Bagaimana ajaran gereja dan kitab suci tentang hukuan mati

Dear team Katolisitas
Saya dengar gereja Katolik sangat menentang penjatuhan pidana mati. Mohon diuraikan ajaran resmi tentang hal ini. Thanks GBU.

Dave

Jawaban:

Shalom Dave,

Tentang hukuman mati, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

KGK 2267    Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi untuk membela kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia, maka yang berwewenang harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia.

Sedangkan terjemahan revisi final Katekismus dalam bahasa Inggris menuliskan tentang KGK 2267 demikian:

“Assuming that the guilty party’s identity and responsibility have been fully determined, the traditional teaching of the Church does not exclude recourse to the death penalty, if this is the only possible way of effectively defending human lives against the unjust aggressor. If, however, non-lethal means are sufficient to defend and protect people’s safety from the aggressor, authority will limit itself to such means, as these are more in keeping with the concrete conditions of the common good and more in conformity with the dignity of the human person. Today, in fact, as a consequence of the possibilities which the state has for effectively preventing crime, by rendering one who has committed an offense incapable of doing harm – without definitely taking away from him the possibility of redeeming himself – the cases in which the execution of the offender is an absolute necessity “are very rare, if not practically non-existent.“

Tambahan penjelasan dalam KGK 2267 tersebut diambil dari Surat Ensiklik Evangelium Vitae (EV) 56:

Point 1. “Adalah jelas bahwa untuk tercapainya maksud- maksud ini, kodrat dan tingkat hukuman (the nature and extent of the punishment) harus dengan hati- hati dievaluasi dan diputuskan, dan tidak boleh dilaksanakan sampai ekstrim dengan pembunuhan narapidana, kecuali dalam kasus- kasus keharusan yang absolut: dengan kata lain, ketika sudah tidak mungkin lagi untuk melaksanakan hal lain untuk membela masyarakat luas.”

Point 2: “Namun demikian, dewasa ini, sebagai hasil dari perkembangan yang terus menerus dalam hal pengaturan sistem penghukuman, kasus- kasus sedemikian (kasus- kasus yang mengharuskan hukuman mati) adalah sangat langka, jika tidak secara praktis disebut sebagai tidak pernah ada.”

Berikut ini adalah teks selengkapnya Evangelium Vitae, paragraf no 56:

56. This is the context in which to place the problem of the death penalty. On this matter there is a growing tendency, both in the Church and in civil society, to demand that it be applied in a very limited way or even that it be abolished completely. The problem must be viewed in the context of a system of penal justice ever more in line with human dignity and thus, in the end, with God’s plan for man and society. The primary purpose of the punishment which society inflicts is “to redress the disorder caused by the offence”.46 Public authority must redress the violation of personal and social rights by imposing on the offender an adequate punishment for the crime, as a condition for the offender to regain the exercise of his or her freedom. In this way authority also fulfils the purpose of defending public order and ensuring people’s safety, while at the same time offering the offender an incentive and help to change his or her behaviour and be rehabilitated. 47

It is clear that, for these purposes to be achieved, the nature and extent of the punishment must be carefully evaluated and decided upon, and ought not go to the extreme of executing the offender except in cases of absolute necessity: in other words, when it would not be possible otherwise to defend society. Today however, as a result of steady improvements in the organization of the penal system, such cases are very rare, if not practically non-existent.

In any event, the principle set forth in the new Catechism of the Catholic Church remains valid: “If bloodless means are sufficient to defend human lives against an aggressor and to protect public order and the safety of persons, public authority must limit itself to such means, because they better correspond to the concrete conditions of the common good and are more in conformity to the dignity of the human person”.48

Dengan demikian prinsip yang dipegang oleh Gereja Katolik, seperti yang diajarkan oleh Paus Yohanes Paulus II adalah: sedapat mungkin digunakan cara- cara penghukuman yang lain selain hukuman mati, karena di tengah- tengah ‘culture of death‘ yang marak terjadi di dunia dewasa ini, perlu diteguhkan pentingnya makna hidup manusia, termasuk hidup para narapidana. Paus mengatakan, di jaman ini, “Masyarakat modern mempunyai banyak cara untuk menekan tingkat kriminalitas dengan efektif dengan menyebabkan para narapidana menjadi tidak berbahaya, tanpa perlu menolak memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri.” (EV, 27)

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas. org

Gereja Katolik secara resmi mengubah pengajaran dengan memutuskan bahwa mereka menentang hukuman mati dalam kasus apapun.

