Buatlah cerita rakyat tentang Malin Kundang

Jakarta -

Ada sebuah cerita legenda dari Sumatera Barat yang sangat terkenal, yakni Malin Kundang. Saking terkenalnya, cerita Malin Kundang bahkan diterjemahkan dalam Bahasa Inggris.

Cerita Malin Kundang menjadi salah satu contoh soal dari narrative text. Dalam soal itu, para siswa diminta untuk menganalisis cerita fiktif, berupa dongeng, mitos, legenda, maupun fabel.

Buatlah cerita rakyat tentang Malin Kundang
Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis Foto: Brigida Emi Lilia/d'Traveler

Berikut cerita Malin Kundang dalam Bahasa Inggris dan terjemahan singkat:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

1. Cerita dalam Bahasa Inggris

Dikutip dari buku 'American Myths, Legends, and Tall Tales' karya Christopher R dan Jeffrey B Webb berikut cerita Malin Kudang dalam Bahasa Inggris,

Once upon a time, on the north coast of Sumatera lived a poor woman and his son, who called Malin Kundang. His Father eventually died, and his mother lived alone as a poverty-stricken old woman.

Malin Kundang grew up as a skillful young boy. He always helps his mother to earn some money. One day, Malin Kundang decide going to overseas and promise to come back.

After several years had gone by, Malin Kudang finally decide to return to his village. He arrived wearing fine clothes and traveling on one of his ships. Someone arriving in such splendor was uncommon to the villagers, so many of them went down to the harbor to view the sight.

One of the villagers recognized Malin Kundang form a scar that he had received while playing as a child. Upon recognizing the mark, the villager went to tell Malin Kundang's mother that her son had returned. Excitedly, she went to the shore and recognized her son the minute her eyes fell on him.

When the older woman called him her son, he refused to believe that he head such an old woman as a mother. His disbelief was heightened when his wife questioned why he had not told her that he had an elderly, poor mother.

In an alternate translation, Malin Kundang was on the ship with just his crew. When his mother attempted to embrace him, he was too embarrassed by her ragged appearance to acknowledge her and instead, had one of them carry her away.

Distraught and finally realizing he son's wickedness, Malin Kundang's mother gave up on her son's acknowledging her and prayed to her god to punish her son for his behavior.

The day after his mother's prayer, Malin Kudang sailed out of the village. Shortly thereafter, the ships was met by a violent storm. Malin Kundang believed the storm was his god's and nature's ways of punishing him for his mistreatment of his mother.

He felt guilty about his behavior towards her, asked for forgiveness, and began to pray. However, his repentance was too late, for the ship was destroyed at sea. But, in some translations of the tale, Malin Kundang was turned into coral. In other, the ship, the crew, and he become rock formations that are still standing.

Buatlah cerita rakyat tentang Malin Kundang
Batu Malin Kundang Foto: (Brigida Emi/d'Traveler)

2. Terjemahan

Terjemahan singkat cerita Malin Kundang dalam Bahasa Inggris, sebagai berikut,

Pada zaman dahulu, dikisahkan hidup seorang ibu dan anaknya bernama Malin Kundang. Ayahnya telah meninggal dunia sehingga Malin Kundang dan ibunya harus mencari uang.

Malin Kundang pun tumbuh menjadi seorang remaja yang pintar mencari uang. Ia selalu membantu ibunya. Suatu hari, ia memutuskan untuk merantau demi mencari uang dan berjanji untuk kembali.

Setelah beberapa tahun pergi, Malin Kundang kembali dengan kapal miliknya dan pakaian bagus. Ibunya pun datang menemuinya. Namun, Malin Kundang tak mengakui bahwa wanita tua tersebut adalah ibunya.

Sang Ibu pun akhirnya berdoa kepada tuhan agar Malin Kundang diberikan hukuman atas perbuatannya. Singkat cerita, kapalnya diterpa badai ganas dan mengubah Malin Kudang, kapal, serta awak kapalnya menjadi batu.

Ibunya percaya bahwa itu adalah hukuman dari tuhan yang Maha Esa kepada Malin Kundang. Saat ini, batu Malin Kundang masih berdiri di pantai di Sumatera Barat.

3. Kesimpulan

Makna cerita Malin Kundang dalam Bahasa Inggris mengingatkan kita agar tidak melupakan kebaikan seorang ibu, bagai kacang lupa akan kulitnya. Terlebih, tujuan cerita ini agar setiap anak menghormati orang tua dan tidak durhaka kepadanya, karena kesuksesan dan kekayaan tidak bernilai dibandingkan kasih sayang dari orang tua.

Simak Video "Replika Batu Malin Kundang, Pantai Air Manis Padang"


[Gambas:Video 20detik]
(pay/erd)

Jakarta -

Ada banyak dongeng yang berkembang di Nusantara, salah satunya adalah cerita Malin Kundang dari Sumatera Barat. Kisah ini menceritakan seorang anak yang durhaka kepada ibu kandungnya.

Saking populernya cerita Malin Kundang, kisah ini sering diadaptasi untuk pementasan drama baik di dalam dan di luar negeri menggunakan bahasa Inggris. Walaupun hanya sekadar dongeng, isi pokok cerita Malin Kundang mengajarkan banyak nilai bagi anak-anak.

