Apa yang paling perlu dilakukan remaja Muslim muslimah saat ini

UNAIR NEWS – Sambutan dari KPS D-III Keperawatan Bapak Dr. Makhfudli, S. Kep., Ns., M. Ked. Trop. Peranan pemuda Islam di era milenial. Pemuda di tengah masyarakat yang nantinya menjadi generasi penerus. Dengan kondisi dan perubahan di era milenial banyak pemuda lupa atas kewajiban mereka.

“Untuk semua pemuda generasi milenial supaya lebih terbuka lagi wawasan agamanya dan bisa menyelesaikan masalah yang ada.” ujarnya.
Sambutan dari Wakil Dekan I Fakultas Vokasi Universitas Airlangga. Dr. Tika Widiastuti, S.E., M. Si. Menuturkan pentingnya mengetahui lebih dalam apa yang menjadi hakikat peran pemuda islam di era milenial, di tengah arus globalisasi saat ini.

“Sebagai muslim tentunya harus paham betul, apa yang menjadi tanggung jawab kita di mata allah, tanggung jawab sesama manusia dan tanggung jawab dimana pun kita berada.” ujarnya.

Dalam ceramah ustadz fajar memaparkan seorang yang melakukan pelecehan agama, ingin mengundang perhatian orang lain dan banyak yang membuat kacau dunia. Itu pengaruh dari era globalisasi.
“engkau habiskan untuk apa masa mudamu? Rasulullah bersabda (tidak akan bergeser kaki anak adam “manusia” pada hari kiamat nanti dihadapan rabb-Nya). {HR. Tirmidzi no. 2340}” ujarnya.

Bagaimana cara agar pemuda islam di era milenial tidak tergerus arus globalisasi. Ustadz fajar menuturkan kalau hanya di nasehati pasti tidak di dengarkan dengan baik. masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

“Saya mengikuti komunitas, di dalam komunitas tidak cuma ngaji tapi ada aksi sosial, ada kegiatan sosial. Kemudian kita rangkul, kita lihat sifat para pemuda dan kita arahkan.” ujarnya.

Ustadz fajar menuturkan, pemuda milenial memamerkan kekayaan, harta dan rasa tinggi hati, karena pemahaman kepada agama itu kurang. Dan menjadi orang yang terpisah dari petunjuk, maka menjadi pemuda yang tersesat.

“Seperti nabi muhammad SAW setelah meninggal, beliau meninggalkan banyak pengetahuan dan warisan Al-Qur’an sebagai petunjuk akan kebesaran allah, dan jalan menuju kebaikan.” ujarnya.
Peran pemuda di era milenial menjadi pemuda yang berilmu, membedakan mana yang benar dan salah, dan membatasi dengan lawan jenis. Jangan jadi pemuda yang malas, jadilah pemuda milenial yang memberi pengaruh baik kepada masyarakat

“Demi allah, hidupnya pemuda itu dengan ilmu dan taqwa. Jika keduanya tidak ada, maka keberadaannya tidak dianggap ada. (Imam Syafi’e)”. ujarnya

Sebagai penutup ustadz fajar menuturkan ada seorang pemuda milenial tidak bisa mendengar. Sedangkan salah satu syarat syah sholat Jum’at itu mendengarkan khutbah Jum’at. Lantas apa yang harus dilakukan?

“Bagi pemuda yang diistimewakan oleh Allah, allah tidak membebani pemuda itu di luar kemampuannya. Dengan menghadirkan orang yang mampu berbahasa isyarat, maka orang itu dapat mengerti, apa yang disampaikan oleh imam melalui penerjemah, pemuda yang mempunyai niat baik maka allah permudah jalan baginya. Agar jadi generasi milenial yang dicintai oleh Allah SWT. ” (*)

WANITA KONDISI (MILENIAL) SAAT INI DALAM OPTIK ISLAM (ULIL ALBAB)

