Bagaimana tanggung jawab keluarga terhadap pendidikan?

Oleh: Frista Zeuny

Dewasa ini, pendidikan karakter merupakan sebuah harapan untuk meminimalisir efek buruk bagi kemajuan bangsa. Dimana pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Masalah terbesar yang dihadapi oleh suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia adalah munculnya berbagai macam krisis, diantaranya krisis ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan moral. Namun diantara banyaknya krisis tersebut, yang menjadi masalah utama adalah krisis moral. Dengan adanya krisis moral akan memunculkan berbagai macam krisis lainnya.

Banyak bukti yang menjelaskan terjadinya kerusakan moral di masyarakat. Pada tingkat elit, rusaknya moral bangsa ditandai dengan maraknya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sementara, pada tingkat bawah (rakyat), ditunjukkan dengan merajalelanya berbagai tindakan kejahatan ditengah-tengah masyarakat, seperti penipuan, pencurian, penjambretan, permpokan, perkosaan maupun pembunuhan. Sedangkan di kalangan pelajar ditandai dengan maraknya seks bebas, penyalahgunaan narkoba, penyebaran foto dan video porno, serta tawuran.

Ketika zaman telah bertransformasi menjadi sebuah era komunikasi dan informasi yang begitu bebas dan terbuka, maka diperlukan sebuah tatanan nilai yang baik. Salah satunya dengan menerapkan pendidikan pancasila dan pendidikan karakter yang diterapkan dalam lingkungan keluarga. Pancasila sebagai ideologi bangsa ini seharusnya akan menjiwai setiap tingkah laku warganya. Namun hal sebaliknya cenderung terjadi, seperti ketika kita berselancar di media sosial, seolah terjadi ambivalensi antara gambaran masyarakat tentang orang indonesia dan kenyataan di dunia maya. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya ujaran kebencinya (hate speech) yang begitu mudah ditulis oleh pengguna media sosial.

Fenomena tersebut menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter akan berjalan efektif dan utuh jika melibatkan tiga institusi, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan karakter tidak akan berjalan dengan baik jika mengabaikan salah satu institusi, terutama keluarga. Pendidikan informal dalam keluarga mempunyai peranan penting dalam proses pembentukan karakter seseorang. Hal itu disebabkan, keluarga merupakan lingkungan tumbuh dan berkembangnya anak sejak usia dini hingga menjadi dewasa. Melalui pendidikan dalam keluargalah karakter seorang anak terbentuk.

Karakter juga dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun bertindak.

Karakter yang baik menurut Lickona (2013 : 82), terdiri dari mengetahui yang baik (moral knowing), menginginkan yang baik (moral feeling), dan melakukan hal yang baik (moral action), yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai pembiasaan dalam cara berfikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan.

Orang tua masa kini menaruh perhatian yang sangat besar kepada sekolah yag bagus dan bergengsi untuk membentuk anak-anaknya menjadi anak yang pandai, cerdas dan berkarakter. Akan tetapi dalam kenyataannya, harapan orang tua masih jauh dari realisasinya.

Karakter kita terdiri dari kebiasaan-kebiasaan kita. Kebiasaan yang terbentuk semasa kanak-kanak dan remaja kerap bertahan hingga dewasa. Orang tua dapat mempengaruhi pembentukan kebiasaan anak mereka, dalam hal yang baik maupun yang buruk.

Untuk menanamkan karakter pada diri anak ada beberapa metode yang bisa digunakan, antara lain :

Internalisasi adalah upaya memasukkan pengetahuan (knowing) dan keterampilan melaksanakan pengetahuan (doing) ke dalam diri seseorang hingga pengetahuan itu menjadi kepribadiannya (being) dalam kehidupan sehari-hari.

“Anak adalah peniru yag baik.” Ungkapan tersebut seharusnya disadari oleh orang tua, sehingga mereka bisa lebih menjaga sikap dan tindakannya ketika berada atau bergaul dengan anak-anaknya. Berbagi keteladanan dalam mendidik anak menjadi sesuatu yang sangat penting.

Inti dari pembiasaan adalah pengulangan. Jika orang tua setiap masuk rumah mengucapkan salam, itu telah diartikan sebagai usaha membiasakan. Bila anak masuk rumah tidak mengucapkan salam, maka orang tua mengingatkan untuk mengucapkan salam.

