Berapa lama perang medan area terjadi

Sebelum istilah Medan area berkumandang, Jepang telah kalah pada perang dunia kedua dan seluruh pasukan Jepang di berbagai belahan dunia dilucuti, termasuk tentara Jepang yang menjajah Indonesia. Tanggal 14 September 1945, Mayor Greenhalgh, seorang perwira Sekutu datang ke Jakarta untuk pertama kalinya. Mayor Greenhalgh mempunyai tugas untuk mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu.

Show

Pasukan Sekutu sampai di Indonesia pada tanggal 29 September 1945 dan bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang. Tugas ini dilakukan oleh Komando Pertahanan Sekutu di Asia Tenggara atau South East Asia Command (SEAC), yang berada di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten dan berpusat di Singapura.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, Lord Mountbatten membentuk suatu komando khusus yang bernama Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. AFNEI memiliki tugas untuk menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang, membebaskan tawanan perang, melucuti dan mengumpulkan tentara Jepang untuk dipulangkan demi menjaga perdamaian setelah perang dunia kedua.

Penyebaran AFNEI dan Pemboncengan NICA

Pasukan AFNEI menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti Divisi India ke-23 di bawah pimpinan Mayor Jenderal D. C. Hawthorn bertugas untuk daerah Jawa Barat, Divisi India ke-5 di bawah pimpinan Mayor Jenderal E. C. Mansergh bertugas untuk daerah Jawa Timur; serta Divisi India ke-26 di bawah pimpinan Mayor Jenderal H. M. Chambers bertugas untuk daerah Sumatera. Sementara untuk daerah Indonesia lainnya diserahkan kepada angkatan perang Australia.

Pasukan AFNEI mendarat di kota Medan pada tanggal 9 Oktober 1945. Pasukan ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly. Namun, kedatangan tentara AFNEI atau sekutu ini ditunggangi oleh tentara Belanda atau Netherlands Indies Civil Administration (NICA). NICA membonceng tentara Sekutu dengan rencana untuk mengambil alih pemerintahan Indonesia.

Awal Pertempuran Medan Area

Awalnya, pemerintah Indonesia di Sumatera Utara menyambut baik kedatangan AFNEI. Pemerintah Indonesia bahkan memperbolehkan tentara AFNEI untuk menempati beberapa hotel di kota Medan. Hal ini dilakukan pemerintahan Indonesia untuk menghormati tugas AFNEI yang mengurus tawanan perang yang ditahan oleh Jepang.

Namun, setelah melaksanakan tugasnya untuk melepaskan tahanan perang, timbullah konflik antara para pemuda Sumatera Utara dengan bekas tawanan Jepang. Sikap sombong bekas tawanan ini menjadi pemicu timbulnya konflik.

Insiden pertama pecah di sebuah hotel yang terletak di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Insiden ini diawali oleh seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana merah-putih yang dikenakan oleh seorang pemuda. Akhirnya hotel tersebut diserang dan dirusak oleh pemuda. Insiden lencana inilah yang menjadi awal pecahnya pertempuran Medan Area.

Usaha Pelemahan Pemuda Indonesia

Insiden di hotel tersebut memakan korban sekitar 96 orang yang mengalami luka-luka. Sebagian besar dari dari korban tersebut merupakan bagian dari tentara NICA. Insiden-insiden tersebut kemudian menyebar ke berbagai daerah seperti Pematang Siantar dan Berastagi.

Saat itulah pihak Sekutu mulai melancarkan aksinya. Untuk melemahkan kekuatan para pejuang Indonesia, Sekutu melakukan intimidasi melalui pamflet. Pamflet tersebut berisikan bahwa bangsa Indonesia harus menyerahkan senjata mereka kepada Sekutu.

Usaha yang sama dilakukan oleh Brigadir Jenderal T. E. D Kelly kepada pemuda Medan. Pada tanggal 18 Oktober 1945, pasukan Sekutu dan NICA mulai melancarkan aksi-aksi teror di kota Medan. Puncaknya, pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area” yang artinya “Batas Resmi Wilayah Medan” di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Sejak saat itulah istilah Medan Area menjadi terkenal. Tindakan Sekutu dan NICA tersebut merupakan tindakan pelanggaran kedaulatan dan memicu amarah rakyat Sumatera Utara.

Perlawanan Pemuda Sumatera Utara

Pada saat yang bersamaan, Inggris dan NICA juga melakukan aksi pembersihan terhadap unsur-unsur Republik Indonesia yang ada di kota Medan. Para pemuda tentunya tidak tinggal diam, mereka membalas aksi-aksi Sekutu dan NICA sehingga konflik pun tidak bisa dihindari. Akibatnya, wilayah Medan menjadi tidak aman. Setiap usaha pengusiran dibalas dengan pengepungan, bahkan seringkali terjadi pertempuran bersenjata.

Pada tanggal 10 Desember 1945, pasukan Inggris dan NICA berusaha untuk menghancurkan kamp konsentrasi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Trepes, namun usaha tersebut berhasil digagalkan oleh pemuda. Bahkan, para pemuda berhasil menghancurkan beberapa truk Sekutu dan menculik seorang perwira Inggris.

Rupanya, tindakan tersebut memicu amarah Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly. Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly kemudian mengancam para pemuda untuk menyerahkan senjata mereka. Siapapun yang tidak mau patuh pada ancaman tersebut akan ditembak mati.

Akhir Pertempuran Medan Area

Bulan April 1946, tentara Sekutu mencoba mendesak pemerintah Indonesia di Medan untuk keluar dari kota Medan. Akibatnya Gubernur dan markas divisi TKR dipindahkan ke Pematang Siantar. Hal ini menyebabkan Sekutu menguasai kota Medan.

Karena pada saat itu pasukan Indonesia tidak memiliki satu komando, pasukan Indonesia kesulitan untuk melakukan serangan yang efektif kepada wilayah-wilayah yang diduduki oleh Sekutu dan NICA.. Akhirnya, tanggal 10 Agustus 1946, diadakan pertemuan di Tebing Tinggi guna membicarakan usaha untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang telah dikuasai Sekutu. Pertemuan tersebut dihadiri oleh para komandan pasukan yang sedang berjuang di Medan Area.

Pertemuan ini menghasilkan keputusan untuk membentuk satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area dengan markas yang berkedudukan di Trepes. Di bawah komando baru inilah perjuangan di Medan Area diteruskan.

Perlawanan ini terjadi hampir di seluruh wilayah Sumatera seperti Padang, Bukittinggi, dan Aceh. Pertempuran Medan Area baru berakhir pada tanggal 10 Desember 1946 setelah pihak NICA mengajukan gencatan senjata.

Perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan memang tidak mudah. Bahkan, hingga saat Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya, masih ada pihak-pihak lain yang berusaha menguasai wilayah Indonesia.

Kamu bisa belajar lebih detail mengenai pertempuran Medan Area yang tentunya dibahas lebih lengkap dan seru melalui video pembelajaran di aplikasi belajar online Pahamify. Yuk, download dan langganan Pahamify sekarang!

Penulis: Alivia Awin

Tags (tagged): pertempuran medan area, unkris, pertempuran, medan, area, medan area, 1945 1946 1947, lokasi medan, hasil, perang gerilya, sumatera, menanggapi berita, proklamasi, para pemuda, 13, oktober 1945, pemuda, tkr bertempur melawan, sekutu, kota, tindakan sekutu itu, merupakan tantangan, bagi, pusat ilmu pengetahuan, dibentuk komando, resimen, laskar rakyat medan, area komandan


Page 2

Tags (tagged): pertempuran medan area, unkris, pertempuran, medan, area, medan area, 1945 1946 1947, lokasi medan, hasil, perang gerilya, sumatera, menanggapi berita, proklamasi, para pemuda, 13, oktober 1945, pemuda, tkr bertempur melawan, sekutu, kota, tindakan sekutu itu, merupakan tantangan, bagi, pusat ilmu pengetahuan, dibentuk komando, resimen, laskar rakyat medan, area komandan


Page 3

Tags (tagged): battle field area, unkris, battle, field, area, field area, 1945 1946 1947, lokasi medan, hasil, perang gerilya, sumatera, menanggapi berita, proklamasi, para pemuda, 13, oktober 1945, pemuda, tkr bertempur melawan, sekutu, kota, medan, tindakan sekutu itu, merupakan tantangan, bagi, center of studies, dibentuk komando, resimen, laskar rakyat medan, area komandan


Page 4

Pertemuan Asia-Eropa (Asia-Europe Meeting: ASEM) merupakan forum yang diproduksi untuk membicarakan permasalahan-permasalahan yang melibatkan negara-negara Eropa dan Asia. Forum ini membahas berbagai hal yang tidak dibatasi tetapi selama ini membicarakan aspek ekonomi, politik, strategi pertahanan, pendidikan, hukum budaya istiadat, dan sekeliling yang terkait hidup.

Pendirian dan perkembangan

Pada tahun 1994 Perdana Menteri Singapura saat itu, Goh Chok Tong antaraku Ketua ASEAN, menyampaikan ide untuk PM Prancis, Édouard Balladur, untuk membentuk suatu "Konferensi Tingkat Tinggi" Asia-Eropa supaya hubungan Asia dan Eropa bertambah kuat. Tindak lanjut ide ini terjadi pada tahun 1996 saat dimainkan dengar gagasan dari 16 anggota Uni Eropa dan tujuh anggota ASEAN ditambah Jepang, Tiongkok, dan Republik Korea. Menteri-menteri yang mengurusi perekonomian, luar negeri, keuangan, teknologi, migrasi, dan sekeliling yang terkait hidup terlibat dalam cara ini.

Semenjak tahun 2004 keanggotaan ASEM bertambah setelah Kamboja, Laos, dan Myanmar, beserta 10 anggota baru Uni Eropa diterima. Dalam pertemuan 2006 di Helsinki, kembali terjadi perluasan keanggotaan setelah Bulgaria, Rumania, India, Mongolia, dan Pakistan diterima sebagai anggota penuh. Perluasan ini menjadikan ASEM mampu dianggap mewakili bertambah daripada setengah masyarakat dunia.

Pertemuan ini bukannya tanpa ganjalan. Persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar pernah menjadi permasalahan dalam anggota perundingan karena negara-negara Uni Eropa bersikeras untuk tidak turut serta bila Myanmar bergabung dan menjadi tuan rumah. Persoalan ini selanjutnya terselesaikan kursi ketua dipindahkan ke negara lain.