Buatlah cerita rakyat tentang Malin Kundang
Cerita Malin Kundang, Dongeng Nusantara Anak Durhaka dari Sumatera Barat Foto: Batu malin Kundang di Padang yang terkenal (Hesti/detikTravel)

Berikut ringkasan cerita Malin Kundang:

Pada zaman dahulu kalah di pesisir pantai Sumatera Barat hidup lah satu keluarga nelayan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak laki-laki bernama Malin Kundang. Kehidupan mereka sangat lah susah dan serba kekurangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menyadari kondisinya tersebut, sang ayah akhirnya memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Ia berharap bisa mengubah nasib keluarganya, terutama sang anak.

Malin Kundang pun tinggal berdua bersama sang ibu. Setelah satu tahun lamanya ditinggal, sang ayah tak kunjung pulang dan memberikan kabar. Keluarga itu pun pasrah menerima kenyataan.

Waktu terus berjalan hingga akhirnya Malin Kundang tumbuh menjadi pemuda yang pekerja keras. Dia selalu membantu ibunya mencari uang dan akhirnya memutuskan untuk merantau juga.

Walau dengan berat hati, sang ibu mengikhlaskan Malin Kundang untuk pergi mencari uang ke negeri seberang. Malin pun berjanji untuk kembali dan membahagiakan sang ibu.

Setelah beberapa tahun, Malin Kundang kembali ke kampung halamannya. Ia menggunakan pakaian yang bagus dan berlayar dengan kapal besar. Hal itu pun menjadi perhatian warga setempat hingga akhirnya salah satu warga mengenali Malin Kundang.

Ibunya pun mendengar kabar Malin Kundang kembali dan berada di pelabuhan. Saat sang Ibu memanggil namanya, Malin tak mengakui bahwa wanita tua tersebut adalah yang melahirkannya.

Istri Malin Kundang juga bertanya terkait kebenaran apakah sang ibu adalah wanita tua dan miskin. Malin tetap kukuh dan menolak mengakui keberadaan sang Ibu.

Kecewa melihat perilaku sang anak, Ibu Malin Kundang pun berdoa kepada tuhan agar anaknya diberi hukuman yang berat. Sehari setelahnya, Malin Kundang, kapal dan awak kapalnya tersambar petir dan berubah menjadi batu.

Sang Ibu percaya bahwa itu adalah hukuman dari Tuhan yang maha Esa kepada Malin Kundang karena durhaka tak mengakui sang Ibu. Saat ini, batu yang dipercaya sebagai Malin Kundang masih berdiri di pantai di Sumatera Barat.

Semoga cerita Malin Kundang bisa menjadi pengingat kita untuk selalu menyayangi kedua orang tua ya!

Video Berkunjung ke Pantai Malin Kundang

[Gambas:Video 20detik]

Cerita Maling Kundang telah menjadi cerita rakyat paling populer karena alur kisah yang menarik dan mengandung pesan moral , menjadi pengingat anak ketika tidak menurut kepada orang tuanya.

Hiduplah Mandeh Rubayah dan anak nya yang bernama Maling Kundang

Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di daerah Padang, Sumatera Barat hiduplah seorang janda bernama Mande Rubayah bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Mande Rubayah amat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin adalah seorang anak yang rajin dan penurut.

Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan ia dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh-sakit. Sakit yang amat keras, nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diseiamatkan-berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling menyayangi. Kini, Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.

“Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini, temani ibu,” ucap ibunya sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin merantau.

“Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku,” kata Malin sambil menggenggam tangan ibunya. “Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah” pinta Malin memohon.

Malin Kundang Pergi Merantau

“Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak,” kata ibunya sambil menangis. Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan anaknya pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus, “Untuk bekalmu di perjalanan,” katanya sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu berangkatiah Malin Kundang ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.

Hari-hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut, “Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?” tanyanya dalam hati sambil terus memandang laut. la selalu mendo’akan anaknya agar selalu selamat dan cepat kembali.

Beberapa waktu kemudian jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. “Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?” tanyanya. Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, kini ia jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda dulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.

“Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan yang sangat kaya raya,” ucapnya saat itu.

“Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang…,” rintihnya pilu setiap malam. Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai.

Maling Kundang telah menjadi saudagar sukses.

Orang kampung berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali. Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.

Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkiiauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah.

Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat, ia takut kehilangan anaknya lagi.

“Malin, anakku. Kau benar anakku kan?” katanya menahan isak tangis karena gembira, “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”

Malin Kundang durhaka pada ibunya.

Malin terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang—camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Wanita jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku!” ucapnya sinis, “Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!”

Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya hingga terguling ke pasir, “Wanita gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar.

Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!” Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, wanita gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!” Wanita tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati.

Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian.

Maling Kundang dikutuk menjadi batu.

Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya ditengadahkannya ke langit. Ia kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu, “Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafhan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis. Tak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya.

Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Laiu sambaran petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.

Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia.

Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia, terkadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri, “Ampun, Bu…! Ampuun!” konon itulah suara si Malin Kundang, anak yang durhaka pada ibunya.