Contoh pernyataan persuasif dalam teks menimbang ayat-ayat cinta

A. Hakikat Kritik dan Esai 1. Kritik a) Pengertian Kritik adalah penilaian terhadap suatu karya secara seimbang baik kelemahan maupun kelebihannya. b) Ciri-ciri 1) Bertujuan menilai karya. 2) Penilaian didasarkan pada kriteria tertentu. 3) Mengungkapkan kelebihan dan kekurangan karya yang dikritik. 4) Terdapat kesimpulan penilaian kritikus terhadap karya yang dikritik. c) Jenis 1) Berdasarkan Pelaksanaan a. Kritik induktif Adalah kritik dengan memperhatikan unsur-unsur yang ada di dalam karya. b. Kritik judisial Adalah kritik kritik yang menganalisis dan menerangkan efek-efek karya berdasarkan permasalahannya, teknik, serta gaya kepenulisannya. c. Kritik impresionik Adalah kritik yang berusaha menggambarkan sifat khusus dalam sebuah karya serta mengekspresikan tanggapan kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya tersebut. 2) Berdasarkan bentuk a. Kritik teoritis Adalah kritik sastra yang bekerja atas dasar prinsip-prinsip umum untuk menetapkan seperangkat istilah yang berhubungan, pembedaan-pembedaan, dan kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan dan interpretasi karya sastra maupun penerapan “kriteria” (standar atau norma) untuk menilai karya sastra dan pengarangnya. b. Kritik terapan Adalah diskusi karya sastra tertentu dan penulisnya. Misalnya buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei Jilid II (1962) yang mengkritik sastrawan dan karyanya, diantaranya Mohammad Ali, Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardoyo, dan lain sebagainya. 3) Berdasarkan orientasi terhadap karya sastra a. Kritik mimetik Adalah kritik yang bertolak pada pandangan bahwa karya sastra merupakan tiruan atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Kritik ini cenderung mengukur kemampuan suatu karya sastra dalam menangkap gambaran kehidupan yang dijadikan suatu objek. b. Kritik pragmatik Adalah kritik yang disusun berdasarkan pandangan bahwa sebuah karya sastra disusun untuk mencapai efek tertentu kepada pembaca, seperti efek kesenangan, estetika, pendidikan dan sebagainya. Model kritik ini cenderung memberikan penilaian terhadap suatu karya berdasarkan ukuran keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut. c. Kritik ekspresif Adalah kritik yang menekankan kepada kepandaian penulis dalam mengekspresikan atau mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra. Kritik ini cenderung menimbang karya sastra dengan memperlihatkan kemampuan pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara sadar atau tidak tercermin dalam karya tersebut. d. Kritik objektif Adalah kritik sastra yang menggunakan pendekatan bahwa suatu karya sastra adalah karya yang mandiri. Karya ini menekankan pada unsur intrinsik. 4) Berdasarkan Cara Kerja Kritikus a. Kritik impresionistik Adalah kritik yang berupa kesan-kesan pribadi secara subjektif terhadap sebuah karya, di sini selera pribadi amat berperan. Padahal selera pribadi itu berubah-ubah setiap saat sesuai dengan perkembangan kepribadian orang itu. b. Kritik penghakiman Adalah kritik yang bekerja secara deduksi dengan berpegang teguh pada ukuran-ukuran tertentu, untuk menetapkan apakah sebuah karya itu baik atau tidak. c. Kritik teknis Adalah kritik yang bertujuan menunjukan kelemahan-kelemahan tertentu dari sebuah karya agar pengarangnya dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dikemudian hari. d) Fungsi 1) Membina dan mengembangkan sastra. Melalui kritik sastra, kritikus berusaha menunjukkan struktur sebuah karya sastra, memberikan penilaian, menunjukkan kekuatan dan kelemahannya, serta memberikan alternatif untuk pengembangan karya sastra tersebut. 2) Pembinaan apresiasi sastra. Para kritikus berusaha membantu para peminat karya sastra memahami sebuah karya sastra. Kritikus berusaha mengungkap bagian-bagian yang lemah yang terdapat dalam karya sastra. Analisis struktur sastra, komentar dan interprestasi, menjelaskan unsurunsurnya, serta menunjukan unsur-unsur yang tersirat dan tersurat, akan dapat meningkatkan apresiasi sastra. 3) Menunjang dan mengembangkan ilmu sastra. Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa, dan teknik penceritaan. Para pengarang pun dapat belajar melalui kritik sastra dalam memperluas pandangannya, sehingga ciptaannya lebih berkembang. Untuk membuat kritik terhadap karya sastra, penulis dapat menggunakan dua pendekatan yakni dengan pendekatan deduktif dan pendekatan induktif. e) Prinsip-prinsip 1) Penulis kritik (kritikus) harus benar-benar membaca atau mengamati karya yang akan dikritik. 2) Kritikus harus membekali diri dengan pengetahuan tentang karya yang akan dikritisi. 3) Kritikus harus mengumpulkan data-data penunjang dan alasan logis untuk mendukung penilaian yang diberikan. 4) Kritik yang disampaikan tidak hanya mengungkap kelemahan, tetapi harus seimbang dengan kelebihannya. 5) Jika diperlukan, kritikus menggunakan kajian teori yang relevan untuk mendukung penilaiannya. f) Langkah-langkah mengkritik 1) Memiliki pengetahuan tentang teori. 2) Memiliki pengetahuan tentang sejarah. 3) Memiliki pengalaman dalam menganalisis karya. 4) Memiliki kemampuan mengapresiasi karya. 2. Esai a) Pengertian Esai adalah sebuah komposisi prosa singkat yang mengekspresikan opini penulis tentang subyek tertentu. b) Ciri-ciri 1) Berbentuk prosa Artinya dalam bentuk komunikasi biasa, menghindari penggunaan bahasa dan ungkapan figuratif. 2) Singkat Maksudnya dapat dibaca dengan santai dalam waktu dua jam. 3) Memiliki gaya pembeda Seorang penulis esai yang baik akan membawa ciri dan gaya yang khas, yang membedakan tulisannya dengan gaya penulis lain. 4) Selalu tidak utuh Artinya penulis memilih segi-segi yang penting dan menarik dari objek dan subjek yang hendak ditulis. Penulis memilih aspek tertentu saja untuk disampaikan kepada para pembaca. 5) Memenuhi keutuhan penulisan Walaupun esai adalah tulisan yang tidak utuh, namun harus memiliki kesatuan, dan memenuhi syarat-syarat penulisan, mulai dari pendahuluan, pengembangan sampai ke pengakhiran. Di dalamnya terdapat koherensi dan kesimpulan yang logis. Penulis harus mengemukakan argumennya dan tidak membiarkan pembaca tergantung di awang-awang. 6) Mempunyai nada pribadi atau bersifat personal Yang membedakan esai dengan jenis karya sastra yang lain adalah ciri personal. Ciri personal dalam penulisan esai adalah pengungkapan penulis sendiri tentang kediriannya, pandangannya, sikapnya, pikirannya, dan dugaannya kepada pembaca. c) Jenis 1) Esai deskriptif Esai ini dapat menuliskan subjek atau objek apa saja yang dapat menarik perhatian pengarang. Bisa mendeskripsikan sebuah rumah, sepatu, tempat rekreasi dan sebagainya. 2) Esai tajuk Esai ini dapat dilihat dalam surat kabar dan majalah. Fungsinya yaitu menggambarkan pandangan dan sikap surat kabar atau majalah tersebut terhadap satu topik dan isu dalam masyarakat. Dengan Esai tajuk, surat kabar tersebut membentuk opini pembaca. Tajuk surat kabar tidak perlu disertai dengan nama penulis. 3) Esai cukilan watak Esai ini memperbolehkan seorang penulis mengungkapkan beberapa segi dari kehidupan individual seseorang kepada para pembaca. Lewat cukilan watak itu pembaca dapat mengetahui sikap penulis terhadap tipe pribadi yang diungkapkan. Disini penulis tidak menuliskan biografi. Ia hanya memilih bagian-bagian yang utama dari kehidupan dan watak pribadi tersebut. 4) Esai pribadi Esai ini ditulis sendiri oleh pribadi tersebut tentang dirinya sendiri. Penulis akan menyatakan “Saya adalah saya. Saya akan menceritakan kepada saudara hidup saya dan pandangan saya tentang hidup”. Dan membuka tabir tentang dirinya sendiri. 5) Esai reflektif Esai ini ditulis secara formal dengan nada serius. Penulis mengungkapkan dengan dalam, sungguh-sungguh, dan hati-hati beberapa topik yang penting berhubungan dengan hidup, misalnya kematian, politik, pendidikan, dan hakikat manusiawi. Esai ini ditujukan kepada para cendekiawan. 6) Esai kritik. Dalam esai kritik penulis memusatkan diri pada uraian tentang seni, misalnya, lukisan, tarian, pahat, patung, teater, kesusasteraan. Esai kritik bisa ditulis tentang seni tradisional, pekerjaan seorang seniman pada masa lampau, tentang seni kontemporer. Esai ini membangkitkan kesadaran pembaca tentang pikiran dan perasaan penulis tentang karya seni. d) Fungsi Yaitu untuk membahas suatu masalah secara sepintas sesuai pandangan atau pribadi pengarangnya. e) Prinsip-prinsip 1) Memahami benar permasalahan yang dibahas. 2) Menetapkan tujuan yang jelas tentang penulisan esai yang dilakukan. 