Peran dan tugas

ASEM didesain sebagai forum pembicaraan informal selang negara-negara Eropa dan Asia. Pertemuan para menteri berjalan setiap tahun, sedangkan pertemuan selang kepala-kepala pemerintahan/negara (KTT) diselenggarakan setiap dua tahun (sejak 1996), dengan tempat berganti-gantian selang Eropa dan Asia.

Berikut merupakan daftar KTT yang telah dan akan berlangsung:

Daftar rujukan

  • Aggarwal, Vinod K./Koo, Min Gyo: The Evolution of APEC and ASEM: Implications of the New East Asian Bilateralism. In: European Journal of East Asian Studies, Vol. 4, No. 2, S. 234-261, 2005.
  • Dent, Christopher: The Asia-Europe Meeting and Inter-Regionalism - Towards a Theory of Multilateral Utility. In: Asian Survey, Vol. 44, No. 2, S. 213-236, 2004.
  • Loewen, Howard: Theorie und Empirie transregionaler Kooperation am Beispiel des Asia-Europe Meeting (ASEM). In: Schriften zur internationalen Politik. Bd. 6, Hamburg, 2003, ISBN 3-8300-0945-3
  • Robles, Alfredo C.: The Asia-Europe Meeting : the theory and practice of interregionalism. London [u.a.] : Routledge, 2008. ISBN 0-415-45223-6 (hardback) / ISBN 0-203-93326-5 (ebook)

Pranala luar


edunitas.com


Page 5

Pertemuan Asia-Eropa (Asia-Europe Meeting: ASEM) merupakan forum yang diproduksi untuk membicarakan permasalahan-permasalahan yang melibatkan negara-negara Eropa dan Asia. Forum ini membahas berbagai hal yang tidak dibatasi tetapi selama ini membicarakan aspek ekonomi, politik, strategi pertahanan, pendidikan, hukum budaya istiadat, dan sekeliling yang terkait hidup.

Pendirian dan perkembangan

Pada tahun 1994 Perdana Menteri Singapura saat itu, Goh Chok Tong antaraku Ketua ASEAN, menyampaikan ide untuk PM Prancis, Édouard Balladur, untuk membentuk suatu "Konferensi Tingkat Tinggi" Asia-Eropa supaya hubungan Asia dan Eropa bertambah kuat. Tindak lanjut ide ini terjadi pada tahun 1996 saat dimainkan dengar gagasan dari 16 anggota Uni Eropa dan tujuh anggota ASEAN ditambah Jepang, Tiongkok, dan Republik Korea. Menteri-menteri yang mengurusi perekonomian, luar negeri, keuangan, teknologi, migrasi, dan sekeliling yang terkait hidup terlibat dalam cara ini.

Semenjak tahun 2004 keanggotaan ASEM bertambah setelah Kamboja, Laos, dan Myanmar, beserta 10 anggota baru Uni Eropa diterima. Dalam pertemuan 2006 di Helsinki, kembali terjadi perluasan keanggotaan setelah Bulgaria, Rumania, India, Mongolia, dan Pakistan diterima sebagai anggota penuh. Perluasan ini menjadikan ASEM mampu dianggap mewakili bertambah daripada setengah masyarakat dunia.

Pertemuan ini bukannya tanpa ganjalan. Persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar pernah menjadi permasalahan dalam anggota perundingan karena negara-negara Uni Eropa bersikeras untuk tidak turut serta bila Myanmar bergabung dan menjadi tuan rumah. Persoalan ini selanjutnya terselesaikan kursi ketua dipindahkan ke negara lain.

Peran dan tugas

ASEM didesain sebagai forum pembicaraan informal selang negara-negara Eropa dan Asia. Pertemuan para menteri berjalan setiap tahun, sedangkan pertemuan selang kepala-kepala pemerintahan/negara (KTT) diselenggarakan setiap dua tahun (sejak 1996), dengan tempat berganti-gantian selang Eropa dan Asia.

Berikut merupakan daftar KTT yang telah dan akan berlangsung:

Daftar rujukan

  • Aggarwal, Vinod K./Koo, Min Gyo: The Evolution of APEC and ASEM: Implications of the New East Asian Bilateralism. In: European Journal of East Asian Studies, Vol. 4, No. 2, S. 234-261, 2005.
  • Dent, Christopher: The Asia-Europe Meeting and Inter-Regionalism - Towards a Theory of Multilateral Utility. In: Asian Survey, Vol. 44, No. 2, S. 213-236, 2004.
  • Loewen, Howard: Theorie und Empirie transregionaler Kooperation am Beispiel des Asia-Europe Meeting (ASEM). In: Schriften zur internationalen Politik. Bd. 6, Hamburg, 2003, ISBN 3-8300-0945-3
  • Robles, Alfredo C.: The Asia-Europe Meeting : the theory and practice of interregionalism. London [u.a.] : Routledge, 2008. ISBN 0-415-45223-6 (hardback) / ISBN 0-203-93326-5 (ebook)

Pranala luar


edunitas.com


Page 6

Pertemuan Asia-Eropa (Asia-Europe Meeting: ASEM) merupakan forum yang diproduksi untuk membicarakan permasalahan-permasalahan yang melibatkan negara-negara Eropa dan Asia. Forum ini membahas berbagai hal yang tidak dibatasi tetapi selama ini membicarakan aspek ekonomi, politik, strategi pertahanan, pendidikan, hukum budaya istiadat, dan sekeliling yang terkait hidup.

Pendirian dan perkembangan

Pada tahun 1994 Perdana Menteri Singapura saat itu, Goh Chok Tong antaraku Ketua ASEAN, menyampaikan ide untuk PM Prancis, Édouard Balladur, untuk membentuk suatu "Konferensi Tingkat Tinggi" Asia-Eropa supaya hubungan Asia dan Eropa bertambah kuat. Tindak lanjut ide ini terjadi pada tahun 1996 saat dimainkan dengar gagasan dari 16 anggota Uni Eropa dan tujuh anggota ASEAN ditambah Jepang, Tiongkok, dan Republik Korea. Menteri-menteri yang mengurusi perekonomian, luar negeri, keuangan, teknologi, migrasi, dan sekeliling yang terkait hidup terlibat dalam cara ini.

Semenjak tahun 2004 keanggotaan ASEM bertambah setelah Kamboja, Laos, dan Myanmar, beserta 10 anggota baru Uni Eropa diterima. Dalam pertemuan 2006 di Helsinki, kembali terjadi perluasan keanggotaan setelah Bulgaria, Rumania, India, Mongolia, dan Pakistan diterima sebagai anggota penuh. Perluasan ini menjadikan ASEM mampu dianggap mewakili bertambah daripada setengah masyarakat dunia.

Pertemuan ini bukannya tanpa ganjalan. Persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar pernah menjadi permasalahan dalam anggota perundingan karena negara-negara Uni Eropa bersikeras untuk tidak turut serta bila Myanmar bergabung dan menjadi tuan rumah. Persoalan ini selanjutnya terselesaikan kursi ketua dipindahkan ke negara lain.

Peran dan tugas

ASEM didesain sebagai forum pembicaraan informal selang negara-negara Eropa dan Asia. Pertemuan para menteri berjalan setiap tahun, sedangkan pertemuan selang kepala-kepala pemerintahan/negara (KTT) diselenggarakan setiap dua tahun (sejak 1996), dengan tempat berganti-gantian selang Eropa dan Asia.

Berikut merupakan daftar KTT yang telah dan akan berlangsung:

Daftar rujukan

  • Aggarwal, Vinod K./Koo, Min Gyo: The Evolution of APEC and ASEM: Implications of the New East Asian Bilateralism. In: European Journal of East Asian Studies, Vol. 4, No. 2, S. 234-261, 2005.
  • Dent, Christopher: The Asia-Europe Meeting and Inter-Regionalism - Towards a Theory of Multilateral Utility. In: Asian Survey, Vol. 44, No. 2, S. 213-236, 2004.
  • Loewen, Howard: Theorie und Empirie transregionaler Kooperation am Beispiel des Asia-Europe Meeting (ASEM). In: Schriften zur internationalen Politik. Bd. 6, Hamburg, 2003, ISBN 3-8300-0945-3
  • Robles, Alfredo C.: The Asia-Europe Meeting : the theory and practice of interregionalism. London [u.a.] : Routledge, 2008. ISBN 0-415-45223-6 (hardback) / ISBN 0-203-93326-5 (ebook)

Pranala luar


edunitas.com


Page 7

Pertemuan Asia-Eropa (Asia-Europe Meeting: ASEM) merupakan forum yang diproduksi untuk membicarakan permasalahan-permasalahan yang melibatkan negara-negara Eropa dan Asia. Forum ini membahas berbagai hal yang tidak dibatasi tetapi selama ini membicarakan aspek ekonomi, politik, strategi pertahanan, pendidikan, hukum budaya istiadat, dan sekeliling yang terkait hidup.

Pendirian dan perkembangan

Pada tahun 1994 Perdana Menteri Singapura saat itu, Goh Chok Tong antaraku Ketua ASEAN, menyampaikan ide untuk PM Prancis, Édouard Balladur, untuk membentuk suatu "Konferensi Tingkat Tinggi" Asia-Eropa supaya hubungan Asia dan Eropa bertambah kuat. Tindak lanjut ide ini terjadi pada tahun 1996 saat dimainkan dengar gagasan dari 16 anggota Uni Eropa dan tujuh anggota ASEAN ditambah Jepang, Tiongkok, dan Republik Korea. Menteri-menteri yang mengurusi perekonomian, luar negeri, keuangan, teknologi, migrasi, dan sekeliling yang terkait hidup terlibat dalam cara ini.

Semenjak tahun 2004 keanggotaan ASEM bertambah setelah Kamboja, Laos, dan Myanmar, beserta 10 anggota baru Uni Eropa diterima. Dalam pertemuan 2006 di Helsinki, kembali terjadi perluasan keanggotaan setelah Bulgaria, Rumania, India, Mongolia, dan Pakistan diterima sebagai anggota penuh. Perluasan ini menjadikan ASEM mampu dianggap mewakili bertambah daripada setengah masyarakat dunia.

Pertemuan ini bukannya tanpa ganjalan. Persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar pernah menjadi permasalahan dalam anggota perundingan karena negara-negara Uni Eropa bersikeras untuk tidak turut serta bila Myanmar bergabung dan menjadi tuan rumah. Persoalan ini selanjutnya terselesaikan kursi ketua dipindahkan ke negara lain.