Oleh : Umar Haris Sanjaya*

Mengungkapkan kata “kondisi saat ini” yang tercetus pertama kali adalah kata milenial. Milenial menurut maksud penulis di sematkan sesuai judul yang ditulis yakni wanita milenial. Maksudnya adalah wanita yang masuk generasi milenial dimana mereka lahir rentan 1980 hingga tahun 2000 an.[1] Mereka adalah wanita yang mengalami kondisi kemajuan teknologi sehingga kehidupannya mengalami perubahan akan “gaya, perilaku, dan keseharian”. Mereka disematkan dengan generasi yang cukup berbeda dengan generasi wanita pada era dahulu walaupun pada essensinya mereka adalah sama.[2] Ada yang menggambarkan kalau ingin menjadi wanita yang milenial maka mereka perlu menambahkan beberapa karakter untuk dapat disematkan seperti: open minded untuk terus belajar, adaptasi teknologi, mandiri, dan fleksibel.[3]

Sifat Wanita Milenial: Open Minded

Wanita milenial secara umum memiliki sifat open minded. Yang dimaksud adalah  menerima pandangan dari luar, bila mereka belum mengetahui akan suatu hal maka ia berusaha untuk menambah pengetahuan. Sikap pikiran terbuka penting untuk diberitahukan kepada wanita baik saat ia mulai beranjak dewasa. Islam mengajarkan pembentukan karakter ini (open minded –edit.), karakter ini dijelaskan di dalam al-Qur’an untuk menjadi pembelajaran bagi umat Islam selanjutnya bahwa dalam hidup kita tidak boleh merasa yang paling benar. Merasa benar yang membawa seseorang tidak mau menerima pesan dari orang lain hingga ia terjebak dalam jiwa keegoisan. Sejarah itu tertuang pada surat an-Nûh ayat 7. Allah l berfirman,

وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوۡتُهُمۡ لِتَغۡفِرَ لَهُمۡ جَعَلُوٓاْ أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَٱسۡتَغۡشَوۡاْ ثِيَابَهُمۡ وَأَصَرُّواْ وَٱسۡتَكۡبَرُواْ ٱسۡتِكۡبَارٗا ٧

Artinya:

“Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka kepada iman agar engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka kedalam telinganya dan menutupi bajunya kemukanya, dan mereka tetap mengingkari dan sangat menyombongkan diri”. (Q.S. Nûh [71]: 7)

Sikap yang demikian ini terjadi pada umat Nabi Nuh n. Pada akhirnya sikap tersebut yang membawa mereka menolak untuk ikut ajakan Nabi Nuh n masuk ke dalam kapal sehingga mereka tenggelam.

Sifat Mampu Adaptasi Dengan Teknologi

Selain pikiran yang terbuka wanita dengan sematan milenial harus mampu menyeimbangkan diri dengan penggunaan alat teknologi. Wanita milenial mampu dan mudah beradaptasi dengan teknologi dalam aktivitas sehari-hari. Pemahaman akan teknologi ini dapat dilihat melalui penggunaan teknologi dalam keseharian wanita baik itu dalam bekerja, berakftifitas, mengurus anak, berkomunikasi, berkarya, hingga hiburan. Gambaran akan teknologi ini tersemat jelas di dalam surat al-Alaq pada ayat 1 – 5. Allah l berfirman,

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١  خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢  ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣  ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥

Artinya:

“Bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang menciptakan, dia telah menciptakan manusia dari segumal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantara kalam[4], dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5)

Bahkan hal serupa juga diajarkan oleh Allah l kepada Nabi Daud n yang diceritakan di dalam surat al-Anbiya ayat 80, Allah l berfirman,

وَعَلَّمۡنَٰهُ صَنۡعَةَ لَبُوسٖ لَّكُمۡ لِتُحۡصِنَكُم مِّنۢ بَأۡسِكُمۡۖ فَهَلۡ أَنتُمۡ شَٰكِرُونَ ٨٠

Artinya:

“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (Q.S. al-Anbiyâ’ [21]: 80)

