Di bawah ini yang bukan kewajiban seorang muslim terhadap jenazah muslim adalah

Di bawah ini yang bukan kewajiban seorang muslim terhadap jenazah muslim adalah
* Para peserta halaqah pemulasaraan janazah baik Penyuluh Agama Islam dan Kasi Pelayanan desa se Kecamatan Reban tampak antusias mengikuti praktik pemulasaraan janazah itu

Batang- Penyuluh Agama Islam Kecamatan Reban bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Reban menggelar Halaqah bertema Pemulasaraan Jenazah yang diikuti oleh Penyuluh Agama dan Kasi Pelayanan Desa se-Kecamatan Reban. Selasa (27/10).

Show

Tampak hadir pengurus MUI, KH Maftuhin, Kiai Mahmud, KH Abdurrohim, Kiai Hijroh Saputro. Hadir pula Ketua ormas diantaranya NU, LDII, Rifaiyyah, dan Muhammadiyah.

Acara yang berlangsung di Pendopo Kecamatan Reban ini dibuka oleh Camat Reban, Purmono. Dalam arahanya, ia menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini. Menurutnya, pemulasaraan jenazah adalah salah satu tema yang menarik untuk diikuti karena menyangkut aspek kewajiban kolektif atau fardhu kifayah.

“Dengan adanya kegiatan ini, semoga dapat menambah pemahaman dan kemantapan terkait pentingnya kewajiban mengurus jenazah,” ucapnya.

Ia meminta para peserta untuk aktif bertanya kepada para narasumber.

“Mumpung di tengah-tengah kita ini ada ahlinya yaitu para ulama dan kiai yang kompeten dibidangnya,” katanya.

Sementara itu, KH Maftuhin, salah satu pemateri dari MUI Kabupaten Batang menjelaskan latar belakang digelarnya halaqah bertema pemulasaraan janazah karena semakin langkanya orang yang memiliki keahlian khusus dalam merawat jenazah, padahal keahlian ini sangat penting dimiliki oleh kaum muslimin dan muslimat.

Dia membeberkan beberapa kewajiban yang mesti dilakukan oleh orang yang masih hidup terhadap orang yang meninggal. Kewajiban itu adalah memandikan, mengafani, menyalati, dan mengubur.

“Tapi yang paling utama mengurus jenazahnya mulai dari memandikan, mengafani, menyolati, hingga memakamkan adalah ahli warisnya,” terang kiai asal Kecamatan Warungasem itu.

Di bawah ini yang bukan kewajiban seorang muslim terhadap jenazah muslim adalah
* Para penyuluh Agama Islam tampak mempraktikkan cara memandikan janazah

Oleh sebab itu, perlu ada perubahan cara berfikir masyarakat muslim bahwa kewajiban mengurus jenazah bukan dibebankan kepada kiai atau ibu nyai dan kasi pelayanan desa (lebe). Tetapi yang lebih wajib adalah keluarganya sendiri atau ahli warisnya.

“Maka kegiatan pemulasaraan jenazah seperti ini sangat penting,” sambungnya.

Secara rinci, Kiai sepuh itu lalu menjelaskan beberapa aspek memandikan jenazah misalnya, ada adab, rukun, syarat dibolehkannya tayamum, peralatan yang harus dimiliki, jenazah yang tidak wajib dimandikan, dan tahapan memandikan jenazah.

Kegiatan pemulasaraan jenazah ini mendapat tanggapan baik dari para peserta. Para penyuluh agama Islam dan kasi pelayanan tampak aktif menanyakan seputar tatacara yang dilakukan dalam mengurus jenazah.

Dengan adanya kegiatan ini, diharap dapat menambah wawasan terkait tata cara pemulasaraan jenazah yang baik menurut syariat islam.

