Contoh tradisi daerah yang tidak sesuai dengan nilai agama dan Pancasila

Contoh tradisi daerah yang tidak sesuai dengan nilai agama dan Pancasila

Contoh tradisi daerah yang tidak sesuai dengan nilai agama dan Pancasila

“Semua nilai dalam sila-sila Pancasila itu sejalan dengan ajaran semua agama,” kata Menteri Agama RI Jenderal (Purn) Fachrul Razi saat memberikan ceramah kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 61, Senin 18 Mei 2020. Pada kesempatan tersebut Fachrul mengangkat topik “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Beragama”.

Topik tersebut diangkat dengan tujuan untuk menyampaikan pentingnya menerjemahkan nilai-nilai Pancasila dalam konteks kehidupan keagamaan. Fachrul menyampaikan bahwa Pancasila mempersatukan berbagai keragaman yang Indonesia miliki, baik dari segi agama, budaya, bahasa, suku, etnis, dan keragaman lainnya. Akan tetapi, Fachrul juga mengakui bahwa dalam perjalanan Bangsa Indonesia, masih ada pihak-pihak yang masih berusaha membenturkan nilai-nilai Pancasila dengan nilai-nilai agama. Ada sebagian pihak yang menyebutkan bahwa tidak ada hukum yang lebih tinggi selain hukum Tuhan. “Padahal, Pancasila itu sendiri dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang termasuk di dalamnya ahli agama,” tutur Fachrul.

Indonesia sebagai negara Pancasila juga memfasilitasi dan mengakomodasi penyelenggaraan aktivitas keagamaan setiap warga negara, serta pada saat yang sama tetap menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk menjalankan keyakinan serta kepercayaannya masing-masing, tanpa ditentukan oleh Negara. Maka, Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama mana pun.

“Keragaman dalam hal agama merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia,” ujar Fachrul. Menurut Fachrul, saat ini konflik yang berbasis isu keagamaan masih sesekali terjadi diakibatkan menajamnya perbedaan penafsiran, hingga konflik yang diakibatkan oleh adanya sikap intoleransi, ekstremisme, radikalisme, hingga terorisme. 

Oleh karena itu, perlu ada upaya terus menerus untuk menjelaskan dan memberikan pengertian bahwa nilai-nilai Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama mana pun. Bahkan Pancasila dapat dianggap sebagai jalan tengah yang mampu mengakomodasi nilai-nilai agama untuk diterjemahkan dalam konteks bernegara dan dapat dikatakan bahwa pengaruh agama sangat kuat mewarnai rumusan berbagai isi perundang-undangan, peraturan, serta regulasi-regulasi turunannya di Indonesia.

Pancasila sebagai sebuah ideologi negara telah teruji karena lahir dari kesepakatan bersama antarkelompok yang beragam. Lahirnya Pancasila tidak hanya melibatkan tokoh dari kalangan satu agama saja, melainkan juga tokoh-tokoh agama lain dan kelompok nasionalis. “Namun, dalam implementasinya, nilai-nilai Pancasila masih perlu diterjemahkan secara lebih konkret agar betul-betul dirasakan manfaatnya oleh seluruh umat beragama,” kata Fachrul.

Kemudian Fachrul menyampaikan bahwa sebagai upaya mensinergikan nilai-nilai Pancasila dengan ajaran agama, Kementerian Agama (Kemenag) RI telah merumuskan sebuah gagasan yang disebut sebagai Moderasi Beragama. Melalui Moderasi Beragama, Kemenag mendorong pertumbuhan cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang moderat, tidak ekstrem atau berlebihan, karena agama apapun memang melarang setiap umatnya untuk berlebih-lebihan. Kemenag sudah merumuskan sejumlah indikator keberhasilan Moderasi Beragama, yang salah satunya adalah adanya wawasan kebangsaan yang kuat pada umat beragama. “Komitmen kebangsaan umat beragama penting sebagai benteng dari dalam untuk menghalau merebaknya ideologi yang berlawanan dengan Pancasila,” ujar Fachrul.

MUHAMMADIYAH.OR.ID, DEPOK— Dalam kaidah usul fikih disebutkan bahwa adat istiadat atau budaya dapat menjadi sumber hukum (al-‘adat muhakkamah). Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PCIM Arab Saudi Nur Fajri Romadhon mengatakan bahwa kaidah ini memposisikan budaya dan adat istiadat sebagai sumber hukum yang diakui agama. Karenanya, aturan dan tradisi yang sesuai dengan syariat bisa menjadi sebuah hukum atas kasus tertentu.