Selama berabad-abad sebelumnya, Gereja Katolik yang memiliki umat sekitar 1,2 miliar di seluruh dunia mengatakan hukuman mati bisa dibenarkan dalam beberapa kasus tertentu.

Namun posisi tersebut mulai berubah di bawah kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II yang meninggal tahun 2005.

Vatikan mengatakan sekarang mereka mengubah katekese universal, yang merupakan pedoman ajaran Katolik, untuk mendukung posisi Paus yang sekarang Fransiskus yang menentang hukuman mati untuk kasus apapun.

Ajaran baru ini mengatakan kebijakan sebelumnya sudah kuno dan ada cara lain untuk melindungi keselamatan bersama, dan gereja harus mengkonsentrasikan diri untuk menghilangkan hukuman mati.

Aturan tersebut sudah disetujui bulan Maret lalu namun baru diumumkan oleh Gereja hari Kamis (2/8/2018).

Pendapat gereja yang baru ini diperkirakan akan mendapat penentangan keras dari warga Katolik di negeri seperti Amerika Serikat dimana banyak warga Katolik di sana mendukung hukuman mati.

Hukuman mati sudah banyak dihapuskan di sebagian besar negara Eropa dan Amerika Selatan, namun masih digunakan di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara Asia, Afrika, dan Timur Tengah termasuk Indonesia.

Sebagai tambahan, minggu ini, Presiden Turki Tayyip Erdogan mengatakan Turki akan memberlakukan hukuman mati lagi, yang sebelumnya dihapus di tahun 2004 sebagai bagian dari usaha menjadi bagian dari Uni Eropa.

Paus Fransiskus sudah mengumumkan niatnya mengubah pengajaran gereja mengenai hukuman mati bulan Oktober lalu, ketika peringatan 25 tahun penerbitan Katekese dengan mengatakan dia bermaksud memperbaiki pengajaran yang ada.

Lembaga HAM Amnesty International, yang sudah lama memperjuangkan larangan penerapan hukuman mati di seluruh dunia menyambut baik keputusan gereja sebagai 'langkah maju yang penting.'

"Di masa lalu, gereja Katolik sudah menyampaikan pandangan menentang hukuman mati, namun pernyataan yang masih abu-abu." kata Riccardo Noury, juru Amnestty di Italia.

"Hari mereka mengatakannya dengan lebiih jelas."

Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini

Reuters/AP

Enam orang terpidana mati kasus narkoba telah dieksekusi oleh pasukan Brimob pada hari Minggu (18/1/2015) dini hari, di dua lokasi yaitu Nusa Kambang dan Boyolali. Pro dan kontra sejak sebelum dan sesudah hari “H” terus berdengung. Kelompok pegiat HAM dan kelompok ormas lainnya mengecam keras pemerintahan Jokowi. Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) termasuk ormas yang menolak hukuman mati. Dalam siaran persnya (18/1/15) ISKA menyebutkan, ada dua hal dasar yang digunakan dalam penolakan hukuman mati, yakni dari sudut HAM bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) dan setiap orang berhak atas hidupnya (Hak Azasi Manusia). Dasar yang kedua adalah Pasal 28A UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Lalu bagaimana sesunggunya pandangan atau ajaran Gereja Katolik tentang hukuman mati? Banyak literatur yang membahas ajaran Gereja Katolik tentang hukuman mati. Berikut ini kami paparkan tulisan Pater William P. Saunders (catholicstraightanswers.com) tentang hukuman mati dan ajaran Gereja.