Sifat Mandiri

Karakter yang selanjutnya yaitu mandiri, karakter ini menjadi gambaran yang berbeda antara wanita milenial dengan wanita pada era dahulu. Gambaran mandiri saat ini dicontohkan dengan wanita yang sudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berpenghasilan, rumah tangga, pekerjaan. Begitu mandirinya seorang wanita bahkan ia tidak lagi memerlukan bantuan orang lain, kerabat, atau bahkan ia dapat saja menolak adanya keberadaan suami. Tentunya bukan itu yang akan menjadi figur seorang wanita milenial, mandiri sebagai gambaran saat ini bila dioptikan dengan Islam maka ia akan menjadi figur wanita yang mengerti dan bertanggung jawab. Mengerti akan tanggung jawab dia sebagai wanita di lingkungan keluarga, masyarakat, lingkungan kerja, pergaulan. Dia mampu menumbuhkan karakter bahwa wanita bukan manusia yang lemah, tetapi dapat sejajar dan bertanggung jawab sesuai tanggung jawab yang dia miliki.

Hak dan kewajiban seorang manusia tentu sudah dibagi sesuai kadar kemampuan yang dimilikinya, gambaran ini ada dalam surat al-Mukminun ayat 62. Allah l berfirman,

وَلَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ وَلَدَيۡنَا كِتَٰبٞ يَنطِقُ بِٱلۡحَقِّ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ ٦٢

Artinya:

“Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran[5], dan mereka tidak dianiaya.” (Q.S. al-Mukminûn [23]: 62)

Ayat ini pun diperkuat oleh surat al-Mudatstsir ayat 38, Allah l berfirman,

كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ ٣٨

Artinya:

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya”. (Q.S. al-Mudatstsir [74]: 38)

Sifat Fleksibel

Figur terakhir yang menggambarkan tentang wanita milenial adalah wanita yang fleksibel. Fleksibel ini digambarkan sebagai sesuatu yang luwes, dapat menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan dimanapun. Keluwesan ini, dipraktekan oleh banyak wanita milenial  dengan tidak menciptakan batasan dalam dirinya. Artinya ia tidak mau membuat batas sampai dimana dirinya, sepanjang ia mampu maka ia akan terus bergerak menuju untuk menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Dengan adanya karakter ini, maka ia tentunya dapat menyesuaikan terhadap masalah yang ia hadapi. Sebab wanita tersebut akan beradaptasi dengan masalah, mencari metode, mencari cara, ide dan inovasi untuk memposisikan dirinya atas masalah tersebut. Sehingga ia tidak membatasi sampai mana batasan dirinya.

Kacamata Islam menjelaskan arti fleksibel sangat jelas sekali, mengingat Islam adalah rahmatan lil alamin. Ada istilah Islam itu menyesuaikan dengan waktu dan tempat, ini mempunyai arti bahwa ajaran, ilmu, dan faidah yang ada dalam Islam itu tidak kaku, tapi mampu beradaptasi. Dengan adaptasi tersebut, maka umat Islam, manusia, wanita, dapat bertahan atas tantangan dan masalah yang dihadapi saat ini hingga akhir zaman. Contoh gambaran kacamata fleksibel dalam Islam itu mengacu pada surat al-Baqarah ayat 143.  Allah l berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١٤٣

Artinya:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[6] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 143)

Itu semua merupakan gambaran umum dan singkat yang dapat menggambarkan tentang gaya wanita milenial (sosial saat ini) yang tentunya masih jauh ataupun ada yang berbeda pandangan dengan orang lain. Tetapi 4 karakter diatas secara umum selalu digambarkan oleh beberapa elemen masyarakat bahwa model milenial secara umum terletak pada hal tersebut.

Generasi Belum Menikah dan Berkeluarga

Seorang wanita yang belum menikah tentunya memiliki tanggung jawab, peran, dan kehidupan sosial yang berbeda dengan mereka yang sudah menikah. Kondisi antara belum menikah dan yang sudah berkeluarga tentunya masing-masing mempunyai problem dan solusinya tersendiri. Seseorang yang belum menikah tentu ia hanya memiliki tanggung jawab dengan apa yang ia miliki sendiri seperti tanggung jawab dirinya kepada agama dan orang tuanya. Tetapi bagi mereka yang sudah berkeluarga, tanggung jawab itu bertambah, ia harus bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya dan mencontoh kepala keluarganya.