3) Menetapkan dengan tepat sasaran atau pihak-pihak yang menjadi pembahasan dalam esai dan pihak yang akan membahas esai. 4) Menyertakan bukti dan alas an yang dapat diterima secara nalar (logis). 5) Mengetahui teknik penulisan esai, meliputi: pembuka, isi , dan penutup. 6) Mengguasai keterampilan pengunaan bahasa tulis untuk menghasilkan kalimat logis, efektif, dan sistematis sehingga mudah dipahami pembaca. f) Langkah-langkah membuat esai a) Tentukan topik bila topik telah ditentukan, mungkin tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih 1) Tentukan Tujuan Tentukan terlebih dahulu tujuan esai yang akan ditulis. Apapun topik yang dipilih, harus sesuai dengan tujuannya. 2) Tuliskan Minat Jika telah menetapkan tujuan esai, tuliskan beberapa subyek yang menarik minat. Semakin banyak subyek yang akan ditulis, akan semakin baik. Jangan mengevaluasi subyek-subyek tersebut, tuliskan saja segala sesuatu yang terlintas di kepala. 3) Evaluasi Potensial Topik Jika telah ada bebearpa topik yang pantas, pertimbangkan masingmasing topik tersebut. Yang paling penting, berapa banyak ide-ide yang dimiliki untuk topik yang dipilih. b) Buatlah outline atau garis besar ide-ide Tujuan dari pembuatan outline adalah meletakkan ide-ide tentang topik didalam naskah dalam sebuah format yang terorganisir. c) Tuliskan esai dalam kalimat yang singkat dan jelas Suatu pernyataan esai mencerminkan isi esai dan poin penting yang akan disampaikan oleh pengarangnya. d) Tuliskan tubuh esai Mulailah dengan poin-poin penting kemudian buatlah beberapa sub topik dan kembangkan sub topik yang telah buat. Pada bagian ini dapat menjelaskan, menggambarkan dan memberikan argumentasi dengan lengkap untuk topik yang telah dipilih. Masing-masing ide penting dituliskan pada outline akan menjadi satu paragraf dari tubuh esai. e) Buatlah paragraf pertama (Pendahuluan) 1) Mulailah dengan menarik perhatian pembaca. 2) Tambahkan satu atau dua kalimat yang akan membawa pembaca pada pernyataan esai. 3) Tutup paragraf dengan pernyataan esai. f) Tuliskan kesimpulan Kesimpulan merupakan rangkuman dari poin-poin yang telah dikemukakan dan memberikan perspektif akhir kepada pembaca. Tuliskan dalam tiga atau empat kalimat yang menggambarkan pendapat dan perasaan tentang topik yang dibahas. 3. Struktur Kritik dan Esai a) Pernyataan Pendapat Merupakan bagian teks yang menguraikan pernyataan pendapat awal (tesis) sang penulis atau prediksi penulis tentang sebuah permasalahan yang berdasarkan fakta. Bagian ini juga biasa disebut sebagai bagian pembuka. b) Argumentasi Merupakan bagian yang berisikan berbagai macam pendapat yang dapat memperkuat pernyataan dari penulis sebelumnya. Pada bagian penulis dapat menggunakan berbagai sumber untuk memperkuat pernyataannya tersebut. Bisa dari hasil penelitian para peneliti, maupun dari pendapat para pakar di bidangnya. Sehingga sumber-sumber tersebut dapat memperkuat pendapat pribadi dari penulis sendiri. c) Penegasan Ulang Pendapat Penegasan Ulang Pendapat adalah bagian yang berisi penguatan kembali atas pendapat yang telah ditunjang oleh fakta-fakta dalam bagian argumentasi. Bagian ini sering pula di sebut dengan kesimpulan dan biasanya terletak di akhir dari teks. 4. Kaidah kebahasaan a) Menggunakan pernyataan-pernyataan persuasif. Persuasif adalah bertujuan untuk meyakinkan seeseorang agar melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pembicara atau penulis pada waktu ini atau pada waktu yang akan datang. Contoh : Oleh karena itu, berhadapan dengan novel model ini, kita (pembaca) mesti memulainya tanpa prasangka dan menghindar dari jejalan pikiran yang berprestasi pada sejumlah horizon harapan. Bukankah banyak pula novel konon yang peristiwa –peristiwa awalnya dibangun melalui narasi yang lambat? b) Menggunakan pernyataan yang menyatakan fakta untuk mendukung atau membuktikan kebenaran argumentasi penulis/penuturnya. Mungkin pula diperkuat oleh pendapat ahli yang dikutipnya ataupun pernyataanpernyataan pendukung lainnya yang bersifat menguatkan. c) Menggunakan pernyataan atau ungkapan yang bersifat menilai atau mengomentari. d) Menggunakan istilah teknis berkaitan dengan topik yang dibahasnya. Topik contoh teks kritik adalah novel dan istilah-istilah yang digunakan juga berkaitan dengan novel, misalnya narrator, antologi, eksplorasi, eksperimen, mitos, biografi, dan alur. Topik pada teks terutama film “Batman”. Istilah-istilah film yang digunakan antara lain orisinalitas, trilogy Nolan, planetary, remote control, alegori, dan Candice. e) Menggunakan kata kerja mental. Hal ini terkait dengan karakteristik teks eksposisi yang bersifat argumentatif dan bertujuan mengemukakan pendapat. Kata kerja yang dimaksud antara lain, menyatakan, mengetahui, memuja, merasa, berbahagia, bersikap, membayangkan, dipandang, dianggap, menduga, diperkirakan. Contoh : 1) Bahasa, seni dan hasil-hasil budaya dari bangsanya sendiri dianggap kolot, ketinggalan zaman. 