Masa anak-anak merupakan masa puncak kreativitasnya, dan kreativitas mereka perlu dijaga dengan menciptakan lingkungan yang menghargai kreativitas, yaitu melalui bermain.

Sebuah cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh anak, dengan bercerita orang tua dapat menanamkan nilai pada anaknya, sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Nasihat merupakan kata – kata yang mampu menyentuh hati disertai dengan keteladanan. Nasihat memadukan antara metode ceramah dan keteladanan, namun lebih diarahkan pada bahasa hati.

Memberi penghargaan kepada anak penting untuk dilakukan, karena pada dasarnya setiap orang membutuhkan penghargaan dan ingin dihargai. Selain penghargaan, hukuman juga bisa diterapkan untuk membentuk karakter anak. Penghargaan harus didahulukan, dibandingkan hukuman.

Dalam mensosialisasikan pendidikan karakter, orang tua mempunyai beberapa kendala, diantaranya :

  1. Perubahan zaman dan gaya hidup
  2. Pengaruh televisi pada gaya komunikasi anak
  3. Perbedaan watak dan jenis kelamin anak
  4. Perbedaan tipe kecerdasan anak

Dari berbagai kendala tersebut, orang tua harus senantiasa meningkatkan pengetahuan dan usahanya, serta harus lebih mengenal anak – anak agar penanaman karakter pada anak dapat berhasil.

Pendidikan karakter ini tidak akan berhasil dengan baik dan tidak akan berarti apa – apa, apabila keluarga melepaskan tanggung jawab pembentukan karakter hanya kepada sekolah. Peran keluarga dalam pendidikan anak teramat besar, keluarga merupakan unsur terkecil dalam masyarakat, dari keluarga pulalah anak belajar berperilaku dan bersikap sebagai anggota masyarakat yang bermartabat. Peran keluarga memiliki peranan yang penting, agar proses dalam setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan serta berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.

Sumber :

https://www.industry.co.id/read/10674/peran-keluarga-dalam-pendidikan-karakter, ditulis oleh Rahmad, M.Pd.

Muchlas Samani dan Hariyanto, Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosdakarya, cetakan ketiga, 2013, 43

Thomas Lickona, Educating for Character, Mendidik untuk Membentuk Karakter, terjemahan Juma Abdu Wamaungo, Jakarta: Bumi Aksara, 2013, 82

Amirulloh Syarbini, Model pendidikan karakter dalam keluarga, Jakarta: gramedia, 2014, 69 – 73

Enni k. Hairuddin, Membentuk Karakter Anak dari Rumah, Jakarta: Gramedia, 2014, 33-47

Bagaimana tanggung jawab keluarga terhadap pendidikan?

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Penulis Opini:

Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M. Pd
Kasek SMPK Frateran Ndao-ENDE

Bagian terbesar dari pendidikan adalah apa yang kita dengar, kita lihat, dan kita rasakan, dan kita alami setiap saat bukan berasal dari pelajaran yang kita dapat dari dalam kelas.

Para sahabat, sebelum membedah topik diatas sejenak kita mereview kembali ingatan kita tentang jenis-jenis, jalur pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia. Jalur pendidikan ini dibedakan dalam tiga jenis, yakni pendidikan formal, ialah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah dan bersifat resmi, seperti: TK, SD, SMP, SMA/SMK, Perguruan Tinggi. Pendidikan formal memiliki ijazah untuk melanjutkan sekolah dan melamar pekerjaan. Juga mempunyai kurikulum serta sistemnya terstruktur. Sedangkan Pendidikan Non-Formal, yakni pendidikan yang berlangsung dimasyarakat. Pendidikan non formal bersfat resmi dan ada juga yang tidak, tidak memiliki jenjang tertentu serta dapat diikuti oleh segala usia. Selain itu pendidikan non formal memiliki sertifikat dan ijazah misalnya memgikuti kejar paket A, B, dan C. Pendidikan non formal contohnya elalui lembaga kursus (komputer, bahasa, montir, musik, olah vocal, dll), lembaga bimbingan belajar (primagama, neutron, ugama, ganesha, dll). Lalu, Pendidikan informal, adalah pendidikan yang diberikan oleh orangtua dan masyarakat, yang mengutamakan nilai etika, moral dan norma. Pendidikan informal bersifat tidak resmi, tidak kaku pada jenis pendikan tertentu. Pendidikan informal contohnya keluarga, masyarakat. Pendidikan informal menjadi sangat penting, mengingat keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan soko guru utama dalam pendidikan yang diterima, direkam oleh anak melalui pengamatan dan pendengaran si anak di keluarga (rumah), masyarakat.

