Daftar Isi:
LIBERALISASI PERDAGANGAN INDONESIA PASCA BERGABUNGNYA INDONESIA KE WTO PERIODE 1990-2000
FAISAL YAZDI SABRIE, 049916418 (2008) LIBERALISASI PERDAGANGAN INDONESIA PASCA BERGABUNGNYA INDONESIA KE WTO PERIODE 1990-2000. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA. Official URL: http://lib.unair.ac.id AbstractLiberalisasi perdagangan telah membuat kebijakan ekonomi menjadi lebih tidak dibebani untuk melakukan hubungan ekonomi antar negara. Sebagai contoh adalah sistem World Trade Organization (WTO) yang telah membuat kemajuan yang sangat signifikan di dalam pengurangan atau eliminasi dari hambatan-hambatan nasional terhadap perdagangan melalui 8 putaran perundingan perdagangan multilateral. Dalam penelitian ini dianalisis tujuan akhir dari liberalisasi perdagangan itu sendiri. Tujuan dari liberalisasi perdagangan pada intinya adalah peningkatan perdagangan pada umumnya dan tentu saja peningkatan ekspor dan struktur ekspor yang makin kuat. Penelitian yang dilakukan untuk menganalisis liberalisasi perdagangan Indonesia pasca bergabungnya Indonesia ke WTO periode 1990-2000 menggunakan pendekatan kualitatif. Pada dasarnya pendekatan kualitatif adalah pendekatan penelitian yang menggunakan data berupa kalimat tertulis atau lisan, perilaku, fenomena, peristiwa-peristiwa, pengetahuan atau objek studi. Proses penelitian tersebut memperhatikan konteks studi dengan menitik beratkan pada pemahaman, pemikiran, dan persepsi peneliti. Berdasarkan basil analisis yang telah dilakukan, selama tahun 1990-2000, perkembangan ekspor Indonesia tumbuh sangat meyakinkan dengan kenaikan rata-rata 9,63 persen per tahun. Sepanjang kurun waktu 1990-2000 terjadi penurunan penerimaan ekspor dalam dua tahun, yakni tahun 1998 dan 1999. Jika dibandingkan antara sebelum dan sesudah bergabungnya Indonesia ke WTO, maka sebelum Indonesia bergabung dengan WTO perkembangan ekspor Indonesia tumbuh sebesar 9,45 persen per tahun. Akan tetapi setelah bergabung dengan WTO, perkembangan ekspor Indonesia turun menjadi 8,17%. Actions (login required)
Keywords: Industri Makanan dan Minuman, Perdagangan Internasional, Dampak Tenaga Kerja, Food and Beverage Industry, International Trade, Impact on Labour
Industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor utama dalam perekonomian Indonesia. Pada periode tahun 2002 - 2008, industri ini merupakan penyumbang terbesar terhadap pembentukan nilai tambah bruto dan penyerapan tenaga kerja diantara industri berskala menengah dan besar. Namun, tingkat produktivitas dan daya saing industri ini relatif rendah. Dengan menggunakan model regresi data panel ditemukan bahwa pertumbuhan ekspor produk makanan dan minuman memiliki dampak positif pada penyerapan tenaga kerja industri, dan berlaku sebaliknya untuk impor. Variabel lain yang juga memiliki dampak positif pada penyerapan tenaga kerja adalah impor bahan baku dan investasi asing langsung. Food and beverage industry have become one of leading sectors in Indonesian economy. Its gross value added as well as its labour absorbtion had been the largest among other medium and large scale industries during 2002 - 2008. However, the level of productivity and competitiveness of this industry were relatively low. Using a regression model of panel data it was found that export of food and beverage products have a positive impact on labour of the industry. Conversely, import has a negative impact on labour. Other variables that also have positve impacts on labour absorbtion are import of raw materials and foreign direct investment.
