Bagaimana bentuk penentuan kebijakan oleh warga negara

Ir. Said Alkhudri, MM.

Widyaiswara Ahli MadyaPPSDM Kemendagri Regional Bukittinggi

Abstrak

Bagaimana bentuk penentuan kebijakan oleh warga negara

Tujuan Negara sebagamana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah : Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Dalam pasal 36 UUD 1945 dejelaskan bahwa setiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam pasal 33 ayat (2) dijelaskan bahwa “Bumi, air dan apa-apa yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Apabila kita cermati tujuan Negara dan hak-hak warga negara yang tercantum dalam UUD 1945 tersebut diatas, semua butir itu adalah nilai-nilai publik yang harus menjadi tujuan dari semua kebijakan public di negeri ini, nilai-nilai publik sebenarnya adalah seberapa besar kemanfaatan suatu kebijakan terhadap rakyat, sebagaimana dikatan De-joung (2011); Nilai publik adalah Nilai Tambah kepada “Klien”serta kepada Public secara umum, melalui imajinasi manejerial dan aktifitas entrepreneur.

Adanya pemahaman yang keliru tentang istilah Nilai Publik dan manajemen public secara umum, yang mengatakan bahwa Manajemen Publik terlalu liberal dan tidak berpihak kepada rakyat, dan pendapat yang mengatakan bahwa Nilai Publik = Nilai Pelanggan = nilai private. Hal ini telah dibantah oleh De-Joung (2011) dengan mengatakan “Pebedaan yang tegas antara Nilai Publik dengan  Nilai Swasta/private,  minimal dalam 2 hal yaitu:

1.    Nilai Publik tidak hanya kepuasan konsumen, tetapi juga menegakkan peraturan-peraturan yg mengikat keluar dan kedalam, Kadang kadang orang tidak senang dengan apa yang dilakukanpemerintah (sebagai konsekwensi logis dari penegakan aturan..)

2.    Kinerja sector Publik tidak cukup dengan Kepuasan pelanggan saja, kita harus memenuhi need and wants Public, dan kita melibatkan semua pihak yang terkait dengan orang yng menghasikakan nilai public

Selanjutnya Bozeman( 2007) mengatakan “Public value is value for the public. Value for the public is a result of evaluations about how basic needs of individuals, groups and the society as a whole are influenced in relationships involving the public”

Beberapa penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara muatan nilai public dalam kebijakan, terhadap pencitraan institusi public dimata masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa sampai hari ini banyak Pejabat Publik kita yang tidak mengenal dan tidak memahami secara utuh tentang Nilai Publik, yang sehari-hari menjadi indikator dari kinerja kebijakan mereka.

Ketidak tahuan akan konsep Publik Manajemen, tidak terbangunnya organisasi pembelajar pada jajaran organisasi pemerintah, dan sikap arogansi serta gaya manajemen yang tertutup, membuat banyak pejabat publik dijajaran eksekutif dan legislatif tidak mengenal konsep Publik Manajemen dan apa yang disebut sebagai Nilai Publik, apalagi untuk memperlakukan warganya sebagai “Pelanggan” Meynhardt (2009)[2]

Upaya terbaik dan lebih efektif adalah mempersyaratkan penguasaan Kompetensi Publik Manajemen dan pemahaman akan Nilai Publik, bagi setiap calon pejabat publik yang akan dipilih, maupun yang akan ditunjuk, seperti prasyarat kompetensi yang harus dikuasai yang besangkutan dalam Fit and Proper Test dan pada lelang jabatan publik.

I.    PENDAHULUAN

Istilah Nilai Publik lahir dari sebuah disiplin ilmu baru yaitu Publik Manajemen yang berkembang menjadi New Public Management, Caplan (1986) dalam bukunya Balance scorecard menjelasakan Istilah Customer Value (Nilai Pelanggan) dan empat pilar Balance scorecardnya, dimana salah satu pilarnya mengatakan “How to create and to develope the customer value”.

Selanjutnya dalam Public Management, istilah “customer” identik dengan “Citizen” atau Warga Negara, atau “Masyarakat”, dan istilah Customer Value (nilai pelanggan) bagi Coorporate menjadi “ Public Value (Nilai Public)” bagi organisasi pemerintah(Institusi Publik). Seperti yang dikatakan oleh De-Joung (2011)  Nilai publik adalah Nilai Tambah kepada “Klien”serta kepada Public secara umum, melalui imajinasi manejerial dan aktifitas entrepreneur. Selanjutnya Moore (1995) mengatakan bahwa Pengertian Nilai public adalah:

1.    Nilai publik mengacu pada nilai yang diciptakan oleh pemerintah melalui peraturan layanan, hukum dan tindakan lainnya.