William P. Saunders

Pada bulan Juni 1997, juri menyatakan Timothy McVeigh bersalah atas pengeboman Oklahoma City dan ia dijatuhi hukuman mati. Sebenarnya ia telah dieksekusi pada tanggal 16 Mei 2001 yang lalu, tetapi karena FBI menemukan dokumen-dokumen baru, eksekusi ditunda. Sepanjang masa itu, saya membaca dan juga mendengar banyak pernyataan pro dan kontra mengenai hukuman mati. Bagaimana sebenarnya ajaran Gereja mengenai hukuman mati?
~ seorang pembaca di Springfield

Masalah hukuman mati sungguh merupakan suatu topik yang tak henti-hentinya diperdebatkan di seluruh dunia. Bagi umat Katolik, masalah ini terlebih lagi problematis oleh karena ajaran Gereja mengenai kekudusan hidup manusia dan martabat manusia, yang sepintas lalu tampaknya menentang tindakan mengakhiri hidup manusia. Namun demikian, hak untuk hidup merupakan dasar dari kewajiban untuk melindungi serta memelihara hidup diri sendiri, “Cinta kepada diri sendiri merupakan dasar ajaran susila. Dengan demikian adalah sah menuntut haknya atas kehidupannya sendiri. Siapa yang membela kehidupannya, tidak bersalah karena pembunuhan, juga apabila ia terpaksa menangkis penyerangannya dengan satu pukulan yang mematikan” (Katekismus Gereja Katolik, No. 2264).

Prinsip yang sama berlaku pula bagi negara dalam melaksanakan kewajibannya. Pertama, negara memiliki kewajiban untuk menjaga keselamatan orang banyak dan melindungi warganya dari malapetaka. Sebab itu, negara dapat menyatakan dan memaklumkan perang melawan penyerang dari luar komunitasnya sama seperti individu memiliki hak yang sah untuk mempertahankan diri.

Kedua, negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menjatuhkan hukuman yang adil kepada individu-individu yang melakukan tindak kejahatan dan mengancam kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, keadilan menuntut bahwa suatu hukuman haruslah sepadan dengan kejahatan – hukuman harus proporsional dengan luka yang diakibatkan kejahatan. Hukuman yang demikian tidak hanya sekedar “mata ganti mata, gigi ganti gigi”; tetapi, suatu hukuman yang adil berusaha memulihkan keadaan damai yang terluka oleh kejahatan. Dengan demikian, hukuman menuntut ganti rugi yang sepadan, tindak pencegahan dan perbaikan diri.

Sebagai bentuk ganti rugi, hukuman secara khusus memulihkan kembali tata keadilan yang telah dilanggar oleh pelaku kejahatan. Sebagai contoh, jika pelaku kejahatan mencuri sesuatu, maka harus diberikan ganti rugi, misalnya dengan mengembalikan barang yang dicuri atau melakukan bentuk pembayaran lainnya. Pelaku juga dapat dikenai sanksi pencabutan atas hak-hak tertentu, misalnya dengan kurungan atau denda. Ganti rugi yang adil berusaha menyembuhkan luka yang diakibatkan oleh kejahatan dan mengembalikan tata keadilan.

Sejalan dengan pemikiran ini, hukuman sepatutnya mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang. Jika keadilan dilaksanakan dengan adil dan segera, maka hukuman tertentu untuk tindak kejahatan tertentu seharusnya mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang baik oleh pelaku kejahatan itu sendiri maupun orang lain. Hukuman seharusnya tidak hanya sekedar melindungi masyarakat dari suatu tindak kejahatan tertentu, melainkan juga menjauhkan pelaku kejahatan dari tindak kejahatan yang sama di masa mendatang.

Pada akhirnya, hukuman yang dijatuhkan atas seorang pelaku kejahatan haruslah membangkitkan motivasi dalam dirinya untuk memperbaiki diri. Penjahat yang dijatuhi hukuman diharapkan tergerak untuk melihat jalannya yang salah, bertobat dan kemudian mengubah hidupnya.

Hukuman yang adil berusaha menyeimbangkan ketiga perspektif ini: ganti rugi, pencegahan dan perbaikan diri. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam menerapkan hukuman yang demikian, negara harus menjamin sebaik mungkin bahwa terdakwa diadili dengan adil dan bahwa hanya otoritas yang sah saja yang dapat menjatuhkan sanksi.