“Namun perlu ditekankan di sini bahwa adat istiadat yang bisa dijadikan sumber hukum itu syarat utamanya ialah tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunah,” tegas alumni King Abdulaziz University, Arab Saudi ini dalam Kajian Tarjih yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Depok pada Selasa (02/11).

Contoh penggunaan adat istiadat sebagai sumber hukum ialah penentuan mahar untuk istri. Dalam Islam, seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan wajib memberi mahar atau mas kawin. Mahar tersebut jika tidak ditentukan pada saat akad nikah dikembalikan kepada adat budaya setempat untuk menentukan ukurannya.

Contoh lain dapat dikemukakan yaitu masalah pemberian nafkah kepada keluarga. Menurut Islam, kepala rumah tangga wajib memberi nafkah keluarga yang dipimpinnya, namun Islam tidak menentukan besarannya. Hal itu diserahkan kepada kemampuannya dan adat budaya yang berlaku di daerah tempat tinggalnya.

Budaya yang Bertentangan dengan Syariat

Contoh budaya yang bertentangan dengan syariat ialah syair-syair yang dilantunkan orang-orang Jahiliyah dahulu yang mengandung unsur-unsur kemusyrikan. Ketika Islam datang, melantukan syair tetap dibenarkan, namun tentu saja tidak boleh mengandung hal-hal yang bertentangan dengan agama, seperti kemusyrikan, bid’ah, dan hal-hal yang membantu kedzaliman.

“Budaya yang bertentangan dengan Islam dapat diperbaiki kualitasnya sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Misalnya, syair yang dulu mengandung unsur syirik diubah menjadi syair yang mengandung nilai-nilai tauhidi, dan usaha Wali Songo dalam memodifikasi kesenian wayang,” ujar Nur Fajri.

Sementara itu, adat budaya hasil cipta karsa manusia yang secara terang-terangan mengandung unsur-unsur kemusyrikan, bid’ah, khurafat, takhayul, kedzaliman, dan hal-hal negatif lainnya, maka harus ditundukkan kepada ajaran Islam. Bukan sebaliknya. Hal tersebut lantaran budaya merupakan hasil ciptaan manusia sedangkan nash-nash syariat tidak mungkin mengandung unsur kebatilan.

Contohnya adat budaya yang menyalahi syariat adalah budaya larung laut. Dalam budaya ini orang-orang mempersembahkan sesajian berupa kepala kerbau dan hasil pertanian lalu menghanyutkannya ke laut. Budaya ini berasal dari adat istiada Hindu, yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Jawa untuk mengharap berkah dari penunggu lautan dan menghindarkan mereka dari maya bahaya.

Dengan demikian, karakteristik kebudayaan dalam Islam ialah sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tidak bertentangan dengan Al Quran dan Al Sunah, dapat meningkatkan keimanan dan tidak mengandung unsur kemusyrikan, menghasilkan kebajikan dan menambahkan ingat kepada Allah, dan membuat pencerahan peradaban dan tidak menyebabkan perpecahan.

Sejak zaman dahulu hampir semua kebudayaan di dunia memiliki ritual ‘memanggil’ hujan. Begitu juga dengan masyarakat di Indonesia. Inilah delapan ritual ‘memanggil’ hujan di beberapa daerah di Nusantara hingga saat ini masih lestarikan.

1. Tradisi Cambuk Badan Tiban, Tulungagung

Ritual ini merupakan tradisi warisan raja Kediri yang terus dilestarikan oleh warga desa Trajak, Boyolali, Tulungagung, Jawa Timur, hingga saat ini. Ketika kemarau panjang melanda dan warga mulai kesulitan untuk mendapatkan air, maka tradisi cambuk badan tiban yang dilakukan oleh pria dewasa ini diselenggarakan.

Para pria dengan bertelanjang dada, satu lawan satu, saling cambuk tubuh mereka di tengah lapang. Makna di balik darah yang keluar akibat cambukan dipercaya bakal mendatangkan hujan. Selain di Tulungagung, tradisi yang sama juga bisa ditemui di Trenggalek yang dinamai Cambuk Badan Ojung.