Anggap saja belum menikah itu dimaknai dengan generasi yang sedang tumbuh mencari identitas dan jodohnya. Wanita yang dalam tahapan mencari identitas dan jodoh ini maka ia masuk pada tahapan lingkungan sosial dan pergaulan yang tanpa batas. Wanita yang masuk pada kategori ini secara optik Islam ia harus menjadi generasi ulil albab. Generasi ulil albab mempunyai peran untuk membawa Islam kepada citra yang baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada al-Qur’an dan Sunnah. Wanita harus belajar menuntut ilmu dan menjadi seorang pembaharu sebagai bekal sebelum berumah tangga. Saat ini seorang wanita menggapai jenjang pendidikan tinggi merupakan hal yang umum, bahkan itu berdampak pada pekerjaan dan profesi seorang wanita yang sangat beragam. Profesi yang beragam ini menunjukkan bahwa wanita itu bukan makhluk yang lemah sebagaimana digambarkan pada era dahulu.[7]

Sebagai contoh wanita yang dianggap lemah, maka kaum wanita hanya dibolehkan untuk mengurusi dapur dan anak saja dirumah. Tetapi potret tersebut menjadi terbalik bila dilihat secara fakta, bila diperhatikan di pasar-pasar atau pada proyek-proyek pembangunan gedung kita dapati pekerja wanita yang jumlahnya tidak sedikit. Ini menjadi suatu fakta kalau wanita dianggap lemah secara fisik tidak benar. Di Indonesia saja, beberapa wanita dapat menduduki jabatan tinggi negara, Kepala, CEO, bahkan pemiliki perusahaan bisnis, atau bahkan menjadi seorang hakim. Artinya, saat ini figur wanita milenial dapat diperhatikan melalui profesi-profesi keberadaan wanita yang mematahkan anggapan dahulu.

Hal yang sama berlaku pula untuk wanita yang sudah berkeluarga, ibu rumah tangga dituntut untuk menelurkan nilai ulil albab kepada anak-anak dan lingkungan keluarganya. Seorang ibu tentunya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dibanding ketika masih melajang. Bagi seorang ibu yang bekerja, maka ia akan dituntut 2 hal dari lingkungan pekerjaan dan lingkungan keluarganya. Disamping tuntutan akan profesi (bila bekerja), ibu rumah tangga dituntut untuk : mendidik, memelihara, mengasuh, dan mengayomi anak dan terakhir patuh kepada suaminya.

Bila kita bandingkan, gaya hidup ibu-ibu (milenial) saat ini berbeda dengan ibu-ibu pada zaman dulu. Paling tidak hal itu terlihat dari gaya dan perilaku yang akhirnya mempengaruhi mental dan karakter. Perbedaan itu memungkinkan terjadi karena ada perubahan dan penggunaan teknologi yang ada antara era dahulu dan sekarang.

Milenial dalam Optik Islam

Berbicara tentang milenial dalam gambaran Islam, gambaran itu semua tercerminkan dari nilai-nilai Islam seorang ulul albab. Universitas Islam Indonesia sebagai salah satu perguruan tinggi Islam nasional pertama di Indonesia telah menerapkan dan mengajarkan nilai-nilai ulil albab itu dalam sebuah orientasi bagi mahasiswanya. Kata itu mempunyai arti bahwa seorang ulul albab itu sanggup untuk melahirkan gagasan analisis dan normatif yang cemerlang.[8] Nilai-nilai itu tertuang dan tersampaikan pada kegiatan Latihan Kepemimpinan. Nilai-nilai itu tentu berlaku bagi semua mahasiswa baik itu putra ataupun putri. Terkadang berbicara nilai ini, orang menafikan itu hanya berlaku bagi para laki-laki. Menurut penulis, nilai ulil albab itu juga patut disematkan sejajar pula dengan wanita. Wanita yang mencerminkan ulil albab lah yang akhirnya cocok untuk dikatakan milenial. Milenial yang diutarakan penulis diatas digambarkan dalam 4 kriteria, dan dari 4 kriterian diatas semuanya tidak jauh bahkan sama dengan nilai-nilai ulil albab. Nilai ini pun sesungguhnya tidak boleh surut, maksudnya nilai ini harus selalu ada ketika seorang wanita itu masih belum berkeluarga hingga ia berkeluarga, mempunyai anak.