TANGGUNGJAWAB ORANGTUA …

Orangtua peserta didik memiliki peran penting dalam proses pendidikan, terlebih di keluarga atau di rumah. Sebab, keluarga merupakan tempat pertama dan utama seorang anak manusia di didik dan diajar oleh orangtuanya. Oleh karena itu, keluarga adalah sekolah mini, dan orangtua disebut sebagai soko guru utama dan pertama dalam proses pendidikan seorang anak yang sudah dimulai di keluarga. Keluarga bagaikan sebuah ladang subur tempat persemaian bibit unggul (anak) dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya itu, dia BELAJAR banyak hal untuk membentuk dan membangun kepribadiannya. Karena itu pembentukan karakter kepribadian seorang anak (peserta didik) dimulai di keluarga melalui pengamatan, pendengarannya juga rekaman pengalamannya bersama orangtuanya.

Untuk itu, sangat diperlukan KETELADANAN HIDUP ORANGTUA di rumah, baik perkataan maupun perbuatannya. Ada orang bijak mengatakan seorang anak adalah seorang pengamat yang hebat, tetapi penafsir yang keliru. Pengalaman bersama (hasil belajar) dengan orangtuanya di keluarga akan direkam dan disimpan dalam alam bawah sadar serta memory anak. Misalkan di keluarga orangtua mengajarkan tentang kebaikan seperti: disiplin, saling mencintai, memberi dan menerima dengan tangan kanan, menerima sesuatu dari orang lain selalu dengan ucapan terima kasih, sopan santun, menghormati orang lain, dll, maka buahnya akan dipetik suatu saat.

Demikianpun sebaliknya kalau mengajarkan keburukan maka akan memetik keburukan. Sekali lagi CONTOH HIDUP orang tua akan senantiasa membekas dalam ingatan anak. Ada pepatah yang mengatakan bahwa buah yang jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya, kecuali tanahnya miring. Atau juga pohon yang baik pasti menghasilkan buah yang baik. So, pohon ibarat orangtua, buah adalah ibarat anak.
Seiring dengan perputaran waktu, ketika si anak memasuki lingkungan baru dalam hal ini lingkungan sekolah, maka nilai kemanusiaan yang sudah terpatri yang sudah ditanam di keluarga pasti akan selalu dijunjung tinggi. Orangtua sebagai guru utama si anak wajib mengkawal dengan kasih sayang perjalanannya termasuk ketika di sekolah. Walau terjadi pergeseran peran dari orangtua ke para guru di sekolah, tetap orangtua memegang tanggungjawab penuh terhadap proses belajar anak. Sebab, dari pengalaman kebanyakan para orangtua menganggap bahwa ketika anak di sekolah maka segala urusan sepenuhnya menjadi tanggungjawab sekolah. Apalagi orangtua sudah bayar uang sekolah dan sibuk bekerja, maka pendidikan anak menjadi tanggungjawab kepala sekolah dan para guru. Kalau seperti ini mindset-nya, maka sekolah sama dengan Tempat Penitipan Anak (TPA), pada hal, sekolah bukan TPA, melainkan tempat anak BELAJAR tentang kehidupan, menimba ilmu pengetahuan dan hal-hal lain yang mungkin belum diterima si anak di keluarga, misalnya cara bersosialisasi, cara memimpin, cara belajar, dll. Atau bisa jadi pihak sekolah hanya mempertegas kembali apa yang telah diajarkan dan dididik oleh para orangtua tentang cara bersikap dan bertingkah laku yang baik.