2. Tradisi Ujungan, Purbalingga  

Jika tradisi tiban di Tulungagung menggunakan ranting pohon aren, tradisi unjungan yang terdapat di Purbalingga dan Banjarnegara, Jawa Tengah, ini menggunakan sebilah rotan. Ritual memanggil hujan ini dilakukan oleh para pria di tengah lapangan. Namun ritual ini bisa dibilang cukup ekstrem, pasalnya unjungan dilakukan dengan hitungan ganjil. Artinya jika dalam tiga kali pukulan pada lawan hujan belum juga turun, maka akan dilanjutkan dengan tujuh kali pukulan dan seterusnya.

3. Tari Sintren, Cirebon

Tari Sintren atau Lais adalah tarian yang beraroma magis, bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Tarian ini hanya disajikan saat masyarakat mengalami kemarau panjang. Biasanya ritual tari sintren ini diadakan selama 40 malam berturut-turut. Namun doa dan harapan tetap dipanjatkan pada Yang Maha Kuasa agar hujan cepat turun yang dilakukan oleh seorang pawang sintren.

Penari sintren adalah seorang perempuan yang harus benar-benar masih gadis suci (perawan). Sedangkan pemain lais yang perankan oleh pria, harus benar-benar bujang (masih perjaka).  Tarian ini dilakukan oleh sang penari dalam keadaan tidak sadar atau kesurupan.

4. Tari Gundala-Gundala, Karo

Tari gundala-gundala dikenal juga dengan sebutan tari Gundala Karo merupakan tari berasal dari Kabupaten Karo yang terletak di kawasan Bukit Barisan, Sumatera Utara. Tarian gundala-gundala disajikan saat warga Karo mengalami kemarau panjang dan ritual ini dilakukan warga untuk memanggil hujan atau dalam bahasa batak di sebut Ndilo Wari Udan. Para penari Gundala menggunakan kostum dengan pakaian seperti jubah dan topeng yang terbuat dari kayu.

5. Tradisi Gebug Ende, Karangasem

Ritual memanggil hujan di Bali ini dilakukan secara turun temurun sejak peperangan kerajaan Karangasem dengan kerajaan Seleparang di Lombok. Dilakukan oleh dua kelompok pria dewasa yang saling pukul dengan rotan yang dilengkapi tameng sebagai pelindung. Sebagai penengah, pertarungan ini dipimpin oleh wasit yang disebut Saye. Oleh warga Karangasem, darah yang ditimbulkan dari pertarungan gebug ende ini diyakini dapat mendatangkan hujan.

6. Tradisi Ojung, Bondowoso

Di setiap akhir musim kemarau yang panjang, Desa Tapen, Kecamatan Bondowoso, Jawa Timur, warga berkumpul untuk menyaksikan ritual Ojung. Ritual ini dilakukan sebagai permohonan untuk memanggil hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ritual ojung, dua orang pria berhadapan dengan bertelanjang dada sambil menggenggam erat sebatang rotan. Pertarungan ini akan dipimpin oleh seorang wasit.

7. Tradisi Cowongan, Banyumas

Ritual memanggil hujan ini lumayan unik, karena hanya boleh ditarikan oleh 10 perempuan di Desa Plana, Kec. Somagede Kab. Banyumas, Jawa Tengah. Para pelaku cowongan memaknai cowongan sebagai simbol permohonan dan bukti pengabdian mereka terhadap peninggalan budaya para leluhur. Mereka menjalani ritual cowongan dengan ikhlas, niat yang tulus dan tanpa paksaan karena cowongan merupakan hal yang keramat.

Cowongan memiliki arti blepotan pada wajah, dengan media boneka yang dirasuki bidadari yang dipercaya dapat memanggil hujan. Boneka cowongan hanya boleh dipegang oleh kaum lelaki. Cowongan hanya dilakukan pada musim kemarau yang sangat panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir massa kapat (hitungan dalam kalender jawa) atau sekitar bulan September. 

8. Tarian Suling Dewa, Bayan

Suling dewa merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebelum tarian berlangsung, masyarakat Bayan akan menentukan hari, waktu, dan tempat yang dinilai baik untuk melaksanakan ritual tersebut. Selain itu, masyarakat Bayan juga menyiapkan sesaji berupa kembang, makanan dan kapur sirih. Kapur sirih ini menjadi komponen yang paling penting dan dipercaya dapat mendatangkan hujan.

Keunikan lain yaitu suling yang digunakan, ada filosofis yang begitu mendasar dan mulia. Alat musik seruling ini menggambarkan wujud manusia, apabila seruling ini tidak diberikan hembusan nafas, maka tidak akan menghasilkan nada-nada indah. Begitu juga dengan manusia, bila raga tanpa atma atau roh, tentu tidak akan ada kehidupan.