Peran dan tugas

ASEM didesain sebagai forum pembicaraan informal selang negara-negara Eropa dan Asia. Pertemuan para menteri berjalan setiap tahun, sedangkan pertemuan selang kepala-kepala pemerintahan/negara (KTT) diselenggarakan setiap dua tahun (sejak 1996), dengan tempat berganti-gantian selang Eropa dan Asia.

Berikut merupakan daftar KTT yang telah dan akan berlangsung:

Daftar rujukan

  • Aggarwal, Vinod K./Koo, Min Gyo: The Evolution of APEC and ASEM: Implications of the New East Asian Bilateralism. In: European Journal of East Asian Studies, Vol. 4, No. 2, S. 234-261, 2005.
  • Dent, Christopher: The Asia-Europe Meeting and Inter-Regionalism - Towards a Theory of Multilateral Utility. In: Asian Survey, Vol. 44, No. 2, S. 213-236, 2004.
  • Loewen, Howard: Theorie und Empirie transregionaler Kooperation am Beispiel des Asia-Europe Meeting (ASEM). In: Schriften zur internationalen Politik. Bd. 6, Hamburg, 2003, ISBN 3-8300-0945-3
  • Robles, Alfredo C.: The Asia-Europe Meeting : the theory and practice of interregionalism. London [u.a.] : Routledge, 2008. ISBN 0-415-45223-6 (hardback) / ISBN 0-203-93326-5 (ebook)

Pranala luar


edunitas.com


Page 8

Berapa lama perang medan area terjadi

Gedung Perundingan Linggarjati di Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Berapa lama perang medan area terjadi

Perundingan Linggarjati
(sumber: foto-foto.com)

Perundingan Linggarjati atau kadang juga dikata Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan selang Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang berproduksi persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Balik

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik selang Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab kepada menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda kepada berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia menginginkan Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya bersedia mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan

Pada kesudahan Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia kepada menyelesaikan perundingan selang Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibentangkan perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini berproduksi persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang dikata Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang selang lain berisi:

  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, adalah Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia

Berapa lama perang medan area terjadi

Salah satu poster yang dipajang di Kontruksi Cagar Muslihat budi Gedung Perundingan Linggarjati berisikan himbauan pencegahan konflik akhir suatu peristiwa pro kontra masyarakat Indonesia terhadap hasil perundingan.

Kontrak Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyalakan bahwa kontrak itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia kepada mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Kepada menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana mempunyai tujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat supaya pemerintah mendapatkan suara kepada mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Kontrak

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook beres menyalakan bahwa Belanda lepas sama sekali lagi dengan kontrak ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Serangan Militer Belanda I. Hal ini merupakan akhir suatu peristiwa dari perbedaan penafsiran selang Indonesia dan Belanda.

Referensi

  • Machdi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto (2006). Pengetahuan Pengetahuan Sosial Sejarah kepada SMP dan MTs kelas IX. Erlangga. hlm. 30. 

edunitas.com


Page 9

Berapa lama perang medan area terjadi

Gedung Perundingan Linggarjati di Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Berapa lama perang medan area terjadi

Perundingan Linggarjati
(sumber: foto-foto.com)

Perundingan Linggarjati atau kadang juga dikata Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan selang Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang berproduksi persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Balik

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik selang Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab kepada menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda kepada berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia menginginkan Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya bersedia mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan

Pada kesudahan Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia kepada menyelesaikan perundingan selang Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibentangkan perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini berproduksi persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang dikata Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang selang lain berisi:

  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, adalah Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia

Berapa lama perang medan area terjadi

Salah satu poster yang dipajang di Kontruksi Cagar Muslihat budi Gedung Perundingan Linggarjati berisikan himbauan pencegahan konflik akhir suatu peristiwa pro kontra masyarakat Indonesia terhadap hasil perundingan.

Kontrak Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyalakan bahwa kontrak itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia kepada mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Kepada menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana mempunyai tujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat supaya pemerintah mendapatkan suara kepada mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Kontrak

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook beres menyalakan bahwa Belanda lepas sama sekali lagi dengan kontrak ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Serangan Militer Belanda I. Hal ini merupakan akhir suatu peristiwa dari perbedaan penafsiran selang Indonesia dan Belanda.

Referensi

  • Machdi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto (2006). Pengetahuan Pengetahuan Sosial Sejarah kepada SMP dan MTs kelas IX. Erlangga. hlm. 30. 

edunitas.com


Page 10

Berapa lama perang medan area terjadi

Gedung Perundingan Linggarjati di Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Berapa lama perang medan area terjadi

Perundingan Linggarjati
(sumber: foto-foto.com)

Perundingan Linggarjati atau kadang juga dikata Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan selang Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang berproduksi persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Balik

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik selang Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab kepada menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda kepada berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia menginginkan Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya bersedia mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan

Pada kesudahan Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia kepada menyelesaikan perundingan selang Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibentangkan perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini berproduksi persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang dikata Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang selang lain berisi:

  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, adalah Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia

Berapa lama perang medan area terjadi

Salah satu poster yang dipajang di Kontruksi Cagar Muslihat budi Gedung Perundingan Linggarjati berisikan himbauan pencegahan konflik akhir suatu peristiwa pro kontra masyarakat Indonesia terhadap hasil perundingan.

Kontrak Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyalakan bahwa kontrak itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia kepada mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Kepada menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana mempunyai tujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat supaya pemerintah mendapatkan suara kepada mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Kontrak

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook beres menyalakan bahwa Belanda lepas sama sekali lagi dengan kontrak ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Serangan Militer Belanda I. Hal ini merupakan akhir suatu peristiwa dari perbedaan penafsiran selang Indonesia dan Belanda.

Referensi

  • Machdi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto (2006). Pengetahuan Pengetahuan Sosial Sejarah kepada SMP dan MTs kelas IX. Erlangga. hlm. 30. 

edunitas.com


Page 11

Berapa lama perang medan area terjadi

Gedung Perundingan Linggarjati di Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Berapa lama perang medan area terjadi

Perundingan Linggarjati
(sumber: foto-foto.com)

Perundingan Linggarjati atau kadang juga dikata Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan selang Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang berproduksi persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Balik

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik selang Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab kepada menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda kepada berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia menginginkan Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya bersedia mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan

Pada kesudahan Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia kepada menyelesaikan perundingan selang Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibentangkan perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini berproduksi persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang dikata Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang selang lain berisi:

  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, adalah Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia

Berapa lama perang medan area terjadi

Salah satu poster yang dipajang di Kontruksi Cagar Muslihat budi Gedung Perundingan Linggarjati berisikan himbauan pencegahan konflik akhir suatu peristiwa pro kontra masyarakat Indonesia terhadap hasil perundingan.

Kontrak Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyalakan bahwa kontrak itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia kepada mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Kepada menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana mempunyai tujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat supaya pemerintah mendapatkan suara kepada mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Kontrak

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook beres menyalakan bahwa Belanda lepas sama sekali lagi dengan kontrak ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Serangan Militer Belanda I. Hal ini merupakan akhir suatu peristiwa dari perbedaan penafsiran selang Indonesia dan Belanda.

Referensi

  • Machdi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto (2006). Pengetahuan Pengetahuan Sosial Sejarah kepada SMP dan MTs kelas IX. Erlangga. hlm. 30. 

edunitas.com


Page 12

Tags (tagged): houses, south jakarta, unkris, south, jakarta, provinsi jakarta kota, jakarta selatan, pemerintahan, camat, kode pos, 12250 petukangan, utara, pesanggrahan, ciganjur cipedak, srengseng sawah, kebayoran, baru selong, pasar, minggu pejaten, barat, pejaten timur pasar, minggu, center, of, studies pusat pemerintahan, jakarta gubernur, joko, widodo wakil houses


Page 13

Berapa lama perang medan area terjadi

Santri Pesantren

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan berusaha bisa di bawah bimbingan guru yang bertambah diketahui dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama kepada tempat menginap santri. Santri tersebut mempunyai dalam kompleks yang juga menyediakan masjid kepada beribadah, ruang kepada berusaha bisa, dan keaktifan keagamaan lainnya. Kompleks ini kebanyakan dikelilingi oleh tembok kepada dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlangsung.[1]. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat berusaha bisa para santri, sedangkan pondok berfaedah rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berfaedah asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, masih di Aceh diketahui dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau dikata surau.[2] Pesantren juga dapat dimengerti sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan metode nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan pengetahuan agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Ratus tahun pertengahan, dan para santrinya kebanyakan tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. [3]

Sejarah umum

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari mempunyainya seorang kyai di suatu tempat, kesudahan datang santri yang berhasrat berusaha bisa agama kepadanya. Setelah lebih hari lebih banyak santri yang datang, timbullah inisiatif kepada mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana mendirikan pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan pengetahuan agama supaya dapat dimengerti dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di lebih kurang rumah kyai. Lebih banyak banyak santri, lebih bertambah pula gubug propertti. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat luhur, adun bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara semuanya. Berdasarkan catatan yang mempunyai, keaktifan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Keaktifan agama inilah yang kesudahan diketahui dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang ratus tahun ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren dikata dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah berproduksi tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri kepada berusaha bisa.[5]

Definisi pesantren

Etimologi

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berfaedah murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berfaedah penginapan. Khusus di Aceh, pesantren dikata juga dengan nama dayah. Kebanyakan pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Kepada mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior kepada mengatur adik-adik kelasnya, mereka kebanyakan dikata lurah pondok. Sasaran para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah supaya mereka berusaha bisa hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Argumen lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berfaedah orang yang selalu mengikuti guru, yang kesudahan dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang dikata Pawiyatan. Istilah santri juga dalam mempunyai dalam bahasa Tamil, yang berfaedah guru mengaji, masih C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berfaedah orang yang kenal buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana pandai kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berfaedah tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Dasar Sebuah Pesantren

Pondok

Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau bertambah guru yang bertambah diketahui dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah diadakan kepada keaktifan bagi para santri. Mempunyainya pondok ini banyak menunjang segala keaktifan yang mempunyai. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain kebanyakan berdekatan sehingga memudahkan kepada komunikasi selang Kyai dan santri, dan selang satu santri dengan santri yang lain.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping mempunyainya hubungan timbal belakangan selang Kyai dan santri, dan selang santri dengan santri. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa mempunyainya sikap timbal belakangan selang Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi [8]

Sikap timbal belakangan tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz kepada membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai persoalan yang dihadapi para santri.

Situasi pondok pada saat kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan situasi pondok pada saat kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri dari sebuah gedung berpotongan persegi, kebanyakan dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang persangkaan makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang luhur yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang persangkaannya sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di hadapan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah merasakan perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah merasakan beberapa fase perkembangan, termasuk diurainya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong luhur dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat kepada mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Posisi masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada saat Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya.