Dengan demikian si anak akan diperkaya nilai-nilai kemanusiaannya serta lebih mendalam, sehingga menjadi bagian dari hidupnya dan akhirnya menjadi kebiasaan yang membudaya. Agar proses BELAJAR si anak (peserta didik) berhasil dengan baik, maka perlu kerjasama yang baik antara sekolah dan orangtua. Orangtua memiliki kewenangan untuk bertanya kepada pihak sekolah tentang PROSES BELAJAR si anak serta progressnya dalam BELAJAR. Jadi, komunikasi yang intensif dan efektif antara orangtua dan sekolah sangat penting dalam proses pendidikan anak (peserta didik). Termasuk ketika ada masalah antara anak dan pihak sekolah, maka orangtua harus punya waktu guna melakukan konfirmasi dan klarifikasi dengan pihak sekolah dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah. Itu juga mengandung nilai edukasi bagi anak tentang cara menyelesaikan masalah, juga sebagai bentuk tanggungjawab orangtua terhadap anak. So, Sangat tidak benar kalau orangtua lepas tanggungjawab, walau perannya sebagian telah bergeser ke para pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah.

Bentuk kerjasama orangtua dan pihak pihak sekolah, tidak melulu berupa materi (uang), tetapi juga berupa sumbangan pikiran, hadir disetiap ada undangan pertemuan dari sekolah, komunikasi tang efektif yang semuanya demi kemajuan sekolah tempat anak BELAJAR olah pikir, olah hati, olah rasa dan olah raga. Yang perlu digaris bawahi pula bahwa waktu BELAJAR anak (peserta didik) disekolah rata ± 7 jam, waktu selebihnya menjadi tanggungjawab orangtua. Untuk itu, pengawasan, pendampingan, sikap kontrol dari orangtua sangat diharapkan, agar nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan di sekolah tetap awet, lestari, selalu eksist, tidak mudah luntur, kikis, terkontaminasi di masyarakat yang majemuk, heterogen, juga perkembangan dunia IT (internet) yang bisa diakses dengan bebas. Pendampingan, pengawasan, pendekatan haruslah secara humanis sesuai usia anak (peserta didik). Karena itu, walau rumah bukan sekolah atau asrama, orangtua wajib membuat aturan berupa komitmen untuk disiplin menggunakan waktu, khususnya BELAJAR dan juga komitmen dalam bersikap dan bertingkahlalu di rumah dan masyarakat.

Dalam proses pendampingan, pengawasan, perlakukan anak sebagai SAHABAT, teman, partner, mitra dalam berkomunikasi. Sebagai manusia mereka juga butuh didengarkan dan diorangkan, dicintai. Mendidik dan mengajar anak dengan kekerasan tidak akan mengubah mental, sikap dan perilaku anak, tetapi jika mereka dididik dan diajar dengan kasih sayang pasti mereka akan berubah. Seperti sebuah batu karang bisa berlubang hanya dengan tetesan air yang terus menerus. Jika demikian perlakuan orangtua, maka anak akan bertumbuh dan berkembang dalam kasih sayang sebagai pribadi yang unggul, tangguh, serta berkepribadian kuat dan berkarakter. Yang perlu diingat juga, bahwa orangtua jangan mengukur kecerdasan anak atau kepintaran anak hanya dari kcerdasan matematika semata, sebab Tuhan menciptakan manusia dengan kecerdasan yang berbeda.

Menurut Edwar Gardner ada 8 kecerdasan yang dimiliki manusia, yaitu: kecerdasan linguitik, logika matematika, musikal, spasial (menggambar, desaigner), kinestetik (olah raga, menari), interpersonal (pandai bergaul/supel), intrapersonal (mandiri), naturalis (suka alam). Selain ke delapan kecerdasan itu ada juga yang namanya kecerdasan eksistensial (rasa ingin tahu). Dengan kecerdasan ini, diharapkan orangtua harus menghargai atau mengapresiasi kecerdasan apapun yang dimiliki sang anak, walau kurikulum yang berlaku menuntut anak memenuhi nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).