“Dan kami harap para penyuluh agama dan kasi Pelayanan bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat dan binaanya,” kata Kepala KUA Reban, H Zahid Luthfi.  (Zaenal Faizin /Zy)

Berkaitan dengan masalah pengurusan jenazah, ada 4 kewajiban terhadap jenazah yang mesti dilakukan oleh orang yang hidup. Empat hal ini dihukumi fardhu kifayah, artinya harus ada sebagian kaum muslimin yang melakukan hal ini terhadap mayit. Jika tidak, semuanya terkena dosa.Empat hal yang mesti dilakukan terhadap mayit oleh yang hidup adalah:1- Memandikan2- Mengafani3- Menyolatkan4- MenguburkanEmpat hal di atas hanya berlaku pada mayit muslim. Adapun mayit kafir, tidak dishalatkan baik kafir harbi maupun dzimmi. Boleh memandikan orang kafir, namun cuma dalam dua keadaan. Dan wajib mengafani kafir dzimmi dan menguburkannya, tetapi hal ini tidak berlaku bagi kafir harbi dan orang yang murtad. Adapun orang yang mati dalam keadaan ihram (sedang berumrah atau berhaji), jika dikafani, maka kepalanya tidak ditutup.Berikut kami sebutkan point-point penting yang mesti dilakukan yang terdapat pada empat hal di atas. Sebagai rujukan utama kami adalah fikih ulama Syafi’i dari penjelasan Al Qodhi Abu Syuja’ dalam Matan Al Ghoyah wat Taqrib, ditambah beberapa dari penjelasan lainnya.Memandikan MayitAda dua mayit yang tidak dimandikan: (1) orang yang mati dalam medan perang (mati syahid), (2) janin yang belum mengeluarkan suara tangisan, ini menurut madzhab Imam Syafi’i. Sedangkan menurut madzhab Imam Ahmad, yang tidak perlu dimandikan adalah janin yang keguguran di bawah 4 bulan.Mayit disiram dengan bilangan ganjil, yaitu boleh tiga, lima kali siraman atau lebih dari itu. Namun jika mayit disiram dengan sekali siraman saja ke seluruh badannya, maka itu sudah dikatakan sah.Pada siraman pertama diperintahkan diberi daun sider (bidara) dan saat ini boleh diganti dengan air sabun. Sedangkan pada siraman terakhir diberi kapur barus.Mengafani MayitMengafani mayit dilakukan dengan tiga helai kain berwarna putih, tidak ada pakaian dan tidak imamah (penutup kepala).Menyolatkan MayitShalat jenazah terdapat tujuh rukun:1- Berniat (di dalam hati).2- Berdiri bagi yang mampu.3- Melakukan empat kali takbir (tidak ada ruku’ dan sujud).4- Setelah takbir pertama, membaca Al Fatihah.5- Setelah takbir kedua, membaca shalawat (minimalnya adalah allahumma sholli ‘ala Muhammad).6- Setelah takbir ketiga, membaca doa untuk mayit. Inilah maksud inti dari shalat jenazah.7- Salam setelah takbir keempat.Tujuh rukun di atas disebutkan oleh Muhammad Al Khotib dalam kitab Al Iqna’.Di antara yang bisa dibaca pada do’a setelah takbir ketiga:اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِAllahummaghfirla-hu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’ madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khilkul jannata, wa a’idz-hu min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar.“Ya Allah! Ampunilah dia (mayat) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim no. 963)Catatan: Do’a di atas berlaku untuk mayit laki-laki. Jika mayit perempuan, maka kata –hu atau –hi diganti dengan –haa. Contoh “Allahummaghfirla-haa warham-haa …”. Do’a di atas dibaca setelah takbir ketiga dari shalat jenazah.Do’a khusus untuk mayit anak kecil:اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًاAllahummaj’ahu lanaa farothon wa salafan wa ajron“Ya Allah! Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala buat kami”. (HR. Bukhari secara mu’allaq -tanpa sanad- dalam Kitab Al-Janaiz, 65 bab Membaca Fatihatul Kitab Atas Jenazah 2: 113)Do’a setelah takbir keempat:اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّ بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُAllahumma laa tahrimnaa ajro-hu wa laa taftinnaa ba’da-hu waghfir lanaa wa la-hu“Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia”.Untuk mayit perempuan, kata –hu diganti –haa.Menguburkan MayitMayit dikuburkan di liang lahat dengan diarahkan ke arah kiblat.Mayit dimasukkan dalam kubur dengan mengakhirkan kepala dan dimasukkan dengan lemah lembut.Bagi yang memasukkan ke liang lahat hendaklah mengucapkan: Bismillah wa ‘alaa millati rosulillah (Dengan nama Allah dan di atas ajaran Rasulullah).Larangan Terhadap KuburDilarang mendirikan bangunan di atas kubur dan tidak boleh kubur disemen. Ini pendapat dalam madzhab Syafi’i namun banyak diselisihi oleh kaum muslimin di negeri kita karena kubur yang ada saat ini dipasang kijing, marmer dan atap.Padahal terdapat hadits, dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur dan memberi bangunan di atas kubur.” (HR. Muslim no. 970). Sudah dibahas oleh Rumaysho.Com: Memasang Kijing, Marmer dan Atap di Atas Kubur.Terhadap Keluarga MayitBoleh menangisi mayit asal tidak dengan niyahah (meratap atau meraung-raung dengan suara teriak atau keras), diharapkan keluarga sabar dan ridho.