Di Jawa kebanyakan seorang Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun kebanyakan diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya kepada meneruskan sasaran utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap petuah Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan anggota integral dari nilai dan petuah pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren bertambah populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz kebanyakan dengan memanfaatkan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai nasihat Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah faedahnya nasihat itu diyakini berasal pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan faedahnya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan di selangnya dapat menjadi Kyai.

Santri

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang berusaha bisa mendalami agama di pesantren. Kebanyakan para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah diadakan, namun mempunyai pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah diadakan tersebut yang biasa dikata dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di hadapan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren kepada mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di daerah lebih kurang yang berkaitan dengan pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa lebih kurang pesantren yang mereka tidak menetap di daerah lebih kurang yang berkaitan dengan kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama selang santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang dikuatkan di dalam pesantren tersebut dan apabila mempunyai pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang diterapkan.

Kyai

Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai mempunyai makna yang luhur, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan kepada benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling lebar di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan kepada para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya kepada Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam menempuh pendidikan.

Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam kelola kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam posisi ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam kelola nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat luhur sekali dalam anggota penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan pengetahuan, pembinaan kebaikan budi pekerti, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh santri dan warga. Dan dalam hal pemikiran kyai bertambah banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu kepada memimpin sesuai dengan latar belakangan kepribadian kyai [15]

Dari argumen di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan keberhasilan pesantren yang dididiknya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya merupakan syarat dan cerminan kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup kemungkinan mengembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingan warga.

Peranan

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini lebih memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian warga (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan warga di lebih kurangnya.[16]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama mengembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat luhur terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang bertambah tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh bertambah murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang terbanyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

Jenis pesantren

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan warga atas kepentingan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kesudahan muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern memanfaatkan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf

Pesantren yang hanya mengajarkan pengetahuan agama Islam saja umumnya dikata pesantren salaf. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri melakukan pekerjaan kepada kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari pengetahuan agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian luhur pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan sampai 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan keaktifan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi sampai mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum kepada berusaha bisa pengetahuan formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka kepada memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

Pesantren modern

Mempunyai pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase nasihatnya bertambah banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada pengetahuan umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering dikata dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi nasihat campuran selang pendidikan pengetahuan formal dan pengetahuan agama Islam, para santri berusaha bisa seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran kepada strata SMP kadang-kadang juga diketahui dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan kepada strata SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak. Mempunyai juga jenis pesantren semimodern yang masih mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya: Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sebagai isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat itu perdebatan selang kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sebagai wancana public. Kedua: kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim kepada memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam segi sosial ekonomi. Keempat, desakan kaum Muslim kepada memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam kepada melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]

Tokoh nasional

Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal selang lain:

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
  2. ^ Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.5
  3. ^ Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
  4. ^ Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154
  5. ^ Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
  6. ^ Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Saat Hadapan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal.11
  7. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  8. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  9. ^ Imron Arifin, 1993: 6
  10. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 49
  11. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50
  12. ^ Moh. Hasyim Munif, 1989: 25
  13. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 51
  14. ^ Manfred Ziemek, 1986 130
  15. ^ M. Habib Chirzin, 1983: 94
  16. ^ HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
  17. ^ Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal.3
  18. ^ Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan Pengembangan, 2009), hal. 358
  19. ^ http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1301-ulama-pembaharu-pesantren

Pranala luar


edunitas.com


Page 14

Berapa lama perang medan area terjadi

Santri Pesantren

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan berusaha bisa di bawah bimbingan guru yang bertambah diketahui dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama kepada tempat menginap santri. Santri tersebut mempunyai dalam kompleks yang juga menyediakan masjid kepada beribadah, ruang kepada berusaha bisa, dan keaktifan keagamaan lainnya. Kompleks ini kebanyakan dikelilingi oleh tembok kepada dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlangsung.[1]. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat berusaha bisa para santri, sedangkan pondok berfaedah rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berfaedah asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, masih di Aceh diketahui dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau dikata surau.[2] Pesantren juga dapat dimengerti sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan metode nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan pengetahuan agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Ratus tahun pertengahan, dan para santrinya kebanyakan tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. [3]

Sejarah umum

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari mempunyainya seorang kyai di suatu tempat, kesudahan datang santri yang berhasrat berusaha bisa agama kepadanya. Setelah lebih hari lebih banyak santri yang datang, timbullah inisiatif kepada mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana mendirikan pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan pengetahuan agama supaya dapat dimengerti dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di lebih kurang rumah kyai. Lebih banyak banyak santri, lebih bertambah pula gubug propertti. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat luhur, adun bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara semuanya. Berdasarkan catatan yang mempunyai, keaktifan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Keaktifan agama inilah yang kesudahan diketahui dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang ratus tahun ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren dikata dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah berproduksi tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri kepada berusaha bisa.[5]

Definisi pesantren

Etimologi

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berfaedah murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berfaedah penginapan. Khusus di Aceh, pesantren dikata juga dengan nama dayah. Kebanyakan pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Kepada mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior kepada mengatur adik-adik kelasnya, mereka kebanyakan dikata lurah pondok. Sasaran para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah supaya mereka berusaha bisa hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Argumen lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berfaedah orang yang selalu mengikuti guru, yang kesudahan dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang dikata Pawiyatan. Istilah santri juga dalam mempunyai dalam bahasa Tamil, yang berfaedah guru mengaji, masih C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berfaedah orang yang kenal buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana pandai kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berfaedah tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Dasar Sebuah Pesantren

Pondok

Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau bertambah guru yang bertambah diketahui dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah diadakan kepada keaktifan bagi para santri. Mempunyainya pondok ini banyak menunjang segala keaktifan yang mempunyai. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain kebanyakan berdekatan sehingga memudahkan kepada komunikasi selang Kyai dan santri, dan selang satu santri dengan santri yang lain.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping mempunyainya hubungan timbal belakangan selang Kyai dan santri, dan selang santri dengan santri. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa mempunyainya sikap timbal belakangan selang Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi [8]

Sikap timbal belakangan tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz kepada membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai persoalan yang dihadapi para santri.

Situasi pondok pada saat kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan situasi pondok pada saat kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri dari sebuah gedung berpotongan persegi, kebanyakan dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang persangkaan makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang luhur yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang persangkaannya sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di hadapan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah merasakan perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah merasakan beberapa fase perkembangan, termasuk diurainya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong luhur dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat kepada mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Posisi masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada saat Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya.

Di Jawa kebanyakan seorang Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun kebanyakan diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya kepada meneruskan sasaran utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap petuah Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan anggota integral dari nilai dan petuah pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren bertambah populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz kebanyakan dengan memanfaatkan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai nasihat Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah faedahnya nasihat itu diyakini berasal pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan faedahnya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan di selangnya dapat menjadi Kyai.

Santri

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang berusaha bisa mendalami agama di pesantren. Kebanyakan para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah diadakan, namun mempunyai pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah diadakan tersebut yang biasa dikata dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di hadapan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren kepada mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di daerah lebih kurang yang berkaitan dengan pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa lebih kurang pesantren yang mereka tidak menetap di daerah lebih kurang yang berkaitan dengan kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama selang santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang dikuatkan di dalam pesantren tersebut dan apabila mempunyai pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang diterapkan.

Kyai

Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai mempunyai makna yang luhur, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan kepada benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling lebar di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan kepada para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya kepada Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam menempuh pendidikan.

Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam kelola kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam posisi ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam kelola nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat luhur sekali dalam anggota penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan pengetahuan, pembinaan kebaikan budi pekerti, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh santri dan warga. Dan dalam hal pemikiran kyai bertambah banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu kepada memimpin sesuai dengan latar belakangan kepribadian kyai [15]

Dari argumen di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan keberhasilan pesantren yang dididiknya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya merupakan syarat dan cerminan kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup kemungkinan mengembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingan warga.

Peranan

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini lebih memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian warga (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan warga di lebih kurangnya.[16]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama mengembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat luhur terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang bertambah tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh bertambah murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang terbanyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

Jenis pesantren

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan warga atas kepentingan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kesudahan muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern memanfaatkan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf

Pesantren yang hanya mengajarkan pengetahuan agama Islam saja umumnya dikata pesantren salaf. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri melakukan pekerjaan kepada kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari pengetahuan agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian luhur pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan sampai 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan keaktifan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi sampai mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum kepada berusaha bisa pengetahuan formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka kepada memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

Pesantren modern

Mempunyai pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase nasihatnya bertambah banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada pengetahuan umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering dikata dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi nasihat campuran selang pendidikan pengetahuan formal dan pengetahuan agama Islam, para santri berusaha bisa seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran kepada strata SMP kadang-kadang juga diketahui dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan kepada strata SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak. Mempunyai juga jenis pesantren semimodern yang masih mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya: Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sebagai isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat itu perdebatan selang kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sebagai wancana public. Kedua: kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim kepada memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam segi sosial ekonomi. Keempat, desakan kaum Muslim kepada memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam kepada melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]

Tokoh nasional

Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal selang lain:

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
  2. ^ Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.5
  3. ^ Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
  4. ^ Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154
  5. ^ Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
  6. ^ Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Saat Hadapan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal.11
  7. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  8. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  9. ^ Imron Arifin, 1993: 6
  10. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 49
  11. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50
  12. ^ Moh. Hasyim Munif, 1989: 25
  13. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 51
  14. ^ Manfred Ziemek, 1986 130
  15. ^ M. Habib Chirzin, 1983: 94
  16. ^ HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
  17. ^ Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal.3
  18. ^ Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan Pengembangan, 2009), hal. 358
  19. ^ http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1301-ulama-pembaharu-pesantren

Pranala luar


edunitas.com


Page 15

Berapa lama perang medan area terjadi

Santri Pesantren

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan berusaha bisa di bawah bimbingan guru yang bertambah diketahui dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama kepada tempat menginap santri. Santri tersebut mempunyai dalam kompleks yang juga menyediakan masjid kepada beribadah, ruang kepada berusaha bisa, dan keaktifan keagamaan lainnya. Kompleks ini kebanyakan dikelilingi oleh tembok kepada dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlangsung.[1]. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat berusaha bisa para santri, sedangkan pondok berfaedah rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berfaedah asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, masih di Aceh diketahui dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau dikata surau.[2] Pesantren juga dapat dimengerti sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan metode nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan pengetahuan agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Ratus tahun pertengahan, dan para santrinya kebanyakan tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. [3]