Ciri khas seorang yang ulil albab yang penulis kutip dari kajian latihan kepemimpinan bila disandingkan dengan 4 kriteria diatas, maka seorang wanita perlu menambahkan ciri ulil albab kedalam karakter milenialnya seperti sifat mengambil hikmah, merenungkan ciptaan Allah,  yakin, dan mengambil pelajaran. Itu semua bila diuraikan antara lain:

  1. Dapat mencerna hikmah yang didapatkan.

Generasi milenial bukanlah generasi instan, walaupun ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa orang-orang di era ini lebih senang mengambil jalan pintas untuk mencapai tujuan. Seseorang perlu mengambil hikmah agar ia dapat memahami pelajaran yang diberikan kepadanya. Seperti contoh tentang gambaran orang mengambil hikmah; ada seseorang yang telah berupaya untuk bekerja keras, belajar dan berjuang mati-matian agar ia dapat diterima sebagai pegawai disalah satu dinas pemerintahan. Ternyata ia berkali-kali mendaftar tidak pernah lolos seleksi. Dan orang itu pun akhirnya bekerja sendiri membangun usaha nya sebagai seorang pengusaha. 10 tahun berselang ia baru merasa bersyukur bahwa ia gagal untuk menjadi seorang pegawai pemerintah, karena dengan menjadi pengusaha ia bisa bekerja dekat dengan keluarga, bermanfaat untuk masyarakat, dan ibadah selalu terjaga.

Hikmah ini perlu dirasakan, didalami, dan direnungi agar seorang muslim menyadari bahwa ia dianugerahi oleh Allah l, sebagaimana surat al-Baqarah ayat 269. Allah l  berfirman,

يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٦٩

Artinya:

“Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Q.S. al-Baqarah [2]: 269)

Seorang wanita pada era milenial ini seakan-akan berdiri diantara 2 sikap. Terutama ketika ia harus memilih bekerja atau meningkatkan diri menjadi seorang ibu dirumah.[9] Keadaan ini seakan menjadi pilihan yang berat yang akan dihadapi oleh seorang muslimah. Dia sekolah menggapai pendidikan tinggi, tetapi ketika ia sudah memasuki dunia rumah tangga ia dituntut untuk menjadi ibu yang menjaga anaknya disamping itu ia mempunyai profesi yang harus dilakukan. Disamping itu tuntutan dari keluarga istri, terutama orang tua yang sudah membiayai dan mengantarkan anak gadisnya hingga menjadi seorang sarjana.

Diruang ini, seorang wanita dihadapkan pada pilihan dan tantangan yang tidak mudah, tetapi ini bukan merupakan keputusan yang ringan. Kembali kepada hikmah lah yang dapat diambil sebagai pelajaran. Dan hikmah ini hanya dapat dijawab, dilaksanakan atau bahkan dialami oleh masing-masing dan tidak dapat disamakan dengan orang lain.

  1. Bijak dalam menggunakan teknologi

Pada kriteria yang kedua ada karakter penggunaan teknologi sebagai ciri milenial. nilai ulil albab yang perlu ditambahkan dalam karakter ini adalah senantiasa merenungkan ciptaan Allah l sebagai peningkatan kedewasaan. Kedewasaan dalam bersikap, berperilaku, bijaksana dalam menggunakan teknologi. Allah l berfirman pada surat Ali Imran ayat 190. Allah l berfirman,

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠

Artinya:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (Q.S. Ali’Imran [3]: 190)

Mampu mengikuti zaman adalah sebuah sikap modernitas yang baik, tetapi kemajuan ini harus didukung dengan kedewasaan.[10] Dewasa itu adalah pilihan, ini merupakan kata bijak yang pantas untuk menyempurnakan karakter seorang dalam penggunaan teknologi. Salah satu sebab yang menuntut kedewasaan dalam konteks teknologi saat ini adalah bijak dalam penggunaan media sosial. Seperti contoh : tidak sedikit seorang wanita yang tergoda laki-laki lain karena salah penggunaan media sosial, wanita bercerai karena media sosial, artinya antara teknologi memerlukan kedewasaan.