2.    Dalam demokrasi nilai ini pada akhirnya ditentukan oleh masyarakat sendiri. Nilai ditentukan oleh preferensi warga, diungkapkan melalui berbagai sarana dan dibiaskan melalui keputusan politisi yang terpilih. Kemudian bagian dari makalah ini merangkum berbagai bukti tentang persepsi publik dan preferensi

Beberapa Indikator dari terpenuhinya nilai Publik disampaikan   oleh De-Joung (2011) antara lain sebagai berikut:

1.    Keluhan lebih sedikit

2.    Klien lebih Puas

3.    Muncul klien-klien baru.

4.    Staf lebih senang dan lebih Produktif.

5.    Misi yg diperbaharui

6.    Operasi lebih efektif

7.    Konsentrasi pada Pemecahan Masalah

Jika kita coba merujuk kepada Nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945, maka beberapa Indikator terpenuhinya nilai public antara lain adalah:

a.    Perlindungan, keamanan dan ketertiban

b.    Mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan

c.    Kemakmuran dan kesejahteraan

d.    Medapatkan Pekerjaan dan penghidupan yang layak

e.    Kebebasan bekumpul dan menyampaikan pendapat

f.     Tanggungan hidup bagi orang miskin dan anak terlantar

g.    Hak-hak demokrasi.

h.    Dan lain-lain.

Adanya pemahaman yang keliru tentang istilah Nilai Publik dan manajemen public secara umum, yang mengatakan bahwa Manajemen Publik terlalu liberal dan tidak berpihak kepada rakyat, dan pendapat yang mengatakan bahwa Nilai Publik = Nilai Pelanggan = nilai private, dan Manajemen Publik adalah Gaya Manajemen Liberal yang baru (NeoLib). Hal ini telah dibantah oleh De-Joung (2011) dengan mengatakan “Pebedaan yang tegas antara Nilai Publik dengan  Nilai Swasta/private,  minimal dalam 2 hal yaitu:

1.    Nilai Publik tidak hanya kepuasan konsumen, tetapi juga menegakkan peraturan-peraturan yg mengikat keluar dan kedalam, Kadang kadang orang tidak senang dengan apa yang dilakukan pemerintah (sebagai konsekwensi logis dari penegakan aturan..), namun hal ini termasuk dalam Esensi Nilai Publik.

2.    Kinerja sektor Publik tidak cukup dengan Kepuasan pelanggan saja, kita harus memenuhi need and wants Publik, Penegakan hokum, disenangi  atau tidak disenangi termasuk kedalam Publik Need and Publik Wants , dan kita melibatkan semua pihak yang terkait dengan orang yang menghasikakan nilai publik”

Sesungguhnya Nilai Publik harus menjadi Indikator dari setiap kebijakan, seperti Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dapat dijadikan indikator-indikator atas kebijakan dalam program Pengentasan Kemiskinan dan pengurangan angka pengangguran. Konsep nilai publik memberikan cara yang berguna untuk berpikir tentang tujuan dan kinerja kebijakan publik. Ini memberikan tolok ukur untuk menilai kegiatan yang dihasilkan atau didukung oleh pemerintah (termasuk jasa yang didanai oleh pemerintah, tetapi disediakan oleh badan-badan lain seperti perusahaan-perusahaan swasta dan non-profit, serta peraturan pemerintah), Moore (1995).

Nilai publik bertujuan untuk memberikan tolok ukur yang sama untuk menilai kinerja dalam sektor publik. Di beberapa daerah ada tumpang tindih substansial dengan nilai pribadi. Namun kebijakan yang paling umum dan lembaga memiliki tujuan ganda dengan 'bottom line-' ada satu. Faktor-faktor yang membuat nilai publik lebih rumit daripada rekan sektor swasta harus diakui dan dikelola, bukan dihindari. Tidak diragukan lagi kesamaan antara nilai di sektor publik dan swasta, tetapi, seperti yang dibahas dalam bagian 2 di bawah ini, teori manajemen publik baru-baru ini sering terfokus pada mereka dengan mengorbankan perbedaan yang signifikan(Moore dan Khagram (2011)