Disunnahkan menta’ziyah keluarga mayit hingga hari ketiga setelah pemakaman.

Kewajiban Terhadap Jenazah

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Kewajiban terhadap jenazah umat Islam pada dasarnya ada empat, yaitu memandikan, mengkafankan, menshalatkan dan memakamkan. Selain itu, bermacam-macam yang dilakukan umat Islam seperti; azan saat jenazah dimasukkan ke liang lahat, usai jenazah dimakamkan dan masih di area makam dibacakan tahlil dan talqin, ada juga acara lain lagi melepas jenazah diiringi doa bersama. Terakhir kepada para pengantar jenazah diumumkan agar kembali ke rumah tempat tinggal almarhum untuk makan bersama.

Kemudian malam pertama, kedua, ketiga hingga hari ke seribu di rumah almarhum diadakan acara tahlilan, yasinan dan oleh tuan rumah disediakan makanan. Apakah dibenarkan menurut al-Qur’an dan Hadis semua pekerjaan selain empat macam kewajiban tersebut dan apa saja yang pantas dikerjakan usai jenazah dimakamkan? Jawaban dan penjelasan Majelis Tarjih selaku pengasuh rubrik tanya jawab agama sangat kami harapkan. Terima kasih atas perhatian dan jawabannya.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Alijasa Murni dkk, Pontianak, Kalimantan Barat (disidangkan pada Jum‘at, 27 Shafar 1437 H / 11 Desember 2016 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Terima kasih atas pertanyaan yang telah bapak ajukan. Perlu diketahui, bahwa permasalahan jenazah ini sebelumnya telah dibahas oleh Majelis Tarjih dalam buku Tanya Jawab Agama secara terpisah pada jilid 1 dan 2. Namun, tidak ada salahnya jika kami sampaikan kembali untuk menjawab pertanyaan bapak. Pertanyaan yang bapak ajukan akan kami urutkan terlebih dahulu sebagai berikut:

  1. Pelepasan jenazah diiringi doa bersama
  2. Azan saat jenazah dimasukkan ke liang lahat
  3. Mentalqin mayit setelah dikubur
  4. Makan bersama setelah mengantar jenazah
  5. Hal-hal yang pantas dikerjakan pasca jenazah dimakamkan
  6. Tahlilan dan yasinan pada malam hari kematian ke-1, 2, 3 hingga ke-1000

Dalam Islam, kewajiban seorang muslim terhadap jenazah adalah memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya. Pahala yang dijanjikan oleh Allah Swt. sangat besar dalam pengurusan jenazah ini, sebagaimana hadis Nabi saw.:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ اتَّبَعَهَا حَتَّى تُوضَعَ فِي الْقَبْرِ فَقِيرَاطَانِ قَالَ قُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَمَا الْقِيرَاطُ قَالَ مِثْلُ أُحُدٍ [رواه مسلم].

“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] dari Nabi saw. beliau bersabda: Siapa saja yang menshalatkan jenazah, maka baginya pahala satu qirath dan siapa yang mengantarnya hingga jenazah itu diletakkan di liang kubur, maka baginya pahala dua qirath. Saya bertanya: Wahai Abu Hurairah, seperti apakah qirath itu? Ia menjawab: Yaitu seperti gunung Uhud” [HR. Muslim].

Kewajiban terhadap jenazah ini hukumnya fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang akan gugur apabila dikerjakan oleh sebagian umat Islam. Jika tidak ada yang mengerjakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosanya.

Adapun mengenai amalan-amalan lain sebagaimana diurutkan di atas, berikut ini kami uraikan penjelasan hukumnya:

Sebagaimana disebutkan di dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 168, pelepasan jenazah oleh sebagian masyarakat dikenal dengan upacara pemberangkatan jenazah. Meskipun berbeda-beda teknisnya, tetapi ada persamaannya, yaitu diadakan pidato atau sambutan baik mewakili keluarga, para takziah, bahkan kadang-kadang mewakili instansi pemerintah maupun swasta yang memiliki hubungan dengan orang yang meninggal atau dengan keluarganya.