Sesuai dengan cara pandang ini, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang sejarah mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari kekuasaan politik yang sah, menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tanpa mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang serius” (No. 2266).

Dalam pernyataan ini, Katekismus mengakui bahwa pelaksanaan hukuman mati merupakan bagian dari “ajaran turun-temurun Gereja,” seperti dibuktikan, terutama sekali, dalam Kitab Suci. Sebagai contoh, hukum Perjanjian Lama mengijinkan pelaksanaan hukuman mati untuk dosa-dosa berat: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej 9:6) dan “Siapa yang memukul seseorang, sehingga mati, pastilah ia dihukum mati. Apabila seseorang berlaku angkara terhadap sesamanya, hingga ia membunuhnya dengan tipu daya, maka engkau harus mengambil orang itu dari mezbah-Ku, supaya ia mati dibunuh” (Kel 21:12, 14).

Tetapi, kejahatan berat dalam Perjanjian Lama meliputi bukan hanya pembunuhan yang direncanakan, melainkan juga penculikan, tindakan mengutuk atau memukul orangtua, sihir, sodomi, tindakan biadab, dan penyembahan berhala. Dosa-dosa demikian teramat keji dalam pandangan Tuhan dan amat membahayakan baik kesejahteraan rohani maupun kesejahteraan jasmani masyarakat hingga keadilan mengamanatkan hukuman mati sebagai ganjaran yang setimpal. Tata keadilan hanya dapat dipulihkan kembali melalui hukuman mati terhadap pelaku kejahatan.

Perlu diingat bahwa meski Perjanjian Lama mencatat daftar berbagai kejahatan berat, namun demikian Perjanjian Lama sungguh berbicara mengenai belas kasih Allah. “Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup” (Yeh 33:11). “Supaya ia hidup” walau pernyataan itu mungkin tidak terlalu dititik-beratkan pada hidup jasmani, melainkan lebih pada hidup rohani, yaitu agar orang berdosa yang bertobat dapat terhindar dari hukuman abadi di neraka. Di samping itu, pengamalan belas kasih haruslah menjamin pulihnya kembali kedamaian, sebab tidak akan ada belas kasih apabila masyarakat hidup dalam ketakutan karena seorang penjahat besar yang tak bertobat.

Patut disimak juga bahwa Pontius Pilatus memaklumkan hukuman mati atas Tuhan kita dan memerintahkan penyaliban-Nya. Tetapi, tak didapati di mana pun dalam Perjanjian Baru hak negara untuk menjatuhkan hukuman mati atas seorang penjahat.

Dalam mencermati ayat-ayat di atas, walau tak banyak, orang jangan lupa bertanya apakah tujuan dan kewajiban negara untuk melindungi masyarakat dari kejahatan-kejahatan yang demikian dan dari para pelaku tindak kejahatan yang demikian itu dapat dilaksanakan pada masa kini dengan cara yang berbeda, tetapi dengan suatu cara yang menghasilkan hasil akhir yang sama? Dapatkah negara menjunjung tinggi hukum, menguasai penjahat, melindungi masyarakat, memulihkan keadilan dan mencegah kejahatan di masa mendatang, tetapi dengan menghindarkan hukuman mati?

Lebih jauh St Thomas Aquinas menguraikan hak negara dalam menjatuhkan hukuman mati kepada seorang penjahat. Demi melindungi masyarakat, hukuman mati dapat dilaksanakan guna menghukum “sampar masyarakat,” yaitu orang-orang yang dengan bebas dan sukarela memilih untuk melakukan suatu tindak kejahatan berat. St Thomas Aquinas menegaskan bahwa melalui dosa, manusia menyimpang dari akal budinya dan jatuh dari martabatnya sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar dan citra Allah. Beberapa tindak kejahatan begitu brutal hingga orang bertanya, “Manusia macam apakah yang dapat melakukan tindak kejahatan demikian itu?” Seorang yang melakukan suatu tindak kejahatan yang berat, menurut St Thomas, bahkan lebih mengerikan daripada bintang buas yang ganas dan bahkan jauh lebih berbahaya dari itu, sebab ia dapat merusak individu-individu lainnya dan mencelakai masyarakat. Terkadang, beberapa individu telah begitu dipenuhi kejahatan, buta akan kebenaran dan kebajikan, dan tanpa penyesalan atas tindak kejahatan yang mereka lakukan, hingga, seperti dikemukakan St Thomas Aquinas, mereka harus disingkirkan secara permanen dari masyarakat. Sama seperti suatu organ yang terinfeksi atau terjangkit penyakit menular harus dibuang demi memelihara kesehatan seluruh tubuh, demikian pula seorang yang berbahaya atau merupakan sampar masyarakat dapat dieksekusi daripada merusakkan atau mendatangkan celaka bagi masyarakat. (Cf Summa Theologiae, II-II, 64, 1.)