TANGGUNGJAWAB SEKOLAH

Sekolah menerima kepercayaan dari orangtua (masyarakat), untuk mendidik putra/inya. Tugas sekolah adalah mendidik, mengajar, membimbing, melatih anak (peserta didik) sebagai persiapan hidup di masa depannya. Sama seperti setiap orangtua, para gurupun diharapkan dapat memberikan TELADAN HIDUP atau CONTOH HIDUP yang baik. Bahwa antara perkataan dan perbuatan harus sejalan, sebab bagi anak, guru adalah artis dan aktor di sekolah yang harus dicontoh. Peran guru sangat penting dalam mempersiapkan manusia muda yang sedang belajar.menyongsong masa depannya. Pihak sekolah tentunya memiliki ekspektasi yang tinggi agar anak didiknya (peserta didik) berhasil dalam BELAJAR selama menempuh pendidikan di sekolah, namun yang lebih penting adalah mereka sukses dalam hidup dikemudian hari. Karena itu setiap guru harus menyadari, tanggungjawabnya tidak mudah, sebab tidak hanya dituntut untuk melahirkan anak yang cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosi, secara sosial, secara spiritual, juga dalam bersikap dan berperilaku, berintegritas, berkepribadian dan berkarakter. Untuk itu dibutuhkan figur guru yang profesional dan kompeten dalam mewujudkan itu semua, karena apa yang diberikan kepada anak (peserta didik) adalah apa yang telah dia hidupi dan dia miliki atau punyai. Selain itu juga sangat diharapkaan setiap guru harus mampu memberikan motivasi belajar kepada anak (peserta didik). Sebab apa artinya guru professional dan kompeten kalau peserta didik malas BELAJAR atau alergi belajar. Para siswapun jangan hanya menuntut atau mengkritik guru yang mengajar kurang bagus, tetapi siswa juga harus bisa introspeksi diri, koreksi diri, sejauh mana peserta didik belajar dengan tekun dan rajin. Sebab, keberhasilan dan kesuksesan belajar di sekolah adalah hasil kerjasama yang baik antara guru yang mengajar dan peserta didik yang belajar, secara aktif, inovatif/interaktif, kreatif, efektif menyenangkan.

TANGGUNGJAWAB MASYARAKAT..

Tak bisa dipungkiri bahwa tempat belajar seorang anak tidak hanya terjadi di dalam keluarga, sekolah, tetapi juga di masyarakat. Bahkan hasil pendidikan dan pengajaran di keluarga, sekolah dapat diaplikasikan dalam kehidupan di masyarakat. Itu artinya, dimasyarakat selain sebagai tempat dan atau sumber belajar, tetapi juga sebagai wahana aplikasi dari pendidikan dan pengajaran di keluarga dan di sekolah. Oleh karena itu, ada segitiga tanggungjawab dalam mencetak generasi emas yang handal, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Segitiga tanggungjawab ini, juga di sebut tri pusat pendidikan. Dan dalam penguatan pendidikan karakter (PPK) seperti yang sekarang ini, implementasinya dapat dilakukan dikeluarga, di sekolah dan di masyarakat.

Oleh karena itu, segitiga tanggungjawab pendidikan ini, harus dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan baik. Sebab, tanpa bersinergi dan berkolaborasi dengan baik, yang terjadi hanya aka nada saling menyalahkan satu sama lain. Maka, dari itu, daripada hanya saling menyalahkan, sebaiknya kita berbuat sesuatu untuk kemajuan pendidikan di tanah air, demi masa depan generasi emas.

Penutup
Ceritakan kepadaku, maka aku akan lupa. Ajarkan aku, mungkin aku bisa mengingatnya. Ajak dan libatkan lah aku, maka aku akan belajar.

Demikianlah tanggungjawab orangtua dan sekolah yang keduanya sama pentingnya dalam proses pendidikan si anak (peserta didik) yang sedang bertumbuh dan berkembang serta sedang BELAJAR mempersiapkan masa depannya. Keberhasilan dan kesuksesan hidup di masa depan berawal dari sekarang saat dia BELAJAR di sekolah. Dan tentunya untuk mewujudkan mimpinya dibutuhkan perjuangan melaui etos belajar serta integritas yang tinggi dan juga komitmen dari dirinya. Walau demikian, tentunya yang tidak kalah penting adalah kolaborasi dan sinergi yang baik antara orangtua dan sekolah, untuk membantu si anak (peserta didik) dalam meraih cita-citanya. Sekali lagi hanya dengan kerjasama yang baik dan solid layak sebuah team work, saling mensupport niscaya akan melahirkan siswa yang berkualitas secara intelektual, berintegritas, berkepribadian yang baik dan berkarakter. Hanya siswa yang seperti inilah yang menurut hemat saya siap menyongsong hari depannya dan siap berkompetisi dan menghadapi tantangan global. Karena itu, orangtua dan sekolah bagaikan dua sisi mata uang.