Dalam pemahaman yang sederhana Nilai Publik dapat dimisalkan sebagai berikut:

·         Jika seorang Camat mengusulkan kegiatan pengantian lantai ruang kantor dengan jenis keramik yang lebih bagus, dari sisi masyarakat usulan ini tidak ada nilai publiknya, tetapi jika Camat mengusulkan Pengantian Lantai Jembatan Gantung Desa X, usulan ini lebih tinggi Nilai Publiknya, karena menyangkut dengan kemanfaatannya bagi masyarakat jauh lebih besar dibandingkan dengan penggantian lantai kantor camat yang sebenarnya hanya karena alasan prestise.

·         Direktur Rumah Sakit Umum, memprogramkan penggantian Pagar Rumah sakit dengan model yang lebih trend, dari sisi public/pelanggan Nilai Publiknya sangat kecil. Tetapi jiga Direktur memmprogramkan kegiatan penggantian kursi ruang tunggu , dan pengadaan TV di ruang tunggu pasien, program ini tentu mempunyai Nilai Publik yang lebih tingggi.

Kembalilah ke Nilai Publik, jika anda ingin menjadi Pemimpin Strategik di sektor publik (De-joung, 2011).

Mengingat kembali Nilai-nilai publik yang terkandung dalam UUD 1945, dihadapkan dengan kenyataan akan kebijakan-kebijakan yang lahir dari pejabat public saat ini membuat kita menjadi miris dan sedih. Apalagi kebijakan-kebijakan yang lahir di tingkat Pemerintah Lokal, lihat saja kebijakan-kebiajak public yang tertuang dalam APBD Kabupaten/Kota, jumlah biaya oprasional/biaya tidak langsung rata-rata melebihi 50 % dari total anggaran, biaya gedung/kantor, rapat-rapat, perjalanan dinas, honor, kendaraan dinas, studi banding, upacara-upacara, lomba-lomba olahraga antar pejabat-skpd, dan lai-lain. Sama sekali Kebijakan tersebut tidak memiliki “Nilai Publik”. Berkaitan dengan hal ini, ada sinyalemen yang mengatakan: jangan-jangan Pemerintah Daerah hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Walaupun di beberapa Kabupaten/kota masih kita temukan pemimpin publik yang mampu melahirkan kebijakan public yang mempunayi Nilai Publik yang tinggi, yang pada akhirnya terlihat dari peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat di Kab/kota tersebut’

Kemirisan yang sama kita rasakan dalam Praktek-praktek pemerintahan di tingkat bawah, yaitu kecamatan, Desa dan kelurahan. Dalam Pelaksanaan Musrenbang Desa misalnya, rangkaian kegiatan Musrenbang lebih banyak dihabiskan dg pidato, sambutan dan arahan-arahan dari pemerintah, hanya sedikit waktu untuk menyampaikan dan membahas usulan kegiatan, pemimpin rapat hanya membuka dua sessi pertanyaan, kemudian menutup diskusi, lalu hasil Musrengbangdesa disusun sendiri oleh Staf Desa untuk dijadikan bahan Musrenbang Kecamatan, demikian juga halnya dengan Musrenbang Kecamatan. Kondisi tersebut berjalan cukup lama sudah puluhan tahun, membuat masyarakat menjadi apatis, hal ini terlihat dari rendahnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. Apalagi ketika program-program yang dilahirkan oleh pemerintah Daerah dalam proses berikutnya sarat dengan kepentingan dan tidak punya nilai publik sama sekali, akibatnya tingkat kepercayaan  masyarakat terhadap kinerja pemerintah masih berada dititik nadir bawah.

Beberapa penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang siknifikan antara muatan nilai publik dalam kebijakan, terhadap pencitraan intitusi publik dimata masyarakat.

Pada Penelitian yang dilakukan Larasati (2011),ntuk menguji kekuatan hubungan antara nilai publik dan citra institusi,  diketahui bahwa nilai publik mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap citra institusi yang positif, pada Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Terpadu Kota Bandung. Untuk melihat besaran pengaruh dari nilai publik terhadap                     citra institusi dilakukan uji regresi linier sederhana.

Pertanyaan yang muncul saat ini adalah, kenapa perilaku tidak adanya Kebertanggungjawaban public dan langkanya muatan nilai public dalam kebijakan-kebijakan yang diambil, terjadi pada sebagian besar Pejabat Publik di Negeri ini ?