Di sini, St Thomas Aquinas membuat pembedaan penting antara “sampar masyarakat” dengan “seorang yang tak bersalah,” dan pembedaan ini terus berlanjut dalam ajaran Katolik yang sekarang. Kehidupan manusia adalah sungguh kudus dalam segala bentuknya dan dalam segala masa; seorang manusia yang tak bersalah memiliki hak yang kudus dan tak dapat diganggu gugat untuk hidup. Gereja dengan cermat menggaris-bawahi hak yang tak dapat diganggu gugat dari “kehidupan yang tak bersalah” ini. Dalam Declaratio de Euthanasia (1980) Gereja menegaskan, “Harus ditandaskan sekali lagi bahwa tak sesuatupun dan tak seorang pun dapat memberi hak mematikan manusia yang tak bersalah, entah menyangkut fetus atau embrio, anak atau orang dewasa, orang lanjut usia, orang sakit yang tak tersembuhkan atau orang yang sedang akan meninggal.” Dalam Declaratio de abortu procurator (1974) Gereja memaklumkan, “Hukum ilahi dan akalbudi kodrati dengan demikian menyisihkan hak untuk direk membunuh manusia yang tak bersalah.” Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Evangelium Vitae menyatakan, “kami meneguhkan bahwa pembunuhan langsung dan sengaja manusia yang tak bersalah selalu merupakan pelanggaran moril yang berat” (No. 57). Katekismus Gereja Katolik, dengan mengutip “Donum vitae,” mengajarkan, “Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: tidak ada seorang pun boleh berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah” (No. 2258).

Tetapi, dalam tradisi ajaran Gereja, apabila seseorang secara sukarela dan bebas melakukan suatu tindak kejahatan yang berat, ia tak lagi dapat dianggap sebagai `seorang yang tak bersalah,’ melainkan sebagai “seorang penyerang yang tidak adil.” Apabila ia dinilai sebagai ancaman bagi masyarakat secara keseluruhan, ia dapat dijatuhi hukuman penjara, dan bagi tindak kejahatan yang sungguh teramat berat, ia dapat dicabut hak hidupnya dalam masyarakat ini, pada masa ini, pada waktu ini, dan dieksekusi. Sama seperti seseorang berhak mengakhiri hidup orang lain sebagai upaya terakhir untuk melindingi hidupnya sendiri atau hidup orang lain, sama seperti negara berhak memaklumkan perang sebagai upaya terakhir untuk melindungi diri, demikian pula negara, sebagai upaya terakhir (“satu-satunya cara yang mungkin”), berhak malaksanakan hukuman mati untuk melindungi warganya dari penyerang yang tidak adil.

St Thomas juga mengajukan argumentasi bahwa hukuman mati dapat dipergunakan pula untuk mencegah tindak kejahatan di masa mendatang, “Singkirkan dia secara permanen dari masyarakat dan kirimkan kepada Tuhan untuk pengadilan ilahi, maka si penjahat tak akan pernah mencelakai orang lagi.” St Thomas Aquinas menegaskan bahwa jika masyarakat yang baik “dilindungi dan diselamatkan dengan membunuh yang jahat, maka yang jahat dapat secara sah dijatuhi hukuman mati.” Di samping itu, eksekusi terhadap seorang penjahat juga akan mencegah yang lain untuk melakukan tindak kejahatan serupa.

