Contoh keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan adalah agar brainly

Berbicara tentang perempuan, tidak sedikit hasil kajian yang menyebutkanbahwa perempuan dan anak masih tergolong kelompok rentan yang sering mengalami berbagai masalah, seperti kemiskinan, bencana alam, konflik, kekerasan, dan sebagainya.Hal itu tidak hanya terjadidi Indonesia, tetapi juganegara-negaralain di seluruh dunia.

Pun di era emansipasi seperti sekarang, perempuan acapkali dianggap sebagai kelompok kelas kedua (subordinat) sehingga mereka tidak memperoleh persamaan hak dengan laki-laki. Perempuan dinilai hanya becus dalam melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan urusan rumah tangga.

Perempuan bisa menjadi aktor strategis di dalam pembangunan. Tidak hanya pembangunandi desa-desa, tetapi juga pembangunan secara nasional yang dapat mengubah kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera. 

Seiring berjalannya waktu, perempuan mulai bangkit dan berhasil membuktikan bahwasanya keberadaan mereka layak untuk diperhitungkan. Kecerdasan serta kepiawaian perempuan-perempuan Indonesia, khususnya, tidak bisa lagi dianggap remeh karena telah turut berkontribusi terhadap pembangunan.

Salah satu contoh, peran perempuan di dalam upaya meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Di sektor perikanan, data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) 2015 menyebutkan, perempuan mengerjakan 70% pekerjaan produksi perikanan dengan waktu kerja hingga 17 jam.

Mulai dari menyiapkan bahan bakar, perbaikan alat menangkap ikan, memasak bahan makanan untuk nelayan laki-laki. Setelah ikan tiba di dermaga, perempuan kemudian berperan sebagai penjual atau pengupas kerang. Mereka juga ahli dalam mengolah ikan menjadi makanan siap saji, seperti tekwan, sambal,ataupun kerupuk sehingga harga jual harga jual produk ikan menjadi naik.

Demikian juga keterlibatan perempuan pada bidang-bidang lain, termasuk politik dan pemerintahan. Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Jusuf Kalla pada 2014-2019, perempuan kian diberdayakan dengan ditetapkannya peraturan mengenai kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam politik.

Meskipun, dalam praktiknya, tidak semua perempuan yang berkecimpung di bidang politik memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan strategis. Namun setidaknya, mereka mampu merepresentasikan kehadiran serta menyuarakan aspirasi perempuan di level kebijakan pemerintah.

Dalam sebuah forum Trading Development and Gender Equality yang berlangsung di sela Asian Development Bank Annual Meeting 2019 di Nadi, Fiji, Sabtu (4/5) lalu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN/ Bappenas) menyebutkan kaum perempuan adalah aset, potensi, dan investasi penting bagi Indonesia yang dapat berkontribusi secara signifikan sesuai kapabilitas dan kemampuannya.

Lebih mengerucut, dalam konteks pembangunan, pengarusutamaan gender, dan pemberdayaan perempuan begitu erat kaitannya dengan memperbaiki kualitas generasi penerus bangsa. Mengingat, perempuan adalah pendidik pertama di dalam keluarga.

Berdasarkan prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 lalu, populasi Indonesia pada 2018 mencapai tak kurang dari 264,2 juta jiwa atau 50,2% adalah laki-laki sementara 131,5 juta jiwa atau 49,8% adalah perempuan. Sedangkan, Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia diketahui mengalami kenaikan dari 90,82 pada 2016 menjadi 90,99 di 2018.

IPG yang mendekati 100 itu secara jelas mengindikasikan bahwa semakin kecil kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan.

Sementara, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia ikuttercatat naik dari 71,39 pada 2016 menjadi 71,74 di 2017. IDG adalah indikator yang menunjukkan apakah perempuan dapat memainkan peranan aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, tingkat pendidikan perempuan rata-rata lebih tinggi dari laki-laki. Akan tetapi, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan justru sebaliknya lebih rendah dibanding TPAK laki-laki yakni hanya di angka 55%.

Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional 2018 yang dirilis oleh BPS, proporsi laki-laki dalam sektor kerja formal hampir dua kali lipat dibanding perempuan. Mirisnya, dalam 10 tahun terakhir, tren proporsi tersebut cenderung stagnan dan bahkan perempuan bekerja masih sangat rentan untuk terpapar economic shocks.

Masih dari data BPS, sekitar 26% pekerja perempuan adalah pekerja sektor rumah tangga, selain itu, sebagian besar pekerja perempuan adalah pekerja dengan keterampilan menengah hingga rendah yang proporsinya mencapai 89% atau sekitar 43,8 juta jiwa.

Empat sektor utama

Menyadari pentingnya peran perempuan dalam pembangunan, pemerintah Indonesia membidik empat sektor utama yakni di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, serta terkait pencegahan kekerasan. Di samping itu, langkah strategis disiapkan untuk mengatasi isu pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, sekaligus mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s), terutama tujuan kelima yaitu kesetaraan gender.

Pertama, di bidang pendidikan. Pemerintah mengimplementasikan wajib belajar 12 tahun serta menyediakan kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin melalui Kartu Indonesia Pintar dan Program Keluarga Harapan. Kedua, di sektor kesehatan, Indonesia fokus untuk memperbaiki akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk ibu, anak, dan remaja, mengakselerasi usaha perbaikan nutris, mengintegrasikan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pendidikan, mendorong pengetahuan dan keterampilan berkeluarga, serta memperbaiki akses dan kualitas keluarga berencana.

Ketiga, di bidang ketenagakerjaan, pemerintah fokus untuk memperluas kesempatan kerja, mendorong fleksibilitas pasar tenaga kerja, menyesuaikan gaji dengan mekanisme pasar, memperbaiki keterampilan dan kapasitas tenaga kerja dengan pelatihan untuk perempuan, dan menguatkan implementasi kebijakan tenaga kerja yang mengakomodasi kesetaraan gender.