II.      PEMBAHASAN

Setiap Organisasi/perorangan yang mengelola sumberdaya publik, diwajibkan mempertanggungjawabkan alokasi sumberdaya publik yang dikelolanya kepada Publik mereka masing-masing (Konvensi Tokyo, 1985)

Bagaimana mungkin seorang Pejabat Publik yang telah diberi Otoriotas, personil, fasilitas dan pembiayaan oleh Publik, tidak memiliki Nilai-nilai public dalam kebijakan/keputusan yang dikeluarkannya, bagaimana dia akan mempertanggung jawabkan alokasi sumberdaya public yang dikelolanya.

Jawabannya adalah sebagaimana besar “sikap” kebertanggungjawaban public (public accountability) yang dimilikinya,  Public Accountibility bukanlan sebuah pekerjaan, tapi adalah sebuah “Sikap” yang harus dimiliki oleh seorang Pejabat Publik. Fenomena yang kita lihat sekarang masih banyak Pejabat Publik yang tidak memiliki Publik Accountibility dan tidak mengenal Nilai-nilai publik, masih bercokol dan bertahan diposisinya dengan segala cara. Tetapi kita yakin, semakin hari rakyat semakin cerdas untuk memilih orang-orang yang terbaik sebagai Pejabat Publik.

Mereformasi organisasi publik adalah tugas utama bagi Pemerintah saat ini. Untuk mewujudkan reformasi yang berhasil perlu didukung oleh pemahaman, pandangan dan tujuan sama dari para pihak,. Tulisan ini merupakan kontribusi penting untuk proses itu. Ini menunjukkan bahwa konsep "nilai publik" menawarkan cara yang berguna untuk menetapkan tujuan akhir dari reformasi pelayanan publik dan kinerja Pemerintah. Hal ini membuat kasus bahwa nilai publik dapat membantu untuk menghindari pendekatan sempit dan terlalu disederhanakan yang kadang-kadang mendominasi di masa lalu.

Konsep nilai publik memberikan cara yang berguna untuk berpikir tentang tujuan dan kinerja kebijakan publik. Ini memberikan tolok ukur untuk menilai kegiatan yang dihasilkan atau didukung oleh pemerintah (termasuk jasa yang didanai oleh pemerintah, tetapi disediakan oleh badan-badan lain seperti perusahaan-perusahaan swasta dan non-profit, serta peraturan pemerintah), Moore (1995).

Sudah seharusnyalah ukuran-ukuran kelayakan sebuah kegiatan/program yang merupakan kebijakan public yang akan dibiayai dengan alokasi sumberdaya publik/APBD/APBN, menggunakan ukuran-ukuran Nilai Publik, yaitu sebesar apa kemanafaatan kebijakan itu terhadap kepentingan Publik, alat untuk mengukur Indikator nilai public itu dapat menggunakan Kerangka Logis Kegiatan dengan Metode ZOPP.

Dapat dibayangkan berapa banyak Sumberdaya Publik dalam bentuk pembiayaan negara dikeluarkan untuk membiayai Kebijakan Publik yang tidak jelas indikator dan ukurannya, apalagi dalam kebijakan tersebut tertumpang “kepentingan” baik itu Golongan, kelompok maupun pribadi, atau kepentingan kelompok/pribadi yang bertameng “kepentingan publik”, melakukan pembenaran suatu program atas nama ‘Rakyat”.

Konsep nilai publik memberikan tolok ukur yang kasar   untuk mengukur kinerja kebijakan dan lembaga-lembaga publik, membuat keputusan tentang pengalokasian sumber daya dan memilih sistem yang sesuai,Moore dan Khagram (2011).

Dalam perkembangan selanjutnya, new public management meyediakan konsep penataan kembali peran pemerintah dalam pelayanan public, ketika beberapa sector public dimasuki oleh swasta, seperti dalam layanan Prasarana Jalan, Rumah Sakit, Pos, Telekomunikasi, Transportasi udara, Listrik, air minum, layanan media informasi dan lain-lain.

Dalam dua dasawarsa terakhir, ternyata ketika beberapa layanan publik diserahkan pengelolaannya kepada swasta, ternyata swasta lebih mampu memberikan kualitas layanan yang lebih baik, efektif dan murah. Sebut saja misalnya jasa transportasi udara, pos,telekomunikasi dan lain-lain.