Sejarah umum

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari mempunyainya seorang kyai di suatu tempat, kesudahan datang santri yang berhasrat berusaha bisa agama kepadanya. Setelah lebih hari lebih banyak santri yang datang, timbullah inisiatif kepada mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana mendirikan pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan pengetahuan agama supaya dapat dimengerti dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di lebih kurang rumah kyai. Lebih banyak banyak santri, lebih bertambah pula gubug propertti. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat luhur, adun bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara semuanya. Berdasarkan catatan yang mempunyai, keaktifan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Keaktifan agama inilah yang kesudahan diketahui dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang ratus tahun ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren dikata dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah berproduksi tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri kepada berusaha bisa.[5]

Definisi pesantren

Etimologi

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berfaedah murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berfaedah penginapan. Khusus di Aceh, pesantren dikata juga dengan nama dayah. Kebanyakan pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Kepada mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior kepada mengatur adik-adik kelasnya, mereka kebanyakan dikata lurah pondok. Sasaran para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah supaya mereka berusaha bisa hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Argumen lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berfaedah orang yang selalu mengikuti guru, yang kesudahan dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang dikata Pawiyatan. Istilah santri juga dalam mempunyai dalam bahasa Tamil, yang berfaedah guru mengaji, masih C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berfaedah orang yang kenal buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana pandai kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berfaedah tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Dasar Sebuah Pesantren

Pondok

Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau bertambah guru yang bertambah diketahui dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah diadakan kepada keaktifan bagi para santri. Mempunyainya pondok ini banyak menunjang segala keaktifan yang mempunyai. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain kebanyakan berdekatan sehingga memudahkan kepada komunikasi selang Kyai dan santri, dan selang satu santri dengan santri yang lain.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping mempunyainya hubungan timbal belakangan selang Kyai dan santri, dan selang santri dengan santri. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa mempunyainya sikap timbal belakangan selang Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi [8]

Sikap timbal belakangan tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz kepada membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai persoalan yang dihadapi para santri.

Situasi pondok pada saat kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan situasi pondok pada saat kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri dari sebuah gedung berpotongan persegi, kebanyakan dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang persangkaan makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang luhur yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang persangkaannya sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di hadapan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah merasakan perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah merasakan beberapa fase perkembangan, termasuk diurainya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong luhur dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat kepada mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Posisi masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada saat Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya.

Di Jawa kebanyakan seorang Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun kebanyakan diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya kepada meneruskan sasaran utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap petuah Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan anggota integral dari nilai dan petuah pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren bertambah populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz kebanyakan dengan memanfaatkan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai nasihat Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah faedahnya nasihat itu diyakini berasal pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan faedahnya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan di selangnya dapat menjadi Kyai.

Santri

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang berusaha bisa mendalami agama di pesantren. Kebanyakan para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah diadakan, namun mempunyai pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah diadakan tersebut yang biasa dikata dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di hadapan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren kepada mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di daerah lebih kurang yang berkaitan dengan pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa lebih kurang pesantren yang mereka tidak menetap di daerah lebih kurang yang berkaitan dengan kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama selang santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang dikuatkan di dalam pesantren tersebut dan apabila mempunyai pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang diterapkan.

Kyai

Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai mempunyai makna yang luhur, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan kepada benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling lebar di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan kepada para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya kepada Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam menempuh pendidikan.

Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam kelola kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam posisi ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam kelola nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat luhur sekali dalam anggota penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan pengetahuan, pembinaan kebaikan budi pekerti, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh santri dan warga. Dan dalam hal pemikiran kyai bertambah banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu kepada memimpin sesuai dengan latar belakangan kepribadian kyai [15]

Dari argumen di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan keberhasilan pesantren yang dididiknya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya merupakan syarat dan cerminan kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup kemungkinan mengembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingan warga.

Peranan

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini lebih memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian warga (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan warga di lebih kurangnya.[16]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama mengembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat luhur terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang bertambah tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh bertambah murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang terbanyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

Jenis pesantren

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan warga atas kepentingan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kesudahan muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern memanfaatkan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf

Pesantren yang hanya mengajarkan pengetahuan agama Islam saja umumnya dikata pesantren salaf. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri melakukan pekerjaan kepada kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari pengetahuan agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian luhur pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan sampai 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan keaktifan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi sampai mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum kepada berusaha bisa pengetahuan formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka kepada memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

Pesantren modern

Mempunyai pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase nasihatnya bertambah banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada pengetahuan umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering dikata dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi nasihat campuran selang pendidikan pengetahuan formal dan pengetahuan agama Islam, para santri berusaha bisa seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran kepada strata SMP kadang-kadang juga diketahui dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan kepada strata SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak. Mempunyai juga jenis pesantren semimodern yang masih mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya: Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sebagai isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat itu perdebatan selang kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sebagai wancana public. Kedua: kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim kepada memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam segi sosial ekonomi. Keempat, desakan kaum Muslim kepada memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam kepada melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]

Tokoh nasional

Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal selang lain:

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
  2. ^ Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.5
  3. ^ Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
  4. ^ Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154
  5. ^ Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
  6. ^ Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Saat Hadapan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal.11
  7. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  8. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  9. ^ Imron Arifin, 1993: 6
  10. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 49
  11. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50
  12. ^ Moh. Hasyim Munif, 1989: 25
  13. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 51
  14. ^ Manfred Ziemek, 1986 130
  15. ^ M. Habib Chirzin, 1983: 94
  16. ^ HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
  17. ^ Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal.3
  18. ^ Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan Pengembangan, 2009), hal. 358
  19. ^ http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1301-ulama-pembaharu-pesantren

Pranala luar


edunitas.com


Page 16

Berapa lama perang medan area terjadi

Santri Pesantren

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan berusaha bisa di bawah bimbingan guru yang bertambah diketahui dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama kepada tempat menginap santri. Santri tersebut mempunyai dalam kompleks yang juga menyediakan masjid kepada beribadah, ruang kepada berusaha bisa, dan keaktifan keagamaan lainnya. Kompleks ini kebanyakan dikelilingi oleh tembok kepada dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlangsung.[1]. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat berusaha bisa para santri, sedangkan pondok berfaedah rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berfaedah asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, masih di Aceh diketahui dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau dikata surau.[2] Pesantren juga dapat dimengerti sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan metode nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan pengetahuan agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Ratus tahun pertengahan, dan para santrinya kebanyakan tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. [3]

Sejarah umum

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari mempunyainya seorang kyai di suatu tempat, kesudahan datang santri yang berhasrat berusaha bisa agama kepadanya. Setelah lebih hari lebih banyak santri yang datang, timbullah inisiatif kepada mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana mendirikan pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan pengetahuan agama supaya dapat dimengerti dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di lebih kurang rumah kyai. Lebih banyak banyak santri, lebih bertambah pula gubug propertti. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat luhur, adun bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara semuanya. Berdasarkan catatan yang mempunyai, keaktifan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Keaktifan agama inilah yang kesudahan diketahui dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang ratus tahun ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren dikata dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah berproduksi tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri kepada berusaha bisa.[5]

Definisi pesantren

Etimologi

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berfaedah murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berfaedah penginapan. Khusus di Aceh, pesantren dikata juga dengan nama dayah. Kebanyakan pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Kepada mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior kepada mengatur adik-adik kelasnya, mereka kebanyakan dikata lurah pondok. Sasaran para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah supaya mereka berusaha bisa hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Argumen lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berfaedah orang yang selalu mengikuti guru, yang kesudahan dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang dikata Pawiyatan. Istilah santri juga dalam mempunyai dalam bahasa Tamil, yang berfaedah guru mengaji, masih C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berfaedah orang yang kenal buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana pandai kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berfaedah tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Dasar Sebuah Pesantren

Pondok

Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau bertambah guru yang bertambah diketahui dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah diadakan kepada keaktifan bagi para santri. Mempunyainya pondok ini banyak menunjang segala keaktifan yang mempunyai. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain kebanyakan berdekatan sehingga memudahkan kepada komunikasi selang Kyai dan santri, dan selang satu santri dengan santri yang lain.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping mempunyainya hubungan timbal belakangan selang Kyai dan santri, dan selang santri dengan santri. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa mempunyainya sikap timbal belakangan selang Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi [8]

Sikap timbal belakangan tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz kepada membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai persoalan yang dihadapi para santri.

Situasi pondok pada saat kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan situasi pondok pada saat kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri dari sebuah gedung berpotongan persegi, kebanyakan dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang persangkaan makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang luhur yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang persangkaannya sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di hadapan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah merasakan perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah merasakan beberapa fase perkembangan, termasuk diurainya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong luhur dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat kepada mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Posisi masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada saat Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya.

Di Jawa kebanyakan seorang Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun kebanyakan diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya kepada meneruskan sasaran utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap petuah Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan anggota integral dari nilai dan petuah pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren bertambah populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz kebanyakan dengan memanfaatkan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai nasihat Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah faedahnya nasihat itu diyakini berasal pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan faedahnya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan di selangnya dapat menjadi Kyai.

Santri

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang berusaha bisa mendalami agama di pesantren. Kebanyakan para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah diadakan, namun mempunyai pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah diadakan tersebut yang biasa dikata dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di hadapan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren kepada mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di daerah lebih kurang yang berkaitan dengan pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa lebih kurang pesantren yang mereka tidak menetap di daerah lebih kurang yang berkaitan dengan kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama selang santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang dikuatkan di dalam pesantren tersebut dan apabila mempunyai pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang diterapkan.

Kyai

Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai mempunyai makna yang luhur, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan kepada benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling lebar di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan kepada para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya kepada Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam menempuh pendidikan.

Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam kelola kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam posisi ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam kelola nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat luhur sekali dalam anggota penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan pengetahuan, pembinaan kebaikan budi pekerti, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh santri dan warga. Dan dalam hal pemikiran kyai bertambah banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu kepada memimpin sesuai dengan latar belakangan kepribadian kyai [15]

Dari argumen di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan keberhasilan pesantren yang dididiknya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya merupakan syarat dan cerminan kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup kemungkinan mengembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingan warga.