2) Mereka tahu betul akan pentingnya eksistensi dan berartinya harga diri bangsa. f) Pronomina Adalah kata ganti orang yang berfungsi dalam penggunaan pernyataan pendapat pribadi. Dikategorikan dalam dua kelompok yaitu: 1) Pronomina persona (kata ganti orang) Pronomina persona berarti kata ganti orang (persona tungga), misalnya: anda, dia, aku, kamu, saudara, -mu, -ku, -nya, si-. untuk persona jamak, contohnya: kami, kita, mereka, para, kalian dan hadirin. 2) Pronomina nonpersona (kata ganti bukan orang) Pronomina nonpersona kata ganti bukan orang (pronominal penunjuk), misalnya: itu, ini, situ, sini dan sana. untuk pronomina penanya, contohnya: siapa, mana dan apa. g) Konjungsi Konjungsi biasa kita kenal dengan sebutan kata penghubung. Kata penghubung digunakan untuk memperkuat argumentasi dalam teks eksposisi. Berikut ini jenis-jenis konjungsi yang sering kita jumpai dalam teks eksposisi: 1) Konjungsi tujuan, misalnya: untuk, supaya, agar. 2) Konjungsi pembatasan, misalnya: kecuali, asal, selain. 3) Konjungsi gabungan, misalnya: dan, serta, dengan. 4) Konjungsi waktu, misalnya: setelah itu, sebelum, kemudian, lalu, sesudah 5) Konjungsi pilihan, misalnya: atau. 6) Konjungsi pertentangan, misalnya: tetapi, akan tetap, sedangkan, namun, melainkan. 7) Konjungsi sebab-akibat, misalnya: sebab, karena, akibatnya, sehingga, akibat. 8) Konjungsi perincian, misalnya: ialah, yakni, yaitu, antara lain, adalah. 5. Perbandingan Kritik dan Esai Tabel 1 : Perbandingan Kritik dan Esai Berdasarkan Pengetahuan yang Disajikan No. Kritik Esai 1. Objek kajian adalah karya, Objek kajian dapat berupa karya misalnya seni musik, sastra, tari, atau fenomena. drama, film, dan lukis. 2. Ada deskripsi karya, bila karya Tidak ada ringkasan atau synopsis berwujud buku deskripsinya karya. berupa sinopsis atau novel. 3. Menyajikan data obyektif. Tidak selalu membutuhkan data. Tabel 2 : Perbandingan Kritik dan Esai Berdasarkan Pandangan Penulisnya No. Kritik Esai 1. Penilaian terhadap karya dilakukan Kajian dilakukan secara subjektif, secara objektif disertai data dan menurut pendapat pribadi penulis alasan yang logis. esai. 2. Dalam memberikan penilaian Jarang atau hampir tidak pernah seringkali menggunakan kajian mencantumkan kajian teori. teori yang sudah mapan. 3. Pembahasan terhadap karya secara Objek atau fenomena yang dikaji utuh dan menyeluruh. tidak dibahas menyeluruh, tetapi hanya pada hal menarik menurut pandangan penulisnya. Meskipun demikian, pembahasannya dilakukan secara utuh. B. Membandingkan Kritik dan Esai Teks 1 : Gerr Oleh : Gunawan Muhammad Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak : “Grrr”, “Dor”, “Blong”, “Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan : “Aduh”, “Anu”. Di depan kita : panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun - sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan “bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai “terror” – dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti : tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar. Ini terutama hadir dalam teaternya – yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut – hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus. Bagi saya, teater ini adalah “teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisan-lapisan sosial. Teater Mandiri adalah “teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, “bertolak dari yang ada”. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu direktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah Gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latuhan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja : seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya : sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara “peristiwa” dan “cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan sibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah “bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata “teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menapik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos ,dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan motif adalah “memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa “kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, “terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut – dan itu bertaut dengan hidup dalan teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu aja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengaku bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya “teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari “yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Teks 2 : Menimbang Ayat-Ayat Cinta Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan dalan pengungkapan karya sastra. Begitu pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran islami, karena penjualannya mampu mengalahkan buku-buku yang digandrungi, seperti Harry Potter ini mengusung tema cinta islami yang dihiasi dengan konflik-konflik yang disusun dengan apik oleh penulisnya. Novel ini mengisahkan perjalanan cinta antara 2 anak manusia, Fahri sebagai pelajar Indonesia yang belajar di Mesir, dan Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun mengusung tema cinta tidak lantas membuat novel ini membahas cinta erotis antara laki-laki dan wanita. Banyak cinta lain yang masih bisa digambarkan, seperti cinta pada sahabat, kekasih hidup, dan tentu saja pada cinta sejati, Allah Swt. Perjalanan cinta yang tidak biasa digambarkan oleh Habiburrachman. Nilai dan budaya Islam sangat kental dirasakan oleh pembaca pada setiap bagiannya. Bahkan, hampir di tiap paragraf kita kan menentuka pesan dan amanah. Ya, katakana saja pargraf yang sarat dengan amanah. Namun, dengan bentuk yang seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi membosankan untuk dibaca karena penulis tetap menggunakan kata-kata sederhana yang mudah dipahami dan tidak terkesan menggurui. Gaya penulis untuk mengungkapkan setiap pesan justru menyadarkan kita bahwa sedikit sekali yang baru kita ketahui tentang Islam. Latar yang Dilukis Sempurna Hal lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa, baik itu tempat kejadian, waktu, maupun suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk menggambarkan tiap lekuk bagian tempat yang ia jadikan latar dalam novel tersebut ditambah dengan gambaran suasana yang mendukung sehingga seakan- akan mengajak pembaca untuk berwisata dan menikmati suasana Mesir di Timur Tengah lewat karya tulisannya. Bukan hal yang aneh kemudian ketika memang ‘Kang Abik’, begitu penulis sering dipanggil, mampu untuk menggambarkan latar yang bisa dikatakan sempurna itu. Ia memang beberapa tahun hidup di Mesir karena tuntukan belajar. Akan tetapi, tidak menjadi mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat yang dijadikan latar. Bahkan oleh orang Mesir sendiri memang tidak memiliki sarana bahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan. Alur cerita juga dirangkai dengan baik. Meskipun banyak menggunakan alur maju, cerita berjalan tidak monoton. Banyak peristiwa yang tidak terduga menjadi kejutan. Konflik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi novel kebangkitan bagi sastra islami setelah merebaknya novel-novel teenlit. Banyak kejutan, banyak inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak pembaca. Bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas berbagai masalah kehidupan. Karakter Tokoh yang Terlalu Sempurna Satu hal yang ditemukan terlihat janggal dalam novel ini adalah karakter tokoh, yaitu Fahri yang digambarkan begitu sempurna dalam novel tersebut. Maksud penulis di sini, mungkin ia ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan kelembutan hatinya. Hal yang menjadi janggal jika sosok yang digambarkan begitu sempurna sehingga sulit atau bahkan tidak ditemukan kesalahan sedikit pun padanya. Jika dibandingkan dengan karya sastra lama milik Tulis Sutan Sati, mungkin akan ditemukan kesamaan dengan karakter