Akhirnya, menurut St Thomas, hukuman mati dapat mengilhami perbaikan diri: penjahat yang dijatuhi hukuman mati, menghadapi akhir hidupnya yang segera tiba, dan sadar bahwa ia akan dihadapkan ke pengadilan Allah, diharapkan akan tergerak hatinya untuk bertobat.

Berdasarkan pemahaman di atas, Gereja Katolik pada prinsipnya menjunjung tinggi hak negara untuk melaksanakan hukuman mati atas penjahat-penjahat tertentu, tetapi sekali lagi, “Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi, untuk membela kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia, maka yang berwenang harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia” (No. 2267).

Sesungguhnya sekarang ini, sebagai konsekuensi kemungkinan di mana negara demi mencegah kejahatan secara efektif dengan menjadikan pelaku tindak kejahatan tidak lagi dapat mencelakai – tanpa secara definitif meniadakan kemungkinan ia meloloskan diri – kasus-kasus di mana eksekusi pelaku kejahatan sungguh merupakan suatu kebutuhan yang mutlak, adalah langka sekali, kalau bukannya praktis sudah tidak ada lagi.

Kalimat terakhir di atas dikutip dari ensiklik Paus Yohanes Paulus II “Evangelium Vitae”: “Sudah jelaslah, bahwa supaya tujuan-tujuan itu tercapai, hakekat dan beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan cermat, dan jangan sampai kepada ekstrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila memang mutlak perlu. Dengan kata lain, bila tanpa itu sudah tidak mungkin lagi melindungi masyarakat. Akan tetapi sekarang, sebagai hasil perbaikan-perbaikan terus-menerus dalam penataan sistem hukuman, kasus itu langka sekali, kalau bukannya praktis sudah tidak ada lagi” (No 56). Patut diperhatikan bahwa Bapa Suci telah senantiasa memohon dengan sangat demi keringanan hukuman mati. Walau demikian, beliau tidak mengutuk hak negara untuk menjalankan otoritasnya dalam mengeksekusi seorang penjahat besar, melainkan mempertanyakan apakah negara pernah secara mutlak harus melaksanakan otoritas yang demikian dalam situasi sekarang ini.

Sebab itu, meski Gereja menjunjung tinggi tradisi ajaran yang mengijinkan hukuman mati untuk tindak kejahatan yang berat, tetapi ada beberapa persyaratan serius yang harus dipenuhi guna melaksanakan otoritas tersebut: Apakah cara ini merupakan satu-satunya kemungkinan untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara tidak berdarah lainnya? Apakah dengan demikian pelaku dijadikan “tak lagi dapat mencelakai orang lain”? Apakah pelaku memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Apakah kasus ini merupakan suatu kasus khusus yang menjamin bahwa hukuman yang demikian tidak akan sering dilakukan?

Sekarang, marilah membahas masalah yang dipertanyakan. Pada tanggal 19 April 1995, Timothy McVeigh meledakkan suatu bom dahsyat di depan Murrah Federal Building yang menewaskan 168 orang dan melukai ratusan lainnya. Ia mengakibatkan ketakutan permanen dalam diri keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi. Ia menyebut ke-19 kanak-kanak tak berdosa yang tewas di fasilitas penitipan anak dalam gedung itu sebagai “collateral damage.” Ia tak menunjukkan penyesalan, tak menyatakan maaf ataupun meminta pengampunan. Hingga hari ini [24 Mei 2001], ia menolak untuk naik banding. Sesungguhnya, dalam wawancara baru-baru ini, ia telah mengakui kesalahannya. Ia diadili sebagaimana mestinya dan terbukti bersalah atas suatu kejahatan yang sangat besar yang mendatangkan hukuman mati. Ia dijadwalkan untuk dieksekusi pada tanggal 16 Mei, tetapi pelaksanaan eksekusi ditunda.