Banga. (2005). Liberalisation and Wage Inequality in India. India: ICRIER Working Paper No. 156 BKPM. (2011). Data Realisasi Penaman Modal Asing di Industri Makanan dan Minuman. Diunduh tanggal 1 April 2011 dari www.bkpm.go.id. BPS. (2011). Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang, Indonesia, 1999, 2002-2011). Diunduh pada tanggal 25 April 2011 dari www.bps.go.id. BPS. (2009). Produk Domestik Bruto Atas Dasar Penggunaan. Jakarta BPS. (2009). Survei Industri Kecil/Kerajinan Rumah Tangga (IKKR). beberapa edisi, Jakarta BPS. (2009). Survei Industri Besar Sedang (IBS). beberapa edisi. Jakarta Chacoliades M. (1978). International Trade Theory and Policy. London: Mc Graw Hill Book Company. Greenaway, D., Hine, R.C., and Wright, Peter. (1998). An Emprical Assessment of the Impact of Trade on Employment in the United Kingdom. Centre for Research on Globalisation and Labor Markets, School of Economics, University of Nottingham Kien, Tran.N & Heo, Yoon. (2007). Impacts Of Trade Liberalization On Employment In Vietnam: A System Generalized Method Of Moments Estimation. The Developing Economices 47.no.1 (March 2009):81-103 Sambodo, Maxensius Tri. (2001). Dampak Liberalisasi Ekonomi Terhadap Perekonomian Indonesia.Jakarta: LIPI Tambunan, T. T. H. (2004). Globalisasi dan Perdagangan Internasional.Bogor. Ghalia Indonesia. UN Comtrade. (2011). Ekspor menurut SITC (2002-208). UN Comtrade. Diunduh tanggal 2 Maret 2011 dari www.uncomtrade.com.
Jakarta - Perdagangan yang lebih liberal memang menjadi tujuan hampir sebagian besar negara di dunia, dengan harapan liberalisasi dapat meningkatkan volume dan nilai perdagangan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Saat ini Pemerintah sedang melakukan proses liberalisasi perdagangan yang lebih komprehensif, yaitu lewat Comprehensive Econornic Partnership Agreement (CEPA). Tentunya semua perjanjian tersebut berkaitan dengan tujuan'untuk mendapatkan keuntungan, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui surplus neraca perdagangan. Sehingga menjadi tawaran yang menggiurkan bagi negara-negara tergabung dalam liberalisasi perdagangan untuk mendapatkan askes pasar. Namun perlu diingat, bahwa proses liberalisasi perdagangan itu sendiri berhubungan erat dengan pembukaan akses pasar produk ekspor Indonesia ke dunia. Begitu juga sebaliknya, terbukanya akses pasar dunia, dalam arti bahwa pasar domestik Indonesia juga akan semakin terbuka bagi produk dari negara lain, alias dibanjiri produk impor. Bagi para pengusaha liberalisasi perdagangan yang sudah berjalan melalui China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) merupakan mimpi buruk untuk industri. Sebab, mengakibatkan produksi industri nasional menurun hingga 50% karena kalahnya persaingan, khususnya pada produk usaha kecil dan menengah di pasar dalam negeri. Akses Pasar Akibatnya adalah sektor industri terpaksa memangkas jumlah tenaga kerja hingga 20%, bahkan ada beberapa pelaku usaha mengalami kerugian dan harus menutup usahanya. Peneliti dari Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Ina Primiana mengatakan, tujuan negara-negara maju melakukan liberalisasi perdagangarf adalah melihat peluang akses pasar karena akibat krisis yang melanda negara-negara tersebut. "Inisiatif yang diajukan negara-negara maju untuk melakukan liberalisasi perdagangan merupakan kepentingan untuk negaranya sendiri, yang melibatkan harhpir 60% dari tarif bea masuk industri nasional," terangnya di Menara Kadin, Jum'at (31/8). Memang, liberalisasi perdagangan salah satunya ditandai dengan penurunan atau bahkan penghapusan hambatan