Dilihat dari peran potensial pemerintah sebagai generator nilai saat ini telah berubah. Hal ini tidak lagi terjadi bahwa aktivisme pemerintah dianggap tidak mungkin untuk memaksimalkan nilai tambah. Selama tahun 1990-an ada penekanan yang tumbuh dalam tubuh seperti Bank Dunia tentang pentingnya pengaturan tata kelola dalam meningkatkan legitimasi pemerintah, dan kualitas pengambilan keputusan. Pengakuan telah berkembang bahwa, selain berfungsinya pasar dengan baik , demokrasi liberal yang sukses membutuhkan pemerintahan yang kuat dan efektif dapat menjamin perlakuan yang adil, kesempatan yang sama, akses ke berbagai layanan kunci, dan bertindak sebagai pelayan dari para pelayan, Moore dan Khagram (2011).

Menciptakan Nilai Publik dapat dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dalam perumusan kebijakan yang memiliki atau tidak memiliki nilai Publik, tetapi dalam memilih alternative kebijakan Publik yang akan dibiayai, Tidak ada hubungan sistematis antara berbagai tingkat belanja publik (30%, 40% atau 50%) dan bangsa peringkat kredit dan daya saing: masalah utama adalah seberapa baik sumber daya publik dibelanjakan. Misalnya: 10 milyar digunakan untuk GOR, lebih punya nilai Publik jika digunakan 7 Milyar untuk modal UKM. Kedua kibijakan sama-sama penting, tetapi Urgensi, tingkat kegawatan masalah dan Tingkat resiko atas pembiaran jika tidak ditangani akan menentukan pilihan-pilihan kebijakan tersebut. Dalam pembahasan tentang alasan-alasan pemilihan inilah sering terjadi “bias” karena adanya kepentingan yang menumpang dan bukan merupakan kepentingan Publik.

Moore (1995) mengatakan,” Preferensi publik adalah jantung dari nilai publik. Dalam demokrasi hanya masyarakat dapat menentukan apa yang benar-benar bernilai bagi mereka. Apa yang dijelaskan Mark Moore diatas adalah suatu keharusan, namun dalam praktek Kepemerintah sehar-hari selalu saja ukuran keberadaan nilai public itu ditetapkan sepihak oleh pemerintah, sering terjadi perbedaan persepsi, sehingga terjadi komplain dari masyarakat dalam bentuk protes dan demo, misalnya dalam penetapan Nilai ganti rugi tanah pemerintah mengambil dasar dari NJOP dan tidak mampu menghadirkan bukti transaksi tahun terakhir jual beli tanah di zona yang sama, dengan alasan resiko hukum, ditetapkanlah Nilai Ganti rugi yang jauh dibawah harga pasar.

Selanjutnya Moore(1995)  mengatakan “ Preferensi masyarakat terbentuk secara sosial dalam keluarga, antara teman-teman dan debat publik. Sebuah tradisi panjang pemikiran politik mencapai kembali ke Plato, melalui de Tocqueville untuk komentator kontemporer seperti Robert Reich dan Michael Sandel menyatakan bahwa keterlibatan warga negara dalam urusan publik yang diinginkan justru karena tantangan dan perubahan preferensi yang mendasari”.

Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa arogansi pejabat publik, berbagai kepentingan, kondisi yang terdesak, akhirnya pemerintah “melawan” preferensi yang selama ini telah timbul di masyarakat, terjadilah masalah baru yaitu “keberpihakan”.

Literatur kegagalan pemerintah berargumen bahwa politisi dan badan-badan publik bisa merusak nilai untuk berbagai alasan termasuk miskin informasi tentang preferensi warga, kepentingan diri dan rent-seeking, perilaku pejabat publik, penangkapan lembaga publik oleh kelompok-kelompok kepentingan yang sempit dan kurangnya insentif bagi lembaga-lembaga publik untuk bertindak efisien atau responsif terhadap kebutuhan warga (Talbot, 2006)

Preferensi juga tergantung pada perilaku yang lain. Sebagai contoh, seseorang mungkin mendukung pergeseran ke sistem transportasi umum yang berbeda selama anggota lain dari masyarakat juga mendukung dan bersedia untuk menggunakannya. Menurut Talbot (2006) Preferensi saling tergantung jenis ini umum di banyak bidang kebijakan publik dan perlu diselesaikan melalui prosedur kolektif yang memungkinkan aspirasi bersama untuk dibentuk, diungkapkan dan diberi legitimasi. Pemerintahan yang baik mensyaratkan warga negara dan wakil-wakil mereka untuk terus merevisi nilai-nilai bersama dan tujuan melalui proses musyawarah masyarakat.