Kriteria yang ketiga adalah mandiri, mandiri selalu diartikan dengan sudah bekerja, berpenghasilan sendiri, dan yang lebih ekstrem lagi adalah tidak memerlukan lagi bantuan/masukan orang lain. Terdapat beberapa model wanita yang mengatakan dirinya sebagai “perfeksionis”. Apakah dengan menjadi sempurna kemudian ia dapat dikatakan mandiri? Lebih tepatnya adalah mandiri merupakan unsur yang ada pada kesempurnaan seorang wanita. Tetapi wanita belum tentu memiliki kesempurnaan,[11] mengingat hanya Allah l lah yang zat yang sempurna. Mandiri dalam optik Islam penulis gambarkan dengan dia mampu bersikap dengan baik. Sikap dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk, memilih yang hak dan batil, bersikap ini benar, syubhat, atau salah. Ketika wanita itu mampu membedakan, maka ia harus mampu pula untuk menetapkan.

Allah l memberikan kita akal dan hati, tentunya itu semua difasilitasi kepada manusia baik laki-laki dan wanita yang digunakan untuk bersikap. Sikap itu tidak harus mengikuti orang lain, melainkan sikap itu didapatkan dari akal dan hati yang dimiliki. Akal itu digunakan untuk mendapatkan kebenaran dan hati itu digunakan untuk menetapkan dan memilih kebenaran yang sudah diberikan oleh akal. Seperti contoh adalah dalam menyikapi hutang dalam kaitannya dengan riba. Orang sudah mengetahui bahwa dalam hutang yang memberlakukan bunga itu adalah riba, dan itu sudah dijelaskan oleh agama, tetapi seseorang yang sudah mengetahui itu secara akal pikiran belum tentu menetapkannya di dalam hati, sehingga perbuatan hutang dengan bunga (riba) tetap dilakukan. Allah l berfirman di dalam surat al-Maidah ayat 100,

قُل لَّا يَسۡتَوِي ٱلۡخَبِيثُ وَٱلطَّيِّبُ وَلَوۡ أَعۡجَبَكَ كَثۡرَةُ ٱلۡخَبِيثِۚ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠٠

Artinya:

“Katakanlah: “tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 100)

Yang terakhir adalah karakter fleksibel, karakter ini penulis sandingkan dengan citra seorang yang mampu mengambil petunjuk dari apa-apa yang dia telah dia hadapi. Dia mampu mengambil petunjuk dari apa yang dia rasakan, alami, dan telah dia lewati supaya ia mampu untuk melewatinya. Hidup tentunya sudah ada garis takdir yang diberikan oleh Allah l, takdir ada yang mendapatkan kemudahan, kesusahan, cobaan yang berat, cobaan anak, cobaan harta, cobaan suami, itu semua adalah takdir yang harus dilaksanakan. Untuk dapat melaksanakan dan melewati itu, maka harus diambil langkah petunjuk supaya wanita dapat mengikuti petunjuk tersebut dan mampu beradaptasi terhadap takdir yang dihadapinya. Ciri ulil albab yang menguatkan karakter fleksibel ini ada pada surat Shâd ayat 29. Allah l berfirman,

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٩

“ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S. Shâd [38]: 29)

Dijelaskan pula di dalam surat al-Mu’min pada ayat 54. Allah l berfirman,

هُدٗى وَذِكۡرَىٰ لِأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٥٤

Artinya:

“Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berfikir.” (Q.S. al Mukmin [40]: 54

Ciri dan karakter seorang milenial kalau diperhatikan telah digambarkan dalam al-Qur’an, karakter tersebut sesungguhnya diperuntukkan bagi seorang muslim dan muslimah. Dalam konteks tulisan ini, penulis mengarah kepada seorang wanita mengingat tuntutan modernitas memungkinkan bagi wanita menjadi terbawa arus modern dan milenial. Harapan penulis adalah, supaya wanita tidak melupakan identitas dan profil seorang muslimah yang sudah digambarkan lengkap dalam al-Qur’an.  Dalam Islam penamaan milenial merupakan hal baru mungkin, tetapi nilai tersebut ternyata sudah dibangun melalui kisah-kisah dan firman Allah l.[12]