perdagangan, baik berupa tarif maupun non tarif. Hambatan perdagangan penting untuk dihapuskan karena tanpa hambatan dapat mendorong arus pergerakan barang dan jasa. Ina pun menyoroti, dampak CAFTA memperlihatkan secara jelas bahwa neraca perdagangan Indonesia semakin memburuk dalam 5 tahun ter akhir, disebabkan pertumbuhan impor 2-3 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. "Perhatikan kinerja perdagangan dengan negara mitra lainnya, mereka bisa surplus, tapi kenapa Indonesia defisit, apa yang salah dengan kita," tandasnya. Dia juga mempertanyakan, apakah ada yang salah pada pelaksanaan perjanjian tersebut, bagaimana ketika proses negosiasi per-janjian ditandatangani, bagaimana posisi Indonesia dan negara yang melakukan perjanjian saat itu dan siapa yang menandatangani, kemudian adakah pembahasan terlebih dahulu dengan industri atau pengusaha. Menurut Ina, butuh koordinasi yang baik antara pihak terkait sebelum menandatangani perjanjian liberalisasi perdagangan, mulai dari pemerintah hingga pelaku industri nasional dan harus merupakan kesepakatan bersama. "Koordinasi itu memang bisa membutuhkan waktu, namun nantinya akan ada satu suara. Jadi sektor yang kuat baru dibuka pasarnya. Harus kesepakatan bersama dan semua harus dipelajari," jelasnya. Struktur nilai impor Indonesia masih didominasi oleh barang modal hingga 70% dan bahan baku sebesar 20%. Ina mengatakan, apabila kesepakatan liberalisasi perdagangan terus dibuka bagaimana nasib keberlanjutan industri nasional dalam jangka panjang, kapan Indonesia memiliki industri yang bernilai tambah atau yang berteknologi tinggi. Evaluasi Perjanjian Pemerintah sudah seharusnya belajar dari pengalaman pahit yang sudah terbukti nyata merugikan Indonesia, Sekretaris Ditjen Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Dyah Winarni Poedjiwati pun menyadari, setelah merasakan dampak CAFTA, pihaknya usulkan agar perjanjian perdagangan yang akan datang harus bisa dievaluasi. Karena dalam CAFTA, tidak terdapat poin evaluasi jika terjadi kerugian terhadap salah satu negara. Ketentuan tersebut baru dimasukan dalam kerjasama Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Menurut Dyah, evaluasi perjanjian perdagangan harus bisa dilakukan dalam waktu tertentu, misalnya lima tahun sekali. Sehingga, bila dalam perjalanannya perjanjian tersebut ternyata merugikan salah satu negara, bisa dilakukan koreksi. Bahkan, dimungkinkan untuk bisa dibatalkan. "Bila poin evaluasi tidak terakomodasi dalam perjanjian, lebih baik tidak melakukan perjanjian liberalisasi perdagangan sama sekali," tegasnya. Dyah mengatakan, perlu beberapa strategi pengamanan industri yang harus dilakukan sebelum memberlakukan kerjasama perdagangan. Pertama, mengetahui manfaat kerjasama itu bagi perekonomian nasional. Kedua, menginventarisasi hambatan-hambatannya. Ketiga, memilah sektor mana yang sudah siap. Keempat, perjanjian liberalisasi perdagangan harus dikaitkan dengan komitmen investasi. "Jadi sebelum melakukan kerjasama harus mengkaji dulu, termasuk untuk industri domestik mana yang sudah siap bisa kita buka pasarnya. Yang belum siap jangan dibuka," jelasnya. Terlalu banyak terlibat dalam kesepakatan perdagangan dan ekonomi, dalam hal untuk membuka akses pasar, berpeluang tinggi menutup Indonesia untuk dapat mengembangkan industri dengan teknologi tinggi di masa depan. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembangkan industri dengan konten teknologi lebih tinggi, bila ingin terus berkelanjutan dalam mengembangkan perekonomian lebih lanjut untuk jangka panjang. sumber : Harian Ekonomi Neraca |