Beberapa penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang siknifikan antara muatan nilai publik dalam kebijakan terhadap pencitraan intitusi publik dimata masyarakat. pada Penelitian yang dilakukan Larasati (2011)Untuk menguji kekuatan hubungan antara nilai public dan citra institusi,  diketahui bahwa nilai publik mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap citra institusi yang positif. Dari penelitian diatas dapat kita simpulkan bahwa tingkat kepercayaan Masyarakat dan pencitraan organisasi pemerintah kepada masyarakat dapat dibangun dengan menyelusuri kembali keberadaan Nilai-nilai Publik dala setiap kebijakan public yang telah, sedang dan akan dikeluarkan oleh Pemerintah, baik dlam bentuk Perda, Perbup/wako, SK Bupati/Wako, program, kegiatan dan aktivitas lainnya.

Sebagai contoh dapat kita ikuti kebijakan Publik yang diambil Pemprop DKI Jakarta, ketika Memutuskan pembenahan/penertiban Kawasan Pasar Tanah Abang dari pedagang kakki lima, keputusan itu mendapat penentangan dan reaksi menolak dari beberapa pihak yang berpengaruh, tetapi karena Keputusan/kebijakan tersebut diketahui semua orang mempunayi ‘nilai public” yang tinggi, yang juga menjadi dambaan semua warga, akhirnya kebijakan tersebut didukung penuh oleh para pihak dan berhasil mewujudkan Kawasan Tanah Abang seperti sekarang ini. Dampak lain dari kebijakan yg penuh dengan muatan  nilai publik ini, telah meningkatkan Pencitraan publik terhadap Pemprop DKI Jakarta.

Kembali kepada masalah “Kebertangungjawaban Publik” Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa sampai hari ini banyak Pejabat Publik kita yang tidak mengenal dan tidak memahami secara utuh tentang Nilai Publik, yang sehari-hari menjadi indicator dari kinerja kebijakan memerka, sehingga tidak munculnya sikap Kebertanggungjawaban public.

Ketidaktahuan akan konsep Publik Manajemen, tidak terbangunnya organisasi pembelajar dijajaran lembaga pemerintah dan sikap arogansi serta gaya manajemen yang tertutup, membuat banyak pejabat pemerintah tidak mengenal Konsep Publik Manajemen, apalagi untuk memperlakukan warganya sebagai “Pelanggan” (Meynhardt, 2009)[2]

Alasan ketidak pahaman Pejabat Publik kita tentang konsep Publik Manajemen dan Ketatapemerintahan yang baik juga disebabkan latar belakang pendidikan yang masih rendah (SLTA ,Sarjana Muda dan Sarjana ) dibandingkan dengan Konsep dan teori serta wawasan yang harus dikuasainya, walaupun diberikan Pelatihan dan Pembekalan yang cukup. Hal ini dapat dilhat dari data Badan/pusat/lembaga/balai diklat yang telah menghadirkan ribuan alumni Diklat Struktural dan Teknis Fungsioanal, namun dari evaluasi pasca alumni yang dilakukan tidak terjadi peningkatan kinerja yang signifikan.

Upaya terbaik dan lebih efektif adalah mempersyaratkan penguasaan Kompetensi Publik Manajemen dan pemahaman akan Nilai Publik, bagi setiap Calon Pejabat Publik yang akan dipilih, maupun yang akan di tunjuk, seperti prasyarat kompetensi yang harus dikuasai yang bersangkutan dalam Fit and Proper Test dan pada Lelang Jabatan Publik.

III.   P E N U T U P

Beradasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, betapa pentingnya Penahaman tentang apa itu Nilai Publik bagi seorang Aparatur dan Pejabat Pemerintah, kita telah hampir melupakan keberadaan nilai publik dala kebijakan-kebijakan yang kita ambil. Kebalilah ke nilai public, jika anda ingin menjadi Pemimpin di sector public (De-Joung, 2011).