Peranan

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini lebih memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian warga (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan warga di lebih kurangnya.[16]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama mengembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat luhur terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang bertambah tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh bertambah murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang terbanyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

Jenis pesantren

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan warga atas kepentingan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kesudahan muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern memanfaatkan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf

Pesantren yang hanya mengajarkan pengetahuan agama Islam saja umumnya dikata pesantren salaf. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri melakukan pekerjaan kepada kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari pengetahuan agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian luhur pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan sampai 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan keaktifan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi sampai mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum kepada berusaha bisa pengetahuan formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka kepada memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

Pesantren modern

Mempunyai pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase nasihatnya bertambah banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada pengetahuan umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering dikata dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi nasihat campuran selang pendidikan pengetahuan formal dan pengetahuan agama Islam, para santri berusaha bisa seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran kepada strata SMP kadang-kadang juga diketahui dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan kepada strata SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak. Mempunyai juga jenis pesantren semimodern yang masih mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya: Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sebagai isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat itu perdebatan selang kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sebagai wancana public. Kedua: kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim kepada memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam segi sosial ekonomi. Keempat, desakan kaum Muslim kepada memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam kepada melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]

Tokoh nasional

Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal selang lain:

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
  2. ^ Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.5
  3. ^ Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
  4. ^ Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154
  5. ^ Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
  6. ^ Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Saat Hadapan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal.11
  7. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  8. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  9. ^ Imron Arifin, 1993: 6
  10. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 49
  11. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50
  12. ^ Moh. Hasyim Munif, 1989: 25
  13. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 51
  14. ^ Manfred Ziemek, 1986 130
  15. ^ M. Habib Chirzin, 1983: 94
  16. ^ HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
  17. ^ Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal.3
  18. ^ Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan Pengembangan, 2009), hal. 358
  19. ^ http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1301-ulama-pembaharu-pesantren

Pranala luar


edunitas.com


Page 17

Tags (tagged): pesanggrahan, jakarta selatan, unkris, jakarta, selatan, provinsi jakarta kota, pemerintahan, camat, kode pos, 12250 petukangan, utara, ciganjur cipedak, srengseng sawah, kebayoran, baru selong, pasar, minggu pejaten, barat, pejaten timur pasar, minggu, pusat, ilmu, pengetahuan pusat pemerintahan, jakarta gubernur, joko, widodo wakil pesanggrahan


Page 18

Tags (tagged): pesanggrahan, jakarta selatan, unkris, jakarta, selatan, pesanggrahan terletak jakarta, selatan merupakan, terletak, sisi barat nama, pesanggrahan berasal, dari, kecamatan daftar kelurahan, ulujami pesanggrahan, kode, pos 12260 petukangan, selatan pesanggrahan, pusat ilmu pengetahuan, 12320 bintaro, kode pos 12330, edunitas pesanggrahan


Page 19

Tags (tagged): houses, south jakarta, unkris, south, jakarta, pesanggrahan terletak jakarta, selatan merupakan, terletak, sisi barat nama, pesanggrahan berasal, dari, kecamatan daftar kelurahan, ulujami pesanggrahan, kode, pos 12260 petukangan, selatan pesanggrahan, center of studies, 12320 bintaro, pesanggrahan, kode pos 12330, edunitas houses


Page 20

Tags (tagged): houses, south jakarta, unkris, south, jakarta, provinsi jakarta kota, jakarta selatan, pemerintahan, camat, kode pos, 12250 petukangan, utara, pesanggrahan, ciganjur cipedak, srengseng sawah, kebayoran, baru selong, pasar, minggu pejaten, barat, pejaten timur pasar, minggu, center, of, studies pusat pemerintahan, jakarta gubernur, joko, widodo wakil houses


Page 21

Berapa lama perang medan area terjadi

Gedung Perundingan Linggarjati di Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Berapa lama perang medan area terjadi

Perundingan Linggarjati
(sumber: foto-foto.com)

Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Belakangan

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk mendudukkan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia menginginkan Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan

Pada kesudahan Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk mendudukkan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diganti oleh Sutan Syahrir, Belanda diganti oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris memerankan sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:

  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Pro dan Kontra di kalangan warga Indonesia

Berapa lama perang medan area terjadi

Salah satu poster yang dipajang di Kontruksi Cagar Aturan sejak dahulu kala istiadat Gedung Perundingan Linggarjati berisikan himbauan pencegahan konflik dampak pro kontra warga Indonesia terhadap hasil perundingan.

Akad Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan warga Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyalakan bahwa akad itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk mendudukkan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana ada tujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Akad

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak aci mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook habis menyalakan bahwa Belanda bebas lagi dengan akad ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Penyerangan negara Militer Belanda I. Hal ini adalah dampak dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.

Referensi

  • Machdi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto (2006). Ilmu Ilmu Sosial Sejarah untuk SMP dan MTs kelas IX. Erlangga. hlm. 30. 

edunitas.com


Page 22

Tags (tagged): houses, south jakarta, unkris, south, jakarta, provinsi jakarta kota, jakarta selatan, pemerintahan, camat, kode pos, 12250 petukangan, utara, pesanggrahan, ciganjur cipedak, srengseng sawah, kebayoran, baru selong, pasar, minggu pejaten, barat, pejaten timur pasar, minggu, center, of, studies pusat pemerintahan, jakarta gubernur, joko, widodo wakil houses


Page 23

Berapa lama perang medan area terjadi

Santri Pesantren

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah suatu asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan berupaya bisa di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan benar asrama sebagai tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid sebagai beribadah, ruang sebagai berupaya bisa, dan kegiatan keagamaan pautannya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok sebagai mampu mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlanjut.[1]. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian landasannya adalah tempat berupaya bisa para santri, sedangkan pondok berfaedah rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berfaedah asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.[2] Pesantren juga mampu dipahami sbg lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berlandaskan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama 100 tahun pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. [3]

Sejarah umum

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari hal hadir seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin berupaya bisa agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif sebagai membangun pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama agar mampu dipahami dan dipahami oleh santri. Kyai masa itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang ditinggali oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menguasai suatu gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak banyak santri, semakin bertambah pula gubug susunan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, misalnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat akbar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berlandaskan catatan yang hadir, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang 100 tahun ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri sebagai berupaya bisa.[5]

Ruang lingkup pesantren

Etimologi

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berfaedah murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berfaedah penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Sebagai mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior sebagai mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka berupaya bisa hidup mandiri dan sekaligus mampu meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Pendapat pautannya, pesantren berasal dari kata santri yang mampu diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berfaedah orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam hadir dalam bahasa Tamil, yang berfaedah guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berfaedah orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana mahir kitab suci agama Hindu. Terkadang juga diasumsikan sbg gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren mampu berfaedah tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Landasan Suatu Pesantren

Pondok

Suatu pondok pada landasannya merupakan suatu asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sbg suatu struktur pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan sebagai kegiatan bagi para santri. Hal hadir pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang hadir. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok pautannya biasanya berdekatan sehingga memudahkan sebagai komunikasi selang Kyai dan santri, dan selang satu santri dengan santri pautannya.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping hal hadir hubungan timbal balik selang Kyai dan santri, dan selang santri dengan santri. Hal ini sebagaimana diberitahukan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa hal hadir sikap timbal balik selang Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri diasumsikan Kyai sbg titipan Tuhan yang harus senantiasa diamankan [8]

Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama pautan, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz sebagai membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri mampu dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga mampu membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang dihadapi para santri.

Kondisi pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan kondisi pondok pada masa kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri atas suatu gedung berwujud persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang lebih kurang makmur tiangnya terdiri atas kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu mampu mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri atas ruangan yang akbar yang ditinggali bersama. Terdapat juga pondok yang lebih kurangnya sempurna di mana didapati suatu gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan suatu meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong akbar mampu menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berlandaskan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak mampu dipisahkan dengan pesantren dan diasumsikan sbg tempat yang paling tepat sebagai mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima saat, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Letak masjid sbg sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata pautan kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di akrab Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di kawasan umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, sedang ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan ajakan kepada murid-muridnya.

Di Jawa biasanya seorang Kyai yang mengembangkan suatu pesantren pertama-tama dengan membangun masjid di akrab rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa beliau sanggup memimpin suatu pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sbg upaya sebagai meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap ajaran Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan ajaran pesantren yang tidak mampu dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum dikenal secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada masa ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir mampu digolongkan ke dalam 8 kumpulan, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang pautan seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah mampu dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai nasihat Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi pautan keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang aci dan relevan. Aci gunanya nasihat itu diyakini berasal pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan gunanya ajaran-ajaran itu sedang tetap cocok dan berjasa sekarang atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak lulusan yang menguasai ilmu tentang Islam bahkan diharapkan di selangnya mampu menjadi Kyai.

Santri

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang berupaya bisa mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun hadir pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren sebagai mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri atas dua kumpulan santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di sekeliling yang terkait pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di sekeliling yang terkait kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat sarana prasarana yang sama selang santri yang satu dengan pautannya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang dikuatkan di dalam pesantren tersebut dan apabila hadir pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Kyai

Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai benar ruang lingkup yang akbar, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan sebagai benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan sebagai para pendiri dan pimpinan pesantren, yang sbg muslim terhormat telah membaktikan hidupnya sebagai Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.

Kyai bermarkas sbg tokoh sentral dalam atur kehidupan pesantren, sekaligus sbg pimpinan pesantren. Dalam letak ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sbg suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam atur nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat akbar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan kelakuan, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyilakan duduk masalah yang dihadapi oleh santri dan warga. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu sebagai memimpin sesuai dengan latar belakangan kepribadian kyai [15]

Dari pendapat di atas mampu diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan kesuksesan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada landasannya merupakan syarat dan cerminan kelengkapan elemen suatu pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup probabilitas berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan warga.