Sekarang, mari kita cermati apakah persyaratannya terpenuhi: Apakah hukuman mati merupakan satu-satunya cara yang mungkin untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara tak berdarah lainnya? McVeigh dapat saja dikirim ke salah satu dari penjara state-of-the-art yang baru, seumur hidupnya. Baru-baru ini Negara Bagian Virginia memiliki dua penjara “super maximum” yang baru; satu di Big Stone Gap dan satunya di Pound. Keduanya mampu menampung 1,267 narapidana. Mereka yang dikucilkan dalam komunitas khusus ini akan dikurung secara individual 23 jam sehari dalam suatu sel berukuran 7×12 kaki. Terali jendela akan dipasangi kaca buram sehingga tahanan tak dapat melihat keluar. Ia akan mendapatkan waktu olahraga selama satu jam sehari, yang dilakukannya seorang diri dalam suatu halaman beton yang sempit, yang dikelilingi tembok beton setinggi 12 kaki dan di atasnya dipasangi kawat berduri. Narapidana yang dikucilkan ini tak akan memiliki kelompok aktivitas dan tak mendapatkan program-program pendidikan ataupun kejuruan. Penjahat yang paling besar tak akan mendapatkan bahan-bahan bacaan. Apabila orang diijinkan mengunjunginya, kontak fisik tak akan diperbolehkan. Suatu penjara federal serupa itu ada di Florence, Col. yang terpencil, di mana “Unabomber” Ted Kaczynski dipenjarakan; sejak 4 Mei 1998, ia telah menjalani empat masa hukuman seumur hidup ditambah 30 tahun penjara untuk serangkaian bom surat yang menewaskan tiga orang dan melukai lebih dari 20 orang lainnya selama 17 tahun masa teror. Kenyataan-kenyataan tersebut di atas memang sungguh mengerikan, tetapi efektif. Walau demikian orang harus bertanya apakah fasilitas yang demikian mampu membangkitkan niat perbaikan diri atau apakah semakin menegarkan hati penjahat dalam usahanya mencelakai yang lain. Orang juga harus bertanya apakah pengurungan yang demikian itu kejam dan tidak pada tempatnya. Masyarakat juga harus waspada untuk tidak “mengurungnya dan lalu membuang kuncinya,” acuh tak acuh dalam menawarkan rehabilitasi bagi penjahat yang demikian.

Apakah dengan begitu penjahat telah dibuat tak mungkin mencelakai orang lagi? Kekejaman di penjara-penjara dan tingkat residivis yang tinggi bagi narapidana yang dibebaskan menimbulkan keragu-raguan yang serius dalam diri kita hingga sebesar 60%. Mungkinkah orang ini, yang telah melakukan tindakan melanggar otoritas negara, akan membunuh sipir penjara atau sesama narapidana? Bagaimana jika ia dapat melarikan diri? Segenap warga masyarakat, termasuk para narapidana dan teristimewa para kurban kejahatan serta mereka yang telah memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku kejahatan ini, mempunyai hak untuk hidup tanpa rasa takut. Para penjahat yang melakukan tindak kejahatan besar telah melukai bukan saja kesejahteraan jasmani yang lain, melainkan juga kesejahteraan rohani mereka. Seorang umat Kristiani wajib menunjukkan belas kasihan kepada penjahat, namun demikian ia juga wajib menunjukkan belas kasihan kepada kurban-kurban yang tak bersalah, yang telah menderita akibat tindak kejahatan.

Apakah seorang penjahat memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Timothy McVeigh telah membuktikannya sejak April 1995. Sungguh, hukuman mati memberikan batas akhir waktu bagi seorang penjahat untuk memperbaiki diri. St Thomas akan berargumentasi bahwa batasan waktu yang singkat itu akan memotivasinya untuk memperbaiki diri. Di lain pihak, orang patut bertanya apakah penjara super maximum menawarkan pengharapan akan perbaikan diri atau rehabilitasi, atau sekedar menawarkan suatu “nasib yang lebih buruk daripada mati.”

Apakah kasus ini merupakan kasus langka yang menuntut hukuman yang demikian? Jika Timothy McVeigh dieksekusi, ini akan menjadi eksekusi federal yang pertama sejak 1963; sungguh suatu peristiwa yang langka dalam otoritas pengadilan. Di samping itu, kejahatan ini merupakan insiden yang langka, yang sangat diharapkan tidak akan pernah terulang kembali.