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun1945 secara tersirat telah mengamanahkan keharusan untuk memuat Nilai-nilai Publik danlam setiap Kebijakan Publik di Negara ini, namun arogansi, kepentingan dan ketidak pahaman dari pada pejabat public dan penyelenggara Negara, mengakibatkan lahirnya Kebijakan-kebijakan Publik yang tidak memiliki nilai publik, ironisnya Kebijakan-kebijakan public tersebut tetap digaungkan atas nama kepentingan rakyat.

Kenyataan tersebut diatas dapat diliihat misalnya dari: Komposisi belanja pada APBD Kab/Kota untuk biaya langung (public) dan biaya tidak langsung, proyek proyek mercusuar seperti GOR, Gedung Pemerintah, fasilitas pejabat, dan sebagainya yang dibiayai dari alokasi sumberdaya publik.

Sesungguhnya Nilai Publik harus menjadi Indikator dari setiap kebijakan, seperti Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dapat dijadikan indikator-indikator atas kebijakan dalam program Pengentasan Kemiskinan dan pengurangan angka pengangguran. Konsep nilai publik memberikan cara yang berguna untuk berpikir tentang tujuan dan kinerja kebijakan publik. Ini memberikan tolok ukur untuk menilai kegiatan yang dihasilkan atau didukung oleh pemerintah (termasuk jasa yang didanai oleh pemerintah, tetapi disediakan oleh badan-badan lain seperti perusahaan-perusahaan swasta dan non-profit, serta peraturan pemerintah), Moore (1995).

Salah satu penyebab atas sedikitnya muatan nilai public dalam kebijakan-kebijakan public, terutama di jajaran Pemerintah Daerah adalah: ketidak tahuan, ketidak menegrtian, ketidak fahaman dan ketidak pedulian tentang apa itu nilai public dan berapa pentingnya dalam muatan kebijakan publik yang selama ini mereka keluarkan.

Sosialisasi, pelatihan, seminar dan wacana tentang Nilai Publik yang diikuti para pejabat public baik eksekutif maupun legislative, tenyata belum mampu meberikan perubahan yang signifikan terhadap kualitas kebijakan public yang dihasilkan.

Upaya terbaik dan lebih efektif adalah mempersyaratkan penguasaan Kompetensi Publik Manajemen dan pemahaman akan Nilai Publik, bagi setiap Calon Pejabat Publik yang akan dipilih, maupun yang akan di tunjuk, seperti prasyarat kompetensi yang harus dikuasai yang bersangkutan dalam Fit and Proper Test dan pada Lelang Jabatan Publik.

Pada bagian penutup ini kami mengutip apa yang di muat dalam naskah penutupan UUD 1965 yang berbunyi “………akhirnya tergantung dari semangat, sekali lagi semangat dari para penyelenggara Negara….”. Semoga tulisan singkat ini ada manfaanya bagi kita semua, aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bryson, John M     (1985), Strategig Planning for Public and Non Profit Organisation, San Francisco; Jossey-Buss Publishers.

2. Benington J and Moore M (editors) (2010, in press): Public Value: Theory and Practice, London, Palgrave.

3. Bozeman, B. (2007). Public Values and Public Interest: Counterbalancing Economic Individualism. Washington, D.C.: Georgetown University Press

4. Costin,  Harry(1998), Reading Strategi and Strategig Planning, Orlando, The Dridan Press.

5. Constable, S., Passmore, E. & Coats, D. (2008) Public value and local accountability in the NHS.  A report prepared for Monitor.  Work Foundation.

6. De Jong, Jorrit (2011), Strategig Leadership for Public Value, Ash Center HKS; Cambridge, MA, Harvard University Press.

7. Lembaga Administrasi Nagara (LAN) RI,(2008) AKIP dan Pengukuran Kinerja, Modul Diklat Kepemimpinan Tingkat III, LAN  RI.

8. Larasati, Diah,(2011) Pengaruh Nilai Publik Terhadap Citra Institusi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran.

9. Moore, M. (1995) Creating Public Value: Strategic management in government, Cambridge, MA, Harvard University Press.

10.Meynhardt, T. (2009). Public Value Inside: What is Public Value Creation? International Journal of Public Administration, 32 (3-4), 192–219.

11. Meynhardt, T. und Bartholomes, S. (2011). (De)Composing Public Value: In Search of Basic Dimensions and Common Ground. International Public Management Journal, 14 (3), 284–308.

12.Talbot, C. (2006). Paradoxes and prospects of 'Public Value. Paper presented at Tenth International research Symposium on Public Management, Glasgow.