Peranan

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial). Pesantren sekarang tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh masalah kikian warga (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak dapat lagi didakwa semata-mata sbg lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut masalah warga di sekitarnya.[16]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk aturan sejak dahulu kala Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sbg lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat akbar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan pautannya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam pautannya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

Jenis pesantren

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan warga atas kebutuhan pendidikan Umum, sekarang banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern menggunakan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salaf. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri melakukan pekerjaan sebagai kyai mereka - dapat dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan pautan sbgnya - dan sbg balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian akbar pesantren salafi menyediakan asrama sbg tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan sampai 20 jam saat sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di saat pagi sampai mereka tidur kembali di saat malam. Pada saat siang, para santri pergi ke sekolah umum sebagai berupaya bisa ilmu resmi, pada saat sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka sebagai memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

Pesantren modern

Hadir pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase nasihatnya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi ajar campuran selang pendidikan ilmu resmi dan ilmu agama Islam, para santri berupaya bisa seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran sebagai tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan sebagai tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak. Hadir juga jenis pesantren semimodern yang sedang mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya: Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sbg isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Karenanya sejak masa itu perdebatan selang kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sbg wancana public. Kedua: kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim sebagai memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi. Keempat, dorongan kaum Muslim sebagai memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam sebagai melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]

Tokoh nasional

Beberapa lulusan pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal selang lain:

Lihat juga

Pustaka

  1. ^ Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
  2. ^ Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Suatu Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.5
  3. ^ Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
  4. ^ Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154
  5. ^ Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
  6. ^ Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal.11
  7. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  8. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  9. ^ Imron Arifin, 1993: 6
  10. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 49
  11. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50
  12. ^ Moh. Hasyim Munif, 1989: 25
  13. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 51
  14. ^ Manfred Ziemek, 1986 130
  15. ^ M. Habib Chirzin, 1983: 94
  16. ^ HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
  17. ^ Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal.3
  18. ^ Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan Pengembangan, 2009), hal. 358
  19. ^ http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1301-ulama-pembaharu-pesantren

Tautan luar


edunitas.com


Page 24

Berapa lama perang medan area terjadi

Santri Pesantren

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah suatu asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan berupaya bisa di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan benar asrama sebagai tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid sebagai beribadah, ruang sebagai berupaya bisa, dan kegiatan keagamaan pautannya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok sebagai mampu mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlanjut.[1]. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian landasannya adalah tempat berupaya bisa para santri, sedangkan pondok berfaedah rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berfaedah asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.[2] Pesantren juga mampu dipahami sbg lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berlandaskan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama 100 tahun pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. [3]

Sejarah umum

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari hal hadir seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin berupaya bisa agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif sebagai membangun pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama agar mampu dipahami dan dipahami oleh santri. Kyai masa itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang ditinggali oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menguasai suatu gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak banyak santri, semakin bertambah pula gubug susunan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, misalnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat akbar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berlandaskan catatan yang hadir, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang 100 tahun ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri sebagai berupaya bisa.[5]

Ruang lingkup pesantren

Etimologi

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berfaedah murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berfaedah penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Sebagai mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior sebagai mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka berupaya bisa hidup mandiri dan sekaligus mampu meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Pendapat pautannya, pesantren berasal dari kata santri yang mampu diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berfaedah orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam hadir dalam bahasa Tamil, yang berfaedah guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berfaedah orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana mahir kitab suci agama Hindu. Terkadang juga diasumsikan sbg gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren mampu berfaedah tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Landasan Suatu Pesantren

Pondok

Suatu pondok pada landasannya merupakan suatu asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sbg suatu struktur pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan sebagai kegiatan bagi para santri. Hal hadir pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang hadir. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok pautannya biasanya berdekatan sehingga memudahkan sebagai komunikasi selang Kyai dan santri, dan selang satu santri dengan santri pautannya.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping hal hadir hubungan timbal balik selang Kyai dan santri, dan selang santri dengan santri. Hal ini sebagaimana diberitahukan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa hal hadir sikap timbal balik selang Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri diasumsikan Kyai sbg titipan Tuhan yang harus senantiasa diamankan [8]

Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama pautan, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz sebagai membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri mampu dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga mampu membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang dihadapi para santri.

Kondisi pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan kondisi pondok pada masa kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri atas suatu gedung berwujud persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang lebih kurang makmur tiangnya terdiri atas kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu mampu mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri atas ruangan yang akbar yang ditinggali bersama. Terdapat juga pondok yang lebih kurangnya sempurna di mana didapati suatu gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan suatu meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong akbar mampu menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berlandaskan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak mampu dipisahkan dengan pesantren dan diasumsikan sbg tempat yang paling tepat sebagai mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima saat, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Letak masjid sbg sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata pautan kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di akrab Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di kawasan umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, sedang ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan ajakan kepada murid-muridnya.

Di Jawa biasanya seorang Kyai yang mengembangkan suatu pesantren pertama-tama dengan membangun masjid di akrab rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa beliau sanggup memimpin suatu pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sbg upaya sebagai meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap ajaran Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan ajaran pesantren yang tidak mampu dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum dikenal secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada masa ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir mampu digolongkan ke dalam 8 kumpulan, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang pautan seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah mampu dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai nasihat Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi pautan keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang aci dan relevan. Aci gunanya nasihat itu diyakini berasal pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan gunanya ajaran-ajaran itu sedang tetap cocok dan berjasa sekarang atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak lulusan yang menguasai ilmu tentang Islam bahkan diharapkan di selangnya mampu menjadi Kyai.

Santri

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang berupaya bisa mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun hadir pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren sebagai mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri atas dua kumpulan santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di sekeliling yang terkait pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di sekeliling yang terkait kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat sarana prasarana yang sama selang santri yang satu dengan pautannya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang dikuatkan di dalam pesantren tersebut dan apabila hadir pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Kyai

Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai benar ruang lingkup yang akbar, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan sebagai benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan sebagai para pendiri dan pimpinan pesantren, yang sbg muslim terhormat telah membaktikan hidupnya sebagai Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.

Kyai bermarkas sbg tokoh sentral dalam atur kehidupan pesantren, sekaligus sbg pimpinan pesantren. Dalam letak ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sbg suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam atur nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat akbar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan kelakuan, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyilakan duduk masalah yang dihadapi oleh santri dan warga. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu sebagai memimpin sesuai dengan latar belakangan kepribadian kyai [15]

Dari pendapat di atas mampu diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan kesuksesan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada landasannya merupakan syarat dan cerminan kelengkapan elemen suatu pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup probabilitas berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan warga.

Peranan

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial). Pesantren sekarang tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh masalah kikian warga (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak dapat lagi didakwa semata-mata sbg lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut masalah warga di sekitarnya.[16]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk aturan sejak dahulu kala Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sbg lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat akbar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan pautannya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam pautannya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

Jenis pesantren

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan warga atas kebutuhan pendidikan Umum, sekarang banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern menggunakan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salaf. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri melakukan pekerjaan sebagai kyai mereka - dapat dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan pautan sbgnya - dan sbg balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian akbar pesantren salafi menyediakan asrama sbg tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan sampai 20 jam saat sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di saat pagi sampai mereka tidur kembali di saat malam. Pada saat siang, para santri pergi ke sekolah umum sebagai berupaya bisa ilmu resmi, pada saat sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka sebagai memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

Pesantren modern

Hadir pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase nasihatnya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi ajar campuran selang pendidikan ilmu resmi dan ilmu agama Islam, para santri berupaya bisa seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran sebagai tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan sebagai tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak. Hadir juga jenis pesantren semimodern yang sedang mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya: Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sbg isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Karenanya sejak masa itu perdebatan selang kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sbg wancana public. Kedua: kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim sebagai memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi. Keempat, dorongan kaum Muslim sebagai memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam sebagai melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]

Tokoh nasional

Beberapa lulusan pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal selang lain:

Lihat juga

Pustaka

  1. ^ Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
  2. ^ Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Suatu Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.5
  3. ^ Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
  4. ^ Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154
  5. ^ Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
  6. ^ Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal.11
  7. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  8. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  9. ^ Imron Arifin, 1993: 6
  10. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 49
  11. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50
  12. ^ Moh. Hasyim Munif, 1989: 25
  13. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 51
  14. ^ Manfred Ziemek, 1986 130
  15. ^ M. Habib Chirzin, 1983: 94
  16. ^ HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
  17. ^ Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal.3
  18. ^ Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan Pengembangan, 2009), hal. 358
  19. ^ http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1301-ulama-pembaharu-pesantren

Tautan luar


edunitas.com


Page 25

Berapa lama perang medan area terjadi

Santri Pesantren

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah suatu asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan berupaya bisa di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan benar asrama sebagai tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid sebagai beribadah, ruang sebagai berupaya bisa, dan kegiatan keagamaan pautannya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok sebagai mampu mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlanjut.[1]. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian landasannya adalah tempat berupaya bisa para santri, sedangkan pondok berfaedah rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berfaedah asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.[2] Pesantren juga mampu dipahami sbg lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berlandaskan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama 100 tahun pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. [3]

Sejarah umum

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari hal hadir seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin berupaya bisa agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif sebagai membangun pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama agar mampu dipahami dan dipahami oleh santri. Kyai masa itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang ditinggali oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menguasai suatu gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak banyak santri, semakin bertambah pula gubug susunan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, misalnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat akbar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berlandaskan catatan yang hadir, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang 100 tahun ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri sebagai berupaya bisa.[5]

Ruang lingkup pesantren

Etimologi

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berfaedah murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berfaedah penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Sebagai mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior sebagai mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka berupaya bisa hidup mandiri dan sekaligus mampu meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Pendapat pautannya, pesantren berasal dari kata santri yang mampu diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berfaedah orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam hadir dalam bahasa Tamil, yang berfaedah guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berfaedah orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana mahir kitab suci agama Hindu. Terkadang juga diasumsikan sbg gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren mampu berfaedah tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Landasan Suatu Pesantren

Pondok

Suatu pondok pada landasannya merupakan suatu asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sbg suatu struktur pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan sebagai kegiatan bagi para santri. Hal hadir pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang hadir. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok pautannya biasanya berdekatan sehingga memudahkan sebagai komunikasi selang Kyai dan santri, dan selang satu santri dengan santri pautannya.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping hal hadir hubungan timbal balik selang Kyai dan santri, dan selang santri dengan santri. Hal ini sebagaimana diberitahukan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa hal hadir sikap timbal balik selang Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri diasumsikan Kyai sbg titipan Tuhan yang harus senantiasa diamankan [8]

Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama pautan, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz sebagai membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri mampu dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga mampu membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang dihadapi para santri.

Kondisi pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan kondisi pondok pada masa kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri atas suatu gedung berwujud persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang lebih kurang makmur tiangnya terdiri atas kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu mampu mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri atas ruangan yang akbar yang ditinggali bersama. Terdapat juga pondok yang lebih kurangnya sempurna di mana didapati suatu gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan suatu meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong akbar mampu menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berlandaskan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak mampu dipisahkan dengan pesantren dan diasumsikan sbg tempat yang paling tepat sebagai mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima saat, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Letak masjid sbg sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata pautan kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di akrab Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di kawasan umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, sedang ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan ajakan kepada murid-muridnya.

