani pribumi hanya sekadar angan-angan, karena hanya dirasakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pihak swasta saja.

Sedangkan jika kita berbicara imperialisme modern maka dapat kita artikan sebagai suatu sistem politik yang bertujuan untuk menguasai negara lain demi keuntungan ekonomi khususnya. Imperialisme modern berlangsung setelah revolusi industri dengan Inggris sebagai pelopor. Maka sejak dikeluarkan UU Agraria dikatakan sebagai era dimulainya Imperialisme moderen di Hindia Belanda karena melalui UU Agraria yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda berdampak tidak baik bagi rakyat dimana hak-hak tanah warga pribumi banyak dirampas paksa dan banyak warga pribumi yang harus bekerja secara paksa (kerja rodi) tanpa digaji.

Dengan demikian kebijakan tersebut merampas hak-hak warga pribumi dan memberikan keuntungan pada pihak asing (Hindia Belanda) sehingga melalui UU Agraria tersebut merupakan dimulainya era Imperialisme modern.

Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa-untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi :

Jakarta -

Pada 1870 pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik kolonial liberal atau disebut juga dengan Politik Pintu Terbuka (open door policy) yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang Agraria. Lalu, siapa tokoh yang mengeluarkan Undang-undang Agraria 1870?

Sebelumnya dari tahun 1830, pemerintah kolonial melakukan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel yang menuai protes karena tanah rakyat diambil alih dengan sewenang-wenang. Tahun 1870 kaum liberal menjadi mayoritas di parlemen Belanda. Sehingga Cultuurstelsel dihapuskan secara resmi.

Latar belakang dikeluarkannya Undang-undang Agraria 1870 dimulai pada masa ini yakni saat berlakunya politik kolonial yang baru yakni politik liberal. Politik liberal dasarnya berarti komersialisasi Hindia Belanda dengan demikian penanaman modal swasta dipersilakan masuk secara bebas.

Untuk mengontrol atau mengatur hal tersebut, tokoh politik Belanda yang memegang jabatan Menteri Jajahan Belanda kabinet Van Bosse-Fock, bernama Engelbertus de Waal mengeluarkan Undang-undang Agraria 1870 atau juga dikenal dengan nama Agrarische Wet 1870.

Selain itu, de Waal juga menyusun Undang-undang Gula 1870 atau Suiker Wet. Undang-undang ini mengatur penghapusan kewajiban budidaya tebu kepada petani secara bertahap di Hindia-Belanda.

Isi Undang-undang Agraria 1870, yaitu

1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah

2. Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha

3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonasi

4. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonasi diberikan tanah dengan Hak Erfpacht selama tidak lebih dari 75 tahun

5. Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak pribumi

6. Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat

7. Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun temurun (yang dimaksud adalah hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepada nya dengan hak eigendom

8. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonasi


Dengan demikian, mengutip Modul Pembelajaran SMA Sejarah Indonesia Kelas XI terbitan Kemdikbud, Undang-undang Agraria pada intinya menjelaskan bahwa semua tanah milik penduduk Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda.

Maka dari itu, pemerintah Belanda memberi kesempatan kepada para pengusaha asing untuk bisa menyewa tanah milik penduduk dalam jangka waktu yang panjang.

Tujuan Undang-undang Agraria 1870

Undang-undang Agraria 1870 yang dikeluarkan Menteri Jajahan Belanda di Hindia Belanda Engelbertus de Waal sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi petani agar tanahnya tidak lepas dari mereka dan jatuh ke tangan para pengusaha.

Selain itu, berdasarkan jurnal Sejarah Hukum Agraria yang ditulis oleh Aal Lukmanul Hakim, Undang-undang Agraria 1870 juga memiliki tujuan sebagai
berikut.

1. Membuka kemungkinan dan memberi jaminan hukum kepada para pengusaha swasta untuk bisa berkembang di Hindia Belanda.

2. Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yang berjangka waktu sampai 75 tahun.

3. Memberi kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat.

4. Memperhatikan kepentingan penduduk asli, dengan melindungi hak-hak tanah rakyat asli.

5. Memberikan kesempatan penduduk asli untuk memperoleh hak tanah baru (Agrarische eigendom).

Dampak Undang-undang Agraria 1870

Kurangnya perhatian pemerintah Belanda dalam pelaksanaan politik kolonial liberal dan Undang-undang Agraria 1870 menimbulkan sejumlah dampak, yaitu

1. Semakin banyak pihak asing yang masuk ke Hindia Belanda dan mengeksploitasi tanah jajahan.

2. Salah satu manfaat positif Undang-undang Agraria 1870 bagi pribumi yakni membuka kesempatan bagi penduduk asli Indonesia untuk berhubungan dengan dunia modern.

3. Masyarakat Hindia Belanda (Indonesia) mulai mengenal uang karena berubahnya sistem pengupahan.

4. Masyarakat juga mengenal hasil bumi yang bisa diekspor dan barang luar negeri yang diimpor, seperti tekstil.

5. Industrialisasi perkebunan semakin berkembang dan Hindia Belanda menjadi negeri pengekspor hasil perkebunan.

6. Matinya usaha kerajinan dan kegiatan industri di luar perkebunan, seperti pertenunan.

7. Dengan banyaknya pengusaha swasta yang menanamkan modalnya untuk usaha-usaha perkebunan di Hindia Belanda, maka Belanda sebagai negara induk memperoleh pendapatan berupa devisa dari kegiatan-kegiatan tersebut.

8. Dibangunnya jalur transportasi dan penyediaan alat transportasi untuk pengangkutan hasil perkebunan seperti kereta api.

9. Pembangunan saluran irigasi dan waduk-waduk.

10. Dampak bidang sosial adanya Undang-undang Agraria 1870 yakni munculnya golongan buruh terutama buruh tani

Simak Video "Menteri ATR Hadi Tjahjanto Turun Gunung Atasi Konflik lahan di Sumut"



(pal/pal)