Tak diragukan lagi, masalah ini sungguh rumit dan menimbulkan banyak kesedihan dalam diri setiap orang Kristiani yang saleh. Tak ada sistem pengadilan yang sempurna. Pertanyaan-pertanyaan seputar keadilan, pencegahan, kecepatan pengadilan dalam menangani kasus, nasehat hukum yang memadai dan serupa itu akan terus-menerus diajukan. Debat seputar persyaratan untuk melaksanakan hukuman mati akan terus berlanjut. Sungguh genting dan mendesak perlunya mengubah suatu sistem penjara dari suatu tempat di mana kita mengurung manusia, menjadi suatu tempat di mana kita dapat merehabilitasi pelaku kejahatan. Namun demikian, berdasarkan sistem kita sekarang, yang terbaik yang dapat dilakukan, pengadilan yang adil wajib dijalankan dan hukuman yang adil dijatuhkan demi memulihkan kembali tata keadilan dan perlindungan bagi semua orang.

Secara keseluruhan, balas dendam haruslah dihindari. Setelah Timothy McVeigh dinyatakan bersalah, sebuah stasiun radio lokal di Denver mendirikan suatu stand dekat balai pengadilan federal dan mengundang para pengemudi untuk membunyikan klakson apabila mereka ingin “mengganyangnya”. Apabila Timothy McVeigh dieksekusi, para keluarga kurban dapat menyaksikannya melalui closed-circuit broadcast; masing-masing dengan motifnya sendiri dalam melakukannya. Tetapi, hukuman mati tak akan dapat menghidupkan kembali orang-orang terkasih yang telah meninggal; adalah lebih baik tidak melihat dan kemudian kehilangan kendali diri. Betapa menyedihkan, kita adalah kurban-kurban dosa asal yang malang dan terluka, masing-masing dari kita dapat dengan mudah kehilangan pandangan akan keadilan dan terjerumus ke dalam dosa balas dendam, entah dendam itu dilampiaskan melalui eksekusi ataupun sekedar mengurung seseorang dalam suatu penjara super maximum. Keadilan sejati mengamanatkan agar kita wajib menghapuskan segala bentuk dendam, dan mengejar jalan keluar yang adil bagi semua pihak. Hanya keadilan sejati dengan kasih pengampunan akan mendatangkan damai dan melupakan dendam masa lampau.

Entah bagaimana keputusan akhir dari kasus McVeigh ini [McVeigh dijatuhi hukuman mati pada tanggal 10 Juni 2001 dengan disuntik mati], umat Kristiani yang baik manapun akan tetap berada dalam kegalauan batin. Mereka yang setuju bahwa eksekusi selaras dengan kriteria keadilan dan sesuai dengan standard tradisi ajaran Gereja Katolik, akan diliputi kegalauan hati akan perlunya menunjukkan belas kasihan dan menghormati kekudusan hidup manusia, serta martabat setiap individu. Mereka yang menentang penerapan hukuman mati apapun dan mungkin bahkan memiliki standard kekudusan hidup manusia yang lebih tinggi lagi – sama seperti sebagian umat Kristiani penyokong damai dalam masa perang – mereka akan diliputi kegalauan hati akan jenis kehidupan yang mereka sodorkan kepada McVeigh dalam penjara dan akan apakah masyarakat sekarang dapat sungguh-sungguh aman. Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, tokoh besar dalam kebenaran dan kekudusan hidup manusia, telah berulang kali menyerukan demi diakhirinya hukuman mati dan memohon keringanan bagi hukuman mati. Sebab itu setiap umat Kristen Katolik ditantang untuk bergulat dengan masalah ini, dan tidak hanya sekedar mendukung satu pihak atau yang lainnya, melainkan berupaya demi terciptanya suatu sistem yang lebih adil dalam segala aspek. Hanya melalui keadilan kita akan dapat menikmati damai dan tata tertib dalam komunitas kita.

********************** * Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.

sumber : “Straight Answers: Capital Punishment and Church Teaching” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com. Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”