Berkaitan dengan itu, Islam hanya mengatur empat hal, yaitu memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan. Persoalan upacara pemberangkatan tidak didapati nash yang melarang atau menganjurkan, sehingga dapat dikategorikan ke dalam perkara “maskut ‘anhu”, artinya diserahkan kepada masyarakat dengan batasan tidak dilakukan berlebih-lebihan dan menjurus kepada peratapan keluarga (niyahah).

Mengenai doa pemberangkatan jenazah, perlu dipahami bahwa doa untuk jenazah sebenarnya telah ada pada shalat jenazah dan pada saat menguburkan. Oleh karena itu, meskipun tidak ada larangan yang tegas, sebaiknya doa pada saat pemberangkatan jenazah tidak perlu dilakukan.

Di dalam al-Qur’an dan Hadis tidak ada keterangan sama sekali mengenai hal tersebut. Adapun adzan sendiri hanya disyariatkan sebagai panggilan untuk shalat, sehingga tidak tepat jika dilantunkan bagi jenazah yang telah gugur dari kewajiban shalat.

Talqin, seperti disebutkan pada buku Tanya Jawab Agama jilid 1 halaman 203, berasal dari kata “laqqana-yulaqqinu” yang secara bahasa berarti pengajaran, sedangkan menurut istilah bermakna ajaran atau mengajarkan seseorang yang sedang dalam perjalanan menuju maut atau kematian. Mentalqinkan mayit, terdapat keterangannya dalam hadis Nabi saw.:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ [رواه مسلم]

“Dari Abu Sa’id al-Khudriy [diriwayatkan] ia berkata, bahwa Nabi saw. bersabda: Talqinkanlah (tuntunlah membaca) orang yang akan meninggal dunia (yang ada pada)mu dengan kata Laa Ilaaha illa Allaah” [HR. Muslim].

Dalam hadis tersebut terdapat lafal “mautakum”, artinya orang yang akan meninggal, sehingga makna hadis ini hanya berlaku kepada orang yang sebelum meninggal (sakaratul-maut) bukan setelah meninggal sebagaimana dipahami dan dilakukan oleh sebagian masyarakat.

Maksud makan bersama di sini adalah undangan dari keluarga jenazah kepada masyarakat yang ikut mengiringi proses pemakaman untuk makan bersama setelah dikuburkannya jenazah. Amalan ini sama sekali tidak dituntunkan oleh Nabi saw., justru amalan tersebut dicela olehnya dan termasuk ke dalam ratapan (niyahah). Namun apabila masyarakat bermaksud mengunjungi rumah duka setelah pemakaman, boleh saja dilakukan selama tidak menyusahkan keluarga jenazah. Oleh karena itu, jika keluarga jenazah ingin menjamu, sebenarnya yang diperintahkan untuk memberi makanan adalah sanak saudara atau tetangganya. Hal itu juga sebagai bentuk ta’ziyah terhadap keluarga jenazah yang sedang kesusahan. Sebagaimana sebuah hadis:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ [رواه أبو داود والترمذي]

“Dari Abdullah ibn Ja’far [diriwayatkan] bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah dihinggapi perkara yang menyibukkan mereka” [HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi].

Oleh karena itu, yang dianjurkan di sini adalah agar jamuan atau suguhan jangan menjadi beban keluarga jenazah, melainkan menjadi tanggung jawab sanak saudara atau para tetangga dekatnya. Hal ini juga seperti halnya yang terdapat pada buku Tanya Jawab Agama jilid 1 halaman 207.

Adapun amalan sesudah memakamkan jenazah adalah sebagai berikut:

Berdoa

Sebagaimana terdapat pada buku Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 171,

menurut hadis riwayat Abu Dawud dari Usman bin ‘Affan dinyatakan, selesai jenazah dikubur Nabi saw. memerintahkan para sahabat untuk mendoakan jenazah. Hadis itu adalah:

عَنْ عُثْمَانَ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ, فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ [رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِم].

“Dari ‘Usman bin Affan r.a. [diriwayatkan] bahwa Nabi saw. apabila telah selesai mengubur jenazah, maka beliau berhenti/berdiri di dekat kubur itu dan berkata: Mohonkanlah ampun dan keteguhan hati bagi saudaramu ini karena ia sekarang sedang ditanya” [HR. Abu Dawud].

Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa Nabi saw. memerintahkan para sahabat yang hadir untuk mendoakan jenazah yang dikubur (tentu Nabi sendiri juga berdoa) dan mendoakan jenazah dapat dilakukan secara individual (perorangan) atau berjamaah.

Di sisi lain dalam lafal hadis tersebut dinyatakan “waqafa” yang dapat diartikan berhenti atau berdiri, sehingga berdoa dapat dilakukan secara berdiri maupun duduk. Dengan demikian, amalan yang dilakukan setelah pemakaman jenazah adalah mendoakan jenazah, bukan mentalqin jenazah.

Takziah

Sebagaimana disebutkan dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 168, takziah berasal dari kata “‘azza – ya‘izzu” yang berarti sabar, sedangkan takziah berarti menyabarkan. Maksud takziah ialah menyabarkan orang yang tertimpa musibah yang menimpa keluarga yang didatangi itu.

Takziah tersebut dengan maksud menghibur dan memberikan nasihat kesabaran kepada keluarga yang ditinggal mati, jangan sampai merepotkan. Jika mendatangi keluarga jenazah hendaknya meringankan bebannya karena sedang tertimpa musibah. Bagi tetangga dekat, seyogyanya pada hari-hari berkabung dapat membuatkan makanan untuk keluarga jenazah, sebagaimana hadis riwayat Abu Dawud di atas.

Adapun waktu takziyah, sebenarnya tidak dibatasi hanya sampai tiga hari, kapan saja boleh mengucapkannya apabila ada kegunaannya. Namun masa berduka atau berkabung keluarganya dan orang-orang yang ditinggalkannya adalah 3 hari. Hal ini berdasarkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertakziah setelah lebih dari tiga hari, seperti yang diberitakan dalam hadis riwayat Ahmad dengan sanad sahih sesuai syarat Muslim:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم أَمْهَلَ آلَ جَعْفَرٍ ثَلاَثًا أَنْ يَأْتِيَهُمْ ثُمَّ أَتَاهُمْ فَقَالَ لاَ تَبْكُوا عَلَى أَخِى بَعْدَ الْيَوْمِ. ثُمَّ قَالَ ادْعُوا لِى بَنِى أَخِى. فَجِىءَ بِنَا كَأَنَّا أَفْرُخٌ فَقَالَ ادْعُوا لِى الْحَلاَّقَ . فَأَمَرَهُ فَحَلَقَ رُءُوسَنَا [رواه أحمد].

“Dari Ubadah bin Ja’far [diriwayatkan], bahwa Nabi saw menunda untuk menjenguk keluarga Ja’far setelah tiga hari. Ketika beliau mendatangi keluarga Ja’far, beliau berkata: Janganlah kalian menangisi saudaraku sesudah hari ini. Kemudian ia berkata, panggillah kedua putra saudaraku itu. Kemudian didatangkanlah kami seperti seekor unggas. Beliau berkata, Datangkanlah kepadaku tukang cukur. Kemudian didatangkanlah tukang cukur kepada beliau, maka beliau memerintahkannya mencukur rambut kepala kami” [HR. Ahmad].

Pada buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 halaman 173, dijelaskan bahwa tidak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk melakukan tahlilan setelah 1, 2, 3, 7, 40 bahkan 1000 hari setelah seseorang meninggal dunia. Dalam mengamalkan ajaran agama, umat Islam semestinya mengacu pada hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ [رواه مسلم].

“Dari ‘Aisyah r.a. [diriwayatkan] ia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak” [HR. Muslim].

Berdasarkan dari hadis di atas, tahlilan dan yasinan tidak ada dalil yang memerintahkannya, sehingga tidak perlu untuk dilaksanakan. Di sisi lain, perbuatan tersebut cenderung masuk ke dalam ratapan (niyahah), meskipun hanya berkumpul. Apalagi di sebagian masyarakat, ada yang menambahkan dengan memberikan makanan, bahkan uang, sehingga justru memberatkan keluarga jenazah.

Nabi saw sangat mencela perbuatan ini, beliau bersabda:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الأَشْعَرِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ [رواه مسلم].

“Dari Abu Malik al-Asy’ari [diriwayatkan] bahwa Nabi saw. bersabda: Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah). Lalu beliau bersabda: Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” [HR. Muslim].

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16-17 Tahun 2017