DOI: 10.21580/at.v7i2.1209
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu atau sejenisnya sampai mati. Keberadaan hukuman rajam dalam ketentuan hukum pidana Islam ini merupakan hukuman yang telah diterima oleh hampir semua fuqaha, kecuali kelompok Azariqah dari golongan Khawarij. Menurut mereka hukuman untuk jarimah zina, baik muhshan maupun ghairu muhshan adalah hukuman jilid seratus kali berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Nur: 2, sehingga mereka tidak menerapkan hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan. Sedangkan fuqaha’ yang menyepakati hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan berpendapat bahwa hadits shahih yang berkenaan dengan hukuman rajam dapat mentakhsis QS. al-Nur: 2 tersebut di atas. Hasil penelitian ini adalah jika dilihat dari setting historis, maka penetapan hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan itu didasarkan kepada hadits Nabi, baik secara qauliyah maupun fi’liyah. Akan tetapi, ada kesulitan dalam membedakan antara status teks sunnah mengenai apakah teks sunnah tersebut menjelaskan wahyu atau tidak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa hukuman rajam dalam hukum pidana Islam itu bukan berasal dari syari’at Islam itu sendiri semata-mata, tetapi yang pasti bahwa hukuman rajam adalah berdasarkan nash atau ajaran agama sebelumnya, yaitu nash dalam Kitab Taurat. Hal ini dapat dilacak dari dasar normatif yaitu hadits-hadits Nabi yang mengacu kepada penerapan hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan. Setidaknya Rasulullah saw., telah empat kali melaksanakan atau minimal memberitahukan pelaksanaan hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan.Keywords: Zina muhshan; rajam; nash; hukum pidana Copyright (c) 2017 At-Taqaddum : Jurnal Peningkatan Mutu Keilmuan dan Kependidikan Islam
Zina sebagai Alasan Perceraian Zina adalah hubungan badan yang diharamkan oleh Allah dan Nabi dalam Al Qur’an dan Hadist dan serta disepkatai oleh para ulama dalam berbagai mazab atas keharamannya.[1] Hubungan badan dalam hal ini adalah menyangkut hubungan suami istri secara biologis tetapi dilakukan oleh bukan suami istri yang sah. Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) jo. Pasal 19 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 116 huruf a Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) menyebutkan salah satu alasan perceraian adalah salah satu pihak (suami/istri) melakukan zina. Zina dapat dibuktikan dengan cara:[2]
Apabila pengakuan dan saksi tidak diperoleh maka dapat dilakukan dengan sumpah oleh si penggugat. Hal ini tertuang dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan:
Oleh karena itu, zina oleh istri dapat dijadikan sebagai salah satu alasan perceraian dan pengakuan zina oleh istri harus dilakukan sebanyak 4 kali yang dikemukakan satu persatu dan diucapkan di tempat yang berbeda, agar dapat dijadikan bukti zina. Sumpah Li`an Apabila istri telah mengakui perbuatan zina namun menyangkalnya di pengadilan, Anda dapat mencari 4 orang saksi yang mengetahui perzinaan tersebut dengan mengetahuinya secara langsung. Jika tidak dapat membuktikan zina tersebut dengan pengakuan atau saksi, Anda dapat melakukan sumpah bahwa istri Anda telah berzina (sumpah Li`an).[4] Sumpah li`an dilakukan sebagai berikut:[5]
Agar sah, sumpah li`an harus dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.[6] Akibat hukum dari sumpah li`an adalah:[7]
Selain itu, bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.[8] Akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut: Pada dasarnya baik ibu atau bapak tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai hak asuh, Pengadilan memberi keputusannya.[9] Patut diperhatikan, bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan si anak, jika bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan si ibu ikut memikul biaya.[10] Dalam hukum Islam, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Sedangkan bagi anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya, serta biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.[11] Baca juga: Pemegang Hak Asuh Anak Angkat, Ortu Kandung atau Ortu Angkat? Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.[12] Bagi yang beragama Islam, janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.[13] Baca juga: Kedudukan Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.[14] Dalam hukum Islam, semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).[15] Dalam hal terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya.[16] Baca juga: Jika Mantan Suami Tidak Nafkahi Anak Sesuai Putusan Hakim Jadi, ketika terjadi perceraian maka anak tetap menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya, namun apabila terjadi perselisihan, Pengadilan akan memberikan putusannya. Namun dalam hukum Islam, bagi anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Sementara itu, biaya pemeliharaan anak jadi tanggung jawab ayahnya, dan ibu dapat ikut memikul biaya pemeliharaan si anak apabila si ayah tidak dapat melaksanakannya. Selanjutnya, mantan suami juga tetap wajib menafkahi bagi mantan istri dan anak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Referensi:
[1] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Fiqih Jinayah. Jakarta: Amzah, 2014, hal. 19 [2] Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid 3, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hal. 617 [3] Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid 3, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hal. 620 [7] Ahmad Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2000, hal. 88 [9] Pasal 41 huruf a UU Perkawinan [10] Pasal 41 huruf b UU Perkawinan [12] Pasal 37 dan penjelasannya UU Perkawinan [14] Pasal 41 huruf c UU Perkawinan [15] Pasal 156 huruf c KHI [16] Pasal 156 huruf e KHI |