Cacahing gatra saben sapada ing tembang dhandhanggula arane

Ilustrasi Cacahing Wanda Saben Sagatra Diarani Foto: Unsplash

Kalimat cacahing wanda saben sagatra diarani kerap ditemukan dalam mata pelajaran bahasa Jawa untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Biasanya, murid-murid diminta melanjutkan kalimat tersebut.

Cacahing wanda saben sagatra diarani sebenarnya merupakan bagian dari kalimat aturan geguritan. Di mana geguritan sendiri terdiri dari tiga aturan yang mengikat.

Untuk mengetahui kelanjutan kalimat cacahing wanda saben sagatra diarani, yuk simak pembahasan di bawah ini.

Ilustrasi Cacahing Wanda Saben Sagatra Diarani Foto: Unsplash

Cacahing Wanda Saben Sagatra Diarani

Cacahing wanda saben sagatra diarani.....

Jawaban yang cocok untuk melengkapi kalimat tersebut, yakni guru wilangan. Jika digabungkan, kalimat ini menjadi cacahing wanda saben sagatra diarani guru wilangan yang artinya "jumlah kata per suku kata disebut guru angka".

Seperti dibahas sebelumnya, kalimat di atas merupakan bagian dari aturan geguritan. Mengutip buku Widya Dharma Agama Hindu SMP kls 9 tulisan I Wayan Midastra dan I Ketut Maruta, geguritan/sekar alit/sekar macapat diikat oleh aturan padalingsa, antara lain:

  • Guru wilangan, yakni jumlah suku kata dalam satu baris (satu gatra).

  • Guru gatra, yaitu jumlah baris dalam satu bait (pada).

  • Guru dingdong, yakni suara akhir pada setiap baris (a, i, u, e, o).

Ilustrasi Cacahing Wanda Saben Sagatra Diarani Foto: Unsplash

Mengutip buku Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa yang ditulis oleh Dhanu Priyo Prabowo, dkk. (2002), geguritan adalah karya sastra Jawa berjenis puisi. Pada awalnya, geguritan selalu didahului dengan kalimat sun gegurit atau sun anggurit yang artinya "aku mengarang atau membaca guritan".

Di samping itu, Subalidinata (1999) mengartikan geguritan sebagai susunan bahasa seperti syair, sehingga ada beberapa pihak yang menyatakan geguritan sebagai syair Jawa cara baru.

Kemudian beberapa sumber mendefinisikan geguritan sebagai genre atau karya sastra yang biasanya ditulis dengan metrum-metrum macapat.

Karya sastra yang disebut dengan guguritan ini memiliki larik yang jumlahnya tidak tetap. Namun jumlah suku kata di dalam setiap larik dan bunyi akhir lariknya selalu sama. Biasanya, karya tulis ini dituliskan sebagai sindiran terhadap keadaan masyarakat.

Sementara itu puisi Jawa dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Puisi Jawa Tradisional

Puisi Jawa tradisional adalah puisi yang masih terikat peraturan. Puisi ini dapat berupa tembang, parikan, guritan, singir, dan tembang dolanan anak-anak.

Puisi Jawa tradisional berbentuk tembang terbagi menjadi tiga golongan besar, yakni:

  • Puisi tembang macapat: metrum mijil, sinom. Hnanthi, pangkur, pucung, dhandhanggula, maskumambang, durma, dan asmarandana.

  • Puisi tembang tengahan: metrum gambuh, wirangrong, balabakjurudemung, dan megatruh (dudukwuluh).

  • Puisi tembang gedhe: metrum girisa.

Puisi Jawa modern merupakan puisi yang tidak terikat dengan norma ketat.

Ilustrasi Cacahing Wanda Saben Sagatra Diarani Foto: Unsplash

Agar lebih mudah memahaminya, simak contoh geguritan berikut ini:

Yo pra kanca dolanan nengjaba

Padhang bulan padhange kaya rim

Ngilingake aja turn sore sore.

Mari teman-teman bermain di luar

Terang bulan terangnya bagai siang

Mengingatkan jangan tidur sore-sore

Iho layangane wama-wama dhapukane

wah layangane manca-wama pulasane

kae montore mabur jdjer jaran sembrani

dimen awet ora pedhot benange

Iho layang-layangnya bermacam-macam bentuknya

wah layang-layangnya berwama-wami pewaraaannya

bagaikan kupu-upu dan satelit

itu kapal terbangnya beijajar dengan kuda terbang

jangan bersentuhan bersama-sama saja

agar awet tidak putus benangnya