tokoh Midun dalam roman Sengsara Membawa Nikmat yang berpasangan dengan Halimah sebagai tokoh wanitanya. Dalam roman tersebut, Midun juga digambarkan sebagai sosok pemuda yang sempurna dengan segala bentuk fisik dan kebaikan hatinya. Hanya saja, di sini penggambarannya tidak menggunakan bahasa-bahasa yang langsung menunjukkan kesempurnaan tersebut sehingga tidak terlalu kentara. Ini di luar bahasa karya sastra lama yang cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbola). Perbedaan yang lain adalah tidak banyak digunakannya istilah-istilah islami dalam roman tersebut daripada novel Ayat-ayat Cinta. Pembaca yang merasakan hal ini pasti akan bertanya-tanya, adakah sosok yang memang bisa sesempurna tokoh Fahri tersebut. Meskipun penggambaran karakter tokoh diserahkan sepenuhnya pada diri penulis, tetapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Dalam arti, jika tokoh yang dimunculkan memang berkarakter baik, maka paling tidak ada sisi lain yang dimunculkan. Akan tetapi, tentu saja dengan porsi yang lebih kecil atau bisa diminimalisasikan. Jangan sampai karakter ini dihilangkan karena pada kenyataanya tidak ada sosok yang sempurna, selain Rasulullah. 1. Menentukan Jenis Teks “Gerr” dan Teks “Menimbang Ayat-Ayat Cinta” A. Teks 1 “Gerr” Jenis : Teks Esai Alasan : Karena objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis. B. Teks 2 “Menimbang Ayat-Ayat Cinta“ Jenis : Teks Kritik Alasan : Karena objek kajiannya berupa karya sastra, juga terdapat kelebihan dan kelemahan sebuah karya sastra berupa novel yang didalamnya terdapat sinopsis dari novel tersebut. Selain itu, juga terdapat data-data obyektif seperti karakter tokoh yang dapat membuktikan kebenaran dalam teks tersebut. 2. Menentukan Struktur atau Sistematika pada teks “Gerr” dan teks “Menimbang Ayat-Ayat Cinta” No. 1. Sistematika Pernyataan pendapat Gerr Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledek : “Grrr”, “Dor”, “Blong”, “Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan : : “Aduh”, “Anu”. Di depan kita : panggung Teater Mandiri. Menimbang Ayat-Ayat Cinta 1. Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan dalan pengungkapan karya sastra. 2. Begitu pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang berjudul Ayat - Ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam 2. Argumen 1. Bagi saya, teater ini adalah “teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisan - lapisan sosial. 2. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah “memperkenalkan tata di mana ia semula taka da, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal – ihwal. 3. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, 1. 2. 3. 4. perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran islam, karena penjualannya mampu mengalahkan buku - buku yang digandrungi, seperti Harry Potter ini mengusung tema cinta islami yang dihiasi dengan konflik konflik yang disusun dengan apik oleh penulisnya. Novel ini mengisahkan perjalanan cinta antara 2 manusia. Fahri sebagai pelajar Indonesia yang belajar di Mesir, dan Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun mengusung tema cinta tidak lantas membuat novel ini membahas cinta erotis antara laki – laki dan wanita. Nilai dan budaya Islam sangat kental dirasakan oleh pembaca pada setiap bagiannya. Bahkan, hampir di tiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. Hal lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa, baik itu tempat kejadian, waktu, maupun susananya. Bukan hal yang aneh 3. Penegasan ulang bahwa “kata adalah aksi”. 4. Satre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa Bahasa bukan alat yang siap. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari “yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. kemudian ketika memang “Kang Abik”, begitu penulis sering dipanggil, mampu untuk menggambarkan latar yang bisa dikatakan sempurna itu. Pembaca yang merasakan hal ini pasti akan bertanya tanya, adakah sosok yang memang bisa sesempurna tokoh Fahri tersebut. Meskipun penggambaran karater tokoh diserahkan sepenuhnya pada diri penulis, tetapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. 