Di Jawa biasanya seorang Kyai yang mengembangkan suatu pesantren pertama-tama dengan membangun masjid di akrab rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa beliau sanggup memimpin suatu pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sbg upaya sebagai meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap ajaran Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan ajaran pesantren yang tidak mampu dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum dikenal secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada masa ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir mampu digolongkan ke dalam 8 kumpulan, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang pautan seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah mampu dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai nasihat Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi pautan keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang aci dan relevan. Aci gunanya nasihat itu diyakini berasal pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan gunanya ajaran-ajaran itu sedang tetap cocok dan berjasa sekarang atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak lulusan yang menguasai ilmu tentang Islam bahkan diharapkan di selangnya mampu menjadi Kyai.

Santri

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang berupaya bisa mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun hadir pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren sebagai mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri atas dua kumpulan santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di sekeliling yang terkait pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di sekeliling yang terkait kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat sarana prasarana yang sama selang santri yang satu dengan pautannya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang dikuatkan di dalam pesantren tersebut dan apabila hadir pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Kyai

Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai benar ruang lingkup yang akbar, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan sebagai benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan sebagai para pendiri dan pimpinan pesantren, yang sbg muslim terhormat telah membaktikan hidupnya sebagai Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.

Kyai bermarkas sbg tokoh sentral dalam atur kehidupan pesantren, sekaligus sbg pimpinan pesantren. Dalam letak ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sbg suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam atur nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat akbar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan kelakuan, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyilakan duduk masalah yang dihadapi oleh santri dan warga. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu sebagai memimpin sesuai dengan latar belakangan kepribadian kyai [15]

Dari pendapat di atas mampu diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan kesuksesan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada landasannya merupakan syarat dan cerminan kelengkapan elemen suatu pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup probabilitas berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan warga.

Peranan

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial). Pesantren sekarang tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh masalah kikian warga (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak dapat lagi didakwa semata-mata sbg lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut masalah warga di sekitarnya.[16]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk aturan sejak dahulu kala Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sbg lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat akbar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan pautannya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam pautannya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

Jenis pesantren

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan warga atas kebutuhan pendidikan Umum, sekarang banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern menggunakan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salaf. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri melakukan pekerjaan sebagai kyai mereka - dapat dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan pautan sbgnya - dan sbg balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian akbar pesantren salafi menyediakan asrama sbg tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan sampai 20 jam saat sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di saat pagi sampai mereka tidur kembali di saat malam. Pada saat siang, para santri pergi ke sekolah umum sebagai berupaya bisa ilmu resmi, pada saat sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka sebagai memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

Pesantren modern

Hadir pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase nasihatnya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi ajar campuran selang pendidikan ilmu resmi dan ilmu agama Islam, para santri berupaya bisa seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran sebagai tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan sebagai tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak. Hadir juga jenis pesantren semimodern yang sedang mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya: Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sbg isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Karenanya sejak masa itu perdebatan selang kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sbg wancana public. Kedua: kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim sebagai memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi. Keempat, dorongan kaum Muslim sebagai memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam sebagai melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]

Tokoh nasional

Beberapa lulusan pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal selang lain:

Lihat juga

Pustaka

  1. ^ Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
  2. ^ Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Suatu Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.5
  3. ^ Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
  4. ^ Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154
  5. ^ Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
  6. ^ Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal.11
  7. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  8. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  9. ^ Imron Arifin, 1993: 6
  10. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 49
  11. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50
  12. ^ Moh. Hasyim Munif, 1989: 25
  13. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 51
  14. ^ Manfred Ziemek, 1986 130
  15. ^ M. Habib Chirzin, 1983: 94
  16. ^ HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
  17. ^ Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal.3
  18. ^ Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan Pengembangan, 2009), hal. 358
  19. ^ http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1301-ulama-pembaharu-pesantren

Tautan luar


edunitas.com


Page 26

Berapa lama perang medan area terjadi

Santri Pesantren

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah suatu asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan berupaya bisa di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan benar asrama sebagai tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid sebagai beribadah, ruang sebagai berupaya bisa, dan kegiatan keagamaan pautannya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok sebagai mampu mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlanjut.[1]. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian landasannya adalah tempat berupaya bisa para santri, sedangkan pondok berfaedah rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berfaedah asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.[2] Pesantren juga mampu dipahami sbg lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berlandaskan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama 100 tahun pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. [3]

Sejarah umum

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari hal hadir seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin berupaya bisa agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif sebagai membangun pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama agar mampu dipahami dan dipahami oleh santri. Kyai masa itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang ditinggali oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menguasai suatu gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak banyak santri, semakin bertambah pula gubug susunan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, misalnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat akbar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berlandaskan catatan yang hadir, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang 100 tahun ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri sebagai berupaya bisa.[5]

Ruang lingkup pesantren

Etimologi

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berfaedah murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berfaedah penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Sebagai mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior sebagai mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka berupaya bisa hidup mandiri dan sekaligus mampu meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Pendapat pautannya, pesantren berasal dari kata santri yang mampu diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berfaedah orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam hadir dalam bahasa Tamil, yang berfaedah guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berfaedah orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana mahir kitab suci agama Hindu. Terkadang juga diasumsikan sbg gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren mampu berfaedah tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Landasan Suatu Pesantren

Pondok

Suatu pondok pada landasannya merupakan suatu asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sbg suatu struktur pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan sebagai kegiatan bagi para santri. Hal hadir pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang hadir. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok pautannya biasanya berdekatan sehingga memudahkan sebagai komunikasi selang Kyai dan santri, dan selang satu santri dengan santri pautannya.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping hal hadir hubungan timbal balik selang Kyai dan santri, dan selang santri dengan santri. Hal ini sebagaimana diberitahukan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa hal hadir sikap timbal balik selang Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri diasumsikan Kyai sbg titipan Tuhan yang harus senantiasa diamankan [8]

Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama pautan, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz sebagai membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri mampu dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga mampu membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang dihadapi para santri.

Kondisi pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan kondisi pondok pada masa kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri atas suatu gedung berwujud persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang lebih kurang makmur tiangnya terdiri atas kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu mampu mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri atas ruangan yang akbar yang ditinggali bersama. Terdapat juga pondok yang lebih kurangnya sempurna di mana didapati suatu gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan suatu meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong akbar mampu menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berlandaskan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak mampu dipisahkan dengan pesantren dan diasumsikan sbg tempat yang paling tepat sebagai mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima saat, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Letak masjid sbg sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata pautan kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di akrab Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di kawasan umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, sedang ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan ajakan kepada murid-muridnya.

Di Jawa biasanya seorang Kyai yang mengembangkan suatu pesantren pertama-tama dengan membangun masjid di akrab rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa beliau sanggup memimpin suatu pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sbg upaya sebagai meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap ajaran Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan ajaran pesantren yang tidak mampu dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum dikenal secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada masa ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir mampu digolongkan ke dalam 8 kumpulan, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang pautan seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah mampu dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai nasihat Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi pautan keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang aci dan relevan. Aci gunanya nasihat itu diyakini berasal pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan gunanya ajaran-ajaran itu sedang tetap cocok dan berjasa sekarang atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak lulusan yang menguasai ilmu tentang Islam bahkan diharapkan di selangnya mampu menjadi Kyai.

Santri

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang berupaya bisa mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun hadir pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren sebagai mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri atas dua kumpulan santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di sekeliling yang terkait pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di sekeliling yang terkait kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat sarana prasarana yang sama selang santri yang satu dengan pautannya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang dikuatkan di dalam pesantren tersebut dan apabila hadir pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Kyai

Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai benar ruang lingkup yang akbar, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan sebagai benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan sebagai para pendiri dan pimpinan pesantren, yang sbg muslim terhormat telah membaktikan hidupnya sebagai Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.

Kyai bermarkas sbg tokoh sentral dalam atur kehidupan pesantren, sekaligus sbg pimpinan pesantren. Dalam letak ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sbg suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam atur nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat akbar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan kelakuan, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyilakan duduk masalah yang dihadapi oleh santri dan warga. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu sebagai memimpin sesuai dengan latar belakangan kepribadian kyai [15]

Dari pendapat di atas mampu diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan kesuksesan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada landasannya merupakan syarat dan cerminan kelengkapan elemen suatu pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup probabilitas berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan warga.

Peranan

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial). Pesantren sekarang tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh masalah kikian warga (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak dapat lagi didakwa semata-mata sbg lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut masalah warga di sekitarnya.[16]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk aturan sejak dahulu kala Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sbg lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat akbar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan pautannya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam pautannya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

Jenis pesantren

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan warga atas kebutuhan pendidikan Umum, sekarang banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern menggunakan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salaf. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri melakukan pekerjaan sebagai kyai mereka - dapat dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan pautan sbgnya - dan sbg balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian akbar pesantren salafi menyediakan asrama sbg tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan sampai 20 jam saat sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di saat pagi sampai mereka tidur kembali di saat malam. Pada saat siang, para santri pergi ke sekolah umum sebagai berupaya bisa ilmu resmi, pada saat sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka sebagai memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

Pesantren modern

Hadir pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase nasihatnya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi ajar campuran selang pendidikan ilmu resmi dan ilmu agama Islam, para santri berupaya bisa seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran sebagai tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan sebagai tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak. Hadir juga jenis pesantren semimodern yang sedang mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya: Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sbg isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Karenanya sejak masa itu perdebatan selang kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sbg wancana public. Kedua: kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim sebagai memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi. Keempat, dorongan kaum Muslim sebagai memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam sebagai melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]

Tokoh nasional

Beberapa lulusan pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal selang lain:

Lihat juga

Pustaka

  1. ^ Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
  2. ^ Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Suatu Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.5
  3. ^ Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
  4. ^ Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154
  5. ^ Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
  6. ^ Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal.11
  7. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  8. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
  9. ^ Imron Arifin, 1993: 6
  10. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 49
  11. ^ Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50
  12. ^ Moh. Hasyim Munif, 1989: 25
  13. ^ Zamakhsari Dhofir, 1982: 51
  14. ^ Manfred Ziemek, 1986 130
  15. ^ M. Habib Chirzin, 1983: 94
  16. ^ HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
  17. ^ Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal.3
  18. ^ Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan Pengembangan, 2009), hal. 358
  19. ^ http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1301-ulama-pembaharu-pesantren

Tautan luar


edunitas.com