Terakhir, yang keempat ialah terkait pencegahan kekerasan. Indonesia menargetkan peningkatan pemahaman atas definisi kekerasan dan penyelundupan perempuan, menyediakan perlindungan hukum bagi kasus kekerasan terhadap perempuan, dan meningkatkan efektivitas pelayanan bagi penyintas anak dan perempuan.
 

- Hetifah (dalam Handayani 2006:39) berpendapat, “Partisipasi sebagai keterlibatan orang secara sukarela tanpa tekanan dan jauh dari pemerintah kepentingan eksternal”. 

- Menurut Histiraludin (dalam Handayani 2006:39-40) “Partisipasi lebih pada alat sehingga dimaknai partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat secara aktif dalam keseluruhan proses kegiatan, sebagai media penumbuhan kohesifitas antar masyarakat, masyarakat dengan pemerintah juga menggalang tumbuhnya rasa memiliki dan tanggung jawab pada program yang dilakukan”. Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pemngembangan masyarakat, seolah-olah menjadi “model baru” yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam pengembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang teteapi kurang dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peran serta, ikut serta, keterlibatan atau proses bersama saling memahami, merencanakan, menganalisis, dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.

- Selanjutnya menurut Slamet ( 2003:8 ) menyatakan bahwa, partisipasi Valderama dalam Arsito mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu :

  1. Partisipasi politik (political participation)

  2. Partisipasi social (sosial participation)

  3. Partisipasi warga (citizen participation/citizenship)

Ketiga hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1. Partisipasi politik (political participation) lebih berorientasi pada “mempengaruhi” dan “mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintah ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

2. Partisipasi social (social participation) partisipasi ditempatkan sebagai beneficiary atau pihak diluar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, pemantauan, evaluasi dan implementasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.

3. Partisipasi warga (citizen participation/citizenship) menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses pemerintahan. Partisipasi warga telah mengalih konsep partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap penerima derma atau kaum tersisih menuju suatu keperdulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambil keputusan diberbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik. Partisipasi dapat dijelaskan sebagai masyarakat pembangunan hanyalah menjadikan masyarakat sebagai objek semata. Salah satu kritik adalah masyarakat merasa tidak memiliki dan acuh tak acuh terhadap program pembangunan yang ada. Penempatan masyarakat sebagai subjek pembangunan mutlak diperlukan sehingga masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi pembangunan. Terlebih apabila akan dilakukan pendekatan pembangunan dengan semangat lokalitas. Masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya tentu akan mampu memberikan masukkan yang sangat berharga. Masyarakat lokal dengan pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar dalam melaksanakan pembangunan. Masyarakat lokal lah yang mengetahui apa permasalahan yang dihadapi serta juga potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Bahkan pula mereka akan mempunyai pengetahuan lokal untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tersebut.

Partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari pembangunan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses pembangunan sosial. Partisipasi masyarakat berarti eksitensi manusia seutuhnya, tuntutan akan partisipasi masyarakat semakin berjalan seiring kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara. Penyusunan perencanaan partisipasif yaitu dalam perumusan program-program pembangunan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat setempat dilakukan melalui diskusi kelompok-kelompok masyarakat secara terfokus atau secara terarah. Kelompok strategis masyarakat dianggap paling mengetahui potensi, kondisi, masalah, kendala, dan kepentingan (kebutuhan) masyarakat setempat, maka benar-benar berdasar skala prioritas, bersifat dapat diterima oleh masyarakat luas (acceptable) dan dianggap layak dipercaya (reliable) untuk dapat dilaksanakan (implementasi) program pembangunan secara efektif dan efesien, berarti distribusi dan alokasi faktor-faktor produksi dapat dilaksanakan secara optimal, demikian pula pencapaian sasaran peningkatan produksi dan pendapatan masyarakat, perluasan lapangan kerja atau pengurangan pengangguran, berkembangnya kegiatan lokal baru, peningkatan pendidikan dan kesehatan masyarakat, peningkatan keswadayaan dan partisipasi masyarakat akan terwujud secara optimal pula. Perencanaan program pembangunan disusun sendiri oleh masyarakat, maka selanjutnya implementasinya agar masyarakat juga secara langsung dilibatkan. Perlibatan masyarakat, tenaga kerja lokal, demikian pula kontraktor lokal yang memenuhi syarat. Selanjutnya untuk menjamin hasil pekerjaan terlaksana tepat waktu, tepat mutu, dan tepat sasaran, peran serta masyarakat dalam pengawasan selayaknya dilibatkan secara nyata, sehingga benar-benar partisipasi masyarakat dilibatkan peran serta mulai penyusunan program, implementasi program sampai kepada pengawasan, dengan demikian pelaksanaan (implementasi) program pembangunan akan terlaksana pula secara efektif dan efesien.

Sumber : *Yuwono, Teguh. 2001. Manajemen Otonomi Daerah : Membangun Daerah Berdasar Paradigma Baru.  Semarang: Clyapps  Diponegoro University

*Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isi Pembangunan. Malang: Universitas Negeri Malang. UM Press

*Supriady, Deddy dan Riyadi. 2005. Perencanaan Pembangunan Derah. Jakarta: SUN

*Isbandi, Rukminto Adi. 2007. Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas : Dari Pemikiran Menuju Penerapan. Depok:  Fisip UI press

*Handayani, Suci. 2006. Perlibatan Masyarakat Marginal Dalam Perencanaan dan Penganggaran Partisipasi (Cetakan Pertama). Surakarta: Kompip Solo

*Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press