3. Kaidah Kebahasaan pada teks “Gerr” dan teks “Menimbang Ayat-Ayat Cinta” No. 1. Kebahasaan Gerr Menggunakan pernyataanpernyataan persuasif 1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar. 2. Ketika Putu Wijaya memilih kata “teror” dalam hubungan dengan karya Menimbang Ayat-Ayat Cinta 1. Nilai dan budaya islam sangat diterima oleh pembaca pada setiap bagiannya. Bahkan, hampir setiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. 2. Banyak kejutan, banyak inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak pembaca. Bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas berbagai masalah kehidupan. 2. Menggunakan pernyataan yang menyatakan fakta untuk mendukung atau membuktikan kebenaran argumentasi penulis/penutu rnya 3. Menggunakan pernyataan atau ungkapan yang bersifat menilai atau mengomentari kreatifnya, bagi saya ia menapik pandangan seperti itu. 3. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu direktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah Gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latuhan teater. 1. Ini terutama hadir dalam teaternya yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh teater sebagai peristiwa, dimana sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas Begitu pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran islami. 1. Tapi, dengan bentuk yang seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi lebih baik untuk dibaca karena tetap menggunakan katakata yang mudah dipahami dan tidak menarik menggurui. sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsam. Atau selimut hal - hal yang dalam kisah - kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus. 2. Bagi saya, teater ini adalah “teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang lapisan - lapisan sosial. 4. Menggunakan istilah teknis berkaitan dengan topik yang dibahasnya 1. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran. 2. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa 2. Hal lain yang layak untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan Habiburrachman untuk melukiskan gambar dari setiap aspek, baik itu tempat kejadian, waktu maupun suasananya. 3. Alur cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun banyak menggunakan alur maju, cerita berjalan tidak monoton karena banyak peristiwa yang tidak terduga menjadi kejutan. 4. Meskipun penggambaran karakter tokoh disetujui pada diri penulis tetapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Konflik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi novel kebangkitan bagi sastra islami setelah merebaknya novel-novel teenlit. 5. Menggunakan kata kerja mental 6. Pronomina 7. Konjungsi mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. 1. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah “memperkenalkan tata di mana ia semula taka da, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. 2. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa “kata adalah aksi”. 1. Ia memang beberapa tahun hidup di Mesir karena tuntukan belajar. Akan tetapi, tidak menjadi mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat yang dijadikan latar. 2. Maksud penulis di sini, mungkin ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan kelembutan kebahagiaan. 1. Bahkan, hampir setiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. 2. Tapi, dengan bentuk yang seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi lebih baik untuk dibaca 3. Novel ini mengisahkan tentang perjalanan cinta antara 2 anak manusia, 1. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. 2. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini. 3. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. 4. Bagi saya, teater ini adalah “teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski 1. Atau dua suku kata 1. Gaya penulis untuk yang mengejutkan mengungkapkan setiap dan membingungkan pesan sebaliknya : “Aduh”, “Anu”. menyadarkan kita 2. Bagi saya, teater ini tentang sedikit sekali adalah “teater yang kita ketahui miskin” dalam tentang Islam. pengertian yang 2. Nilai dan budaya islam berbeda dengan sangat kental dirasakan rumusan Jerzy oleh pembaca pada Grotowski setiap bagiannya. TUGAS BAHASA INDONESIA KRITIK DAN ESAI NAMA KELOMPOK 6 : 1. 2. 3. 4. 5. 6. IRMA VANESSA. S MELANI OKTAVIA. DS MITHA ROSADI SINAGA RIZAL SARIOL SEFIRA RAHAYU YS TEGAR KELAS : XII MIPA 3

TAHUN AJARAN 2018/2019 SMA NEGERI 12 PEKANBARU