Bahkan menurut penulis karakter milenial sepatutnya selalu disandingkan dengan karakter seorang muslim yang diutarakan dalam al-Qur’an yakni karakter selalu berpikir. Karakter ini menjadi pedoman bagi umat Islam, baik laki-laki ataupun wanita untuk menjadi pedoman, pegangan ketika kehidupan itu sudah mulai berubah dan masuk kepada zaman modern. Karakter “berpikir” atau ulil albab ini tentunya akan selalu dapat menjawab semua tantangan zaman, bahkan mungkin sampai pada hari kiamat. Wallâhu ‘alamu bishshawâb. []

DAFTAR PUSTAKA

  1. Wahyudin , M. Suantari. 2017. Melawan Hoax di media sosial dan media massa, Yogyakarta: Trust Media Publishing.

Nasr Hamid Abu Zayd. 2003. Dekonstruksi gender, kritik wacana perempuan dalam Islam. Yogyakarta: Samha.

Ryadi Gunawan, lusi M, Fauzie Ridjal. 1993. Dimensi-dimensi perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam perspektif sejarah, dalam dinamika gerakan perempuan di Indonesia. Yogyakarta: LSPPA.

Ratu Hemas. 1992. Wanita Indonesia suatu konsepsi dan obsesi, PT Remaja Rosdakarya.

Rahayu SW, Kontribusi filsafat ilmu terhadap etika keilmuan masyarakat modern, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, edisi XVII, Desember 2015.

Lucinda Joy Peach. 2002. Women and Wordl Religious, Upper saddle river new jersey, Pearson education.

Tim DPPAI. 2018. Latihan Kepemimpinan Islam Tingkata Dasar (LKID) Universitas Islam Indonesia, Peran Mahasiswa dalam perubahan sosial. Yogyakarta: UII Press, hlm. 129-133.

https://cantik.tempo.co/read/1108627/ini-perbedaan-mencolok-wanita-generasi-milenial-dan-nonmilenial/full&view=ok

https://magazine.job-like.com/karakter-wajib-wanita-milenial/

* Dosen Hukum Keluarga Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

[1]https://cantik.tempo.co/read/1108627/ini-perbedaan-mencolok-wanita-generasi-milenial-dan-nonmilenial/full&view=ok

[2]Ratu Hemas, Wanita Indonesia suatu konsepsi dan obsesi, PT Remaja Rosdakarya, 1992, hlm. 7-10.

[3]https://magazine.job-like.com/karakter-wajib-wanita-milenial/

[4] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca

[5] Maksudnya: kitab tempat malaikat-malaikat menuliskan perbuatan-perbuatan seseorang, biarpun buruk atau baik, yang akan dibacakan di hari kiamat (Lihat surat Al-Jatsiyah ayat 29).

[6] Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.

[7] Ryadi Gunawan, lusi M, Fauzie Ridjal. 1993. Dimensi-dimensi perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam perspektif sejarah, dalam dinamika gerakan perempuan di Indonesia. Yogyakarta: LSPPA. hlm. 99-101.

[8] Tim DPPAI. 2018. Latihan Kepemimpinan Islam Tingkata Dasar (LKID) Universitas Islam Indonesia, Peran Mahasiswa dalam perubahan sosial. Yogyakarta: UII Press, hlm. 129-133.

[9] Lucinda Joy Peach. 2002. Women and Wordl Religious, Upper saddle river new jersey, Pearson education, hlm. 1-5.

[10] A. Wahyudin , M. Suantari. 2017. Melawan Hoax di media sosial dan media massa, Yogyakarta: Trust Media Publishing. hlm. 260-263.

[11] Nasr Hamid Abu Zayd. 2003. Dekonstruksi gender, kritik wacana perempuan dalam Islam. Yogyakarta: Samha, hlm. 4-5.

[12] Rahayu SW, Kontribusi filsafat ilmu terhadap etika keilmuan masyarakat modern, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, edisi XVII, Desember 2015, hlm. 540.